Minggu, 26 Oktober 2014

CORAK FILOSOFIS PSIKOLOGI YANG ISLAMI

CORAK FILOSOFIS PSIKOLOGI YANG ISLAMI
Oleh Hanna Djumhana Bastaman
Hanna Djumhma Bastaman, yang lahir pada 4 November 1939 di Padaherang, Jawa Barat.
adalah staf pengajar pada Jurusan Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok. Selain aktif sebagai Psikolog Klinis di RSCM dan RSPAD, ia juga aktif sebagai koordinator mata kuliah llmu Perilaku Terapan pada Akademi Universitas Trisakti, Jakarta. Psikolog banyak berminat dengan gagasan Psikologi dan Psikologi Humanis ini juga mempunyai yang tinggi dalam sufisme. Ia juga banyak artikel tentang psikologi dalam beberapa majalah, seperti Psikologi Anda, Indonesian Magazine, dan lain-lain. Artikel ini yang merupakan artikelnya yang kedua di UQ, adalah pengembangan lebih lanjut dari gagasan yang pernah ditulisnya di UQ no. 8/1991.

Belakangan ini khususnya di kalangan psikolog Muslim, mulai banyak dibicarakan tema-tema tentang Islamisasi Psikologi. Di Indonesia diskusi tentang ini disemangati oleh gagasan Malik B. Badri. The Dilemma of Muslim Psychologists, dan M. ’Utsman Najati, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Hanna Djumhana Bastama, termasuk Salah seorang yang dikenal memelopori perlunya perintisan disiplin yang disebutnya sebagai “Psikologi Islami”. Dalam tulisan ini ia menekankan pentingnya pemahaman Islam atas konsep manusia dalam membangun psikologi yang Islami itu. Karena itu psikologi ini banyak memperhatikan masalah Roh manusia. sekaligus menempatkan hasil-hasil teori psikologi modern, dalam terang yang baru.

Kajian-kajian Islami mengenai manusia telah banyak ditulis orang dengan sudut pandang dan cara analisis yang cukup beragam. Tapi walaupun begitu tetap ada ciri khas yang menyatukan yaitu, pertama, Islam memberikan penghargaan tinggi sekali terhadap martabat manusia. Ini terlihat antara lain dari sebutan kehormatan yang dianugerahkan Allah pada manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”.1) Penghargaan yang demikian tinggi ini jauh mengungguli segala penghargaan dari manusia pada sesama manusia, termasuk deklarasi PBB mengenai Hak-hak Asasi Manusia, pandangan filsafat humanisme dan psikologi Humanistik yang menyatakan diri sebagai pendekar kemanusiaan dan pembela martabat manusia.
Kedua, fitrah manusia adalah suci dan beriman?2)  Pandangan Islam ini sangat berbeda dengan teori-teori yang memandang manusia sebagai baik, atau baik dan buruk (psikologi humanistik), tabula rasa (John Locke), netral (behaviorisme), dan buruk (psikoanalisis). Lebih-lebih berbeda dengan pandangan agama yang menganggap setiap manusia menanggung dosa turunan.
Ketiga, dinyatakan adanya Roh pada manusia di samping raga dan jiwanya. Roh yang dimensinya jauh lebih tinggi dari akal ini sudah ada sebelum manusia dilahirkan, dan terus ada setelah manusia meninggal dunia.3) Roh manusia ini bukan sembarang Roh, tapi Roh yang sangat tinggi, indah, dan lembut sekali yang dikaruniakan al-Rahman al-Rahim pada manusia.4) Masih banyak prinsip Islami lainnya mengenai manusia yang dapat dikemukakan, tapi tulisan ini hanya akan memfokuskan pada unsur “Roh” sebagai dimensi khas manusia yang sejauh ini hampir tak pernah ditinjau dalam dunia psikologi.5) Perlu dijelaskan, penulis sama sekali tak bermaksud meninjau secara psikologis masalah Roh (yang hanya akan berakhir dengan mereduksi Roh pada taraf jiwa), tapi sekedar mengajukan pandangan bahwa tanpa dilandasi oleh pengakuan adanya Roh manusia sebagai dimensi azasi dan khas manusia dalam sistem kesatuan kejiwaragaan manusia, maka psikologi Islami tak akan kokoh dan mantap, serta tidak akan memiliki keunikan.6) Walaupun kita meyakini pada diri kita ada Roh seperti halnya kita yakin akan adanya raga, akal, perasaan, hasrat, cita, dan sebagainya. Tapi sampai detik ini masalah Roh masih tetap merupakan misteri bagi sains pada umumnya, dan psikologi pada khususnya. Keadaan ini tampaknya sesuai dengan Firman Ilahi mengenai Roh manusia, Dan mereka bertanya padamu (wahai Muhammad) tentang Roh. Katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidak kamu diberi pengetahuan (mengenai Roh itu), melainkan sedikit. (Q.s. al-Isra’ : 85). Memang benar pengetahuan kita tentang Roh hampir tidak ada, tapi Insya Allah yang “sedikit” inilah yang menjadi bahan telaah kita.
Data dan temuan-temuan psikologi mengenai fenomena Roh sangat minim, demikian pula telaah teoretis mengenai masalah itu sulit ditemukan. Karena itu referensi tepercaya untuk mendapatkan keterangan mengenai dimensi Roh manusia, tak lain adalah al-Qur‘an dan al-Hadits,7) di samping pandangan para ulama, khususnya para ulama tasawuf, di mana secara langsung mereka masih banyak membahas masalah Roh itu. Untuk ilustrasi di bawah ini dikemukakan pandangan dua orang ahli tasawuf yaitu Imam al-Ghazali dan Prof DR Haji S.S. Kadirun Yayha, M.Sc. Dalam Ihya Ulumiddin, al-Ghazali membahas struktur kerohanian manusia dengan unsur-unsur sebagai berikut,8) pertama, “kalbu”. Kalbu mempunyai dua arti yakni fisik dan metafisik. Kalbu dalam artian fisik adalah jantung, berupa segumpal daging berbentuk lonjong, terletak dalam rongga dada sebelah kiri. Sedangkan dalam artian metafisik dinyatakan sebagai kurnia Tuhan yang halus (lathifah), bersifat rohaniah dan Ketuhanan (rabbaniah), yang ada hubungannya dengan jantung. Kalbu yang halus dan indah inilah hakikat kemanusiaan yang mengenal dan mengetahui segalanya, serta menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan Tuhan.9)
Kedua, Roh yang diartikan sebagai “nyawa” atau sumber hidup, dan juga diartikan sebagai sesuatu yang halus dan indah dalam diri manusia yang mengetahui dan mengenal segalanya seperti halnya Kalbu dalam artian metafisik. Roh dalam arti kedua inilah menurut Imam al-Ghazali, sesuai dengan maksud Firman di atas. Katakanlah Roh itu adalah urusan Tuhanku.
Ketiga, nafsu. Nafsu, mempunyai dua arti pula. Arti pertama adalah dorongan agresif (ganas) dan dorongan erotik (birahi) yang bisa menjadi sumber malapetaka dan kekacauan bila tak dikendalikan, dan diadabkan. Adapun nafsu dalam arti kedua adalah nafs al-muthmainnah yang lembut dan tenang serta diundangnya oleh Tuhan sendiri untuk masuk ke dalam surga-Nya (Q.s. al-Fajr: 27-28). Nafsu dalam arti ini semakna dengan Kalbu dan Roh dalam arti kedua.
Keempat, akal. Akal dapat diartikan sebagai daya pikir atau potensi intelegensi, dan juga dapat diartikan sesifat dan semakna dengan ketiga unsur di atas dalam artian metafisik. Menurut Imam Ghazali akal dalam artian metafisik inilah yang dimaksud Rasulullah saw., Yang pertama dijadikan Allah adalah akal.
Dari uraian di atas nyata bahwa unsur-unsur Kalbu, Roh, Nafsu, dan Akal dalam arti pertama adalah fungsi-fungsi psikofisik yang tak asing lagi bagi para psikolog. Sedangkan, unsur-unsur tadi dalam artian kedua atau metafisik sejauh ini menjadi ajang telaah dan olahan para ahli tasawuf atau Sufi, yang mungkin kelak “tersentuh” juga oleh psikologi Islami.
Prof. DR. Haji S.S. Kadirun Yahya, M.Sc., seorang fisikawan dan Sufi Indonesia, menyebut adanya dimensi ragawi dan kejiwaan (termasuk sosio-kultural) dalam eksistensi manusia, dengan hukum-hukum dan prinsip-prinsip masing-masing yang berkaitan erat satu dengan lainnya. Hubungan antara “alam pikiran” dengan “alam jasmani” dan perilaku manusia sangat erat. Alam pikiran seakan-akan “memerintah” tingkah laku dan tindakan manusia. Apabila alam pikiran buruk, maka akan terungkap dalam perilaku buruk pula. Alam pikiran ini pada gilirannya cepat terpengaruh oleh kehendak nafsu. Dalam bahasa agama, kalau nafsu itu nafsu ‘l-ammarah maka seratus persen ia mendorong pikiran melakukan kejahatan; jika nafsunya lawwamah, sebagian besar jahat dan sebagian kecil baik, sedangkan jika nafsunya muthmainnah, maka keseluruhannya baik, dan ia diundang oleh Tuhan dengan mesranya masuk ke dalam surga-Nya (Qs. al-Fajr: 27-28).
Dalam hal ini tasawuf Islam mengajar metode dan teknik-teknik munajat dan shalat khusyuk guna meningkatkan derajat Roh mencapai taraf nafsu ‘l-muthmainnah atau lebih tinggi lagi sehingga diharapkan manusia dapat mengembangkan diri mencapai kualitas insan kamil. Adapun Roh diciptakan jauh sebelum manusia dilahirkan, berfungsi semasa manusia hidup, dan setelah meninggal Roh akan pindah ke alam baqa, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ke dalam Hadirat Ilahi. Jadi Roh itu ada dalam diri manusia, tapi tak-kasatmata (invisible) karena sangat halus, gaib serta dimensinya yang jauh lebih tinggi dari alam pikiran, serta tahapannya pun di atas alam sadar.
Skema alam kesadaran manusia:10)
A
B
C
Keterangan:
A = Alam Tak Sadar
B = Alam Sadar
C = di atas Alam Sadar (supra-conscious)
Roh dengan demikian merupakan salah satu dimensi yang ada pada manusia di samping dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan, yang ada sebelum dan sesudah masa kehidupan manusia.
Skema 11)
Keterangan:
A = Sebelum kelahiran
B = Saat kelahiran
C = Saat kematian
D = Setelah kematian
 Mengenai Roh ada beberapa karakteristik, antara lain a) Roh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah atau bumi; b) Roh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani, dan jiwa manusia. Roh yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat ke hadirat-Nya; c) Roh tetap hidup sekali pun kita tidur atau tak sadar; d) Roh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan menjadi suci; e) Roh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa “wadah”nya, paralel dengan zat cair, gas, dan cahaya yang “bentuk”nya serupa tempat ia berada; f) tasawuf mengikutsertakan Roh kita beribadah pada Tuhan; g) tasawuf melatih untuk menyebut Kalimah Allah tidak saja sampai pada taraf kesadaran lahiriah, tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimah Allah yang “termuat” dalam Roh itu pada gilirannya dapat membawa Roh itu sendiri ke alam Ketuhanan.12)
Berdasarkan keterangan-keterangan sufistik tersebut di atas jadi di samping akal, perasaan, hasrat, imajinasi, dan kualitas-kualitas psikofisik yang luar biasa itu, terdapat pula dimensi manusiawi lainnya yang sangat luar biasa, yaitu Roh. Roh yang sejauh ini banyak dibicarakan di lingkungan tasawuf, kelak mungkin “tersentuh” pula oleh psikologi Islami.

Bagaimana dengan Psikologi?
Dalam psikologi kita mengenal tiga pandangan yang berbeda mengenai struktur kepribadian manusia, yakni pandangan psikologi behavior (tingkah laku), pandangan psikoanalisis, dan pandangan psikologi humanistik. Psikoanalisis mengemukakan strata kesadaran manusia, yang secara skematis digambarkan sebagai berikut:
Cs
PCs
UCs
Keterangan:
Cs     =  Conscious (sadar)
PCs   =  Preconscious (pra-sadar)
UCs   =  Unconscious (tak sadar)
Psikologi Humanistik –yang dalam hal ini diwakili pandangan Max Scheler- menganggap kepribadian manusia merupakan suatu unitas yang terdiri dari tiga dimensi somatis, psikis, dan spiritual. Pandangan ini diperkuat Viktor Fankl, pendiri Logoterapi, yang menamakan dimensi spiritual sebagai dimensi noetik. Perlu dijelaskan bahwa dimensi spiritual yang dikemukakan di sini sama sekali bukan Roh dalam artian agama, melainkan kemampuan transendensi dan penghayatan luhur yang khas manusiawi. Dimensi spiritual dianggap sebagai inti dari dimensi-dimensi lainnya, sehingga skemanya digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran konsen trik seperti gambar berikut,13)
Keterangan:
A = Dimensi somatis
B = Dimensi psikis
C = Dimensi noetik atau spiritual
Kedua pandangan di atas seakan-akan tak ada kaitan satu dengan lainnya, karena perbedaan cara pandang. Psikoanalisis memandang struktur kejiwaan secara vertikal ke bawah (Depth Psychology), sedangkan psikologi Humanistik memandang struktur kepribadian secara vertikal ke atas (Height Psychology). Keduanya sebenarnya merupakan aspek-aspek dari kesatuan manusia seutuhnya bila ditinjau dari pendekatan Ontologi tridimensionalnya Viktor Frankl, yang secara kreatif mengemukakan skema sebagai berikut,14)
Keterangan :
Segi-empat berlapis (Psikoanalisis) dan lingkaran-konsentrik (Psikologi Humanistik) merupakan proyeksi atau aspek-aspek dari sebuah silinder (manusia seutuhnya).
Tapi di manakah tempatnya Psikologi Behavior yang mengemukakan empat ranah fungsi psikis: a) Kognisi (Cipta); b) Afeksi (Rasa); c) Konasi (Karsa); dan d) Psikomotor (Karya)? Berbeda dengan psikoanalisis hubungan antara keempat ranah itu tidak merupakan strata,tapi setara satu sama lain.

Kog
Af
Kon
Mot
Keterangan:
Kog   =  Kognisi
Af      =  Afeks
Kon   =  Konotasi
Mot   =  Psikomotor
Untuk melengkapi skema tridimensional Frankl, penulis mengajukan skema yang dapat mencakup dan menempatkan secara proporsional pandangan behavior, humanistik, dan psikoanalisis.
Keterangan:
Segi-empat berlapis vertikal (psikologi behavioral), horizontal (psikoanalisis) serta lingkaran konsentrik (psikologi humanistik) merupakan proyeksi atau aspek-aspek dari
sebuah silinder (manusia seutuhnya).
Skema di atas mudah-mudahan dapat menggambarkan secara integratif ragam struktur kepribadian manusia yang masing-masing ditinjau secara vertikal ke bawah oleh psikoanalisis (Depth Psychology), ditinjau secara vertikal ke atas oleh Psikologi Humanistik atau Logoterapi (Height Psychology), dan secara perifer oleh Psikologi Behavior (Periphery psychology).15)
Tujuan memberi ciri khas pada penggambaran struktural kepribadi an menurut psikologi Islami, penulis memodifikasi skema di atas menjadi sebuah skema lain dengan jalan mengganti lingkaran menjadi bujur-sangkar, garis lengkung menjadi garis lurus, dan silinder menjadi balok: skema ka’bah.
 
Keterangan:
Roh yang sifatnya gaib dan dimensinya di atas alam sadar tak mungkin tergambar bila diproyeksikan ke dalam taraf psikologi (psikoanalisis, humanistik, behavior). Upaya-upaya untuk meninjaunya dari sudut psikologi kontemporer hanyalah akan mereduksi Roh ke dalam taraf psikofisik. Sampai saat ini adanya Roh harus diterima dengan iman; dan inilah salah satu keunikan psikologi Islami.
Skema di atas menunjukkan bahwa psikologi Islami yang berusaha menempatkan Roh (dan supraconscious atau di atas alam sadar) sebagai salah satu dimensi di samping dimensi-dimensi fisik dan psikis, tidak apriori meniadakan pandangan-pandangan psikologi yang sudah ada atau mencampuradukkannya, tapi berusaha mencakup dan mensinkronisasikannya dengan wawasan Islami tentang manusia.

Muslimisasi Psikolog
Islamisasi psikologi tak mungkin terlaksana tanpa disertai Muslimisasi psikolog. Yang dimaksud dengan “muslimisasi psikolog” bukan berarti memuslimkan psikolog yang sudah Muslim, melainkan meningkatkan komitmen para psikolog Muslim terhadap nilai-nilai Islam. Secara lebih operasional Muslimisasi psikolog merupakan upaya meyakinkan para psikolog Muslim terhadap nilai-nilai Islam. Secara lebih operasional Muslimisasi psikolog merupakan upaya meyakinkan para psikolog Muslim agar bersedia menempatkan petunjuk-petunjuk wahyu di atas akal pikiran mereka, sehingga bersedia pula menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai rujukan utama dan tolok ukur kebenaran ilmiah psikologi. Upaya ini tidak mudah, karena di kalangan psikolog Muslim sendiri terdapat bermacam-macam sikap terhadap Islamisasi psikologi, ada yang antusias, dan ada pula yang skeptis.
Sekurang-kurangnya ada lima ragam sikap para psikolog Muslim terhadap gagasan Islamisasi psikologi,16) pertama, apatis, acuh tak acuh dan tak ada minat membicarakan hubungan antara agama dengan psikologi. Mereka sama sekali tidak tertarik. Sikap yang unmotivated dan diwarnai rasa puas diri ini tampaknya telah menutup pemikiran terhadap kenyataan betapa rapuhnya landasan filsafat psikologi masa kini, dan betapa perlunya psikologi mendapatkan landasan baru berupa filsafat manusia yang lebih mantap guna menghadapi problema kemanusiaan yang makin majemuk dan sulit. Dalam hal ini al-Qur’an benar-benar mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Kedua, fanatik. Mereka berpendapat, agama telah mencukupi segala-galanya dalam kehidupan manusia. Sains pun sudah tercakup dalam agama, karena sains adalah sunatullah. Gagasan Islamisasi sains (dan Islamisasi psikologi) dengan demikian tak perlu dilakukan karena sains pada dasarnya “sudah Islam”. Mereka berpendapat bahwa yang perlu “dimuslimkan” adalah ilmuwan-nya dan bukan ilmiahnya. Mereka yang mempunyai sikap demikian melupakan bahwa sains adalah proses mengungkapkan kemahabenaran sunatullah dengan akal manusia yang serba terbatas.
Ketiga, sekularistik. Mereka menganggap tidak ada hubungan azasi antara sains dengan agama, sehingga keduanya harus dipisah dan dibedakan dengan tegas. Psikolog Muslim dengan sikap serupa ini tampaknya paling banyak jumlahnya, dan diduga akan paling gigih menentang gagasan Islamisasi psikologi. Mereka berpendapat bahwa psikologi yang obyektif-ilmiah harus bebas-nilai dan tak boleh “dicemari” hal-hal yang tidak ilmiah (baca: agama).
Keempat, antagonistik. Mereka meyakini agama dan sekaligus penganut fanatik aliran psikologi tertentu. Sekali pun menyadari bahwa prinsip-prinsip psikologinya tidak sesuai dengan nilai-nilai hidup Islami, dengan ringan hati mereka dapat berpindah-pindah mengamalkan dua hal yang bertentangan. Kiat mereka adalah dalam menerapkan psikologi pantang membawa-bawa agama, dan sebaliknya ilmu (dan psikologi) tak diperlukan dalam mengamalkan agama.
Kelima, Idealistik. Mereka bersikap positif terhadap gagasan dan upaya Islamisasi sains pada umumnya, dan Islamisasi psikologi pada khususnya, serta mendambakan terwujudnya psikologi yang bercorak Islami. Berusaha menyempurnakan psikologi kontemporer, antara lain dengan jalan melandasinya dengan nilai-nilai Islami. Sikap ini didasari kesadaran bahwa dalam agama terkandung kebenaran paripurna, sedangkan sains (psikologi) hanya mengungkapkan kebenaran temporer, tapi selalu berkembang progresif mendekati kebenaran paripurna. Ada pun metoda berpikir ilmiah yang dianggap tepat dalam proses Islamisasi sains, adalah menempatkan wahyu di atas akal.17)
Bila kita telaah sikap-sikap skeptis yang kurang mendukung gagasan Islamisasi sains (dan Islamisasi psikologi) tampaknya hal itu bersumber dari kurang dipahaminya pandangan Islam yang sangat menghargai akal, serta menilai tinggi kedudukan ilmu, ilmuwan, pengajar, pelajar, dan kegiatan belajar mengajar. Dalam pandangan Islam hubungan antara Sains dengan agama adalah bersanding, dan bukan bertanding.18)
Sehubungan dengan masih dominannya sikap-sikap skeptis di kalangan psikolog Muslim sendiri terhadap Islamisasi psikologi, maka upaya Muslimisasi psikolog berarti memberikan informasi yang sebaik-baiknya pada rakan-rekan kita mengenai pandangan Islam yang sangat positif terhadap sains, dan sekaligus menunjukkan betapa azas-azas Qur’ani mengenai manusia sangat potensial untuk dijadikan landasan psikologi. Untuk itu temu-temu ilmiah antara para psikolog dengan para ahli agama dapat dijadikan titik-tolak kegiatan Islamisasi psikologi dan Muslimisasi psikolog. Mudah-mudahan usaha-usaha serupa itu dapat meningkatkan kesadaran pemahaman dan komitmen terhadap nilai-nilai ilmiah dan amaliah al-Islam, serta sedikit demi sedikit merubah sikap menjadi lebih positif terhadap gagasan Islamisasi psikologi.
Selain usaha-usaha yang dilakukan Secara sengaja dan terarah melalui pendekatan kognitif seperti diatas, ada usaha lain yang Secara langsung dapat meningkatkan derajat kemusliman diri para psikolog, yakni mengintensifkan ibadah. Maksudnya, meningkatkan kualitas ibadah dengan jalan menerapkan metode ibadah yang benar untuk menambah kekhusyukan dan keikhlasan. Kita ambil sebagai contoh sebuah bentuk ibadah yang sejauh ini sering terabaikan dan dianggap semata-mata ibadah bertaraf sunat belaka, yaitu Dzikir (dzikr).
Dzikir dalam arti umum sering diidentikkan dengan ibadah dalam arti luas. Sedangkan dalam arti khusus diartikan sebagai ibadah menyebut-nyebut nama Allah dengan segala rukun-syaratnya. Bertaburan firman Allah dan sabda rasul mengenai manfaat ibadah dzikir antara lain, Dzikirlah akan Daku, supaya Aku dzikir pula akan dikau; Bersyukurlah akan Daku dan jangan ingkari nikmat-Ku. (Q.s. al-Baqarah 2:152)
Dari ayat itu jelas diungkapkan bahwa Allah akan membalas ibadah dzikir kita dengan Dzikir-Nya atau nama-Nya sendiri yang dibawa dengan segala keagungan oleh bermilyar-milyar malaikat yang suci dan perkasa untuk dicurahkan pada si pendzikir. Kalau hal itu benar-benar terjadi sudah pasti sifat angkara murka yang berasal dari al-syaithan dan nafsu manusia sendiri akan sirna, dan digantikan dengan cahaya terang benderang yang menyelamatkan dirinya dan lingkungannya. Nikmat kurnia inilah yang ditunggu-tunggu segenap kaum Muslim dan Muslimat agar mereka benar-benar menjadi Muslim dan Muslimat sejati. Seorang Sufi-ilmuwan mengatakan, “Bukan dzikir kita, si baharu, yang memberi bekas, melainkan dzikir Allah swt. Yang Maha Akbar sendirilah yang memberi bekas, namun yang harus dijolok turun oleh manusia sampai dzikirnya ke hadirat Allah swt!”19)
Kalau ibadah dzikrullah saja sudah demikian dahsyat kurnianya, apa lagi shalat yang oleh Rasulullah saw. dimasyhurkan sebagai “mi’raj-nya kaum mukmin, “al-shalatu ’l-mi’raj mukminin, Maka wajib dicarikan metodologi dan teknik-tekniknya, agar dzikir (dan shalat) kita benar-benar sampai ke hadirat-Nya.20) Dan metodologi itu tersimpan dan tersedia dalam salah satu pilar utama agama Islam, yaitu tasawuf. Dengan intensifying ibadah serupa itu Insya Allah Muslimisasi psikolog akan benar-benar meningkatkan kemusliman para psikolog sehingga Islamisasi psikologi akan ditanggapi sebagai kewajaran.

Catatan Kaki
1.      “Sesungguhnya aku menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”, (Qs. al-Baqarah 2 : 30).
2.      ”Semuanya anak itu dilahirkan di atas fitrah (dalam keadaan asli suci). lbu-Bapaknyalah yang meyahudikan, menasranikan, dan memajusikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah); “Dan ingatlah ketika Tuhanmu, mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab ”Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi .... ” (Q.s. al-A’raaf 7:72)
3.      Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, Ibarat Sekuntum Bunga dari taman Firdaus (Medan: Univ. Pemb. Pancabudi (Unpab), 1982), hal. 24.
4.      Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan pada Roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu bersyukur dengan bersujud padanya.” (Q.s. Shad 38:72); ”Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam tubuhnya Roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati. (tapi) kamu sedikit sekali bersyukuf” (QS. Al-Sajdah 32:9) lihat juga Q.s. al-Hijr 15:29; Roh yang ditiupkan-Nya pada jasad Adam bukan nafsu ‘l-hayati (daya tumbuh seperti pada tetumbuhan dan hewan dan bukan al-ruhu ‘l-hayawaniyyu (roh hewan yang juga dimiliki manusia) atau ahwa (dorongan rendah), melainkan benar-benar roh yang luhur dan suci. “The Spirit of God,” menurut istilah Ali Syariati, dalam On the Sociology of Islam (Bandung: Mizan Press, 1988), hal. 88.
5.      Sebenarnya dimensi spiritual dibahas juga oleh Viktor Frankl, pendiri Logoterapi, tapi tidak dalam konotasi agamis.
6.      Kalau tidak mantap dan tak memiliki kekhususan buat apa kita berpayah-payah mengembangkan psikologi Islami.
7.      Ibn al-Qayyim, Roh, terj. Syed Ahmah Semait (Singapore: Pustaka Nasional PTE Ltd, 1991),cet. I.
8.      Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, terj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA. dengan judul “Ihya al-Ghazali,” Faizan, Vol IV (1979), cet. VI, hal. 5-12.
9.      ibid, hal. 7.
10.  Prof. DR. H. Kadirun Yahya, “Amanat 20 Juni,” dalam Gema Islam, (tanpa tahun), hal. 62.
11.   …………, “The Philosophy of Godhood,” makalah koleksi pribadi.
12.  Disarikan dari buku-buku karya Prof. Dr. H. Kadirun Yahya antara lain Capita selecta tentang Agama, Metafisika, Ilmu Eksakta I, II (1982), III (1985); Teknologi Modem dan al-Qur’an mengupas Isra’ Mi’raj Rasulullah saw L1984); Ibarat Sekuntum Bunga dari Tamar Firdaus (1982); Stadium General (l988, 1939, 1990, 1991) dan makalah-makalah seminar.
13.  Viktor Frankl, The Unconscious God. Simon and Schluster, NY 1975, 29.
14.  ………..,  29, lihat juga The Will to Meaning (1976), hal. 22-24,
15.  Istilah Periphery Psychology, berasal dari diskusi penulis dengan Drs. Zainul Biran, MA, tanggal 28 Oktober 1984.
16.  Hanna Djumhana Bastaman, “Dilema Psikolog Muslim, Sebuah Tantangan dan Peluang,” makalah disampaikan dalam Tafaqquh Fiddin SMFPsi, di Unisba pada 7 Agustus 1991.
17.  Prof. Dr. Ali Garishah, Metode Pemikiran Islam,” terj. H. Salim Basyrahil (Iakarta: Gema Insani Press, 1991).
18.  Hanna Djumhana Bastaman, “Sains dalam Pandangan Islam,” makalah disampaikan dalam Acara Temu Diskusi Subuh, di Masjid al-Irfan, Kompleks Perumahan UI Ciputat, Iakarta Selatan pada 24 Februari 1991.
19.  Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, “Ilmu Teknologi dalam al-Qur’an,” ceramah ilmiah di hadapan Civitas Academica Universitas Pembangunan Pancabudi (Unpab) Medan pada 20 Oktober 1990.
20.  “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah pada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri pada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan," (Q.s. al-Maidah 5:35). Perhatikan: orang Mu‘min yang sudah hebat itu masih disuruh-Nya, bertaqwa, dan orang Mu‘min yang sudah Muttaqin pun masih diperintah-Nya untuk mencari jalan, metode (wasilah) itu pun harus serius menjalaninya, barulah mendapat kemenangan.

PSIKOLOGI TENTANG KESEMPURNAAN MANUSIA
Corak yang paling mencolok dari psikologi Islami adalah kepeduliannya pada hakekat Roh manusia yang pada dasarnya adalah sempurna; karena ia berasal dari “Roh Tuhan”. Dalam bahasa Sufi, terma “kesempurnaan manusia atau “manusia sempurna” disebut al-lnsan al-Kamil. Istilah ini muncul pada mulanya di kalangan orang-orang tasawuf dan kemudian beredar secara luas pada segenap lapisan masyarakat Islam. Ia dipahami pada umumnya sebagai sebutan untuk manusia tertentu, yakni untuk mereka yang memiliki keutamaan jiwa yang sempurna. Para Nabi dan Rasul disepakati memiliki keutamaan jiwa paling sempurna, dan karena itu dipandang paling layak disebut Insan Kamil. Oleh kaum Syi’ah Imamiyah, para imam mereka dimasukkan ke dalam kategori Insan Kamil; demikian juga oleh orang-orang tasawuf, para wali atau Sufi dimasukkan juga ke dalam kategori tersebut.
Hanya para Nabi dan Rasul saja yang memiliki keutamaan jiwa yang paling sempurna, tanpa melalui latihan atau pembinaan yang keras. Mereka lahir dengan potensi istimewa, sehingga mereka secara alamiah saja dapat tumbuh menjadi Insan Kamil itu. Jiwa mereka penuh dengan sifat-sifat terpuji atau akhlak ketuhanan, dan bersih dari sifat-sifat tercela. Manusia bukan Nabi atau Rasul. Mereka, menurut orang-orang tasawuf, haruslah berjuang keras mengikuti latihan-latihan dalam rangka mengosongkan jiwa mereka dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat atau akhlak terpuji. Mereka yang berjuang keras untuk mencapai derajat atau maqam ma’rifat (mengenal Tuhan secara langsung melalui mata hati nurani) pada hakekatnya berjuang untuk mencapai derajat Insan Kamil, kendati mereka tetap berada di bawah derajat para Nabi atau Rasul Tuhan.
Sebutan Insan Kamil agaknya dimunculkan pertama kali oleh ibn ‘Arabi (w.638/1240), pendiri pahami wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Ia mengikuti paham al-Hallaj yang menyatakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibn Arabi dengan sejumIah nama, seperti Hakekat Muhammadiyah, Akal Pertama, Hakekat Insaniah, dan Insan Kamil. Dengan demikian Ibn Arabi telah mengacukan Insan Kamil bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan Adam, tapi juga kepada Nur Muhammad yang qadim dan bersifaf materi, ciptaan pertama dari Tuhan. Insan Kamil dengan pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama itu, diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jili dalam bukunya al-Insan Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, dan para pengikut paham kewatuan wujud lainnya.
Insan Kamil yang mengacu kepada makhluk pertama; merupakan hakekat yang menghimpun segala hakekat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris. Ia juga merupakan wadah tajalli, atau pancaran, atau manifestasi segenap nama dan sifat yang memancar dari Wuju Mutlak (Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insan Kamil merupakan Akal Pertama atau Wujud ‘Ilmi yang memancar dari Wujud Mutlak. Ia merupakan sumber segala ilmu. Ia sumber ilmu bagi para Nabi dan Rasul, para sufi, atau para wali. Penyebutan para Nabi dan Rasul, para Sufi, atau para wali dengan sebutan Insan Kamil, tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh kehadiran atau pancaran Insan Kamil itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci.
Manusia-manusia turunan Adam, yang termasuk kategori Insan Kamil, merupakan wadah yang paling sempurna dalam dunia empiris, untuk menerima tajalli (penampakan secara tidak langsung segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan kata lain merekalah yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Manusia lain yang bukan Insan Kamil, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli Tuhan, tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. 
Psikologi Islami, yang punya perhatian pada pencapaian kesempurnaan manusia pasti memperhatikan soal manusia yang pada hakekatnya bersifat Ilahi itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar