CORAK FILOSOFIS PSIKOLOGI YANG ISLAMI
Oleh Hanna Djumhana Bastaman
Hanna Djumhma Bastaman, yang lahir pada 4
November 1939 di Padaherang, Jawa Barat.
adalah staf pengajar pada Jurusan Psikologi
Klinis, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok. Selain aktif sebagai
Psikolog Klinis di RSCM dan RSPAD, ia juga aktif sebagai koordinator mata
kuliah llmu Perilaku Terapan pada Akademi Universitas Trisakti, Jakarta.
Psikolog banyak berminat dengan gagasan Psikologi dan Psikologi Humanis ini
juga mempunyai yang tinggi dalam sufisme. Ia juga banyak artikel tentang
psikologi dalam beberapa majalah, seperti Psikologi Anda, Indonesian Magazine,
dan lain-lain. Artikel ini yang merupakan artikelnya yang kedua di UQ, adalah
pengembangan lebih lanjut dari gagasan yang pernah ditulisnya di UQ no. 8/1991.
Belakangan ini
khususnya di kalangan psikolog Muslim, mulai banyak dibicarakan tema-tema
tentang Islamisasi Psikologi. Di Indonesia diskusi tentang ini disemangati oleh
gagasan Malik B. Badri. The Dilemma of Muslim Psychologists, dan M. ’Utsman
Najati, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Hanna Djumhana Bastama, termasuk Salah seorang
yang dikenal memelopori perlunya perintisan disiplin yang disebutnya sebagai
“Psikologi Islami”. Dalam tulisan ini ia menekankan pentingnya pemahaman Islam
atas konsep manusia dalam membangun psikologi yang Islami itu. Karena itu
psikologi ini banyak memperhatikan masalah Roh manusia. sekaligus menempatkan
hasil-hasil teori psikologi modern, dalam terang yang baru.
Kajian-kajian
Islami mengenai manusia telah banyak ditulis orang dengan sudut pandang dan
cara analisis yang cukup beragam. Tapi walaupun begitu tetap ada ciri khas yang
menyatukan yaitu, pertama, Islam
memberikan penghargaan tinggi sekali terhadap martabat manusia. Ini terlihat
antara lain dari sebutan kehormatan yang dianugerahkan Allah pada manusia
sebagai “khalifah Allah di bumi”.1) Penghargaan yang demikian tinggi
ini jauh mengungguli segala penghargaan dari manusia pada sesama manusia,
termasuk deklarasi PBB mengenai Hak-hak Asasi Manusia, pandangan filsafat
humanisme dan psikologi Humanistik yang menyatakan diri sebagai pendekar
kemanusiaan dan pembela martabat manusia.
Kedua, fitrah manusia adalah suci dan beriman?2) Pandangan Islam ini sangat berbeda dengan
teori-teori yang memandang manusia sebagai baik, atau baik dan buruk (psikologi
humanistik), tabula rasa (John Locke), netral (behaviorisme), dan buruk
(psikoanalisis). Lebih-lebih berbeda dengan pandangan agama yang menganggap
setiap manusia menanggung dosa turunan.
Ketiga, dinyatakan adanya Roh pada manusia di samping
raga dan jiwanya. Roh yang dimensinya jauh lebih tinggi dari akal ini sudah ada
sebelum manusia dilahirkan, dan terus ada setelah manusia meninggal dunia.3)
Roh manusia ini bukan sembarang Roh, tapi Roh yang sangat tinggi, indah, dan
lembut sekali yang dikaruniakan al-Rahman al-Rahim pada manusia.4)
Masih banyak prinsip Islami lainnya mengenai manusia yang dapat dikemukakan,
tapi tulisan ini hanya akan memfokuskan pada unsur “Roh” sebagai dimensi khas
manusia yang sejauh ini hampir tak pernah ditinjau dalam dunia psikologi.5)
Perlu dijelaskan, penulis sama sekali tak bermaksud meninjau secara psikologis
masalah Roh (yang hanya akan berakhir dengan mereduksi Roh pada taraf jiwa),
tapi sekedar mengajukan
pandangan bahwa tanpa dilandasi oleh pengakuan adanya Roh manusia sebagai
dimensi azasi dan khas manusia dalam sistem kesatuan kejiwaragaan manusia, maka
psikologi Islami tak akan kokoh dan mantap, serta tidak akan memiliki keunikan.6)
Walaupun kita meyakini pada diri kita ada Roh seperti halnya kita yakin akan
adanya raga, akal, perasaan, hasrat, cita, dan sebagainya. Tapi sampai detik
ini masalah Roh masih tetap merupakan misteri bagi sains pada umumnya, dan
psikologi pada khususnya. Keadaan ini tampaknya sesuai dengan Firman Ilahi mengenai
Roh manusia, Dan mereka bertanya padamu
(wahai Muhammad) tentang Roh. Katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan
tidak kamu diberi pengetahuan (mengenai Roh itu), melainkan sedikit. (Q.s.
al-Isra’ : 85). Memang benar pengetahuan kita tentang Roh hampir tidak ada, tapi
Insya Allah yang “sedikit” inilah yang menjadi bahan telaah kita.
Data
dan temuan-temuan psikologi mengenai fenomena Roh sangat minim, demikian pula
telaah teoretis mengenai masalah itu sulit ditemukan. Karena itu referensi tepercaya
untuk mendapatkan keterangan mengenai dimensi Roh manusia, tak lain adalah
al-Qur‘an dan al-Hadits,7) di samping pandangan para ulama,
khususnya para ulama tasawuf, di mana secara langsung mereka masih banyak
membahas masalah Roh itu. Untuk ilustrasi di bawah ini dikemukakan pandangan
dua orang ahli tasawuf yaitu Imam al-Ghazali dan Prof DR Haji S.S. Kadirun
Yayha, M.Sc. Dalam Ihya Ulumiddin,
al-Ghazali membahas struktur kerohanian manusia dengan unsur-unsur sebagai
berikut,8) pertama, “kalbu”.
Kalbu mempunyai dua arti yakni fisik dan metafisik. Kalbu dalam artian fisik
adalah jantung, berupa segumpal daging berbentuk lonjong, terletak dalam rongga
dada sebelah kiri. Sedangkan dalam artian metafisik dinyatakan sebagai kurnia
Tuhan yang halus (lathifah), bersifat rohaniah dan Ketuhanan (rabbaniah), yang
ada hubungannya dengan jantung. Kalbu yang halus dan indah inilah hakikat
kemanusiaan yang mengenal dan mengetahui segalanya, serta menjadi sasaran
perintah, cela, hukuman, dan tuntutan Tuhan.9)
Kedua, Roh yang diartikan sebagai “nyawa” atau sumber hidup, dan
juga diartikan sebagai sesuatu yang halus dan indah dalam diri manusia yang
mengetahui dan mengenal segalanya seperti halnya Kalbu dalam artian metafisik.
Roh dalam arti kedua inilah menurut Imam al-Ghazali, sesuai dengan maksud
Firman di atas. Katakanlah Roh itu adalah
urusan Tuhanku.
Ketiga, nafsu. Nafsu, mempunyai dua arti pula. Arti
pertama adalah dorongan agresif (ganas) dan dorongan erotik (birahi) yang bisa
menjadi sumber malapetaka dan kekacauan bila tak dikendalikan, dan diadabkan.
Adapun nafsu dalam arti kedua adalah nafs
al-muthmainnah yang lembut dan tenang serta diundangnya oleh Tuhan sendiri
untuk masuk ke dalam surga-Nya (Q.s. al-Fajr: 27-28). Nafsu dalam arti ini semakna
dengan Kalbu dan Roh dalam arti kedua.
Keempat, akal. Akal dapat diartikan sebagai daya pikir
atau potensi intelegensi, dan juga dapat diartikan sesifat dan semakna dengan
ketiga unsur di atas dalam artian metafisik. Menurut Imam Ghazali akal dalam
artian metafisik inilah yang dimaksud Rasulullah saw., Yang pertama dijadikan Allah adalah akal.
Dari
uraian di atas nyata bahwa unsur-unsur Kalbu, Roh, Nafsu, dan Akal dalam arti
pertama adalah fungsi-fungsi psikofisik yang tak asing lagi bagi para psikolog.
Sedangkan, unsur-unsur tadi dalam artian kedua atau metafisik sejauh ini
menjadi ajang telaah dan olahan para ahli tasawuf atau Sufi, yang mungkin kelak
“tersentuh” juga oleh psikologi Islami.
Prof.
DR. Haji S.S. Kadirun Yahya, M.Sc., seorang fisikawan dan Sufi Indonesia,
menyebut adanya dimensi ragawi dan kejiwaan (termasuk sosio-kultural) dalam
eksistensi manusia, dengan hukum-hukum dan prinsip-prinsip masing-masing yang
berkaitan erat satu dengan lainnya. Hubungan antara “alam pikiran” dengan “alam
jasmani” dan perilaku manusia sangat erat. Alam pikiran seakan-akan “memerintah”
tingkah laku dan tindakan manusia. Apabila alam pikiran buruk, maka akan
terungkap dalam perilaku buruk pula. Alam pikiran ini pada gilirannya cepat
terpengaruh oleh kehendak nafsu. Dalam bahasa agama, kalau nafsu itu nafsu ‘l-ammarah maka seratus persen ia mendorong
pikiran melakukan kejahatan; jika nafsunya lawwamah,
sebagian besar jahat dan sebagian kecil baik, sedangkan jika nafsunya muthmainnah, maka keseluruhannya baik,
dan ia diundang oleh Tuhan dengan mesranya masuk ke dalam surga-Nya (Qs.
al-Fajr: 27-28).
Dalam
hal ini tasawuf Islam mengajar metode dan teknik-teknik munajat dan shalat
khusyuk guna meningkatkan derajat Roh mencapai taraf nafsu ‘l-muthmainnah atau lebih tinggi lagi sehingga diharapkan
manusia dapat mengembangkan diri mencapai kualitas insan kamil. Adapun Roh diciptakan jauh sebelum manusia dilahirkan,
berfungsi semasa manusia hidup, dan setelah meninggal Roh akan pindah ke alam
baqa, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ke dalam Hadirat Ilahi. Jadi Roh
itu ada dalam diri manusia, tapi tak-kasatmata (invisible) karena sangat halus, gaib serta dimensinya yang jauh
lebih tinggi dari alam pikiran, serta tahapannya pun di atas alam sadar.
Skema
alam kesadaran manusia:10)
A
|
B
|
C
|
Keterangan:
A
= Alam Tak Sadar
B
= Alam Sadar
C
= di atas Alam Sadar (supra-conscious)
Roh
dengan demikian merupakan salah satu dimensi yang ada pada manusia di samping
dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan, yang ada sebelum dan sesudah masa
kehidupan manusia.
Skema
11)
Keterangan:
A
= Sebelum kelahiran
B
= Saat kelahiran
C
= Saat kematian
D
= Setelah kematian
Mengenai Roh ada beberapa karakteristik,
antara lain a) Roh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah atau bumi;
b) Roh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani, dan jiwa manusia. Roh
yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat ke
hadirat-Nya; c) Roh tetap hidup sekali pun kita tidur atau tak sadar; d) Roh
dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan
menjadi suci; e) Roh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa
“wadah”nya, paralel dengan zat cair, gas, dan cahaya yang “bentuk”nya serupa
tempat ia berada; f) tasawuf mengikutsertakan Roh kita beribadah pada Tuhan; g)
tasawuf melatih untuk menyebut Kalimah Allah tidak saja sampai pada taraf
kesadaran lahiriah, tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimah Allah yang
“termuat” dalam Roh itu pada gilirannya dapat membawa Roh itu sendiri ke alam
Ketuhanan.12)
Berdasarkan
keterangan-keterangan sufistik tersebut di atas jadi di samping akal, perasaan,
hasrat, imajinasi, dan kualitas-kualitas psikofisik yang luar biasa itu,
terdapat pula dimensi manusiawi lainnya yang sangat luar biasa, yaitu Roh. Roh
yang sejauh ini banyak dibicarakan di lingkungan tasawuf, kelak mungkin
“tersentuh” pula oleh psikologi Islami.
Bagaimana dengan Psikologi?
Dalam
psikologi kita mengenal tiga pandangan yang berbeda mengenai struktur
kepribadian manusia, yakni pandangan psikologi behavior (tingkah laku),
pandangan psikoanalisis, dan pandangan psikologi humanistik. Psikoanalisis
mengemukakan strata kesadaran manusia, yang secara skematis digambarkan sebagai
berikut:
Cs
|
PCs
|
UCs
|
Keterangan:
Cs = Conscious (sadar)
PCs = Preconscious (pra-sadar)
UCs = Unconscious (tak sadar)
Psikologi
Humanistik –yang dalam hal ini diwakili pandangan Max Scheler- menganggap
kepribadian manusia merupakan suatu unitas yang terdiri dari tiga dimensi
somatis, psikis, dan spiritual. Pandangan ini diperkuat Viktor Fankl, pendiri
Logoterapi, yang menamakan dimensi spiritual sebagai dimensi noetik. Perlu
dijelaskan bahwa dimensi spiritual yang dikemukakan di sini sama sekali bukan
Roh dalam artian agama, melainkan kemampuan transendensi dan penghayatan luhur
yang khas manusiawi. Dimensi spiritual dianggap sebagai inti dari
dimensi-dimensi lainnya, sehingga skemanya digambarkan sebagai
lingkaran-lingkaran konsen trik seperti gambar berikut,13)
Keterangan:
A = Dimensi somatis
B = Dimensi psikis
C = Dimensi noetik atau
spiritual
Kedua
pandangan di atas seakan-akan tak ada kaitan satu dengan lainnya, karena
perbedaan cara pandang. Psikoanalisis memandang struktur kejiwaan secara
vertikal ke bawah (Depth Psychology),
sedangkan psikologi Humanistik memandang struktur kepribadian secara vertikal
ke atas (Height Psychology). Keduanya
sebenarnya merupakan aspek-aspek dari kesatuan manusia seutuhnya bila ditinjau
dari pendekatan Ontologi tridimensionalnya Viktor Frankl, yang secara kreatif
mengemukakan skema sebagai berikut,14)
Keterangan :
Segi-empat berlapis
(Psikoanalisis) dan lingkaran-konsentrik (Psikologi Humanistik) merupakan
proyeksi atau aspek-aspek dari sebuah silinder (manusia seutuhnya).
Tapi
di manakah tempatnya Psikologi Behavior yang mengemukakan empat ranah fungsi
psikis: a) Kognisi (Cipta); b) Afeksi (Rasa); c) Konasi (Karsa); dan d)
Psikomotor (Karya)? Berbeda dengan psikoanalisis hubungan antara keempat ranah
itu tidak merupakan strata,tapi setara satu sama lain.
Kog
|
Af
|
Kon
|
Mot
|
Keterangan:
Kog = Kognisi
Af = Afeks
Kon = Konotasi
Mot = Psikomotor
Untuk
melengkapi skema tridimensional Frankl, penulis mengajukan skema yang dapat
mencakup dan menempatkan secara proporsional pandangan behavior, humanistik,
dan psikoanalisis.
Keterangan:
Segi-empat berlapis
vertikal (psikologi behavioral), horizontal (psikoanalisis) serta lingkaran
konsentrik (psikologi humanistik) merupakan proyeksi atau aspek-aspek dari
sebuah silinder
(manusia seutuhnya).
Skema
di atas mudah-mudahan dapat menggambarkan secara integratif ragam struktur
kepribadian manusia yang masing-masing ditinjau secara vertikal ke bawah oleh
psikoanalisis (Depth Psychology),
ditinjau secara vertikal ke atas oleh Psikologi Humanistik atau Logoterapi (Height Psychology), dan secara perifer
oleh Psikologi Behavior (Periphery
psychology).15)
Tujuan
memberi ciri khas pada penggambaran struktural kepribadi an menurut psikologi
Islami, penulis memodifikasi skema di atas menjadi sebuah skema lain dengan
jalan mengganti lingkaran menjadi bujur-sangkar, garis lengkung menjadi garis
lurus, dan silinder menjadi balok: skema
ka’bah.
Keterangan:
Roh
yang sifatnya gaib dan dimensinya di atas alam sadar tak mungkin tergambar bila
diproyeksikan ke dalam taraf psikologi (psikoanalisis, humanistik, behavior).
Upaya-upaya untuk meninjaunya dari sudut psikologi kontemporer hanyalah akan
mereduksi Roh ke dalam taraf psikofisik. Sampai saat ini adanya Roh harus
diterima dengan iman; dan inilah salah satu keunikan psikologi Islami.
Skema
di atas menunjukkan bahwa psikologi Islami yang berusaha menempatkan Roh (dan supraconscious atau di atas alam sadar)
sebagai salah satu dimensi di samping dimensi-dimensi fisik dan psikis, tidak
apriori meniadakan pandangan-pandangan psikologi yang sudah ada atau
mencampuradukkannya, tapi berusaha mencakup dan mensinkronisasikannya dengan
wawasan Islami tentang manusia.
Muslimisasi Psikolog
Islamisasi
psikologi tak mungkin terlaksana tanpa disertai Muslimisasi psikolog. Yang
dimaksud dengan “muslimisasi psikolog” bukan berarti memuslimkan psikolog yang
sudah Muslim, melainkan meningkatkan komitmen para psikolog Muslim terhadap
nilai-nilai Islam. Secara lebih operasional Muslimisasi psikolog merupakan
upaya meyakinkan para psikolog Muslim terhadap nilai-nilai Islam. Secara lebih
operasional Muslimisasi psikolog merupakan upaya meyakinkan para psikolog
Muslim agar bersedia menempatkan petunjuk-petunjuk wahyu di atas akal pikiran
mereka, sehingga bersedia pula menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
rujukan utama dan tolok ukur kebenaran ilmiah psikologi. Upaya ini tidak mudah,
karena di kalangan psikolog Muslim sendiri terdapat bermacam-macam sikap
terhadap Islamisasi psikologi, ada yang antusias, dan ada pula yang skeptis.
Sekurang-kurangnya
ada lima ragam sikap para psikolog Muslim terhadap gagasan Islamisasi
psikologi,16) pertama,
apatis, acuh tak acuh dan tak ada minat membicarakan hubungan antara agama
dengan psikologi. Mereka sama sekali tidak tertarik. Sikap yang unmotivated dan diwarnai rasa puas diri
ini tampaknya telah menutup pemikiran terhadap kenyataan betapa rapuhnya
landasan filsafat psikologi masa kini, dan betapa perlunya psikologi
mendapatkan landasan baru berupa filsafat manusia yang lebih mantap guna
menghadapi problema kemanusiaan yang makin majemuk dan sulit. Dalam hal ini
al-Qur’an benar-benar mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Kedua, fanatik. Mereka berpendapat, agama telah mencukupi
segala-galanya dalam kehidupan manusia. Sains pun sudah tercakup dalam agama,
karena sains adalah sunatullah. Gagasan Islamisasi sains (dan Islamisasi
psikologi) dengan demikian tak perlu dilakukan karena sains pada dasarnya
“sudah Islam”. Mereka berpendapat bahwa yang perlu “dimuslimkan” adalah
ilmuwan-nya dan bukan ilmiahnya. Mereka yang mempunyai sikap demikian melupakan
bahwa sains adalah proses mengungkapkan kemahabenaran sunatullah dengan akal
manusia yang serba terbatas.
Ketiga, sekularistik. Mereka menganggap tidak ada
hubungan azasi antara sains dengan agama, sehingga keduanya harus dipisah dan
dibedakan dengan tegas. Psikolog Muslim dengan sikap serupa ini tampaknya
paling banyak jumlahnya, dan diduga akan paling gigih menentang gagasan
Islamisasi psikologi. Mereka berpendapat bahwa psikologi yang obyektif-ilmiah
harus bebas-nilai dan tak boleh “dicemari” hal-hal yang tidak ilmiah (baca:
agama).
Keempat, antagonistik. Mereka meyakini agama dan
sekaligus penganut fanatik aliran psikologi tertentu. Sekali pun menyadari
bahwa prinsip-prinsip psikologinya tidak sesuai dengan nilai-nilai hidup
Islami, dengan ringan hati mereka dapat berpindah-pindah mengamalkan dua hal
yang bertentangan. Kiat mereka adalah dalam menerapkan psikologi pantang membawa-bawa
agama, dan sebaliknya ilmu (dan psikologi) tak diperlukan dalam mengamalkan
agama.
Kelima, Idealistik. Mereka bersikap positif terhadap
gagasan dan upaya Islamisasi sains pada umumnya, dan Islamisasi psikologi pada
khususnya, serta mendambakan terwujudnya psikologi yang bercorak Islami.
Berusaha menyempurnakan psikologi kontemporer, antara lain dengan jalan
melandasinya dengan nilai-nilai Islami. Sikap ini didasari kesadaran bahwa
dalam agama terkandung kebenaran paripurna, sedangkan sains (psikologi) hanya
mengungkapkan kebenaran temporer, tapi selalu berkembang progresif mendekati
kebenaran paripurna. Ada pun metoda berpikir ilmiah yang dianggap tepat dalam
proses Islamisasi sains, adalah menempatkan wahyu di atas akal.17)
Bila
kita telaah sikap-sikap skeptis yang kurang mendukung gagasan Islamisasi sains
(dan Islamisasi psikologi) tampaknya hal itu bersumber dari kurang dipahaminya
pandangan Islam yang sangat menghargai akal, serta menilai tinggi kedudukan
ilmu, ilmuwan, pengajar, pelajar, dan kegiatan belajar mengajar. Dalam
pandangan Islam hubungan antara Sains dengan agama adalah bersanding, dan bukan
bertanding.18)
Sehubungan
dengan masih dominannya sikap-sikap skeptis di kalangan psikolog Muslim sendiri
terhadap Islamisasi psikologi, maka upaya Muslimisasi psikolog berarti
memberikan informasi yang sebaik-baiknya pada rakan-rekan kita mengenai
pandangan Islam yang sangat positif terhadap sains, dan sekaligus menunjukkan
betapa azas-azas Qur’ani mengenai manusia sangat potensial untuk dijadikan
landasan psikologi. Untuk itu temu-temu ilmiah antara para psikolog dengan para
ahli agama dapat dijadikan titik-tolak kegiatan Islamisasi psikologi dan
Muslimisasi psikolog. Mudah-mudahan usaha-usaha serupa itu dapat meningkatkan
kesadaran pemahaman dan komitmen terhadap nilai-nilai ilmiah dan amaliah
al-Islam, serta sedikit demi sedikit merubah sikap menjadi lebih positif
terhadap gagasan Islamisasi psikologi.
Selain
usaha-usaha yang dilakukan Secara sengaja dan terarah melalui pendekatan
kognitif seperti diatas, ada usaha lain yang Secara langsung dapat meningkatkan
derajat kemusliman diri para psikolog, yakni mengintensifkan ibadah. Maksudnya,
meningkatkan kualitas ibadah dengan jalan menerapkan metode ibadah yang benar
untuk menambah kekhusyukan dan keikhlasan. Kita ambil sebagai contoh sebuah
bentuk ibadah yang sejauh ini sering terabaikan dan dianggap semata-mata ibadah
bertaraf sunat belaka, yaitu Dzikir (dzikr).
Dzikir
dalam arti umum sering diidentikkan dengan ibadah dalam arti luas. Sedangkan dalam
arti khusus diartikan sebagai ibadah menyebut-nyebut nama Allah dengan segala
rukun-syaratnya. Bertaburan firman Allah dan sabda rasul mengenai manfaat
ibadah dzikir antara lain, Dzikirlah akan
Daku, supaya Aku dzikir pula akan dikau; Bersyukurlah akan Daku dan jangan
ingkari nikmat-Ku. (Q.s. al-Baqarah 2:152)
Dari
ayat itu jelas diungkapkan bahwa Allah akan membalas ibadah dzikir kita dengan
Dzikir-Nya atau nama-Nya sendiri yang dibawa dengan segala keagungan oleh
bermilyar-milyar malaikat yang suci dan perkasa untuk dicurahkan pada si
pendzikir. Kalau hal itu benar-benar terjadi sudah pasti sifat angkara murka
yang berasal dari al-syaithan dan nafsu manusia sendiri akan sirna, dan
digantikan dengan cahaya terang benderang yang menyelamatkan dirinya dan
lingkungannya. Nikmat kurnia inilah yang ditunggu-tunggu segenap kaum Muslim
dan Muslimat agar mereka benar-benar menjadi Muslim dan Muslimat sejati.
Seorang Sufi-ilmuwan mengatakan, “Bukan dzikir kita, si baharu, yang memberi
bekas, melainkan dzikir Allah swt. Yang Maha Akbar sendirilah yang memberi
bekas, namun yang harus dijolok turun oleh manusia sampai dzikirnya ke hadirat
Allah swt!”19)
Kalau
ibadah dzikrullah saja sudah demikian dahsyat kurnianya, apa lagi shalat yang
oleh Rasulullah saw. dimasyhurkan sebagai “mi’raj-nya kaum mukmin, “al-shalatu ’l-mi’raj mukminin, Maka
wajib dicarikan metodologi dan teknik-tekniknya, agar dzikir (dan shalat) kita
benar-benar sampai ke hadirat-Nya.20) Dan metodologi itu tersimpan
dan tersedia dalam salah satu pilar utama agama Islam, yaitu tasawuf. Dengan intensifying ibadah serupa itu Insya
Allah Muslimisasi psikolog akan benar-benar meningkatkan kemusliman para
psikolog sehingga Islamisasi psikologi akan ditanggapi sebagai kewajaran.
Catatan Kaki
1.
“Sesungguhnya aku menjadikan seorang Khalifah di muka
bumi”, (Qs. al-Baqarah 2 : 30).
2.
”Semuanya anak itu dilahirkan di atas fitrah (dalam keadaan
asli suci). lbu-Bapaknyalah yang meyahudikan, menasranikan, dan memajusikannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah); “Dan ingatlah ketika Tuhanmu,
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab ”Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi .... ” (Q.s. al-A’raaf 7:72)
3.
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, Ibarat Sekuntum Bunga dari taman Firdaus (Medan: Univ. Pemb.
Pancabudi (Unpab), 1982), hal. 24.
4.
Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
pada Roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu bersyukur dengan bersujud padanya.”
(Q.s. Shad 38:72); ”Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam
tubuhnya Roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan
dan hati. (tapi) kamu sedikit sekali bersyukuf” (QS. Al-Sajdah 32:9) lihat juga
Q.s. al-Hijr 15:29; Roh yang ditiupkan-Nya pada jasad Adam bukan nafsu ‘l-hayati (daya tumbuh seperti
pada tetumbuhan dan hewan dan bukan al-ruhu
‘l-hayawaniyyu (roh hewan yang juga dimiliki manusia) atau ahwa (dorongan rendah), melainkan benar-benar roh yang luhur
dan suci. “The Spirit of God,” menurut istilah Ali Syariati, dalam On the Sociology of Islam (Bandung:
Mizan Press, 1988), hal. 88.
5.
Sebenarnya dimensi spiritual dibahas juga oleh Viktor
Frankl, pendiri Logoterapi, tapi tidak dalam konotasi agamis.
6.
Kalau tidak mantap dan tak memiliki kekhususan buat apa
kita berpayah-payah mengembangkan psikologi Islami.
7.
Ibn al-Qayyim, Roh,
terj. Syed Ahmah Semait (Singapore: Pustaka Nasional PTE Ltd, 1991),cet. I.
8.
Imam al-Ghazali, Ihya
‘Ulumiddin, terj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA. dengan judul “Ihya al-Ghazali,” Faizan, Vol IV
(1979), cet. VI, hal. 5-12.
9.
ibid, hal. 7.
10. Prof. DR. H. Kadirun Yahya,
“Amanat 20 Juni,” dalam Gema Islam,
(tanpa tahun), hal. 62.
11. …………, “The Philosophy of Godhood,” makalah
koleksi pribadi.
12. Disarikan dari buku-buku karya
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya antara lain Capita
selecta tentang Agama, Metafisika,
Ilmu Eksakta I, II (1982), III (1985); Teknologi
Modem dan al-Qur’an mengupas Isra’ Mi’raj Rasulullah saw L1984); Ibarat Sekuntum Bunga dari Tamar Firdaus
(1982); Stadium General (l988, 1939,
1990, 1991) dan makalah-makalah seminar.
13. Viktor Frankl, The Unconscious God. Simon and
Schluster, NY 1975, 29.
14. ……….., 29, lihat juga The Will to Meaning (1976), hal. 22-24,
15. Istilah Periphery Psychology, berasal dari diskusi penulis dengan Drs.
Zainul Biran, MA, tanggal 28 Oktober 1984.
16. Hanna Djumhana Bastaman, “Dilema
Psikolog Muslim, Sebuah Tantangan dan Peluang,” makalah disampaikan dalam
Tafaqquh Fiddin SMFPsi, di Unisba pada 7 Agustus 1991.
17. Prof. Dr. Ali Garishah, Metode Pemikiran Islam,” terj. H. Salim
Basyrahil (Iakarta: Gema Insani Press, 1991).
18. Hanna Djumhana Bastaman,
“Sains dalam Pandangan Islam,” makalah disampaikan dalam Acara Temu Diskusi
Subuh, di Masjid al-Irfan, Kompleks Perumahan UI Ciputat, Iakarta Selatan pada
24 Februari 1991.
19. Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, “Ilmu
Teknologi dalam al-Qur’an,” ceramah ilmiah di hadapan Civitas Academica
Universitas Pembangunan Pancabudi (Unpab) Medan pada 20 Oktober 1990.
20. “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah pada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri
pada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan,"
(Q.s. al-Maidah 5:35). Perhatikan: orang Mu‘min
yang sudah hebat itu masih disuruh-Nya, bertaqwa, dan orang Mu‘min yang sudah Muttaqin pun masih diperintah-Nya untuk mencari jalan, metode
(wasilah) itu pun harus serius menjalaninya, barulah mendapat kemenangan.
PSIKOLOGI TENTANG
KESEMPURNAAN MANUSIA
Corak
yang paling mencolok dari psikologi Islami adalah kepeduliannya pada hakekat
Roh manusia yang pada dasarnya adalah sempurna; karena ia berasal dari “Roh
Tuhan”. Dalam bahasa Sufi, terma “kesempurnaan manusia atau “manusia sempurna”
disebut al-lnsan al-Kamil. Istilah
ini muncul pada mulanya di kalangan orang-orang tasawuf dan kemudian beredar
secara luas pada segenap lapisan masyarakat Islam. Ia dipahami pada umumnya
sebagai sebutan untuk manusia tertentu, yakni untuk mereka yang memiliki
keutamaan jiwa yang sempurna. Para Nabi dan Rasul disepakati memiliki keutamaan
jiwa paling sempurna, dan karena itu dipandang paling layak disebut Insan
Kamil. Oleh kaum Syi’ah Imamiyah, para imam mereka dimasukkan ke dalam kategori
Insan Kamil; demikian juga oleh
orang-orang tasawuf, para wali atau Sufi dimasukkan juga ke dalam kategori
tersebut.
Hanya
para Nabi dan Rasul saja yang memiliki keutamaan jiwa yang paling sempurna,
tanpa melalui latihan atau pembinaan yang keras. Mereka lahir dengan potensi
istimewa, sehingga mereka secara alamiah saja dapat tumbuh menjadi Insan Kamil itu. Jiwa mereka penuh
dengan sifat-sifat terpuji atau akhlak ketuhanan, dan bersih dari sifat-sifat
tercela. Manusia bukan Nabi atau Rasul. Mereka, menurut orang-orang tasawuf,
haruslah berjuang keras mengikuti latihan-latihan dalam rangka mengosongkan
jiwa mereka dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat atau akhlak
terpuji. Mereka yang berjuang keras untuk mencapai derajat atau maqam ma’rifat (mengenal Tuhan secara langsung
melalui mata hati nurani) pada hakekatnya berjuang untuk mencapai derajat Insan Kamil, kendati mereka tetap berada
di bawah derajat para Nabi atau Rasul Tuhan.
Sebutan
Insan Kamil agaknya dimunculkan pertama
kali oleh ibn ‘Arabi (w.638/1240), pendiri pahami wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Ia mengikuti paham al-Hallaj yang
menyatakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut
juga oleh Ibn Arabi dengan sejumIah nama, seperti Hakekat Muhammadiyah, Akal Pertama,
Hakekat Insaniah, dan Insan Kamil.
Dengan demikian Ibn Arabi telah mengacukan Insan Kamil bukan saja kepada manusia
tertentu dari turunan Adam, tapi juga kepada Nur Muhammad yang qadim dan bersifaf materi, ciptaan
pertama dari Tuhan. Insan Kamil dengan
pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama itu, diuraikan lebih luas oleh
Abdul Karim al-Jili dalam bukunya al-Insan
Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail, dan para pengikut paham kewatuan
wujud lainnya.
Insan
Kamil yang mengacu kepada makhluk pertama; merupakan hakekat yang menghimpun
segala hakekat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris. Ia juga
merupakan wadah tajalli, atau
pancaran, atau manifestasi segenap nama dan sifat yang memancar dari Wuju
Mutlak (Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insan
Kamil merupakan Akal Pertama atau Wujud ‘Ilmi yang memancar dari Wujud
Mutlak. Ia merupakan sumber segala ilmu. Ia sumber ilmu bagi para Nabi dan
Rasul, para sufi, atau para wali. Penyebutan para Nabi dan Rasul, para Sufi, atau
para wali dengan sebutan Insan Kamil,
tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh
kehadiran atau pancaran Insan Kamil
itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci.
Manusia-manusia
turunan Adam, yang termasuk kategori Insan
Kamil, merupakan wadah yang paling sempurna
dalam dunia empiris, untuk menerima tajalli
(penampakan secara tidak langsung segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan
kata lain merekalah yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan
keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Manusia lain yang bukan Insan Kamil, binatang, tumbuh-tumbuhan,
dan benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli Tuhan, tidaklah dapat dengan
sempurna mencerminkan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya.
Psikologi
Islami, yang punya perhatian pada pencapaian kesempurnaan manusia pasti
memperhatikan soal manusia yang pada hakekatnya bersifat Ilahi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar