KARAKTERISTIK
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
ABAD
KEDUAPULUH
Oleh M. Yunan Yusuf
Dr. M. Yunan Yusuf, putera
Pasar Sorkam, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ini lahir 1949, mendapat
pendidikan di Fakultas Ushuluddin, IAIN lakarta (1978). Gelar Doktor ia peroleh
dari Fakultas Pasca Sarjana juga di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dengan
judul disertasi “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah telaah tentang
Pemikiran dalam Teologi Islam.” Di samping sebagai dosen di Pasca Sarjana IAIN
Jakarta, sekarang ia juga menjabat sebagai pembantu Dekan I Bidang Akademik
Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Ia pun aktif mengisi kursus-kursus keislaman,
di antaranya di Yayasan Paramadina.
Dilihat dari segi
karakteristiknya, tafsir Qur’an di Indonesia abad 20 terdapat banyak persamaan,
Walaupun ada juga perbedaannya. Namun berdasarkan hasil kajian M. Yunan Yusuf
atas beberapa tafsir Qur’an Indonesia, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa
sebagian besar ternyata masih beraliran tradisional. Cirinya, memberikan
penafsiran secara harfiah atas ayat-ayat mutasyabihat.
Al-Qur’an adalah
Kitabullah yang di dalamnya termuat dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur’an
menerangkan segala perintah dan larangan, yang halal dan haram, baik dan buruk,
bahkan juga memuat berbagai kisah sejarah umat masa lampau.
Seluruh yang termaktub
dalam al-Qur‘an itu hakekatnya ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam. Ia
memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat
dalam bentuk ajaran aqidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah, ibadah dan
sebagainya.
Tapi untuk mengungkap
dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca
dan menyanyikan al-Qur‘an dengan baik. Diperlukan bukan hanya sekedar itu, tapi
lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip
yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang diberikan tafsir.[1])
Sebab itu dikatakan, “tafsir
adalah kunci untuk, membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur‘an.
Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk
mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya”.[2])
Upaya penulisan tafsir
di Indonesia sudah lama berjalan. Dimulai dari karya ‘Abd al-Ra‘uf Singkel Tarjuman al-Mustajid, dalam tulisan Arab
Melayu, pada abad 17,[3])
hingga Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry di abad 20 ini. Dalam masa lebih
kurang tiga abad itu telah banyak tafsir Qur‘an
yang dihasilkan.[4])