Minggu, 26 Oktober 2014

TEKNOLOGI DAN KEMANDIRIAN DOMESTIK: SEBUAH ALTERNATIF ISLAM



TEKNOLOGI DAN KEMANDIRIAN DOMESTIK:
SEBUAH ALTERNATIF ISLAM
Oleh Ziauddin Sardar
Ziauddin Sardar adalah jurnalis dan sarjana yang lahir di wilayah utara Pakistan dan dibesarkan di lnggris. Setelah menamatkan studinya dalam bidang ilmu fisika dan komunikasi di London’s City University, ia bekerja sebagai Konsultan Penerangan Universitas King Abdulazi, Jeddah. Selain itu ia juga menyambi sebagai koresponden dunia Islam untuk majalah Nature, konsultan masalah-masalah Timur Tengah untuk New Scientist, dan reporter London Weekend Television untuk serial “Eastern Eye”. Ia juga menyusun serial khusus untuk BBC, “Encounters with Islam”, yang ternyata mendapat sambutan meriah dari publik. Karya- karyanya berupa artikel-artikel ilmiah banyak menghiasi jurnal al-Muslim al-Massthir, The Times, The Washington Post, Geographical Magazine, Islamic Culture, dan masih banyak lagi. Di antara buku-bukunya yang terkenal antara lain adalah Technology and Development in the Muslim World dan The Touch of Midas.

Teknologi konvensional yang berasal dari Barat mengandung seperangkat nilai eksploitatif dan menimbulkan ketergantungan dan perbudakan di negeri-negeri Muslim pemakainya. Dalam tulisan yang diterjemahkan oleh AE Priyono dari Afkar Inquiry edisi November 1986 ini, penulis mengutarakan pentingnya ditemukan teknologi alternatif lewat kerja sama antara sumber daya dan intelektual lokal dari dunia Muslim untuk menjawab problem-problem yang dihadapi masyarakat Muslim secara kontekstual.
Di antara semua wilayah kegiatan intelektual, teknologilah yang paling belakangan menerima perhatian dari para pemikir Muslim. Pengabaian ini tampak paradoks jika dibandingkan dengan besarnya kebutuhan teknologis masyarakat Muslim, besarnya tenaga kerja intelektual yang harus dicurahkan ke dalam bidang-bidang yang relevan seperti ilmu ekonomi Islam, serta dahsyatnya upaya-upaya masif untuk transfer teknologi yang telah berlangsung selama beberapa dekade terakhir ini.

Kendati pun begitu, paradoks ini hanya merupakan salah satu di antara paradoks-paradoks lain yang kelihatan. Kurangnya pemikiran Muslim mengenai sifat dan peranan teknologi dalam masyarakat berasal dari keyakinan kuat bahwa semua teknologi adalah baik, dan bahwa ia bisa diperoleh dari masyarakat-masyarakat industri melalui berbagai Cara: dibeli, diterima sebagai bantuan, atau -jika perlu- dicuri! Terdapat pula keyakinan komplementer bahwa teknologi per-se akan mampu mengubah keadaan kaum Muslimin, dari masyarakat terbelakang dan miskin menjadi masyarakat industri yang makmur. Dengan demikian, kaum Muslimin agaknya lebih mencurahkan perhatian untuk memperoleh semua teknologi daripada merumuskan apa yang secara pasti menjadi kebutuhan masyarakat Muslim. Serta membangun kapabilitas internal untuk menghasilkan inovasi-inovasi teknologis yang diinginkan.
Keyakinan sifat baik teknologi ini begitu mendalam dan berpengaruh. sehingga pengalaman tiga dekade dalam kegagalan program bantuan teknologi dan akibat-akibat proyek alih teknologi yang merusak pun, tidak mampu meruntuhkannya. Disampaikannya paper-paper yang dibacakan pada konferensi tahunan Perhimpunan Ilmuwan dan Insinyur Muslim Amerika utara, yang -tak tanggung-tanggung- bertema “Sains Terapan untuk Pembangunan Dunia Muslim,” tetap membuktikan bahwa keyakinan mengenai karakter baik dari semua teknologi ini masih berurat-akar secara mendalam. Percakapan sekali pintas dengan seorang teknolog di Malaysia, Bangladesh, Arab Saudi, atau Mesir, tak terelakkan akan mengarah pada kesimpulan begini: “Jika kita bisa memperoleh know-how teknis dari Barat, maka kita pasti mampu memecahkan semua masalah kita.
Sungguh, selama ini semua penyelidikan akademis mengenai “kemunduran teknologis” masyarakat-masyarakat Muslim selalu diakhiri dengan anjuran agar negeri-negeri Muslim mengambil manfaat penuh dari upaya alih teknologi. Contoh terbaik dari pandangan semacam ini diberikan oleh Waqar Ahmed Husaini yang pernah menawarkan pemikiran serius mengenai apa yang dinamakan “pola imitatif-inovatif modernisasi teknologis”.
Dalam bukunya yang berjudul Islamic Environmental System Engineering (MacMillan, London,1980), Husaini melakukan pengujian terhadap sifat rekayasa lingkungan yang terdapat dalam Islam, dan menunjukkan hubungannya dengan hukum, ekonomi, politik, dan kebudayaan Islam. Setelah melakukan penjelasan terinci mengenai yurisprudensi dan filsafat ilmu pengetahuan Islam, Husaini menyarankan sebuah tipe khusus rekayasa yang berdasarkan pada gagasan-gagasan syari’ah seperti istishlah (kepentingan umum), istihsan (kebaikan), dan khilafah (perwakilan) yang perlu dikembangkan dalam masyarakat Islam. Rekayasa lingkungan Islam dan teknologi yang berkaitan dengannya, kata Husaini, menuntut perhatian khusus pada digunakannya sumber-sumber daya alam secara patut, dipenuhinya hak-hak habitat alam dan margasatwa, dan dimajukannya kegiatan-kegiatan yang secara sosial dianjurkan, serta -yang terpenting- peremajaan kultural. Semua yang bisa disebut sebagai “rekayasa lingkungan Islam” adalah segala sesuatu yang bersifat unik dan jelas bagi masyarakat Islam, dan yang sekaligus bertentangan tajam dengan kegiatan-kegiatan teknologis modern yang konvensional.
Meskipun demikian, Husaini membuat kesimpulan yang bertentangan secara diametral. Pembahasannya yang ekstensif memperlihatkan bahwa,
terdapat universalitas dalam kebudayaan material atau teknologis, dan bahwa terdapat pula kebebasan yang secara relatif lebih besar dari sarana-sarana empiris dalam sistem-sistem sosio-kultural jika dibandingkan dengan orientasi-orientasi nilai yang unik bagi suatu ideologi atau suatu sistem nilai. Sistem-sistem sains kaum Muslimin pada zaman pertengahan, dan sistem-sistem sains Barat pada Zaman modern, termasuk
Komunis, tumbuh melalui proses peminjaman dan asimilasi yang selektif. Besarnya kemungkinan variasi dan peminjaman antar kultural tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslimin secara lebih sempurna dan lebih leluasa dapat dan harus meminjam serta mengadaptasi kultur material dan teknologis dari bangsa-bangsa non-Muslim yang telah maju pada Zaman sekarang ini.”

Kesimpulan Husaini yang naif dan keliru ini bisa memperkuat keyakinan para teknolog, insinyur, akademisi, para pengambil keputusan, dan intelektual-intelektual Muslim tentang “universalitas kebudayaan teknologis”. Kendati pun demikian, keuntungan yang diharapkan dari peminjaman dan penyerapan kebudayaan ini -peningkatan kehidupan material, kesehatan, dan kemakmuran; pertumbuhan produktivitas pertanian dan hasil-hasil industri; serta independensi dari dominasi asing hampir tidak dapat dilihat di dunia Muslim. Pada kenyataannya, justru kebalikannya yang lebih banyak terbukti. Teknologi yang dipinjam hampir selalu tidak cocok untuk masyarakat-masyarakat Muslim: dalam banyak kasus,bukan hanya perangkat keras, tetapi juga tenaga manusia yang terlatih dan suku cadangnya, ‘ternyata harus dibeli. Ini menyebabkan kaum Muslimin terpaksa menjadi pembeli yang tergantung total kepada pemasoknya. Sebagai contoh, untuk membangun pusat industri berat, Mesir terpaksa mengimpor pabrik (factory) yang secara relatif menggunakan teknologi canggih. Clement Henry Moore, yang menulis studi khusus tentang upaya industrialisasi yang dilakukan Mesir dengan mengimpor teknologi itu, mencatat,
Karena teknologi-teknologi ini tidak tumbuh dari upaya Mesir sebelumnya untuk mengindustrialisasikan dirinya, sebagian orang Mesir, meskipun kualifikasi teoretisnya sangat tinggi, belum bisa bekerja secara akrab dengan teknologi itu. Mesir kekurangan kaum intelektual sekaligus kekurangan infrastruktur teknologis yang mampu mengintegrasikan diri ke dalam perekonomiannya. Industri-industri etalase (showcase industries) seperti industri besi dan baja, atau perakitan mobil, cenderung menjadi industri kantong dalam sektor modern yang secara luas berpusat pada industri-industri konstruksi, tekstil, dan pengolahan makanan. Dengan mengimpor teknologi-teknologi baru ini negara mempertinggi status para teknisi (engineers) dan memberikan kesempatan luas kepada mereka untuk memperoleh pengalaman baru; tetapi keadaan ini juga menambah ketergantungan mereka pada orang-orang asing yang sok menjadi majikan (masterminded). Jelas, pengalaman dengan teknologi baru ini tidak membangkitkan gairah untuk melakukan penelitian terapan agar bisa diserap dan diintegrasikan pada kondisi lokal. Agaknya bentuk-bentuk ketergantungan yang baru kepada ahli-ahli asing ini justru semakin menjadi-jadi dan memperkecil kesempatan melakukan penelitian pribumi (indigenous research).

Alih teknologi tidak hanya menyebabkan negeri-negeri Muslim semakin tergantung pada negeri-negeri industri, tetapi juga menimbulkan pengaruh yang merusak terhadap kebudayaan dan lingkungan Muslim. Perhatikan misalnya pengaruh teknologi yang diterapkan di kota suci Mekkah dan Madinah, dan kawasan lain yang dipakai untuk ibadah haji. Pada dekade terakhir ini, lingkungan haji telah dirombak tanpa ampun, diputus dari akar-akar sejarahnya, oleh semacam teknologi brutal yang didasarkan pada perusakan dan kekerasan lingkungan, suatu kenyataan yang memperlihatkan kurangnya perhatian akan nilai-nilai kultural dan concern Spiritual. Alih teknologi yang sensitif pada lingkungan haji telah melahirkan situasi di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam kita menghadapi suatu destruksi fisik secara total salah satu bangunan yang paling dimuliakan, simbol dari nilai yang tak tergoyahkan
Di mana-mana, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan dam, pabrik-pabrik kimia (malapetaka Bhopal adalah contoh yang paling terkenal), proyek pertanian teknologi tinggi (rencana Gezira di Sudan barangkali adalah yang paling mengerikan), dan polusi industri (kawasan Teluk telah menjadi salah satu tangki limbah terbesar yang menerima kiriman dari sungai-sungai industri negara sekitarnya), terus berlangsung sambil melipatgandakan akibat yang ditimbulkannya.
Akan tetapi sangat disesalkan bahwa semua bukti ini di hadapan para teknolog dan intelektual Muslim hampir tak mempunyai bobot untuk diperhatikan. Argumen-argumen dan pengalaman-pengalaman yang bersifat melawan kebijaksanaan alih teknologi, dengan begitu saja dihanyutkan hanya dengan mengutip contoh keberhasilan Jepang. Implikasinya lalu menjadi: jika Jepang bisa berhasil, maka kita juga bisa!
Contoh adaptasi teknologi Barat yang dilakukan bangsa Jepang merupakan sebuah contoh yang paling terkenal. Selama kira-kira tiga generasi (1880-1960), Jepang tidak hanya telah menutupi celah yang berjarak lebih dari 100 tahun, tetapi juga telah menjadi seperti Barat dalam bidang-bidang tertentu. Tetapi observasi sederhana berikut ini akan membuka dua fakta penting. Pertama, sementara Jepang tumbuh menjadi sebuah masyarakat yang secara radikal berbeda dari masyarakat Barat, terdapat landasan-landasan yang sama sekali tak berbeda antara pandangan dunia Jepang dan pandangan dunia Barat: keduanya bersifat sekuler dan berorientasi “duniawi” (this worldly). Meskipun pandangan dunia semacam ini berisi elemen penghormatan akan adanya surga, alam, dan tradisi, pemikiran Confusian Jepang tetap menganggap bahwa manusia pada dasarnya merupakan produk dari lingkungan sekuler dan kulturalnya yang paling dekat. Tanpa semacam basis ontologis, pemikiran ini menggambarkan hakikat manusia sebagai makhluk yang pada esensinya baik, yang selalu berusaha mencapai tujuan kemasyarakatan tertinggi sebagaimana diwujudkan dalam konsep li, yaitu keselarasan yang diperoleh setiap orang melalui tugas-tugas yang dilaksanakannya sesuai dengan perannya dalam masyarakat.
Yang inheren dalam Confusianisme Jepang adalah doktrin mengenai adanya ketidaksamaan dan kelas: setiap anggota masyarakat berada di bawah otoritas seseorang yang mempunyai kekuasaan penuh terhadapnya. Doktrin ini lebih menekankan kewajiban daripada hak. Kebijaksanaan utamanya adalah ketundukan, pematangan. kesabaran, dan pengekangan. Seperti dikatakan oleh Frank C. Darling, “karakteristik pandangan dunia Jepang yang spesifik ini begitu berpengaruh sehingga memungkinkan Jepang menyerap teknologi Barat dan mengakomodasikan proses westernisasi tanpa trauma kemasyarakatan apa pun.
Yang kedua, setelah restorasi Meiji 1868, Jepang berusaha menyiapkan diri untuk menghadapi tugas pengadaptasian dan pengintegrasian teknologi Barat. Sebuah program yang begitu dahsyat untuk membangun infrastruktur pribumi, dilancarkan. Hal penting yang perlu dipahami di sini adalah bahwa Jepang kini telah menjadi suatu masyarakat yang berteknologi tinggi. Infrastruktur teknologisnya tak dibangun dari infrastruktur yang konvensional; ia telah begitu maju sehingga Jepang mampu menguasai proses pengasimilasian yang luar biasa dengan teknologi Barat. Pembangunan infrastruktur ini didasarkan pada suatu kebijaksanaan sains dan teknologi yang eksplisit, meliputi enam langkah sebagai berikut:
1.      Pemerintah melaksanakan landreform yang ekstensif untuk membebaskan sektor pertanian dari kekuatan-kekuatan feodalistik. Kepada petani, metode irigasi baru diperkenalkan; penggunaan pupuk ditingkatkan; dan dilakukan pembaruan penanaman padi.
2.      Pabrik-pabrik percontohan didirikan dengan dana bantuan pemerintah. Pabrik-pabrik ini dijalankan oleh pejabat-pejabat yang memamerkan kecanggihan teknologi Eropa yang diimpor secara selektif. Setelah 1880, pabrik-pabrik percontohan tersebut dijual kepada wiraswastawan-wiraswastawan individual.
3.      Pemerintah mensubsidi industri secara besar-besaran, dan dengan demikian menciptakan investasi industrial sebanding dengan investasi di bidang pertanian dan perdagangan.
4.      Kebijaksanaan ekspor lebih menguntungkan industri pribumi daripada industri asing. Setelah kebijaksanaan ini dihapus, sebagian besar industri Jepang yang baru muncul tidak mampu bertahan.
5.      Pemerintah mengembangkan jaringan industri perbankan untuk menyediakan pinjaman berbunga rendah bagi para investor di bidang industri.
6.      Perhatian besar dicurahkan pada sistem komunikasi; sumber daya intelektual dan finansial diprioritaskan untuk membangun jalan kereta api, telegraf, pos, dan persuratkabaran.
Sementara telah menyebabkan Jepang mampu menyerap dan mengintegrasikan teknologi  Barat, langkah-langkah tersebut tidak menyebabkan oriental power Jepang mampu menghindarkan dampak-dampak kultural dari perangkat keras teknologi impor. Jepang modern sama sekali berbeda dengan Jepang Meiji. Meskipun kebijaksanaan alih teknologi yang diterapkan begitu selektif dan ketat, khususnya pada tahap awalnya, tetapi teknologi yang diimpor telah mengubah Jepang dari Sebuah kebudayaan otentik yang independen –kendatipun sekuler- menjadi sebuah kebudayaan yang menampung perluasan kebudayaan Barat. Jepang modern adalah sebuah masyarakat kapitalis par excellence di mana norma-norma perilaku Barat menjadi mode dan kebudayaan tradisional Jepang tergusur ke arah eksistensinya yang eksotik.
Di samping Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, dan Singapura juga sering dikutip sebagai contoh sukses dari adaptasi teknologi Barat yang dipinjam dan dibeli. Di sini, sekali lagi, sebuah pandangan dunia sekuler yang dikombinasikan dengan infrastruktur kapitalis, telah sangat banyak membantu. Kendatipun demikian, kesuksesan bangsa-bangsa ini terbantah pada teknologi-teknologi tertentu seperti industri elektronik dan komputer, di mana keuntungan tenaga buruh yang begitu murah telah dimanfaatkan untuk membangun sebuah pabrik. Betapa pun, kesuksesan-kesuksesan ini akan melorot, begitu buruh microchip menjadi lebih murah ketimbang buruh wanita Taiwan. Lagi pula, biaya yang harus dibayar atas keberhasilan terbatas negeri-negeri ini, yang berupa destruksi kultural dan eksploitasi ganas atas para pekerja, sungguh merupakan biaya yang amat mahal.
Kesimpulan kuncinya adalah ini: pandangan dunia sekuler memiliki suatu mekanisme yang in-built untuk menyerap teknologi Barat; tetapi masyarakat-masyarakat yang sacred oriented –meminjam istilah Darling- cenderung memiliki mekanisme penolakan yang inheren. Bagaimanapun upaya orang untuk memaksakan teknologi Barat pada masyarakat-masyarakat ini, ia tak pernah peduli pada akar-akar masalah sosial. Inilah pelajaran dari tiga dekade “pembangunan”.
Tidak ada yang salah dengan teknologi konvensional Barat jika orang menerimanya sebagai produk dari pandangan dunia dan kebudayaan sekuler. Jika masyarakat tak punya penghargaan kepada kebudayaan sendiri, atau jika masyarakat ingin menerima sifat eksploitatif teknologi Barat, maka pada batas-batas tertentu ia tidak akan tunduk pada tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut. Meskipun demikian, setiap masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang bertentangan dengan tujuan inheren teknologi Barat, mungkin saja bisa dilalap olehnya.
Dengan demikian, tidak ada sesuatu pun yang netral, universal, atau bebas nilai dalam teknologi. Mereka yang masih setia pada gagasan ini sesungguhnya hidup di dunia lain. Teknologi modern adalah produk sejarah dan kebudayaan yang khas dari peradaban Barat, dan senantiasa membawa benih-benih asli kebudayaannya ke mana pun ia disebarkan. Walaupun teknologi Barat senantiasa menghadapi persuasi politik dan budaya dari masyarakat yang mengadaptasikannya karena kuatnya benih itu,secara tak tertawar ia selalu menghasilkan lembaga-lembaga dan praktek-praktek sosial yang sama. Tetapi proses ini tidak hanya berhenti di situ. Benih-benih ini berkecambah dan menghasilkan struktur-struktur ekonomi Barat beserta “imperatif-imperatif” pertumbuhan kapitalisme yang menyertainya dalam rangka memperluas cacat-cacat sejarah dan pergolakan-pergolakan kelas dari masyarakat Eropa yang melahirkannya, Ketika benih-benih itu telah tumbuh dengan sempurna dan matang, seperti dalam kasus Jepang, maka masyarakat yang mengadaptasikan teknologi itu berubah menjadi perpanjangan kebudayaan Eropa dan peradaban Barat. Teknologi Barat, oleh karena itu, bukan hanya merupakan instrumen dari dominasi dan ketergantungan fisik; ia juga merupakan alat imperialisme kebudayaan.
Sementara secara eksternal teknologi Barat telah menjadikan sebagian besar negara mempunyai kebudayaan yang tertaklukkan dan tergantung, secara internal ia menciptakan struktur-struktur eksploitatif yang sama: ia memberikan kepada elite yang berkuasa kekuasaan untuk memperlakukan massa sebagai budak-budak yang secara mutlak tergantung kepada tingkah-polah dan khayalan mereka. Hasil alih teknologi itu mengagregasikan kekuatan ekonomi dari politik di tangan segelintir orang, dan pada saat yang sama merampas hak asasi mereka untuk bekerja. Ini dilakukan dengan menerapkan manajemen yang ketat pada buruh kasar (deskill workers), memaksakan disiplin upah buruh, dan memeras semakin banyak nilai lebih dari para pekerja semacam itu yang jumlahnya semakin sedikit, dengan tingkat upah yang semakin rendah.
Lebih jauh, hal ini menyebabkan buruh yang tidak memiliki keterampilan teknologis tak lagi mempunyai alternatif untuk bisa bertahan karena industri-industri kerajinan dan industri-industri kecil lainnya telah dihancurkan dengan datangnya teknologi. Di kawasan pedesaan, para petani dipaksa untuk membuka jalan bagi masuknya mesin-mesin raksasa dan agribisnis. Untuk menjamin agar para petani tak bertanah, para buruh tak berketerampilan, dan para perajin yang kehilangan pekerjaan itu tetap dalam posisi mereka, teknologi Barat menerapkan serangkaian instrumen pengawasan politik yang sedemikian rapi untuk mempertahankan tempat berpijak kaum elite penguasa. Bukan merupakan kebetulan sejarah apabila proporsi terbesar dari produk-produk teknologi Barat dirancang untuk melaksanakan tujuan-tujuan penindasan: komputer, helikopter, alat-alat penginderaan malam (night-vision devices), gas-gas pengendalian kerusuhan, alat,-alat perampasan penginderaan (sensory-deprivation devices), alat-alat pengamatan elektronik (electronic surveillance apparatus), dan teknik-teknik pengendalian tingkah laku, hanyalah contoh kecil.
Sesungguhnya, teknologi konvensional begitu tertanam dalam nilai-nilai, sehingga seorang filosof Sri Lanka, Susantha Goonatilake, pernah menyamakan perilaku teknologi dengan perilaku sebuah gen sosial, sebuah gen yang bertugas sebagai “pembawa hubungan-hubungan sosial dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.” Lebih jauh dikemukakan bahwa,
Teknologi yang dialihkan dari suatu sistem sosial ke konteks sosial lainnya, senantiasa berperan sebagai gen sosial yang “mencoba” menciptakan kembali aspek-aspek dari sistem sosial yang melahirkannya pertama kali. Teknologi, oleh karena itu, merupakan transmitter hubungan-hubungan sosial di antara sistem-sistem sosial. Melalui proses pengadaptasian yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat baru, ia “mengambil” elemen-elemen dari lingkungan baru tersebut -perangkat keras dan ilmu pengetahuan serta para pelaksananya- dan menyusun kembali unsur-unsur tersebut sehingga ia tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi teknologisnya tetapi juga menciptakan kembali aspek-aspek dari sistem sosial yang melahirkannya pertama kali. Dengan demikian, seperti virus, ia masuk ke jaringan sel tubuh yang komponen materialnya dimanfaatkan untuk makanan dan sekaligus alat reproduksi.
Melalui proses penyerapan ini, masyarakat yang mengadaptasi teknologi Barat jelas tidak punya pilihan lain. Kendatipun tipe teknologi tertentu boleh jadi lebih cocok untuk masyarakat tertentu, namun semua teknologi yang tersedia di dalam supermarket teknologi jelas sudah dirancang sesuai dengan prioritas-prioritas Barat atau prioritas-prioritas kapitalis. Sebagai contoh, Sebuah pabrik yang dibangun di Kuala Lumpur atau Karachi atau Amman atau Teheran, meskipun seakan-akan menggunakan bahan-bahan lokal, dijalankan oleh populasi lokal, dan untuk tujuan-tujuan lokal, secara intrinsik sesungguhnya melaksanakan kepentingan-kepentingan Barat dan untuk tujuan-tujuan kapitalis. Ini karena diorganisasikan dan difungsikannya Sebuah pabrik menurut teknologi Barat, yang selalu dilakukan sesuai dengan pandangan dunia serta filsafat sosial dan kebudayaan kapitalis.
Sistem pabrik modern, dengan struktur organisasi dan manajemen yang dirumuskan oleh Charles Babbage, misalnya, mendasarkan perekayasaannya pada filsafat ekonomi sejawatnya, Adam Smith. Dengan demikian, konsep Adam Smith tentang pembagian kerja, gagasannya tentang buruh yang “hidupnya dihabiskan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang sederhana,” dan yang “pada umumnya menjadi begitu bodoh dan dungu, sebodoh dan sedungu yang mungkin dilakukan oleh makhluk manusia,” menjadi konsep dasar dari kerangka acuan Babbage. Seperti yang dikatakan oleh Susantha Goonatilake dalam merumuskan sistem pabrik itu, Babbage mentransformasikan pandangan-pandangan sosial ini ke dalam teknologi pabrik.
Karya Babage dikembangkan lebih jauh oleh F.W. Taylor dalam bukunya Principles of Scientyic Management.” Taylor mengajukan konsepsi kapitalis tentang buruh sesuai kesimpulan logisnya. Dalam bayangannya, buruh itu “begitu bodoh dan dingin tak peduli (phlegmatie) seperti seekor lembu,” dan oleh karenanya perlu dipimpin oleh “orang yang lebih pandai dari dia.”
Gagasan-gagasan semacam ini teknologi ini berkembang, matang, dan berkecambah di dalam kerangka ini. Sebagai contoh, pada akhir abad ke-18, terdapat dua jenis teknologi yang mampu menghasilkan tekstil bermutu tinggi di Inggris, Yang pertama, yaitu yang dikembangkan pada (1761)-an berbasis pada industri kerajinan (cottage industry) yang hanya mempekerjakan tenaga buruh untuk pemintalan benang. Yang kedua diperkenalkan pada 1770-an; berbasiskan pabrik, menggunakan tenaga uap dan mesin Watts serta kerangka Arkwright.
Kendati pun demikian, industri kerajinan yang berbasiskan mesin, meski tak kurang canggih dibandingkan dengan yang menggunakan tenaga uap, tidak dibolehkan melakukan pengawasan atas para buruh seperti yang dilakukan oleh yang menggunakan teknologi berbasis pabrik. Demikianlah, secara sistematis, mereka disingkirkan: para pengusaha dipersulit untuk memperoleh bahan baku dan modal, operasi-operasinya dibuat ilegal melalui hukum, dan dengan berbagai dalih, dinyatakan sebagai industri rumah tangga yang tidak sah. Dan teknologi berbasiskan pabrik pun muncul sebagai pemenang.
Semenjak revolusi industri di Eropa, kontrol atas buruh telah menjadi dasar dari berkembangnya teknologi Barat. Secara progresif, buruh direduksi pada status sebagai komponen tunggal dalam proses teknologis. Statusnya bukanlah sebagai makhluk-manusia tetapi sebagai komponen yang bisa diganti dan dibuang jika manajemen menghendaki demikian. Cara pengaturan semacam ini melambangkan begitu tingginya tingkat dehumanisasi atas para buruh: keterampilan-keterampilan yang kompleks telah dirinci menjadi satuan-satuan tugas yang lebih sederhana, yang bisa dipelajari secara cepat karena hanya memerlukan sedikit keterampilan atau sedikit pengetahuan. Begitu proses itu berjalan baik, buruh diganti dengan mesin. Untuk menjamin tingkat produktivitas yang diinginkan, pabrik harus melaksanakan disiplin yang ketat. Terdapat sebuah hierarki yang tegas: manajemen, dan mereka yang jadi sasaran.
Kemajuan teknologi Barat, oleh karena itu, tidak hanya menimbulkan fragmentasi dan pembagian kerja, reduksi atas tugas-tugas yang begitu kompleks menjadi bentuk-bentuk kerja yang lebih sederhana, serta rusaknya keterampilan dan keahlian tradisional tetapi juga menyebabkan hilangnya kebebasan dan otonomi massa-buruh pada disiplin tirani, dan membesarnya kekuasaan pabrik. Semua proses ini telah membawa selangkah lebih dekat pada kesimpulan logisnya, yaitu komputerisasi dan otomatisasi perkantoran. Komputerisasi perkantoran merupakan sebuah versi baru dari assembly line (cara pengaturan perusahaan) Henry Ford. Salah satu keuntungannya adalah bahwa cara ini bisa menghasilkan sentralisasi dan pengontrolan buruh yang lebih luas.
Demikianlah, ketika sebuah pabrik didirikan di sebuah negara yang sedang berkembang –tak jadi soal teknologi macam apa dan proses manufaktur yang bagaimana yang dipakai- mau tak mau ia harus menerapkan etika penindasan buruh, kontrol manajemen, dan maksimalisasi keuntungan. Singkatnya, tidak ada alasan bagi masyarakat-masyarakat di seluruh dunia untuk tidak mengabaikan atau menghindari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh nilai-nilai inheren teknologi Barat. Mungkin saja ada anggapan negeri-negeri Muslim dapat menghindari efek-efek teknologi Barat yang disruptif itu dengan membuat pilihan-pilihan yang tepat; yaitu dengan memilih teknologi yang lebih relevan dari yang tersedia di pasar teknologi. Tetapi sesungguhnya ini merupakan argumen yang salah karena pemilihan terhadap teknologi yang tersedia untuk sebuah negara sedang berkembang mengharuskan dilakukannya preferensi-preferensi dan pilihan-pilihan yang meniadakan alternatif. Hampir semua teknologi konvensional yang ada di pasar teknologi adalah teknologi-teknologi yang telah lama mengidap prasangka-prasangka sosial dan ekonomi masyarakat Barat. Meskipun dimungkinkan untuk menyeleksi dan memilih, ada suatu keyakinan mitis bahwa seleksi dan pilihan itu terbatas pada teknologi-teknologi padat modal saja, yang kesemuanya didesain untuk memajukan tujuan-tujuan kebudayaan dan peradaban Barat. Semua teknologi yang tersedia untuk negara sedang berkembang didesain untuk mendukung pemegang-pemegang kekuasaan.
Selama ini argumen tentang pemilihan dan seleksi teknologi khusus digunakan oleh para penganjur dan pendukung teknologi alternatif. Sebagai contoh, K.D. Sarma dan M.A. Qureshi mengatakan bahwa gagasan teknologi alternatif didasarkan pada “pemilihan dan seleksi atas teknologi atau teknologi-teknologi dari seperangkat teknologi yang tersedia untuk menghasilkan barang dan komoditi serta untuk memenuhi kebutuhan.”
Teknologi alternatif yang di seleksi dari sebuah spektrum teknologi-teknologi yang tersedia, haruslah memiliki karakteristik-karakteristik berikut: (1) Bisa saja ia merupakan “teknologi-teknologi primitif, rendah, atau tinggi, atau antara teknologi primitif dan teknologi tinggi”; (2) ia harus sesuai dengan sumber daya yang tersedia di negeri bersangkutan, dan harus disesuaikan dengan ”tujuan-tujuan ekonomi, sosial, kultural, dan politiknya”; dan (3) secara environmental harus “sehat”.
Sementara itu, Hamid Ayyub juga mendefinisikan teknologi alternatif sebagai “suatu pilihan teknologi yang cerdas, yaitu yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pemakainya dan selaras dengan lingkungan alamnya.”
Tetapi bagaimana pilihan untuk teknologi alternatif dibuat? Menurut Sharma dan Qureshi, pemilihan teknologi alternatif harus didasarkan pada dua kriteria: sosial, ekonomi, dan kultural; serta keamanan nasional dan prestise. Di bawah kriteria yang pertama, teknologi itu tampaknya harusdiutamakan untuk yang padat-karya, kecil, sederhana, serta yang menggunakan sumber daya dan tenaga-tenaga terampil lokal agar biaya untuk latihan keterampilan dan pengembangannya bisa diperkecil.
Meskipun demikian, ketika sampai pada kriteria yang kedua, yaitu pertahanan nasional dan prestise, Sharma dan Qureshi tidak melihat alternatif untuk bersaing dengan masyarakat industri dalam beberapa bidang teknologi yang besar dan kompleks di mana produksi massal sangat penting untuk memperoleh sasaran-sasaran politis dan keamanan strategis.” Demikian pula, Ayub tidak melihat alternatif selain dari teknologi Barat dalam bidang-bidang seperti pertahanan, aeronautika, petrokimia dan elektronika.
Demikian, “alternatif” itu ternyata terbatas hanya untuk pembangunan pedesaan; jenis-jenis industri kerajinan tertentu, dan bentuk-bentuk spesifik dari teknologi pedesaan. Kendati pun demikian, solusi berkaki satu dengan dampak rendah ini teknologi ringan dan teknologi lainnya yang berorientasi produksi, serta teknologi tinggi yang tak terkendalikan sesungguhnya tak lebih dari sebuah solusi; karena, terlepas dari kontradiksi filosofis yang tajam antara dua pendekatan itu, masalah-masalah mengenai nilai-nilai inheren dari teknologi impor dan apakah teknologi semacam itu bisa diharapkan bermanfaat bagi masyarakat Muslim, tetap tak terjawab. Lagi pula, pendekatan semacam ini juga tidak membebaskan masyarakat-masyarakat Muslim dari risiko yang berkaitan dengan manifestasi-manifestasi teknologi tinggi seperti pabrik-pabrik kimia, stasiun-stasiun tenaga nuklir, dan pusat-pusat riset bioteknologi -suatu problem yang kini mulai muncul sebagai bidang penyelidikan baru dengan kebenaran-kebenarannya sendiri.
Meskipun telah menimbulkan kekecewaan, eksperimen-eksperimen teknologi alternatif itu juga telah meningkatkan pemahaman kita mengenai kaitan antara teknologi dan masyarakat melalui dua cara. Pertama, telah banyak terbukti bahwa satu-satunya teknologi yang benar-benar cocok untuk suatu masyarakat adalah teknologi yang tumbuh dari masyarakat tersebut dan bisa berkembang tanpa bantuan luar. Pelajaran sentral dari gerakan teknologi alternatif pada dekade terakhir ini adalah bahwa teknologi alternatif harus menjadi Sebuah kreasi pribumi dari negeri-negeri sedang berkembang sendiri. Produk-produk dan keterampilan-keterampilan teknologi alternatif yang berkembang di tempat-tempat seperti London dan California dan kemudian dialihkan ke Kenya atau India, jarang berakar secara pribumi.
Kedua, teknologi alternatif tidak bisa dikembangkan dari kerangka filsafat dan intelektual peradaban Barat. Sebagai contoh, jika teknologi alternatif akan mereduksi produktivitas pada urutan determinan kedua, maka ilmu ekonomi Barat yang melihat konsumsi sebagai tujuan kegiatannya, harus diganti dengan suatu alternatif yang lebih enlightened, lebih jelas. Maka teknologi-teknologi alternatif tidak harus didasarkan pada teori-teori Adam Smith, Malthus, dan Keynes, melainkan pada wawasan-wawasan ekonomi yang lebih membebaskan. Schumacher telah mengembangkan teknologi alternatifnya di atas basis ilmu ekonomi Buddhis: perbedaan antara ilmu ekonomi Barat dan Buddhis adalah kalau yang pertama mencoba memaksimalkan kepuasan manusia melalui pola konsumsi yang optimal, maka yang kedua mencoba memaksimalkan konsumsi melalui pola usaha produktif yang optimal. Tetapi ilmu ekonomi saja tidak cukup. Sebuah epistemologi koheren yang menghasilkan suatu mode atau Cara berpikir alternatif yang jelas, tata hukum yang memiliki perhatian besar terhadap kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak lingkungan sebagaimana juga perhatian terhadap kaum miskin dan kaum tertindas, kebudayaan dinamis yang masih memperoleh kekuatannya dari nilai-nilai tradisional - singkatnya, sebuah pandangan dunia yang utuh- sangat dibutuhkan jika gaya dan mode teknologi alternatif sungguh-sungguh ingin dicari dan dikembangkan.
Sebagai perwujudan dari kebudayaan dan nilai-nilai. perangkat keras dari pengalaman sejarah yang terakumulasi. Instrumen pragmatis dari sebuah filsafat ekonomi dan manifestasi eksternal dari suatu pandangan dunia, teknologi merupakan tonggak bangunan peradaban yang amat penting. Tanpa teknologi yang jelas -yaitu suatu sistem untuk memecahkan tugas-tugas praktis yang melibatkan manusia dan organisasi-organisasi, benda-benda hidup dan mesin-mesin- sebuah peradaban tidak mungkin bisa bertahan hidup, berkembang dan lestari. Peradaban masa depan Muslim, oleh karenanya, haruslah mengembangkan teknologinya sendiri yang jelas atas dasar pandangan dunia Islam.
Tetapi apakah yang dimaksud mengembangkan gaya dan mode pemikiran alternatif yang merupakan perwujudan pandangan dunia Islam? Adakah suatu yang bisa dilakukan dalam waktu semalam seperti “pembangunan” Jeddah dari kota Islam yang tradisional menjadi sebuah kota modern yang berciri Barat? Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat-masyarakat Muslim untuk mengembangkan teknologi Islami?
Hal pertama yang perlu disadari di sini adalah bahwa tidak ada yang mampu menggoyahkan independensi teknologis, tidak ada cara yang mudah untuk membendung serangan gencar dari style dan mode teknologi yang dominan. Solusi-solusi seketika, hanya berarti menunda apa yang tak terelakkan. Yang kedua adalah kita harus memahami evolusi dan cara pemecahan masalah-masalah praktis ala Islam secara jelas dalam konteks yang lebih luas: ia tidak bisa dipisahkan dari (1) upaya untuk menemukan kembali sains Islam; (2) pengembangan ilmu ekonomi Islam yang viable secara teoretis dan praktis; dan (3) pengembangan metodologi-metodologi kontemporer untuk studi tentang masyarakat dan kebudayaan Muslim. Ketiga bidang ini secara intrinsik saling berkaitan.
Sampai batas tertentu, kerangka filosofis yang akan mendorong evolusi teknologi Islam sudah tercakup dalam nilai-nilai Islam dan imperatif-imperatif syari‘ah, yaitu nilai-nilai yang mampu menciptakan karakteristik masyarakat Muslim. Konsep seperti ‘adl (keadilan), istishlah (kepentingan umum), khilafah (perwakilan), dan iqtishad (moderasi); serta ketentuan-ketentuan syari‘ah misalnya bidang lingkungan seperti ihya’ (reklamasi tanah), harim (kawasan konservasi), dan hima (perbendaharaan negara), secara akurat bisa memetakan ruang lingkup kegiatan teknologis. Sebagai tambahan, ishraf (pemborosan) dan iktinaz (akumulasi kekayaan) bertindak sebagai “lonceng peringatan” yang memberitahukan bahwa batas-batas nilai positif telah dilanggar. Meskipun demikian, nilai-nilai, konsep-konsep, dan petunjuk-petunjuk syari‘ah yang akan diterapkan pada teknologi ini harus dipahami dalam pengertian kontemporer yang lebih luas. Lagi pula, nilai-nilai ini harus diberi bentuk konkret dan digabungkan dalam kegiatan teknologis.
Dalam salah satu bukunya, Arnold Pacey mengidentifikasi virtuosity (keahlian teknik), profit, prestise, dan pengawasan politik sebagai nilai-nilai dasar masyarakat Barat. Sebagian yang lain, kalau bukan pada hampir semua teknolog moral, telah dimotivasi oleh keahlian teknik untuk menghasilkan perangkat keras teknologis yang hanya bisa diterapkan untuk tujuan jahat. Inilah keahlian teknik yang memberikan Edward Teller “keinginan penuh gairah untuk mengeksplorasi sampai tuntas teknologi termonuklir yang telah dipelopori.” Dan ini pulalah nilai yang telah menyebabkan Oppenheimer mengatakan bahwa salah satu hasil penemuan yang digunakan dalam bom hidrogen”secara teknis begitu halus sehingga Anda tidak mungkin bisa mengelakkan penggunaannya,”
Pengejaran keuntunganlah yang telah menyebabkan dihasilkannya teknologi konsumen, sebuah teknologi yang secara environmental mendegradasi proses-proses manufaktur. Orientasi profit ini pula yang menyebabkan diproduksinya obat-obatan yang daya penyembuhnya lebih kecil dibandingkan efek-efek sampingannya. Pesawat-pesawat supersonik dan penelitian-penelitian ruang angkasa telah mempertinggi prestise. Mikroelektronik, otomatisasi teknik-teknik penganiayaan, serta senjata-senjata nuklir, kimia dan biologis, hanyalah sebagian dari usaha untuk menguasai dan mendominasi cara produksi serta untuk menguasai kelas dan masyarakat pinggiran. Produk-produk kegiatan teknologis yang menggantikan nilai-nilai keahlian teknik, profit, prestise, dan penguasaan politik, dengan nilai-nilai ‘adl, istislah, khilafah, dan iqtishad, secara radikal harus berbeda dari apa yang ada dewasa ini.
Perbedaan dalam basis nilai dan produk akhir ini menyebabkan prinsip pengarah bagi kegiatan teknologi di dunia Muslim harus bersifat domestik. Harus menjadi aksioma dari kebijaksanaan teknologi di negeri-negeri Muslim bahwa produk-produk dan bahan baku lokal, proses-proses dan teknik-teknik lokal, bakat-bakat dan sumberdaya lokal, akan mampu menyediakan jawaban terbaik bagi problem-problem lokal. Di sini “lokal” juga berarti lokal di dunia Muslim. Prinsip domestisitas juga menuntut dilakukannya kerjasama: anggota-anggota dari sebuah rumah tangga domestik perlu bergabung untuk melakukan tugas-tugas bersama dalam menjamin berfungsinya rumah tangga itu. Demikian halnya, masyarakat-masyarakat Muslim perlu menggabungkan sumberdaya-sumberdaya teknik dan bakat-bakat mereka untuk menemukan solusi-solusi yang viabel atas problem-problem yang sama atau hampir sama.
Jika yang diperlukan adalah ibunya penemuan (the mother of invention), maka self-suffiency (kecukupan diri, kemandirian), seperti kata Kirkpatrick Sale, tak pelak lagi adalah neneknya. Jika ditekankan benar, maka kepintaran lokal (local indigenuity) bisa menghasilkan semua jawaban teknologis yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Lagi pula, di dunia Muslim cukup banyak terdapat keragaman teknologis yang bisa mengatasi setiap problem teknis, hanya saja ia harus dimobilisasi dan diberi tanggung jawabnya sendiri. Akhirnya, sebagai akibat logis, prinsip domestisitas ini akan menyebabkan bahwa gagasan alih teknologi, termasuk alih teknologi alternatif dan kepercayaan pada bantuan asing, harus ditempatkan pada tempatnya yang semestinya: di tempat sampah!
Prinsip domestisitas dan isolasionisme teknologis regional yang menyertainya adalah prasyarat pokok bagi tumbuhnya evolusi teknologi Muslim. Kendati pun demikian, terdapat langkah-langkah lain yang harus diambil untuk memperkuat landasan bagi independensi teknologi di dunia Muslim. Teknologi-teknologi tradisional, meliputi teknologi kerajinan tangan dan kesehatan, harus ditingkatkan dan diberi pengakuan selayaknya di masyarakat. Banyak sekali keterampilan tradisional, mulai dari pembuatan pakaian dan pecah belah sampai pada perabot rumah tangga dan perkakas-perkakas lainnya, telah sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat di dunia Muslim sebelum dirusak oleh teknologi baru yang ditransfer dari luar. Demikian pula kemampuan ilmu kedokteran tradisional untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan hygine di kawasan pedesaan telah terbukti, hanya saja masih perlu di up-grade dan diberi keleluasan untuk mengembangkan diri.
Teknik-teknik konvensional Barat umumnya dirancang untuk menjalankan satu fungsi saja dan hanya diterapkan untuk satu tujuan saja. Teknolog-teknolog Muslim, oleh karenanya, harus mengembangkan alternatif-alternatif multi-purpose sarana-sarana dan proses-proses yang mampu menjalankan banyak fungsi. Sedikit sekali peralatan-peralatan seperti itu yang akan bisa eksis pada saat sekarang ini; tetapi karena tidak ada pasar, peralatan-peralatan itu tak bakal tersedia secara lengkap. Usulan pertama yang patut dikemukakan di sini adalah pabrik multi-purpose, sebuah pabrik yang bisa menghasilkan bermacam-macam produk yang berkaitan: pabrik-pabrik elektronik yang bisa dialihkan untuk memproduksi sepeda, pabrik-pabrik meubel yang juga bisa memproduksi perabot-perabot rumah tangga. Konsep ‘adl dan istishlah mengharuskan semua ini dilakukan pada level komunitas sehingga komunitas itu bisa memahami teknologi yang digunakan, berpartisipasi dalam kegiatan teknologis, dan mengawasi proses-proses yang terjadi di dalamnya.
Tapi ini tentu saja masih merupakan batas minimum, dan untuk mencapainya pun tidak terlalu mudah. Kendati pun demikian, sekali prinsip domestisitas diterima dan diterapkan menurut caranya sendiri, maka ia akan menghasilkan momentumnya sendiri, serta akan menyebabkan terbukanya kawasan-kawasan baru, proses-proses dan perangkat keras yang tak bisa kita bayangkan pada tahap ini. Satu hal penting yang harus .disadari oleh kaum intelektual dan para pengambil keputusan Muslim adalah bahwa teknologi konvensional mendasarkan dirinya pada nilai-nilai Barat, dan bahwa pencangkokannya di dunia Muslim dalam bentuk apa pun justru akan meningkatkan ketergantungan teknologis masyarakat Muslim, dan akan membelenggu mereka dalam dominion peradaban Barat. Teknologi Barat jelas tidak akan bisa memecahkan problem masyarakat tradisional, dan hanya akan mengguncangkan nilai-nilai non-Barat.
Hanya keyakinan akan kecerdasan lokal dan kecukupan teknis dari dunia Muslim, yang mampu menghasilkan kemandirian dan independensi teknologis yang sebenarnya. Mereka yang tidak respek pada diri dan kebudayaan sendiri, yang tidak bisa memelihara integritas domestik rumah tangga mereka dan tidak mau membangun peralatan teknologis bagi peradaban mereka haruslah bersiap-siap untuk berada di batas ambang keberadaan marginal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar