TEKNOLOGI DAN KEMANDIRIAN DOMESTIK:
SEBUAH ALTERNATIF ISLAM
Oleh Ziauddin Sardar
Ziauddin
Sardar adalah jurnalis dan sarjana yang lahir di wilayah utara Pakistan dan
dibesarkan di lnggris. Setelah menamatkan studinya dalam bidang ilmu fisika dan
komunikasi di London’s City University, ia bekerja sebagai Konsultan Penerangan
Universitas King Abdulazi, Jeddah. Selain itu ia juga menyambi sebagai
koresponden dunia Islam untuk majalah Nature,
konsultan masalah-masalah Timur Tengah untuk New Scientist, dan reporter London Weekend Television untuk serial
“Eastern Eye”. Ia juga menyusun serial khusus untuk BBC, “Encounters with
Islam”, yang ternyata mendapat sambutan meriah dari publik. Karya- karyanya
berupa artikel-artikel ilmiah banyak menghiasi jurnal al-Muslim al-Massthir, The
Times, The Washington Post, Geographical Magazine, Islamic Culture, dan
masih banyak lagi. Di antara buku-bukunya yang terkenal antara lain adalah Technology and Development in the Muslim
World dan The Touch of Midas.
Teknologi
konvensional yang berasal dari Barat mengandung seperangkat nilai eksploitatif
dan menimbulkan ketergantungan dan perbudakan di negeri-negeri Muslim
pemakainya. Dalam tulisan yang diterjemahkan oleh AE Priyono dari Afkar Inquiry edisi November 1986 ini,
penulis mengutarakan pentingnya ditemukan teknologi alternatif lewat kerja sama
antara sumber daya dan intelektual lokal dari dunia Muslim untuk menjawab
problem-problem yang dihadapi masyarakat Muslim secara kontekstual.
Di
antara semua wilayah kegiatan intelektual, teknologilah yang paling belakangan
menerima perhatian dari para pemikir Muslim. Pengabaian ini tampak paradoks
jika dibandingkan dengan besarnya kebutuhan teknologis masyarakat Muslim, besarnya
tenaga kerja intelektual yang harus dicurahkan ke dalam bidang-bidang yang
relevan seperti ilmu ekonomi Islam, serta dahsyatnya upaya-upaya masif untuk
transfer teknologi yang telah berlangsung selama beberapa dekade terakhir ini.
Kendati
pun begitu, paradoks ini hanya merupakan salah satu di antara paradoks-paradoks
lain yang kelihatan. Kurangnya pemikiran Muslim mengenai sifat dan peranan
teknologi dalam masyarakat berasal dari keyakinan kuat bahwa semua teknologi
adalah baik, dan bahwa ia bisa diperoleh dari masyarakat-masyarakat industri
melalui berbagai Cara: dibeli, diterima sebagai bantuan, atau -jika perlu-
dicuri! Terdapat pula keyakinan komplementer bahwa teknologi per-se akan mampu mengubah keadaan kaum
Muslimin, dari masyarakat terbelakang dan miskin menjadi masyarakat industri
yang makmur. Dengan demikian, kaum Muslimin agaknya lebih mencurahkan perhatian
untuk memperoleh semua teknologi daripada merumuskan apa yang secara pasti
menjadi kebutuhan masyarakat Muslim. Serta membangun kapabilitas internal untuk
menghasilkan inovasi-inovasi teknologis yang diinginkan.
Keyakinan
sifat baik teknologi ini begitu mendalam dan berpengaruh. sehingga pengalaman
tiga dekade dalam kegagalan program bantuan teknologi dan akibat-akibat proyek
alih teknologi yang merusak pun, tidak mampu meruntuhkannya. Disampaikannya
paper-paper yang dibacakan pada konferensi tahunan Perhimpunan Ilmuwan dan
Insinyur Muslim Amerika utara, yang -tak tanggung-tanggung- bertema “Sains Terapan
untuk Pembangunan Dunia Muslim,” tetap membuktikan bahwa keyakinan mengenai karakter
baik dari semua teknologi ini masih berurat-akar secara mendalam. Percakapan
sekali pintas dengan seorang teknolog di Malaysia, Bangladesh, Arab Saudi, atau
Mesir, tak terelakkan akan mengarah pada kesimpulan begini: “Jika kita bisa
memperoleh know-how teknis dari
Barat, maka kita pasti mampu memecahkan semua masalah kita.
Sungguh,
selama ini semua penyelidikan akademis mengenai “kemunduran teknologis”
masyarakat-masyarakat Muslim selalu diakhiri dengan anjuran agar negeri-negeri
Muslim mengambil manfaat penuh dari upaya alih teknologi. Contoh terbaik dari
pandangan semacam ini diberikan oleh Waqar Ahmed Husaini yang pernah menawarkan
pemikiran serius mengenai apa yang dinamakan “pola imitatif-inovatif
modernisasi teknologis”.
Dalam
bukunya yang berjudul Islamic
Environmental System Engineering (MacMillan, London,1980), Husaini melakukan
pengujian terhadap sifat rekayasa lingkungan yang terdapat dalam Islam, dan
menunjukkan hubungannya dengan hukum, ekonomi, politik, dan kebudayaan Islam.
Setelah melakukan penjelasan terinci mengenai yurisprudensi dan filsafat ilmu
pengetahuan Islam, Husaini menyarankan sebuah tipe khusus rekayasa yang
berdasarkan pada gagasan-gagasan syari’ah seperti istishlah (kepentingan umum), istihsan
(kebaikan), dan khilafah (perwakilan)
yang perlu dikembangkan dalam masyarakat Islam. Rekayasa lingkungan Islam dan
teknologi yang berkaitan dengannya, kata Husaini, menuntut perhatian khusus
pada digunakannya sumber-sumber daya alam secara patut, dipenuhinya hak-hak
habitat alam dan margasatwa, dan dimajukannya kegiatan-kegiatan yang secara
sosial dianjurkan, serta -yang terpenting- peremajaan kultural. Semua yang bisa
disebut sebagai “rekayasa lingkungan Islam” adalah segala sesuatu yang bersifat
unik dan jelas bagi masyarakat Islam, dan yang sekaligus bertentangan tajam
dengan kegiatan-kegiatan teknologis modern yang konvensional.
Meskipun
demikian, Husaini membuat kesimpulan yang bertentangan secara diametral.
Pembahasannya yang ekstensif memperlihatkan bahwa,
terdapat universalitas
dalam kebudayaan material atau teknologis, dan bahwa terdapat pula kebebasan
yang secara relatif lebih besar dari sarana-sarana empiris dalam sistem-sistem sosio-kultural jika dibandingkan dengan
orientasi-orientasi nilai yang unik bagi suatu ideologi atau suatu sistem nilai.
Sistem-sistem sains kaum Muslimin pada zaman pertengahan, dan sistem-sistem
sains Barat pada Zaman modern, termasuk
Komunis, tumbuh melalui
proses peminjaman dan asimilasi yang selektif. Besarnya kemungkinan variasi dan
peminjaman antar kultural tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslimin secara lebih
sempurna dan lebih leluasa dapat dan harus meminjam serta mengadaptasi kultur material
dan teknologis dari bangsa-bangsa non-Muslim yang telah maju pada Zaman sekarang
ini.”
Kesimpulan
Husaini yang naif dan keliru ini bisa memperkuat keyakinan para teknolog,
insinyur, akademisi, para pengambil keputusan, dan intelektual-intelektual
Muslim tentang “universalitas kebudayaan teknologis”. Kendati pun demikian,
keuntungan yang diharapkan dari peminjaman dan penyerapan kebudayaan ini
-peningkatan kehidupan material, kesehatan, dan kemakmuran; pertumbuhan
produktivitas pertanian dan hasil-hasil industri; serta independensi dari dominasi
asing hampir tidak dapat dilihat di dunia Muslim. Pada kenyataannya, justru
kebalikannya yang lebih banyak terbukti. Teknologi yang dipinjam hampir selalu
tidak cocok untuk masyarakat-masyarakat Muslim: dalam banyak kasus,bukan hanya
perangkat keras, tetapi juga tenaga manusia yang terlatih dan suku cadangnya,
‘ternyata harus dibeli. Ini menyebabkan kaum Muslimin terpaksa menjadi pembeli
yang tergantung total kepada pemasoknya. Sebagai contoh, untuk membangun pusat
industri berat, Mesir terpaksa mengimpor pabrik (factory) yang secara relatif menggunakan teknologi canggih.
Clement Henry Moore, yang menulis studi khusus tentang upaya industrialisasi
yang dilakukan Mesir dengan mengimpor teknologi itu, mencatat,
Karena
teknologi-teknologi ini tidak tumbuh dari upaya Mesir sebelumnya untuk
mengindustrialisasikan dirinya, sebagian orang Mesir, meskipun kualifikasi
teoretisnya sangat tinggi, belum bisa bekerja secara akrab dengan teknologi
itu. Mesir kekurangan kaum intelektual sekaligus kekurangan infrastruktur
teknologis yang mampu mengintegrasikan diri ke dalam perekonomiannya.
Industri-industri etalase (showcase
industries) seperti industri besi dan baja, atau perakitan mobil, cenderung
menjadi industri kantong dalam sektor modern yang secara luas berpusat pada
industri-industri konstruksi, tekstil, dan pengolahan makanan. Dengan mengimpor
teknologi-teknologi baru ini negara mempertinggi status para teknisi (engineers) dan memberikan kesempatan luas
kepada mereka untuk memperoleh pengalaman baru; tetapi keadaan ini juga
menambah ketergantungan mereka pada orang-orang asing yang sok menjadi majikan (masterminded). Jelas, pengalaman dengan
teknologi baru ini tidak membangkitkan gairah untuk melakukan penelitian terapan
agar bisa diserap dan diintegrasikan pada kondisi lokal. Agaknya bentuk-bentuk
ketergantungan yang baru kepada ahli-ahli asing ini justru semakin menjadi-jadi
dan memperkecil kesempatan melakukan penelitian pribumi (indigenous research).
Alih
teknologi tidak hanya menyebabkan negeri-negeri Muslim semakin tergantung pada
negeri-negeri industri, tetapi juga menimbulkan pengaruh yang merusak terhadap
kebudayaan dan lingkungan Muslim. Perhatikan misalnya pengaruh teknologi yang
diterapkan di kota suci Mekkah dan Madinah, dan kawasan lain yang dipakai untuk
ibadah haji. Pada dekade terakhir ini, lingkungan haji telah dirombak tanpa
ampun, diputus dari akar-akar sejarahnya, oleh semacam teknologi brutal yang
didasarkan pada perusakan dan kekerasan lingkungan, suatu kenyataan yang
memperlihatkan kurangnya perhatian akan nilai-nilai kultural dan concern Spiritual. Alih teknologi yang
sensitif pada lingkungan haji telah melahirkan situasi di mana untuk pertama
kalinya dalam sejarah Islam kita menghadapi suatu destruksi fisik secara total
salah satu bangunan yang paling dimuliakan, simbol dari nilai yang tak
tergoyahkan
Di
mana-mana, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan dam,
pabrik-pabrik kimia (malapetaka Bhopal adalah contoh yang paling terkenal),
proyek pertanian teknologi tinggi (rencana Gezira di Sudan barangkali adalah
yang paling mengerikan), dan polusi industri (kawasan Teluk telah menjadi salah
satu tangki limbah terbesar yang menerima kiriman dari sungai-sungai industri
negara sekitarnya), terus berlangsung sambil melipatgandakan akibat yang
ditimbulkannya.
Akan
tetapi sangat disesalkan bahwa semua bukti ini di hadapan para teknolog dan
intelektual Muslim hampir tak mempunyai bobot untuk diperhatikan.
Argumen-argumen dan pengalaman-pengalaman yang bersifat melawan kebijaksanaan
alih teknologi, dengan begitu saja dihanyutkan hanya dengan mengutip contoh
keberhasilan Jepang. Implikasinya lalu menjadi: jika Jepang bisa berhasil, maka
kita juga bisa!
Contoh
adaptasi teknologi Barat yang dilakukan bangsa Jepang merupakan sebuah contoh
yang paling terkenal. Selama kira-kira tiga generasi (1880-1960), Jepang tidak
hanya telah menutupi celah yang berjarak lebih dari 100 tahun, tetapi juga
telah menjadi seperti Barat dalam bidang-bidang tertentu. Tetapi observasi
sederhana berikut ini akan membuka dua fakta penting. Pertama, sementara Jepang
tumbuh menjadi sebuah masyarakat yang secara radikal berbeda dari masyarakat
Barat, terdapat landasan-landasan yang sama sekali tak berbeda antara pandangan
dunia Jepang dan pandangan dunia Barat: keduanya bersifat sekuler dan
berorientasi “duniawi” (this worldly).
Meskipun pandangan dunia semacam ini berisi elemen penghormatan akan adanya
surga, alam, dan tradisi, pemikiran Confusian Jepang tetap menganggap bahwa manusia
pada dasarnya merupakan produk dari lingkungan sekuler dan kulturalnya yang
paling dekat. Tanpa semacam basis ontologis, pemikiran ini menggambarkan hakikat
manusia sebagai makhluk yang pada esensinya baik, yang selalu berusaha mencapai
tujuan kemasyarakatan tertinggi sebagaimana diwujudkan dalam konsep li, yaitu keselarasan yang diperoleh setiap
orang melalui tugas-tugas yang dilaksanakannya sesuai dengan perannya dalam masyarakat.
Yang
inheren dalam Confusianisme Jepang adalah doktrin mengenai adanya ketidaksamaan
dan kelas: setiap anggota masyarakat berada di bawah otoritas seseorang yang
mempunyai kekuasaan penuh terhadapnya. Doktrin ini lebih menekankan kewajiban
daripada hak. Kebijaksanaan utamanya adalah ketundukan, pematangan. kesabaran,
dan pengekangan. Seperti dikatakan oleh Frank C. Darling, “karakteristik pandangan
dunia Jepang yang spesifik ini begitu berpengaruh sehingga memungkinkan Jepang menyerap
teknologi Barat dan mengakomodasikan proses westernisasi tanpa trauma
kemasyarakatan apa pun.
Yang kedua, setelah
restorasi Meiji 1868, Jepang berusaha menyiapkan diri untuk menghadapi tugas
pengadaptasian dan pengintegrasian teknologi Barat. Sebuah program yang begitu
dahsyat untuk membangun infrastruktur pribumi, dilancarkan. Hal penting yang
perlu dipahami di sini adalah bahwa Jepang kini telah menjadi suatu masyarakat
yang berteknologi tinggi. Infrastruktur teknologisnya tak dibangun dari
infrastruktur yang konvensional; ia telah begitu maju sehingga Jepang mampu
menguasai proses pengasimilasian yang luar biasa dengan teknologi Barat.
Pembangunan infrastruktur ini didasarkan pada suatu kebijaksanaan sains dan
teknologi yang eksplisit, meliputi enam langkah sebagai berikut:
1.
Pemerintah melaksanakan landreform yang ekstensif untuk membebaskan sektor
pertanian dari kekuatan-kekuatan feodalistik. Kepada petani, metode irigasi
baru diperkenalkan; penggunaan pupuk ditingkatkan; dan dilakukan pembaruan
penanaman padi.
2.
Pabrik-pabrik percontohan didirikan dengan dana bantuan
pemerintah. Pabrik-pabrik ini dijalankan oleh pejabat-pejabat yang memamerkan
kecanggihan teknologi Eropa yang diimpor secara selektif. Setelah 1880,
pabrik-pabrik percontohan tersebut dijual kepada wiraswastawan-wiraswastawan
individual.
3.
Pemerintah mensubsidi industri secara besar-besaran, dan
dengan demikian menciptakan investasi industrial sebanding dengan investasi di
bidang pertanian dan perdagangan.
4.
Kebijaksanaan ekspor lebih menguntungkan industri pribumi
daripada industri asing. Setelah kebijaksanaan ini dihapus, sebagian besar
industri Jepang yang baru muncul tidak mampu bertahan.
5.
Pemerintah mengembangkan jaringan industri perbankan untuk
menyediakan pinjaman berbunga rendah bagi para investor di bidang industri.
6.
Perhatian besar dicurahkan pada sistem komunikasi; sumber daya
intelektual dan finansial diprioritaskan untuk membangun jalan kereta api,
telegraf, pos, dan persuratkabaran.
Sementara telah
menyebabkan Jepang mampu menyerap dan mengintegrasikan teknologi Barat, langkah-langkah tersebut tidak
menyebabkan oriental power Jepang mampu menghindarkan dampak-dampak kultural
dari perangkat keras teknologi impor. Jepang modern sama sekali berbeda dengan
Jepang Meiji. Meskipun kebijaksanaan alih teknologi yang diterapkan begitu
selektif dan ketat, khususnya pada tahap awalnya, tetapi teknologi yang diimpor
telah mengubah Jepang dari Sebuah kebudayaan otentik yang independen
–kendatipun sekuler- menjadi sebuah kebudayaan yang menampung perluasan
kebudayaan Barat. Jepang modern adalah sebuah masyarakat kapitalis par excellence di mana norma-norma
perilaku Barat menjadi mode dan kebudayaan tradisional Jepang tergusur ke arah
eksistensinya yang eksotik.
Di samping Jepang,
Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, dan Singapura juga sering dikutip sebagai
contoh sukses dari adaptasi teknologi Barat yang dipinjam dan dibeli. Di sini,
sekali lagi, sebuah pandangan dunia sekuler yang dikombinasikan dengan
infrastruktur kapitalis, telah sangat banyak membantu. Kendatipun demikian,
kesuksesan bangsa-bangsa ini terbantah pada teknologi-teknologi tertentu
seperti industri elektronik dan komputer, di mana keuntungan tenaga buruh yang
begitu murah telah dimanfaatkan untuk membangun sebuah pabrik. Betapa pun,
kesuksesan-kesuksesan ini akan melorot, begitu buruh microchip menjadi lebih
murah ketimbang buruh wanita Taiwan. Lagi pula, biaya yang harus dibayar atas
keberhasilan terbatas negeri-negeri ini, yang berupa destruksi kultural dan
eksploitasi ganas atas para pekerja, sungguh merupakan biaya yang amat mahal.
Kesimpulan kuncinya
adalah ini: pandangan dunia sekuler memiliki suatu mekanisme yang in-built untuk menyerap teknologi Barat;
tetapi masyarakat-masyarakat yang sacred
oriented –meminjam istilah Darling- cenderung memiliki mekanisme penolakan
yang inheren. Bagaimanapun upaya orang untuk memaksakan teknologi Barat pada
masyarakat-masyarakat ini, ia tak pernah peduli pada akar-akar masalah sosial.
Inilah pelajaran dari tiga dekade “pembangunan”.
Tidak ada yang salah
dengan teknologi konvensional Barat jika orang menerimanya sebagai produk dari
pandangan dunia dan kebudayaan sekuler. Jika masyarakat tak punya penghargaan
kepada kebudayaan sendiri, atau jika masyarakat ingin menerima sifat
eksploitatif teknologi Barat, maka pada batas-batas tertentu ia tidak akan
tunduk pada tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut. Meskipun demikian, setiap
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang bertentangan dengan tujuan
inheren teknologi Barat, mungkin saja bisa dilalap olehnya.
Dengan demikian, tidak
ada sesuatu pun yang netral, universal, atau bebas nilai dalam teknologi.
Mereka yang masih setia pada gagasan ini sesungguhnya hidup di dunia lain.
Teknologi modern adalah produk sejarah dan kebudayaan yang khas dari peradaban
Barat, dan senantiasa membawa benih-benih asli kebudayaannya ke mana pun ia
disebarkan. Walaupun teknologi Barat senantiasa menghadapi persuasi politik dan
budaya dari masyarakat yang mengadaptasikannya karena kuatnya benih itu,secara
tak tertawar ia selalu menghasilkan lembaga-lembaga dan praktek-praktek sosial
yang sama. Tetapi proses ini tidak hanya berhenti di situ. Benih-benih ini
berkecambah dan menghasilkan struktur-struktur ekonomi Barat beserta
“imperatif-imperatif” pertumbuhan kapitalisme yang menyertainya dalam rangka
memperluas cacat-cacat sejarah dan pergolakan-pergolakan kelas dari masyarakat
Eropa yang melahirkannya, Ketika benih-benih itu telah tumbuh dengan sempurna dan
matang, seperti dalam kasus Jepang, maka masyarakat yang mengadaptasikan
teknologi itu berubah menjadi perpanjangan kebudayaan Eropa dan peradaban
Barat. Teknologi Barat, oleh karena itu, bukan hanya merupakan instrumen dari
dominasi dan ketergantungan fisik; ia juga merupakan alat imperialisme kebudayaan.
Sementara secara
eksternal teknologi Barat telah menjadikan sebagian besar negara mempunyai kebudayaan
yang tertaklukkan dan tergantung, secara internal ia menciptakan
struktur-struktur eksploitatif yang sama: ia memberikan kepada elite yang
berkuasa kekuasaan untuk memperlakukan massa sebagai budak-budak yang secara
mutlak tergantung kepada tingkah-polah dan khayalan mereka. Hasil alih
teknologi itu mengagregasikan kekuatan ekonomi dari politik di tangan segelintir
orang, dan pada saat yang sama merampas hak asasi mereka untuk bekerja. Ini
dilakukan dengan menerapkan manajemen yang ketat pada buruh kasar (deskill workers), memaksakan disiplin upah
buruh, dan memeras semakin banyak nilai lebih dari para pekerja semacam itu
yang jumlahnya semakin sedikit, dengan tingkat upah yang semakin rendah.
Lebih jauh, hal ini
menyebabkan buruh yang tidak memiliki keterampilan teknologis tak lagi mempunyai
alternatif untuk bisa bertahan karena industri-industri kerajinan dan
industri-industri kecil lainnya telah dihancurkan dengan datangnya teknologi.
Di kawasan pedesaan, para petani dipaksa untuk membuka jalan bagi masuknya
mesin-mesin raksasa dan agribisnis. Untuk menjamin agar para petani tak
bertanah, para buruh tak berketerampilan, dan para perajin yang kehilangan pekerjaan
itu tetap dalam posisi mereka, teknologi Barat menerapkan serangkaian instrumen
pengawasan politik yang sedemikian rapi untuk mempertahankan tempat berpijak
kaum elite penguasa. Bukan merupakan kebetulan sejarah apabila proporsi
terbesar dari produk-produk teknologi Barat dirancang untuk melaksanakan tujuan-tujuan
penindasan: komputer, helikopter, alat-alat penginderaan malam (night-vision devices), gas-gas
pengendalian kerusuhan, alat,-alat perampasan penginderaan (sensory-deprivation devices), alat-alat pengamatan elektronik (electronic surveillance apparatus), dan
teknik-teknik pengendalian tingkah laku, hanyalah contoh kecil.
Sesungguhnya, teknologi
konvensional begitu tertanam dalam nilai-nilai, sehingga seorang filosof Sri
Lanka, Susantha Goonatilake, pernah menyamakan perilaku teknologi dengan
perilaku sebuah gen sosial, sebuah gen yang bertugas sebagai “pembawa hubungan-hubungan
sosial dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.” Lebih jauh dikemukakan bahwa,
Teknologi yang dialihkan dari suatu sistem
sosial ke konteks sosial lainnya, senantiasa berperan sebagai gen sosial yang “mencoba”
menciptakan kembali aspek-aspek dari sistem sosial yang melahirkannya pertama
kali. Teknologi, oleh karena itu, merupakan transmitter
hubungan-hubungan sosial di antara sistem-sistem sosial. Melalui proses
pengadaptasian yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat baru, ia “mengambil”
elemen-elemen dari lingkungan baru tersebut -perangkat keras dan ilmu pengetahuan
serta para pelaksananya- dan menyusun kembali unsur-unsur tersebut sehingga ia
tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi teknologisnya tetapi juga menciptakan
kembali aspek-aspek dari sistem sosial yang melahirkannya pertama kali. Dengan
demikian, seperti virus, ia masuk ke jaringan sel tubuh yang komponen
materialnya dimanfaatkan untuk makanan dan sekaligus alat reproduksi.
Melalui proses
penyerapan ini, masyarakat yang mengadaptasi teknologi Barat jelas tidak punya pilihan
lain. Kendatipun tipe teknologi tertentu boleh jadi lebih cocok untuk
masyarakat tertentu, namun semua teknologi yang tersedia di dalam supermarket
teknologi jelas sudah dirancang sesuai dengan prioritas-prioritas Barat atau
prioritas-prioritas kapitalis. Sebagai contoh, Sebuah pabrik yang dibangun di
Kuala Lumpur atau Karachi atau Amman atau Teheran, meskipun seakan-akan menggunakan
bahan-bahan lokal, dijalankan oleh populasi lokal, dan untuk tujuan-tujuan
lokal, secara intrinsik sesungguhnya melaksanakan kepentingan-kepentingan Barat
dan untuk tujuan-tujuan kapitalis. Ini karena diorganisasikan dan
difungsikannya Sebuah pabrik menurut teknologi Barat, yang selalu dilakukan
sesuai dengan pandangan dunia serta filsafat sosial dan kebudayaan kapitalis.
Sistem pabrik modern,
dengan struktur organisasi dan manajemen yang dirumuskan oleh Charles Babbage,
misalnya, mendasarkan perekayasaannya pada filsafat ekonomi sejawatnya, Adam Smith.
Dengan demikian, konsep Adam Smith tentang pembagian kerja, gagasannya tentang
buruh yang “hidupnya dihabiskan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang
sederhana,” dan yang “pada umumnya menjadi begitu bodoh dan dungu, sebodoh dan
sedungu yang mungkin dilakukan oleh makhluk manusia,” menjadi konsep dasar dari
kerangka acuan Babbage. Seperti yang dikatakan oleh Susantha Goonatilake dalam
merumuskan sistem pabrik itu, Babbage mentransformasikan pandangan-pandangan
sosial ini ke dalam teknologi pabrik.
Karya Babage
dikembangkan lebih jauh oleh F.W. Taylor dalam bukunya Principles of Scientyic Management.” Taylor mengajukan konsepsi
kapitalis tentang buruh sesuai kesimpulan logisnya. Dalam bayangannya, buruh itu
“begitu bodoh dan dingin tak peduli (phlegmatie)
seperti seekor lembu,” dan oleh karenanya perlu dipimpin oleh “orang yang lebih
pandai dari dia.”
Gagasan-gagasan semacam
ini teknologi ini berkembang, matang, dan berkecambah di dalam kerangka ini.
Sebagai contoh, pada akhir abad ke-18, terdapat dua jenis teknologi yang mampu
menghasilkan tekstil bermutu tinggi di Inggris, Yang pertama, yaitu yang
dikembangkan pada (1761)-an berbasis pada industri kerajinan (cottage industry) yang hanya
mempekerjakan tenaga buruh untuk pemintalan benang. Yang kedua diperkenalkan
pada 1770-an; berbasiskan pabrik, menggunakan tenaga uap dan mesin Watts serta
kerangka Arkwright.
Kendati pun demikian,
industri kerajinan yang berbasiskan mesin, meski tak kurang canggih dibandingkan
dengan yang menggunakan tenaga uap, tidak dibolehkan melakukan pengawasan atas
para buruh seperti yang dilakukan oleh yang menggunakan teknologi berbasis
pabrik. Demikianlah, secara sistematis, mereka disingkirkan: para pengusaha
dipersulit untuk memperoleh bahan baku dan modal, operasi-operasinya dibuat
ilegal melalui hukum, dan dengan berbagai dalih, dinyatakan sebagai industri
rumah tangga yang tidak sah. Dan teknologi berbasiskan pabrik pun muncul
sebagai pemenang.
Semenjak revolusi industri
di Eropa, kontrol atas buruh telah menjadi dasar dari berkembangnya teknologi
Barat. Secara progresif, buruh direduksi pada status sebagai komponen tunggal dalam
proses teknologis. Statusnya bukanlah sebagai makhluk-manusia tetapi sebagai
komponen yang bisa diganti dan dibuang jika manajemen menghendaki demikian. Cara
pengaturan semacam ini melambangkan begitu tingginya tingkat dehumanisasi atas
para buruh: keterampilan-keterampilan yang kompleks telah dirinci menjadi
satuan-satuan tugas yang lebih sederhana, yang bisa dipelajari secara cepat
karena hanya memerlukan sedikit keterampilan atau sedikit pengetahuan. Begitu
proses itu berjalan baik, buruh diganti dengan mesin. Untuk menjamin tingkat
produktivitas yang diinginkan, pabrik harus melaksanakan disiplin yang ketat. Terdapat
sebuah hierarki yang tegas: manajemen, dan mereka yang jadi sasaran.
Kemajuan teknologi
Barat, oleh karena itu, tidak hanya menimbulkan fragmentasi dan pembagian kerja,
reduksi atas tugas-tugas yang begitu kompleks menjadi bentuk-bentuk kerja yang
lebih sederhana, serta rusaknya keterampilan dan keahlian tradisional tetapi
juga menyebabkan hilangnya kebebasan dan otonomi massa-buruh pada disiplin
tirani, dan membesarnya kekuasaan pabrik. Semua proses ini telah membawa
selangkah lebih dekat pada kesimpulan logisnya, yaitu komputerisasi dan
otomatisasi perkantoran. Komputerisasi perkantoran merupakan sebuah versi baru
dari assembly line (cara pengaturan
perusahaan) Henry Ford. Salah satu keuntungannya adalah bahwa cara ini bisa menghasilkan
sentralisasi dan pengontrolan buruh yang lebih luas.
Demikianlah, ketika sebuah
pabrik didirikan di sebuah negara yang sedang berkembang –tak jadi soal
teknologi macam apa dan proses manufaktur yang bagaimana yang dipakai- mau tak
mau ia harus menerapkan etika penindasan buruh, kontrol manajemen, dan
maksimalisasi keuntungan. Singkatnya, tidak ada alasan bagi
masyarakat-masyarakat di seluruh dunia untuk tidak mengabaikan atau menghindari
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh nilai-nilai inheren teknologi
Barat. Mungkin saja ada anggapan negeri-negeri Muslim dapat menghindari
efek-efek teknologi Barat yang disruptif itu dengan membuat pilihan-pilihan
yang tepat; yaitu dengan memilih teknologi yang lebih relevan dari yang
tersedia di pasar teknologi. Tetapi sesungguhnya ini merupakan argumen yang
salah karena pemilihan terhadap teknologi yang tersedia untuk sebuah negara
sedang berkembang mengharuskan dilakukannya preferensi-preferensi dan
pilihan-pilihan yang meniadakan alternatif. Hampir semua teknologi konvensional
yang ada di pasar teknologi adalah teknologi-teknologi yang telah lama mengidap
prasangka-prasangka sosial dan ekonomi masyarakat Barat. Meskipun dimungkinkan
untuk menyeleksi dan memilih, ada suatu keyakinan mitis bahwa seleksi dan
pilihan itu terbatas pada teknologi-teknologi padat modal saja, yang kesemuanya
didesain untuk memajukan tujuan-tujuan kebudayaan dan peradaban Barat. Semua
teknologi yang tersedia untuk negara sedang berkembang didesain untuk mendukung
pemegang-pemegang kekuasaan.
Selama ini argumen
tentang pemilihan dan seleksi teknologi khusus digunakan oleh para penganjur
dan pendukung teknologi alternatif. Sebagai contoh, K.D. Sarma dan M.A. Qureshi
mengatakan bahwa gagasan teknologi alternatif didasarkan pada “pemilihan dan
seleksi atas teknologi atau teknologi-teknologi dari seperangkat teknologi yang
tersedia untuk menghasilkan barang dan komoditi serta untuk memenuhi
kebutuhan.”
Teknologi alternatif
yang di seleksi dari sebuah spektrum teknologi-teknologi yang tersedia,
haruslah memiliki karakteristik-karakteristik berikut: (1) Bisa saja ia
merupakan “teknologi-teknologi primitif, rendah, atau tinggi, atau antara
teknologi primitif dan teknologi tinggi”; (2) ia harus sesuai dengan sumber
daya yang tersedia di negeri bersangkutan, dan harus disesuaikan dengan
”tujuan-tujuan ekonomi, sosial, kultural, dan politiknya”; dan (3) secara environmental harus “sehat”.
Sementara itu, Hamid
Ayyub juga mendefinisikan teknologi alternatif sebagai “suatu pilihan teknologi
yang cerdas, yaitu yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pemakainya dan
selaras dengan lingkungan alamnya.”
Tetapi bagaimana
pilihan untuk teknologi alternatif dibuat? Menurut Sharma dan Qureshi, pemilihan
teknologi alternatif harus didasarkan pada dua kriteria: sosial, ekonomi, dan
kultural; serta keamanan nasional dan prestise. Di bawah kriteria yang pertama,
teknologi itu tampaknya harusdiutamakan untuk yang padat-karya, kecil,
sederhana, serta yang menggunakan sumber daya dan tenaga-tenaga terampil lokal
agar biaya untuk latihan keterampilan dan pengembangannya bisa diperkecil.
Meskipun demikian,
ketika sampai pada kriteria yang kedua, yaitu pertahanan nasional dan prestise,
Sharma dan Qureshi tidak melihat alternatif untuk bersaing dengan masyarakat
industri dalam beberapa bidang teknologi yang besar dan kompleks di mana
produksi massal sangat penting untuk memperoleh sasaran-sasaran politis dan
keamanan strategis.” Demikian pula, Ayub tidak melihat alternatif selain dari
teknologi Barat dalam bidang-bidang seperti pertahanan, aeronautika, petrokimia
dan elektronika.
Demikian, “alternatif”
itu ternyata terbatas hanya untuk pembangunan pedesaan; jenis-jenis industri
kerajinan tertentu, dan bentuk-bentuk spesifik dari teknologi pedesaan. Kendati
pun demikian, solusi berkaki satu dengan dampak rendah ini teknologi ringan dan
teknologi lainnya yang berorientasi produksi, serta teknologi tinggi yang tak
terkendalikan sesungguhnya tak lebih dari sebuah solusi; karena, terlepas dari
kontradiksi filosofis yang tajam antara dua pendekatan itu, masalah-masalah
mengenai nilai-nilai inheren dari teknologi impor dan apakah teknologi semacam
itu bisa diharapkan bermanfaat bagi masyarakat Muslim, tetap tak terjawab. Lagi
pula, pendekatan semacam ini juga tidak membebaskan masyarakat-masyarakat
Muslim dari risiko yang berkaitan dengan manifestasi-manifestasi teknologi
tinggi seperti pabrik-pabrik kimia, stasiun-stasiun tenaga nuklir, dan
pusat-pusat riset bioteknologi -suatu problem yang kini mulai muncul sebagai
bidang penyelidikan baru dengan kebenaran-kebenarannya sendiri.
Meskipun telah
menimbulkan kekecewaan, eksperimen-eksperimen teknologi alternatif itu juga
telah meningkatkan pemahaman kita mengenai kaitan antara teknologi dan
masyarakat melalui dua cara. Pertama, telah banyak terbukti bahwa satu-satunya
teknologi yang benar-benar cocok untuk suatu masyarakat adalah teknologi yang
tumbuh dari masyarakat tersebut dan bisa berkembang tanpa bantuan luar.
Pelajaran sentral dari gerakan teknologi alternatif pada dekade terakhir ini
adalah bahwa teknologi alternatif harus menjadi Sebuah kreasi pribumi dari
negeri-negeri sedang berkembang sendiri. Produk-produk dan keterampilan-keterampilan
teknologi alternatif yang berkembang di tempat-tempat seperti London dan California
dan kemudian dialihkan ke Kenya atau India, jarang berakar secara pribumi.
Kedua, teknologi
alternatif tidak bisa dikembangkan dari kerangka filsafat dan intelektual
peradaban Barat. Sebagai contoh, jika teknologi alternatif akan mereduksi
produktivitas pada urutan determinan kedua, maka ilmu ekonomi Barat yang
melihat konsumsi sebagai tujuan kegiatannya, harus diganti dengan suatu
alternatif yang lebih enlightened,
lebih jelas. Maka teknologi-teknologi alternatif tidak harus didasarkan pada
teori-teori Adam Smith, Malthus, dan Keynes, melainkan pada wawasan-wawasan
ekonomi yang lebih membebaskan. Schumacher telah mengembangkan teknologi
alternatifnya di atas basis ilmu ekonomi Buddhis: perbedaan antara ilmu ekonomi
Barat dan Buddhis adalah kalau yang pertama mencoba memaksimalkan kepuasan
manusia melalui pola konsumsi yang optimal, maka yang kedua mencoba
memaksimalkan konsumsi melalui pola usaha produktif yang optimal. Tetapi ilmu
ekonomi saja tidak cukup. Sebuah epistemologi koheren yang menghasilkan suatu
mode atau Cara berpikir alternatif yang jelas, tata hukum yang memiliki
perhatian besar terhadap kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak lingkungan sebagaimana
juga perhatian terhadap kaum miskin dan kaum tertindas, kebudayaan dinamis yang
masih memperoleh kekuatannya dari nilai-nilai tradisional - singkatnya, sebuah
pandangan dunia yang utuh- sangat dibutuhkan jika gaya dan mode teknologi
alternatif sungguh-sungguh ingin dicari dan dikembangkan.
Sebagai perwujudan dari
kebudayaan dan nilai-nilai. perangkat keras dari pengalaman sejarah yang
terakumulasi. Instrumen pragmatis dari sebuah filsafat ekonomi dan manifestasi
eksternal dari suatu pandangan dunia, teknologi merupakan tonggak bangunan
peradaban yang amat penting. Tanpa teknologi yang jelas -yaitu suatu sistem
untuk memecahkan tugas-tugas praktis yang melibatkan manusia dan
organisasi-organisasi, benda-benda hidup dan mesin-mesin- sebuah peradaban
tidak mungkin bisa bertahan hidup, berkembang dan lestari. Peradaban masa depan
Muslim, oleh karenanya, haruslah mengembangkan teknologinya sendiri yang jelas
atas dasar pandangan dunia Islam.
Tetapi apakah yang
dimaksud mengembangkan gaya dan mode pemikiran alternatif yang merupakan
perwujudan pandangan dunia Islam? Adakah suatu yang bisa dilakukan dalam waktu
semalam seperti “pembangunan” Jeddah dari kota Islam yang tradisional menjadi
sebuah kota modern yang berciri Barat? Apa yang harus dilakukan oleh
masyarakat-masyarakat Muslim untuk mengembangkan teknologi Islami?
Hal pertama yang perlu
disadari di sini adalah bahwa tidak ada yang mampu menggoyahkan independensi
teknologis, tidak ada cara yang mudah untuk membendung serangan gencar dari style dan mode teknologi yang dominan.
Solusi-solusi seketika, hanya berarti menunda apa yang tak terelakkan. Yang kedua
adalah kita harus memahami evolusi dan cara pemecahan masalah-masalah praktis
ala Islam secara jelas dalam konteks yang lebih luas: ia tidak bisa dipisahkan
dari (1) upaya untuk menemukan kembali sains Islam; (2) pengembangan ilmu
ekonomi Islam yang viable secara
teoretis dan praktis; dan (3) pengembangan metodologi-metodologi kontemporer
untuk studi tentang masyarakat dan kebudayaan Muslim. Ketiga bidang ini secara
intrinsik saling berkaitan.
Sampai batas tertentu,
kerangka filosofis yang akan mendorong evolusi teknologi Islam sudah tercakup
dalam nilai-nilai Islam dan imperatif-imperatif syari‘ah, yaitu nilai-nilai
yang mampu menciptakan karakteristik masyarakat Muslim. Konsep seperti ‘adl (keadilan), istishlah (kepentingan umum), khilafah
(perwakilan), dan iqtishad (moderasi);
serta ketentuan-ketentuan syari‘ah misalnya bidang lingkungan seperti ihya’ (reklamasi tanah), harim (kawasan konservasi), dan hima (perbendaharaan negara), secara
akurat bisa memetakan ruang lingkup kegiatan teknologis. Sebagai tambahan, ishraf (pemborosan) dan iktinaz (akumulasi kekayaan) bertindak
sebagai “lonceng peringatan” yang memberitahukan bahwa batas-batas nilai
positif telah dilanggar. Meskipun demikian, nilai-nilai, konsep-konsep, dan
petunjuk-petunjuk syari‘ah yang akan diterapkan pada teknologi ini harus
dipahami dalam pengertian kontemporer yang lebih luas. Lagi pula, nilai-nilai
ini harus diberi bentuk konkret dan digabungkan dalam kegiatan teknologis.
Dalam salah satu
bukunya, Arnold Pacey mengidentifikasi virtuosity
(keahlian teknik), profit, prestise, dan pengawasan politik sebagai nilai-nilai
dasar masyarakat Barat. Sebagian yang lain, kalau bukan pada hampir semua teknolog
moral, telah dimotivasi oleh keahlian teknik untuk menghasilkan perangkat keras
teknologis yang hanya bisa diterapkan untuk tujuan jahat. Inilah keahlian teknik
yang memberikan Edward Teller “keinginan penuh gairah untuk mengeksplorasi
sampai tuntas teknologi termonuklir yang telah dipelopori.” Dan ini pulalah
nilai yang telah menyebabkan Oppenheimer mengatakan bahwa salah satu hasil
penemuan yang digunakan dalam bom hidrogen”secara teknis begitu halus sehingga
Anda tidak mungkin bisa mengelakkan penggunaannya,”
Pengejaran
keuntunganlah yang telah menyebabkan dihasilkannya teknologi konsumen, sebuah
teknologi yang secara environmental mendegradasi proses-proses manufaktur.
Orientasi profit ini pula yang menyebabkan diproduksinya obat-obatan yang daya
penyembuhnya lebih kecil dibandingkan efek-efek sampingannya. Pesawat-pesawat
supersonik dan penelitian-penelitian ruang angkasa telah mempertinggi prestise.
Mikroelektronik, otomatisasi teknik-teknik penganiayaan, serta senjata-senjata
nuklir, kimia dan biologis, hanyalah sebagian dari usaha untuk menguasai dan
mendominasi cara produksi serta untuk menguasai kelas dan masyarakat pinggiran.
Produk-produk kegiatan teknologis yang menggantikan nilai-nilai keahlian teknik,
profit, prestise, dan penguasaan politik, dengan nilai-nilai ‘adl,
istislah, khilafah, dan iqtishad, secara radikal harus berbeda
dari apa yang ada dewasa ini.
Perbedaan dalam basis
nilai dan produk akhir ini menyebabkan prinsip pengarah bagi kegiatan teknologi
di dunia Muslim harus bersifat domestik. Harus menjadi aksioma dari
kebijaksanaan teknologi di negeri-negeri Muslim bahwa produk-produk dan bahan
baku lokal, proses-proses dan teknik-teknik lokal, bakat-bakat dan sumberdaya
lokal, akan mampu menyediakan jawaban terbaik bagi problem-problem lokal. Di
sini “lokal” juga berarti lokal di dunia Muslim. Prinsip domestisitas juga
menuntut dilakukannya kerjasama: anggota-anggota dari sebuah rumah tangga
domestik perlu bergabung untuk melakukan tugas-tugas bersama dalam menjamin
berfungsinya rumah tangga itu. Demikian halnya, masyarakat-masyarakat Muslim
perlu menggabungkan sumberdaya-sumberdaya teknik dan bakat-bakat mereka untuk
menemukan solusi-solusi yang viabel atas
problem-problem yang sama atau hampir sama.
Jika yang diperlukan
adalah ibunya penemuan (the mother of
invention), maka self-suffiency
(kecukupan diri, kemandirian), seperti kata Kirkpatrick Sale, tak pelak lagi
adalah neneknya. Jika ditekankan benar, maka kepintaran lokal (local indigenuity) bisa menghasilkan
semua jawaban teknologis yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Lagi pula, di
dunia Muslim cukup banyak terdapat keragaman teknologis yang bisa mengatasi
setiap problem teknis, hanya saja ia harus dimobilisasi dan diberi tanggung
jawabnya sendiri. Akhirnya, sebagai akibat logis, prinsip domestisitas ini akan
menyebabkan bahwa gagasan alih teknologi, termasuk alih teknologi alternatif
dan kepercayaan pada bantuan asing, harus ditempatkan pada tempatnya yang
semestinya: di tempat sampah!
Prinsip domestisitas
dan isolasionisme teknologis regional yang menyertainya adalah prasyarat pokok
bagi tumbuhnya evolusi teknologi Muslim. Kendati pun demikian, terdapat
langkah-langkah lain yang harus diambil untuk memperkuat landasan bagi
independensi teknologi di dunia Muslim. Teknologi-teknologi tradisional,
meliputi teknologi kerajinan tangan dan kesehatan, harus ditingkatkan dan
diberi pengakuan selayaknya di masyarakat. Banyak sekali keterampilan
tradisional, mulai dari pembuatan pakaian dan pecah belah sampai pada perabot
rumah tangga dan perkakas-perkakas lainnya, telah sanggup memenuhi kebutuhan
masyarakat di dunia Muslim sebelum dirusak oleh teknologi baru yang ditransfer
dari luar. Demikian pula kemampuan ilmu kedokteran tradisional untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan dan hygine di kawasan
pedesaan telah terbukti, hanya saja masih perlu di up-grade dan diberi keleluasan untuk mengembangkan diri.
Teknik-teknik
konvensional Barat umumnya dirancang untuk menjalankan satu fungsi saja dan hanya
diterapkan untuk satu tujuan saja. Teknolog-teknolog Muslim, oleh karenanya,
harus mengembangkan alternatif-alternatif multi-purpose
sarana-sarana dan proses-proses yang mampu menjalankan banyak fungsi. Sedikit
sekali peralatan-peralatan seperti itu yang akan bisa eksis pada saat sekarang
ini; tetapi karena tidak ada pasar, peralatan-peralatan itu tak bakal tersedia secara
lengkap. Usulan pertama yang patut dikemukakan di sini adalah pabrik multi-purpose, sebuah pabrik yang bisa
menghasilkan bermacam-macam produk yang berkaitan: pabrik-pabrik elektronik
yang bisa dialihkan untuk memproduksi sepeda, pabrik-pabrik meubel yang juga
bisa memproduksi perabot-perabot rumah tangga. Konsep ‘adl dan istishlah mengharuskan
semua ini dilakukan pada level komunitas sehingga komunitas itu bisa memahami
teknologi yang digunakan, berpartisipasi dalam kegiatan teknologis, dan
mengawasi proses-proses yang terjadi di dalamnya.
Tapi ini tentu saja
masih merupakan batas minimum, dan untuk mencapainya pun tidak terlalu mudah.
Kendati pun demikian, sekali prinsip domestisitas diterima dan diterapkan
menurut caranya sendiri, maka ia akan menghasilkan momentumnya sendiri, serta
akan menyebabkan terbukanya kawasan-kawasan baru, proses-proses dan perangkat
keras yang tak bisa kita bayangkan pada tahap ini. Satu hal penting yang harus
.disadari oleh kaum intelektual dan para pengambil keputusan Muslim adalah
bahwa teknologi konvensional mendasarkan dirinya pada nilai-nilai Barat, dan
bahwa pencangkokannya di dunia Muslim dalam bentuk apa pun justru akan
meningkatkan ketergantungan teknologis masyarakat Muslim, dan akan membelenggu
mereka dalam dominion peradaban Barat. Teknologi Barat jelas tidak akan bisa
memecahkan problem masyarakat tradisional, dan hanya akan mengguncangkan
nilai-nilai non-Barat.
Hanya keyakinan akan
kecerdasan lokal dan kecukupan teknis dari dunia Muslim, yang mampu
menghasilkan kemandirian dan independensi teknologis yang sebenarnya. Mereka
yang tidak respek pada diri dan kebudayaan sendiri, yang tidak bisa memelihara
integritas domestik rumah tangga mereka dan tidak mau membangun peralatan
teknologis bagi peradaban mereka haruslah bersiap-siap untuk berada di batas
ambang keberadaan marginal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar