IBN KHALDUN:
AGAMA DAN KEKUASAAN POLITIK
Oleh Kamal Abdullah
Alawyn
Kamal Abdullah Alwyn adalah alumnus Program Studi
Sosiologi, jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Nasiomal, Jakarta. Ia juga
pernah mengenyam pendidikan di STF Driyarkara selama 3 tahun. Mantan aktivis
mahasiswa kelahiran Jakarta, 26 Oktober I 964 ini menulis artikel tentang
Politik di berbagai media dan kini sedang mengikuti program intensif bahasa
Inggris di Pacific State University, Los Angeles, untuk mempersiapkan program
master.
Meskipun
masih terdapat perbedaan yang cukup kontroversial di kalangan sarjana seputar
masalah keberagamaan Ibn Khaldun, namun satu hal yang disepakati bersama adalah
bahwa ia meletakkan agama dalam posisi yang sangat penting dalam bidang tara
negara. Menurut Ibn Khaldun, peran agama yang ditunjang oleh ‘ashabiyyah, selain menggalang kesatuan
sosial juga mempunyai andil besar dalam mempertinggi moralitas masyarakat,
bangsa dan negara.
Bagi
Ibn Khaldun, agama lebih merupakan kekuatan integrasi, perukun dan penyatu,
karena agama memiliki semangat yang bisa meredakan berbagai konflik. Bahkan
agama dapat memacu dan menuntun manusia ke arah kebenaran yang tidak saja das sollen tapi juga das sein. Namun demikian, peran agama
akan lebih banyak artinya bila ia menggunakan ‘ashabiyyah dalam merealisir kebenaran itu sendiri.
Dalam
kajian ini hanya akan dipaparkan pandangan pribadi Ibn Khaldun tentang
agamanya, baru setelah itu pada peranan agama secara sosial. Ini dimaksudkan
untuk menguak pemikiran Ibn Khaldun secara utuh. Dengan demikian maka pemaparan
serta pemahaman kajian agama dan kekuasaan politik Ibn Khaldun akan lebih mudah
ditelusuri. Kajian ini dilakukan dengan penggambaran faktual dan analitik
Agama dalam Perspektif Pribadi
Ibn
Khaldun, sebagaimana diketahui, sangat mementingkan kesanggupan berpikir dan
berpegang pada logika dalam memecahkan setiap persoalan. Hal itulah yang membuatnya
dianggap pemikir yang sangat rasional. Menurut pendapatnya, berpikir merupakan
salah satu ciri yang membedakan manusia dari hewan. Bahkan menurutnya, ini
merupakan sumber segala kesempurnaan dan puncak segala kemuliaan dan
ketinggian.
Dengan
pola berpikir yang demikian, wajarlah bila sering kali kalangan agamawan salah
menilai dan marah pada pemikirannya. Padahal, bila kita mau menilik lebih
mendalam, sebenarnya Ibn Khaldun merujuk pada kenyataan, baik dalam tinjauan
sosiologis maupun politik. Ia bersikap demikian tidak lain karena berhubungan
dengan masalah-masalah legitimasi agama dalam kehidupan sosial politik, dan itu
tidak terjadi pada agama secara pribadi. Karena itu, orang harus tunduk kepada
otoritasnya dan tidak boleh mempertanyakan kesahihannya. Apalagi keberadaan jiwa
manusia itu selalu disebabkan oleh adanya barang maujud lainnya. Itulah yang akhirnya memberikan kekuatan jiwa untuk
memahami dan bergerak sebagai postulate pencipta.
Konformasi
itulah yang menempatkan Ibn Khaldun sejajar dengan filosof-filosof Muslim dan
teolog-teolog skolastik (mutakallimun)
lainnya yang menonjolkan keberadaan Tuhan sebagai awal dari keberadaan dunia
dan fenomena teologis.
Apa saja yang ada di
dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda maupun perbuatan dari manusia atau
binatang menunjukkan kepada adanya sebab-sebab yang mendahului yang membawa
semua itu kepada wujud. Dan sebaliknya tiap-tiap satu daripada sebab-sebab ini
adalah suatu kejadian yang menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya.
Karena itu susunan sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada
sebab (yang sebenarnya) daripada segala sebab, yang Mengadakan dan Menciptakan
semua ini -segala puji bagi-Nya, yang tidak ada Tuhan melainkan Dia ....
Persoalan
agama menyangkut realitas gaib, seperti Allah, Malaikat, Roh, kebangkitan
kembali, surga, neraka, dan sebagainya, yang diwahyukan Allah kepada para nabi.
Ini harus diterima, karena otoritas Allah adalah akhir, tertinggi, dan tidak
boleh disangsikan lagi.
Pengakuan
terhadap keesaan Tuhan adalah identik dengan ketidakmampuan untuk mengetahui
sebab-sebab dan proses yang mempengaruhinya, identik dengan penyerahan
persoalan ini kepada Tuhan yang menciptakan dan yang menguasai.
Kemudian,
Tuhan, dalam konsepsi Ibn Khaldun, seperti yang diisyaratkan al-Qur’an, adalah
Tuhan yang menciptakan kehidupan dunia. Untuk itu ia menulis,
Meyakini keesaan Tuhan
di dalam mencipta, sebab kalau tidak begitu, pastilah penciptaan tidak pernah
berlangsung, karena dengan adanya banyak Tuhan, akan terjadi saling mencegah satu
sama lainnya”
Dalam
hal ini Ibn Khaldun secara tegas menyatakan bahwa hendaknya manusia tidak hanya
merasakan dirinya memiliki kekuasaan; dapat memilih sesuai dengan kemampuan
untuk menghentikan dan menarik langkah-langkahnya. Tidak, karena manusia harus
tetap waspada dengan caranya tersebut apalagi untuk memutuskan dari aspek
spekulasi yang berkenaan dengan sebab-sebab. Ditambah lagi manusia harus dapat
sama sekali menghentikan dan melenyapkan spekulasi sebab-sebab itu agar mereka
dapat menghadapkan dirinya secara langsung kepada penyebab semua sebab. Untuk
itu, barang siapa melangkahkan kaki dan berhenti pada sebab-sebab, ia akan
mengalami kegagalan. Manusia yang ingin mencoba melakukannya benar-benar telah
kufur, hingga dapat dijamin ia akan pulang dengan kegagalan. Itu tak lain
karena nabi Muhammad, pembawa syari‘ah, melarang kita mempelajari sebab-sebab
dan memerintahkan kita mengakui keesaan Tuhan yang absolut.
Untuk
hal itu Ibn Khaldun menulis, “Persepsi-persepsi indra kita adalah sesuatu yang
diciptakan dan diwujudkan. Kreasi Tuhan lebih agung dibanding kreasi manusia.
Alam wujud terlalu luas baginya.
Ibn
Khaldun bersikap tegas dalam hubungan manusia dengan Penciptanya, karena itu
merupakan prinsip kausalitas. Terjadinya proses itu tidak lain karena adanya
kreasi dari persoalan yang mutlak. Demikian pula dalam menempatkan eksistensi
Tuhan. Inilah yang menyejajarkannya dengan al-Ghazali. Ia menolak kausalitas
sekunder karena tidak sesuai dengan pernyataan Kitab Suci bahwa semua yang
terjadi di “dunia unsur-unsur” harus dianggap berasal dari prakarsa atau daya
Tuhan yang langsung. Oleh sebab itulah Ibn Khaldun memandang bahwa semua amalan
agama adalah menumbuhkan disiplin mendalam pada jiwa, yang akan membawa kepada
kepercayaan yang semestinya tentang keesaan Allah. Itulah arti keimanan, yang
membawa kebahagiaan akhirat.
Dengan
deskripsi di atas Ibn Khaldun ingin memperlihatkan bahwa semua kekuatan yang
ada di dunia hanya ada di tangan Tuhan. Dia-lah yang mencukupi segalanya tanpa
terpecah. Di sini Ibn Khaldun menunjukkan bahwa itu merupakan bukti kekuatan
Tuhan, karena kekuatan itu menyebar kepada segala yang maujud, baik yang
bersifat universal maupun yang partikular, kekuatan itu juga tercakup dan
terkandung dalam setiap aspek, tidak hanya dalam aspek pemunculan,
ketersembunyian, bentuk dan materi saja, namun ia berada dengan kemandiriannya
sendiri, yang memulai dengan yang satu dan kesatuan (keesaan). Menurut tipologi
Ibn Khaldun, itu identik dengan Dzat Ilahi, yang pada hakikatnya satu dan
sederhana.
Selanjutnya
Ibn Khaldun menyatakan bahwa kita tidak perlu berusaha membuktikan keberadaan
Tuhan secara rasional. Kita hanya harus meyakini dan mematuhi segala yang telah
diperintahkan-Nya. Oleh karena itu, kita harus bungkam
mengenai sesuatu yang tidak kita pahami dan yang bersifat transenden. Lagi pula
“hal-hal yang mutlak” dalam agama tidak dapat dibuktikan secara rasional.
Selain itu, hal-hal tersebut tidak memerlukan sesuatu pembuktian, karena sudah
dijamin kebenarannya oleh wahyu.
Namun
itu tidak berarti bahwa Ibn Khaldun mengabaikan peranan dan kedudukan akal atau
pemikiran yang otonom, karena menurutnya akal itu sebuah timbangan yang cermat,
inovatif dan hasilnya pasti bisa dipercaya. Tapi dalam hubungannya dengan
keesaan, hakekat, dan sifat-sifat Allah atau masalah lain yang terletak di luar
kesanggupan akal, peran dan posisi akal jelas terbatas. Itu terjadi karena
kemampuan akal dibatasi oleh garis-garis yang tegas. Ditambah lagi, otak
hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa Ibn Khaldun telah mencoba meletakkan setiap persoalan pada
proporsi yang sebenarnya dan bersikap obyektif. Dalam hal ini, seperti juga
Immanuel Kant, ia menjauhkan akal untuk memberi tempat kepada kepercayaan. Apa
yang tidak bisa diketahui akal, bisa diketahui melalui wahyu dan mistik
(tasawuf). Ibn Khaldun menggambarkan hal itu dalam halaman-halaman yang paling
baik dan paling hangat dalam buku Muqadimmahnya.
Sudah
dikatakan di atas, Ibn Khaldun telah meletakkan akal dan kepercayaan pada
tempat yang seharusnya. Dengan begitu tidak beralasan bila ia dianggap telah
terperangkap dalam tasawuf. Ibn Khaldun sendiri menyatakan persepsi sufi adalah
satu di antara yang paling kurang ilmiah. Menurutnya, kaum sufi telah mengklaim
pengalaman intuitif dalam hubungannya dengan persepsi dan menghindari
pembuktikan rasional. Padahal pengalaman intuitif jauh dari persepsi ilmiah dan
metodik. Di samping itu, ia pun mengecam ajaran beberapa golongan tasawuf yang
mengajarkan hidup berleha-leha dan penuh misteri. Argumen ini memperlihatkan,
penilaian M.A. Enan terhadap Ibn Khaldun yang dinilainya mempunyai kecenderungan
sufistik yang kuat, mengalami kegagalan. Begitu juga D.B. Mac Donald yang
menjulukinya seorang Ghazalian yang meyakinkan.
Untuk
melihat persoalan ini kita dapat menyitir pendapat Fuad Baali dan Ali Wardi. Menurut
Baali dan Wardi, Ibn Khaldun adalah orang yang sangat tidak memperhatikan upacara-upacara
keagamaan. Tetapi ketika ia menulis tentang Allah dan bagaimana manusia mesti
bersikap dalam usaha menghampiri-Nya, ia tampil sebagai orang saleh, tekun, dan
sufi. Namun, sebaiknya itu tidak digunakan sebagai tolok ukur penilaian, karena
hal itu sifatnya kontemporer. Juga harus diingat bahwa sebenarnya Ibn Khaldun berbeda
dari kaum sufi dan kelompok keagamaan lainnya.
Berdasarkan
pemikiran di atas, kita dapat melihat bahwa Ibn Khaldun telah
merasionalisasikan pemikirannya secara mendalam. Itulah yang menimbulkan
berbagai tanggapan dan kritik, apalagi banyak yang membuat dikotorni bahwa
selain sangat rasionalistik, Ibn Khaldun juga pengikut sufisme atau mistisisme
asketik, karena terlalu menekankan peranan intuisi. Namun Ibn Khaldun sendiri
menganggap keduanya sama-sama penting. Baginya apa yang harus terjadi (what ought to be) sama pentingnya
dengan apa yang ada (what is); namun
keduanya harus tetap terpisah, dan diletakkan pada tempatnya masing-masing
serta dijaga dari pencampuradukan oleh bidang lain. Dengan sengit ia menyerang
pemikir-pemikir ortodoks yang menurutnya telah membiasakan mencampuradukkan
kedua hal tersebut, hingga menimbulkan pertentangan jiwa dalam cara berpikir.
Dengan
demikian, beberapa silang pendapat di antara penulis modern tentang
keberagamaan Ibn Khaldun dapat terjawab, apalagi argumentasi mereka untuk hal
ini tidak akurat dan tidak proporsional. Misalnya pendapat Hussein yang
menyatakan bahwa Ibn Khaldun benar-benar tidak beragama, hanya mengambil
konklusi dari sifatnya yang tidak konsisten dan khianat. Argumen ini sangat
lemah karena bukan merupakan patokan yang valid untuk mengukur keagamaan (keimanan)
seseorang. Menurut Baali dan Wardi, untuk mengetahui hal itu, pertama-tama kita
perlu mengetahui konsepsi agama yang ada dalam pikirannya. Benar Ibn Khaldun
dapat dianggap seorang yang tidak agamis jika kita menilai agama menurut ajaran
asli Nabi Muhammad. Sebagaimana diketahui, agama mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, jadi jelas agama bukannya tidak berperan dalam kegiatan
sekuler manusia. Manusia tidak dapat melakukan apapun, selain menyerahkan
kepada peristiwa-peristiwa sosial yang sulit ditahan. Dari sudut pandang itu,
Baali dan Wardi menilai sikap Ibn Khaldun yang suka berubah-ubah dan khianat
tidak dapat dijadikan petunjuk bahwa ia tidak beragama. Di samping itu kita
perlu mengingat bahwa Ibn Khaldun dalam otobiografinya sangat obyektif dan
terbuka tentang pengkhianatannya.Dari situ dapat dilihat bahwa ia sebenarnya
bukan manusia yang munafik. Oleh karenanya sangat naif, tidak masuk akal dan gegabah
bila sikap yang demikian digunakan sebagai ukuran untuk menilai apakah ia
beragama atau tidak. Apalagi Ibn Khaldun sendiri berkata, bahwa kebahagiaan
sejati terletak dalam cara hidup di jalan Allah seperti yang diwahyukan Allah
kepada Nabi-Nya.28)
Agama sebagai Sistem Legitimasi Sosial Politik
Ibn
Khaldun menandaskan bahwa agama berperan penting dalam kehidupan sosial, yaitu
sebagai kekuatan perukun, penyatu, dan pengutuh masyarakat besar. Lain halnya
dengan ‘ashabiyyah yang hanya
berfungsi integratif (pengutuh) bagi krisis-krisis dalam masyarakat, suku dan
etik. Namun, bila agama dan ‘ashabiyyah tidak
beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja. Lain halnya bila
antara agama dan ‘ashabiyyah ada proses
timbal balik, maka peranannya untuk mendapatkan kekuasaan politik akan semakin
besar, dan memiliki kontribusi besar untuk menciptakan integritas kekuasaan
politik. Hal itu adalah realitas Sosial, yang merupakan “sifat kodrati manusia,
yang mutlak diperlukan bagi eksistensi bangsa manusia.”
Dengan
penegasan tentang aspek kodrati itu, tampaknya Ibn Khaldun ingin menolak
pendapat para filsuf, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang menyatakan bahwa wahyu
dan hukum itu bersifat kodrati dan diperlukan bagi organisasi politik. Di situ
terlihat bahwa konsepsi Ibn Khaldun mengenai agama dan sosial sejajar atau
malah lebih tegas ketirnbang Max Weber.
Ibn
Khaldun juga menekankan bahwa wahyu Allah bukan merupakan kodrat dan tidak
diperlukan dalam organisasi politik pada sebuah negara. Kekuasaan politik tetap
ada walaupun tanpa hukum-hukum Allah.” Di samping itu, manusia sebagai makhluk
rasional dan sosial akan selalu menjawab berbagai tantangan yang dihadapinya.
Dengan bantuan ‘ashabiyyah, seseorang
dapat memaksa orang lain agar mengikutinya. Kecuali itu, banyak bangsa manusia
yang tidak mengenal Nabi-nabi dan hukum-Nya, namun tetap memiliki organisasi
politik. Itu tidak berarti bahwa Ibn Khaldun meremehkan sesuatu yang ideal dan religius.
Ia tetap mengaku dirinya sebagai orang yang sangat alim. Dia paling tidak suka
campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata, sebab
untuk memenuhi tugas-tugas keagamaan, orang harus menjauhkan kehidupan duniawi
dan beribadah kepada Allah di tempat yang sepi dan mencurahkan perhatian sepenuhnya
kepada kegiatan-kegiatan keagamaan. Dari pada mengganggu tata kehidupan sosial
dengan memimpikan perubahan, seseorang hendaknya mendukung tata kehidupan
sosial dan berlaku bijaksana, sebagaimana telah dilakukan banyak orang sejak
permulaan sejarah.
Tentang
masalah peranan sosial agama, Emile Durkheim sependapat dengan Ibn Khaldun
bahwa agama lebih banyak berfungsi sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan
masyarakat manusia. Ibn Khaldun memproyeksikan hal itu pada masyarakat Nomad
yang yang menurutnya merupakan bangsa yang paling sukar untuk ditundukkan,
apalagi dipimpin, oleh orang lain. Ini karena sifatnya yang kasar, bangga,
ambisius dan berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin. Namun, seperti halnya Durkheim
dan F. Houtart, Ibn Khaldun menganggap bahwa dengan agama mereka akan diatur dan
ditingkatkan kekompakannya: sifat sombong dan iri hati akan hilang. Inilah yang
memudahkan mereka untuk tunduk patuh dan berkumpul membentuk kesatuan sosial.
Pada akhirnya mereka akan mengambil sifat terpuji menyatukan suara untuk
menegakkan kebenaran, dan berkumpul menjadi satu kesatuan sosial untuk memperoleh
kemenangan (kekuasaan) dan kedaulatan politik.
Menurut
Ibn Khaldun kekuasaan dapat diperoleh dengan kemenangan, dan kemenangan ini
harus disertai dengan kesatuan tujuan yang hanya terdapat pada golongan yang bersandar
pada partisipasi dan peran agama. Oleh sebab itu, bila semangat. Agama mulai
lemah dan rusak, dengan sendirinya kemenangan yang diperoleh akan mengalami
kemunduran. Negara (bangsa) yang dikalahkan akan kembali untuk melakukan
perlawanan. Ini disebabkan karena mereka memiliki ‘ashabiyyah yang lebih kental dan kuat. Apalagi jika mereka
mempunyai kemampuan untuk menyatukan berbagai golongan yang juga mengalami
penindasan. Ekses yang demikian lebih banyak disebabkan oleh melemahnya agama mereka,
ataupun karena telah melupakan peran ‘ashabiyyah
yang sebelumnya dipegang. Dalam keadaan demikian, orang-orang yang berontak,
baik dari golongan ahli hukum maupun dari golongan rakyat jelata yang bangkit
untuk memperbaiki penyelewengan akan mengalami kegagalan total, walaupun
menggunakan isu keagamaan.
Ibn
Khaldun juga menandaskan bahwa antara ‘ashabiyyah
dan agama ada hukum dialektika yang tidak boleh dipertentangkan. Apabila hukum
itu diabaikan, dengan sendirinya disintegrasi negara (bangsa) akan datang lebih
cepat. Hal ini disebabkan karena kesalahan pokok mereka dalam menafsirkan ‘ashabiyyah. Dalam pada itu, bila
seseorang yang merasa berada dalam kebenaran hendak melaksanakan pembaruan
keagamaan dengan caranya sendiri dan mengabaikan kedudukan ‘ashabiyyah, ia pun akan mengalami kegagalan. Sebaliknya apabila ‘ashabiyyah dan peranan keagamaan
digunakan demi kebenaran dan melaksanakan perintah Allah, maka kemenangan dapat
diraih. ‘Ashabiyyah yang didukung
agama merupakan kekuatan politik yang ampuh. Sebaliknya, agama tanpa kekuatan ‘ashabiyyah, tak akan berhasil
menanamkan pengaruhnya. Dalam hal ini ia sependapat dengan Machiavelli.” Namun,
apabila ada individu atau kelompok yang berpura-pura hendak melaksanakan
pembaruan keagamaan dengan maksud memperoleh kedudukan sebagai pemimpin, tidak
mustahil ia akan menemukan gangguan dan kegagalan. Pembaruan keagamaan termasuk
urusan Tuhan yang tidak akan terlaksana tanpa bantuan-Nya, dan dilakukan dengan
ikhlas dan saling memberi nasihat antar kaum Muslimin. Oleh sebab itu, apabila ‘ashabiyyah lenyap, hukum agama (syari‘ah) tidak akan berperan lama,
sebab ia hanya dapat terwujud melalui ‘ashabiyyah.
Lagi pula, agama tanpa ‘ashabiyyah
tidak komplet. Dalam hal ini Ibn Khaldun menulis:
Kedudukan raja adalah
kesudahan yang wajar dari perkembangan yang lanjut dari ‘ashabiyyah. Dan penjelmaan ini bukanlah soal pilihan, melainkan
suatu akibat yang tak dapat dielakkan daripada peraturan dan susunan segala
sesuatu yang wajar Sebab tidak ada
hukum, agama atau suatu lembaga bisa berjalan tanpa adanya golongan yang
bersatu yang memaksakan dan menetapkan semua itu untuk dijalankan, dan dengan tidak
adanya solidaritas segala itu tidak dapat ditegakkan. Karena itu ‘ashabiyyah tidak boleh tidak mestilah
ada, kalau suatu bangsa mesti memainkan peranan yang telah dipilihkan oleh Allah
untuknya… Sebab kalau hukum-hukum agama tidak mengambil kekuatan hukumnya dari ‘ashabiyyah, maka hukum itu akan mati
dan tak berjalan ...
Pada
bagian lain, Ibn Khaldun memperkuat argumentasinya dengan menyatakan bahwa
sebenarnya Islam dan Nabi-Nya Muhammad tidak mencela ‘ashabiyyah dan kedaulatan (mulk).
Walaupun itu ada, tidak berarti ia mencela ‘ashabiyyah
dan kekuasaan demi kebenaran, demi menggerakkan massa yang besar supaya menerima
kebenaran, dan tidak pula demi memelihara kepentingan umum. Namun bila ia
mencela, itu hanya disebabkan oleh ‘ashabiyyah
dan kedaulatan yang digunakan untuk memperoleh kemenangan melalui cara yang
tidak benar, dan demi menuruti keinginan pribadi dan nafsu syahwat saja. Itulah
yang sebenarnya dicela Nabi, karena akan menimbulkan benih-benih perpecahan dan
membuka pintu bagi timbulnya konflik mendalam antar manusia. Dengan sendirinya prejudice akan tumbuh subur dan sebagai
konsekuensinya kesejahteraan yang tadinya merupakan harapan, akan tumbang dan
sirna begitu saja. Ini tidak akan terjadi apabila ada ‘ashabiyyah dan raja ikhlas dalam berkuasa atas rakyat demi agama:
menyuruh mereka agar menyembah Allah serta berjihad memerangi musuh-musuh-Nya.
Kekuasaan
yang demikian, menurut Ibn Khaldun, tidak tercela. Oleh sebab itu, bila
kedaulatan telah dicapai dan digunakan untuk mencapai kebenaran, maka kekhawatiran
akan timbulnya monopoli kedaulatan tidak akan ada. Inilah konsekuensi dari
adanya ‘ashabiyyah. Menghadapi
situasi yang rumit ini, Ibn Khaldun menekankan bahwa syari‘ah tidak mengecam
kedaulatan (mulk) dan tidak pula
melarang pelaksanaannya. Larangan atau pun kecaman syari‘ah hanya tertuju pada
ekses-ekses yang buruk yang ditimbulkan oleh persoalan tirani, kezaliman, dan
konsumerisme. Yang diinginkan dari syari‘ah adalah kedaulatan yang berpangkal
pada persoalan keadilan, kejujuran, pelaksanaan tugas-tugas agama, dan membela
kaum yang lemah, yang merupakan bagian dari kedaulatan. Oleh sebab itu kecaman yang
timbul hanya ditujukan pada kedaulatan yang berdampak negatif saja. Konsekuensi logis dari situasi sosial yang
berkembang pula syari‘ah tidak pernah mencela kedaulatan itu sendiri, dan tidak
pula menyuruh supaya menjauhinya. Sebagaimana telah kita ketahui, sebenarnya
syari‘ah tidak memiliki kemampuan apa-apa bila tidak mendapat pertolongan dari ‘ashabiyyah, sedangkan ‘ashabiyyah dan kekuatan kekuasaan –sesuai
dengan wataknya- memerlukan kedaulatan. Jadi adanya kedaulatan merupakan
keharusan dalam masyarakat, meskipun belum ada hukum agama.
Gambaran
Ibn Khaldun mengenai peran dan kedudukan para ahli agama memperlihatkan nada sekuler
dan kontroversial. Menurut pendapatnya, peradaban politik yang disertai dengan ‘ashabiyyah akan terus mencari bentuk finalnya,
walaupun para ahli agama “tidak turut serta” di dalamnya.
Untuk
itu ia melukiskan sebagai berikut:
Ketahuilah, kekuasaan
raja dan pemerintahan tegak oleh syarat alami peradaban; jika tidak, ia tak
akan dapat berbuat apa-apa dengan politik. Watak peradaban tidak mengharuskan
ahli-ahli fiqih dan ulama memberikan saham dalam kekuasaan. Kekuasaan penasehat
dan kekuasaan eksekutif hanya menjadi milik orang yang menguasai ‘ashabiyyah, yang dengannya ia dapat
menjalankan kekuasaan. Orang-orang yang tidak memiliki ‘ashabiyyah, yang tidak dapat menguasai urusan sendiri, dan yang tidak
bisa mempertahankan diri, adalah orang-orang yang bergantung kepada (bantuan) orang
lain. Jika demikian, bagaimana mungkin mereka dapat berpartisipasi dalam
dewan-dewan musyawarah, dan bagaimana mungkin nasihat mereka dapat
diperhitungkan? Nasehat mereka sebagai pecahan dari pengetahuan tentang
hukum-hukum agama hanya akan dipertimbangkan sejauh pencarian keterangan dari
keputusan-keputusan hukum. Musyawarah masalah politik bukanlah wewenang mereka,
sebab mereka tidak memiliki ‘ashabiyyah,
dan tidak mengetahui kondisi serta
hukum
yang mengatur ‘ashabiyyah itu.
Tesis
di atas menunjukkan kerapian dan kejernihan Ibn Khaldun dalam memetakan masalah
agama dan sosial. Itu tidak berarti Ibn Khaldun pendiri konsep sekuler, sebab
ia secara cermat meletakkan setiap masalah pada tempatnya. Lagi pula ia tidak
ingin mempertentangkan antara agama dengan bidang lain, apalagi mencampuradukkannya.
Sikap
Ibn Khaldun yang demikian tidak lain karena ia percaya bahwa fungsi sosial
agama adalah untuk mempersatukan kelompok daripada melemahkannya. Dalam konteks
ini teori Ibn Khaldun dapat disejajarkan dengan teori sosiologi agama Durkheim dan
Weber. Ia begitu percaya bahwa agama tidak bertujuan untuk merubah adat
istiadat masyarakat. Adat istiadat merupakan suatu aspek sosial yang tak terelakkan
dalam masyarakat. Karena itu, agama yang benar hanya berusaha mengeliminasi
perang saudara sehingga masyarakat mampu menghadapi musuh mereka. Ibn Khaldun
juga tidak mernpermasalahkan bagaimana seorang raja membimbing rakyatnya atau
bagaimana hubungan kelas diatur dalam
komunitas keagamaan, yang ia anggap di luar jangkauan agama. Tampaknya ia
menghendaki agama membentuk front yang kuat dalam kelompok untuk melawan dunia
luar.
Mengenai
bentuk kekuasaan politik, Ibn Khaldun membedakan dua macam kekuasaan atau pemerintahan:
siyasah diniyya, yaitu kekuasaan atau
pemerintahan berdasarkan hukum agama yang diwahyukan (syari‘ah), dan siyansah aqliyya, atau bentuk
pemerintahan berdasarkan hukum politik akal budi (rasional). Tipe pemerintahan
yang pertama dilaksanakan untuk dunia dan akhirat, sebab pemberi hukum
mengetahui kepentingan tertinggi manusia dalam hubungannya dengan keselamatan
manusia di akhirat. Sedangkan tipe yang kedua dilakukan hanya untuk dunia ini
saja.
Ibn
Khaldun menekankan bahwa pemikirannya tentang pemerintahan tidak seperti apa
yang dikenal sebagai “utopisme politik” (siyasah
madaniyya) dari para filsuf, yang menurut pendapatnya hanya melihat peranan
disposisi jiwa dan karakter yang harus dimiliki masing-masing anggota
organisasi sosial, sehingga sama sekali tidak membubuhkan pengatur-pengatur
yang realistis. Inilah yang dimaksud oleh para filsuf sebagai siyansah madaniyya, suatu bentuk pemerintahan
utopia, negara sempurna, sebagaimana dipikirkan oleh Plato dan diteruskan oleh
al-Farabi, yang berbeda dengan konsep siyasah
aqliyya.
Jika
siyasah aqliyya merupakan bentuk
pemerintah rasional berdasarkan hukum yang dibentuk oleh akal praktis penguasa,
maka siyasah madaniyya adalah bentuk pemerintahan
yang didasarkan pada akal spekulatif para filsuf yang hanya berkisar pada suatu
hipotesis. Siyasah diniyya mendapat
konkretisasinya dalam khilafa5 dan siyasah
aqliyya dalam mulk (pemerintah
monarki). Konsekuensi dari ini adalah terjadinya pergeseran dari pemerintahan
berdasarkan agama kepada pemerintahan sekuler, lewat suatu transisi bentuk
pemerintahan campuran. Di sini Ibn Khaldun lebih memberikan perhatian pada arti
politis agama daripada aspek moral dan budaya, meskipun ia tidak melalaikan dua
hal terakhir itu. Ia melihat bahwa agama dapat menambah kekuatan politik, dan
semangatnya dapat mempercepat gerak sejarah. Sebaliknya, agama membutuhkan
landasan ‘ashabiyyah (psiko-sosial),
sebab tidak ada agama atau lembaga
pemerintahan bisa berjalan
tanpa adanya golongan yang bersatu yang memaksakan dan menetapkan semua
peraturan untuk dilaksanakan, dan tanpa ‘ashabiyyah
segalanya tidak dapat ditegakkan, Karena itu ‘ashabiyyah tidak boleh tidak harus ada, kalau suatu bangsa ingin
memainkan peranan yang telah dipilihkan Allah untuknya.
Kesimpulan
Keseluruhan
telaah di atas menunjukkan bahwa Ibn Khaldun secara lugas menolak membicarakan
eksistensi Allah, karena hal itu hanya sebuah “perdebatan klasik” yang tidak
berujung pangkal. Hal itu juga hanya membuang-buang waktu dan semakin membingungkan
masyarakat banyak yang masih sangat awam. Namun sebaliknya, sangat perlu
mendialogkan bagaimana ajaran agama itu diterapkan dalam kehidupan sosial,
karena akan lebih bermanfaat bagi kehidupan individu, kelompok maupun masyarakat.
Lagi pula, agama merupakan tali pengikat yang dominan dalam hubungan interaksi
antara manusia. Di samping itu, dengan kekuatan “rahasianya”, agama mampu
berperan sebagai faktor solidaritas, penyatu, dan pengutuh berbagai perdebatan
yang timbul dalam masyarakat. Agama juga mampu mengkondisikan manusia untuk
selalu memihak golongan yang tertindas dan peka terhadap kehidupan sosial. Tetapi
harus diingat pula, bahwa peranan agama tidak akan berjalan mulus apabila
kedudukan ‘ashabiyyah diabaikan
begitu saja. Agama dengan ‘ashabiyyah
saling mempengaruhi dalam memberikan kontribusinya. Keduanya menggalang dan
mempertinggi moralitas masyarakat, bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar