BEBERAPA LANGKAH PENINGKATAN MUTU BANGSA
Oleh Sayidiman
Suryohadiprojo
Nama Sayidiman
Suryohadiprojo, di masyarakat lebih dikenal sebagai penulis ketimbang mantan perwira tinggi TNI AD berpangkat
Letnan Jenderal. Ia lahir di Bojonegoro, 1927, dan menyelesaikan Akademi
Militer RI di Yogyakarta, 1948. Karier militemya dimulai dari Komandan Peleton
di Divisi Siliwangi hingga Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas),
1974. Mantan Dubes Indonesia di Jepang ini, sangat produktif menulis dan
kerap diundang dalam
pelbagai seminar. Mungkin karena keluasan pengetahuan dan ketajaman
pemikirannya itulah, baru-baru ini ia dipanggil Pak Harto untuk menjadi
Dubes keliling dalam rangka
“sosialisasi” hasil-hasil Konferensi Puncak Gerakan Non-Blok (GNB) baru lalu di
Jakarta. Selain itu, Sayidiman juga adalah anggota Dewan Penasehat Pengurus
ICMI Pusat.
Mayoritas
rakyat Indonesia beragama Islam. Karena itu upaya peningkatan mutu umat Islam
sangat menentukan hari depan Bangsa Indonesia. Tapi, ternyata ada kendala
mental dan struktural yang menghambat pengembangan potensi umat Islam dan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kendala mental antara lain tercermin dalam
sikap pikiran dan perasaan menjadi “anak orang kaya yang manja”. Sedang kendala
struktural antara lain berupa kurangnya kemampuan memanfaatkan potensi dan
karunia Tuhan, terbatasnya kemampuan menghasilkan sintesa dalam proses
dialektika serta kurangnya kemampuan mewujudkan jaringan sosial (social network) yang efektif. Menurut
Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo dalam esseinya ini, kalau kita berhasil
mengatasi kelemahan-kelemahan itu, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan
efektif.
Artikel
ini hendak mengemukakan beberapa pendapat dan observasi tentang mayoritas
rakyat Indonesia beragama Islam maka apa yang dikemukakan itu juga menyangkut
keadaan umat di Indonesia. Penulis bukan pakar agama Islam. Tapi ia seorang
Muslim yang berusaha untuk menjalankan segala kewajiban dan ketentuan yang
diletakkan oleh agama Islam kepadanya. Karena ia berpendapat bahwa Islam
adalah- agama universal yang berlaku di mana-mana dan sepanjang zaman. Maka
menurut pendapatnya Islam adalah agama yang sesuai dengan akal sehat (common sense) manusia. Sebab itu ia
yakin bahwa dalam al-Qur’an terdapat segala ketentuan yang sesuai dengan
kehidupan di segala zaman dan tempat untuk memungkinkan kehidupan manusia
berkembang sesuai dengan kehendak Tuhan Sang Pencipta. Tergantung pada manusia
untuk menemukan ketentuan itu dan menerapkannya dalam kehidupannya. Atau
berdasarkan penggunaan otaknya yang dikaruniakan Tuhan pada manusia untuk dapat
berpikir, berperasaan, berintuisi dan berpersepsi, menyusun kehidupan sesuai
dengan kewajiban yang ditentukan oleh Islam padanya dan dengan demikian juga
merupakan akal sehat yang penting bagi kehidupan selanjutnya. Terserah pada
pakar agama Islam untuk kemudian meletakkan dalam hubungannya dengan ajaran
yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur'an.
Karena
mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, maka hanya dengan mutu umat Islam
Indonesia yang memadai bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang bermutu. Oleh
sebab itu titik berat isi makalah ini tertuju pada sesama Muslim Indonesia. Itu
tidak berarti bahwa di antara kita tak ada perkecualian terhadap hal-hal
tertentu yang dikemukakan. Yang digambarkan adalah satu generalisasi untuk
mengarahkan pada pembaruan menyeluruh sehingga terwujud kondisi umat Islam
Indonesia baru yang lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan bangsa yang ingin
hidup sejahtera dan maju dalam perkembangan umat manusia yang bukan main
cepatnya dan variasinya.
Meskipun
terutama menyangkut umat Islam, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa itu juga
berlaku bagi rakyat Indonesia yang bukan Muslim. Dan pembaruan memang merupakan
keperluan seluruh bangsa. Sebab itu semoga pendapat dan observasi ini juga
menjadi perhatian sesama rakyat Indonesia lainnya. Adapun titik berat yang
diletakkan pada umat Islam adalah untuk memperoleh massa kritik (critical mass). Tanpa itu sukar memperoleh
pembaruan bangsa yang sebenarnya.
Makalah
ini merupakan pendapat dan observasi. Karena itu ia merupakan hasil dari
penglihatan, pengalaman, pemikiran dan perasaan. Jadi, bukan hasil satu
kegiatan riset yang teratur. Maksud penulisan makalah ini adalah untuk
memperoleh tanggapan tentang kebenaran atau kekurangbenaran pendapat serta
observasi itu. Kemudian baru perlu diadakan penelitian yang seksama dan
mendalam tentang sebab-musababnya serta ditentukan hal apa yang perlu dilakukan
untuk pembaruan.
Posisi Indonesia di Masa Mendatang
Perkembangan
umat manusia makin cepat dan aneka ragam. Itu tidak dapat lain, karena manusia
dimana-mana makin banyak memperoleh pendidikan dan pengalaman yang memaksanya
makin banyak menggunakan otaknya serta melakukan perbuatan untuk menyesuaikan
dirinya bagi kelangsungan hidup atau bahkan keunggulan hidup.
Pendidikan
formal makin meluas melalui berbagai macam pendidikan sekolah. Tapi tidak kalah
pentingnya adalah pendidikan tidak formal yang diperolehnya melalui berbagai alat
komunikasi yang makin banyak dan tersebar di mana-mana sebagai akibat kemajuan teknologi,
khususnya teknologi komunikasi dan angkutan.
Pengalaman
juga menjadi makin banyak karena harus bereaksi terhadap perkembangan baru yang
tadinya sama sekali tidak dihadapi. Atau memang sengaja mengadakan aksi karena
terangsang oleh naluri untuk berkuasa atau menonjolkan dan didukung oleh pengetahuan
dan informasi yang bertambah.
Menjadi
makin jelas bahwa semua bangsa menghendaki kesejahteraan hidup makin tinggi.
Namun juga dipahami bahwa usaha untuk kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari
jaminan keamanan.
Berakhirnya
Perang Dingin dengan hancurnya blok komunis tanpa terjadi penggunaan senjata
yang sudah diakumulasi dalam jumlah besar sekali menunjukkan pentingnya faktor
ekonomi dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi itu. Sebab
blok komunis tidak inferior dalam politik dan militer, bahkan juga tidak dalam
sosial, melainkan inferior dalam ekonomi. Tapi, inferioritasnya dalam ekonomi itu
menimbulkan kelemahan dan bahkan kerawanan jangka panjang dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan itu dapat berakibat besar pada kekuatan militer
yang selanjutnya juga berpengaruh besar pada kekuatan politik. Itu sebabnya
Mikhail Gorbachev dapat meyakinkan mayoritas bangsa bekas Uni Soviet untuk
membenarkan konsep perestroika atau restrukturisasi. Tadinya, ia sama sekali
tidak berpikir bahwa perestroika mengharuskan perubahan besar dalam politik,
karena yang dikehendakinya adalah perbaikan sosialisme dengan struktur ekonomi
baru yang lebih efektif dan efisien. Ternyata perestroika tidak mungkin terjadi tanpa glasnost atau keterbukaan dan demokratizatsinya
(demokratisasinya). Itulah kemudian membuktikan bobroknya blok komunis sehingga
hancur berantakan.
Setelah
Perang Dingin selesai masuk akal kalau naluri manusia Amerika Serikat (AS)
mendorongnya untuk menjadi penguasa dunia. Sebab AS merasa dan berpikir bahwa
berkat kekuatan dan kemampuan AS blok Barat dan unggul dalam Perang Dingin. Jadi
sekarang terasa sekali dalam kehidupan internasional betapa AS hendak menjadi
penentu segala keadaan umat manusia. Ia bahkan datang dengan konsep Tata Dunia
Baru yang harus dilandasi demokrasi, ekonomi yang berorientasi pasar dan
hak-hak asasi manusia. Tentu semuanya menurut versi AS tanpa banyak menghiraukan
bahwa bisa saja ada demokrasi, ekonomi yang berorientasi pasar dan hak-hak asasi
manusia yang tidak sama dan sebangun dengan versi AS. Yang tidak sesuai dengan
versinya harus menyesuaikan diri dengan AS. Sebab dialah yang menjadi penguasa
dan penentu Dunia.
Satu
kehendak (intention) untuk menjadi
kenyataan memerlukan kemampuan yang memadai. Sebab kehendak tanpa perbuatan
nyata tidak akan mengubah keadaan secara kongkrit. Celakanya bagi AS adalah
bahwa kemampuannya untuk mendukung kehendaknya jauh dari memadai. Sebab
meskipun ia pemenang atau unggul dalam Perang Dingin dan menjadi kekuatan utama
blok Barat, namun dalam kenyataan ekonominya sendiri juga mengalami keadaan
yang parah. Memang AS masih merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan
GNP sekitar AS$.6.000 miliar. Tapi, ia juga negara dengan utang terbesar, yaitu
AS$.4.000 miliar, meskipun terbanyak merupakan utang dalam negeri. Selain itu
ia mempunyai defisit anggaran belanja yang terbesar pula sekitar AS $400 miliar,
dan menurut perkiraan para pakarnya sendiri dapat meningkat menjadi AS$.500 miliar
dalam 3-5 tahun yang akan datang. Selain itu ia mengalami defisit perdagangan
yang juga tidak kecil, sekitar AS$.150 miliar. Itu malahan berakibat kurang adanya
kemampuan bersaing bagi sebagian industrinya sehingga harus menutup cukup banyak
tempat produksi. Akibatnya, adalah peningkatan pengangguran. Ini harus
merupakan satu gambaran umum dari kondisi ekonomi AS yang kurang baik, Sehingga
kemampuan tidak sesuai dengan kehendak untuk menjadi penentu dan penguasa
dunia.
Dalam,
keadaan demikian adalah lumrah pada manusia yang kurang berpikir luas untuk
mencari sebab kekurangannya pada pihak lain. Memang, bagian dunia lain banyak
yang mengalami kemajuan sehingga tidak kalah dari AS atau bahkan melebihinya
dalam ekonomi. Yang terutama dinilai AS sebagai kekuatan yang menjadikannya bukan
unggul adalah Eropa Barat dengan Jerman sebagai inti kekuatan dan Asia Pasifik
dengan Jepang sebagai inti kekuatan.
Maka
setelah Uni Soviet dan Blok Komunis tidak ada lagi, rakyat AS cenderung
menentukan tantangan baru, kalau tidak mau dinamakan musuh baru. Eropa Barat
dengan Jerman sebagai kekuatan inti sebenarnya merupakan kekuatan ekonomi yang
lebih besar, Tapi, mayoritas rakyat AS berasal dari Eropa, maka ada afinitas
yang cukup kuat dengan Eropa. Jadi meskipun orang selalu mengatakan bahwa dalam
abad ke-20 yang hampir berakhir ini sikap primordial sudah harus tidak ada,
namun dalam kenyataan hidup manusia hubungan primordial tetap saja kuat. Maka
yang sekarang oleh AS dianggap penghalang atau bahkan musuh utama bagi kekuatan
ekonominya adalah Asia Pasifik dengan Jepang sebagai kekuatan inti. Suasana
masyarakat AS cenderung untuk menuduhkan segala ketidakberesan ekonominya pada
Asia Pasifik dan khususnya Jepang. Ternyata Jepang dan bangsa Asia Pasifik
lainnya kurang mau membuka pasarnya bagi hasil produksi AS, malah sebaliknya
membanjiri pasar AS dengan hasil produksi mereka. Mereka dapat berbuat demikian
karena acapkali melakukan dumping harga produksinya, sehingga produk AS kurang
mampu bersaing di pasarnya sendiri. Dan berbagai tuduhan lain tanpa disertai
mawas diri bahwa hasil produksinya memang kurang dapat menyajikan mutu dan
harga yang sesuai dengan keinginan rakyatnya sendiri.
Maka
dapat dikatakan bahwa dari sudut ekonomi AS melihat Asia Pasifik sebagai
tantangan, kalau bukan ancaman. Sebab itu ia selalu harus turut dalam segenap
susunan Asia Pasifik untuk dapat mengatur agar jangan merugikannya. Itu
sebabnya AS keras sekali sikapnya terhadap konsep PM Malaysia Mahathir Mohamad
untuk menyusun kelompok Ekonomi Asia Timur (East
Asia Economic Grouping yang kemudian diubah menjadi East Asia Economic Causus untuk melunakkan AS), karena dalam konsep
itu tidak ada tempat bagi AS. Padahal, AS sendiri menyusun Persetujuan
Perdagangan Bebas Amerika Utara (North
American Free Trade Agreement) terdiri dari AS, Kanada dan Meksiko serta
tidak mustahil meluas lagi dengan negara Amerika latin lainnya.
Meskipun
ekonomi sekarang menjadi faktor utama bagi kehidupan umat manusia, namun
politik dan militer tidak dapat sama sekali ditiadakan perannya. Malahan dapat
memperkuat posisi ekonomi dan kesejahteraan pada umumnya. Maka setelah blok
komunis tidak ada lagi dan tidak berperan sebagai kekuatan politik dan militer
yang membahayakan kepentingan AS, yang dilihat sebagai bahaya baru adalah
Islam. Soalnya. adalah karena jumlah umat Islam di dunia besar dan dapat
menghasilkan vitalitas yang besar pula. Karena itu juga tidak mudah untuk
begitu saja disuruh mengikuti kehendak AS. Untuk memberikan justifikasi bagi
pendapat itu adalah terjadinya aksi gerilya kaum Muslim yang dinamakannya teror
yang membahayakan umat manusia. Dan digunakan istilah fundamentalisme Islam
untuk menimbulkan persepsi umat manusia betapa bahaya dan merugikan umat Islam
itu bagi umat manusia. Apalagi kalau ada bangsa yang bagian terbesar rakyatnya
umat Islam dan dapat membentuk kekuatan yang tidak mudah didikte pihak lain.
Bangsa demikian dengan mudah dinilai sebagai ancaman bagi AS dan umat manusia.
Demikianlah
kondisi dunia di mana Indonesia berada. Oleh sebab itu, kita melihat ada lima
alasan yang mengharuskan kita waspada dan siap terhadap pandangan dan sikap
kurang menguntungkan dari pihak lain, khususnya AS, terhadap perkembangan
Indonesia. Kecuali kalau mau sepenuhnya tunduk pada kehendaknya.
Pertama,
Indonesia merupakan bagian dari Asia Pasifik yang dalam perkembangan ekonominya
dekat dengan Jepang dan bangsa Asia Pasifik lainnya. Meskipun Indonesia
bersahabat dengan bangsa lain dunia, termasuk Eropa Barat dan Amerika, karena
memang berkepentingan untuk meluaskan hubungan ekonominya ke seluruh dunia
untuk memaksimalkan ekspornya, namun toh kita tidak dapat menutup kenyataan
bahwa hubungan ekonomi Indonesia terbanyak adalah dengan Jepang. Atas dasar ini
kita harus siap untuk menerima pukulan berupa peraturan yang merugikan kita di
AS dan Eropa Barat.
Kedua,
meskipun Indonesia selalu mengatakan bahwa dasar ideologi negaranya adalah
Pancasila, namun adalah satu kenyataan bahwa umat Islam di Indonesia adalah
yang terbesar di antara semua bangsa di dunia. Jadi, kemajuan Indonesia
merupakan bukti kemajuan umat Islam yang dapat menjalar pada umat Islam di
bagian lain dunia. Itu dapat menjadikan alasan agar kemajuan Indonesia harus
dibatasi, khususnya kemajuan umat Islamnya. Selain itu Pancasila sendiri
merupakan satu paham yang juga asing bagi dunia Barat yang berpaham
individualisme.
Ketiga,
Indonesia adalah anggota Gerakan Non-Blok yang sejak permulaan termasuk anggota
yang konsekuen, Bahkan sejak tahun 1992 Indonesia adalah ketua GNB. Padahal
perkembangan GNB atau pihak bangsa Selatan menimbulkan kepentingan yang tidak
paralel dan karena itu kurang disukai pihak Utara, meskipun sebenarnya kemajuan
Selatan justru menguntungkan Utara juga. Sebab pada waktu ini kepentingan Utara
lebih tertuju pada dirinya sendiri dan bangsa-bangsa yang secara kultural dekat
padanya, serta memerlukan bantuan untuk maju. Itu adalah Eropa Timur dan bekas
Uni Soviet yang termasuk bangsa Kaukasia. Jadi GNB yang terlalu aktif dan
terlalu mendesak tidak disukainya. Karena Indonesia menjadi ketuanya, maka
tentu tekanan tertuju pada Indonesia.
Keempat,
Indonesia mempunyai posisi dan kondisi geografi dan demografi yang unik.
Wilayahnya merupakan harmoni antara daratan dan lautan terletak di posisi
silang internasional yang amat penting, terletak pula sepanjang khatulistiwa
yang amat signifikan dilihat dari sudut penggunaan angkasa luar, mempunyai potensi
kekayaan alam besar di darat maupun di laut, mempunyai jumlah penduduk keempat
terbanyak di dunia yang belum berlebihan jika dibandingkan dengan luas
wilayahnya. Ini semua merupakan karunia Allah yang bukan main besarnya dan uniknya.
Tapi tentu bagi pihak lain dapat dianggap sebagai hal yang merugikan mereka
kalau itu menjadi kekuatan riil yang berpengaruh besar dalam geostrategi dunia.
Oleh sebab itu masuk akal kalau ada usaha agar Indonesia jangan maju.
Sebaliknya, potensi besar itu sebaiknya justru yang memanfaatkan.
Kelima,
meskipun penduduk Indonesia terdiri dari berbagai ras, namun bagian terbesar
termasuk ras Melayu yang berkulit cokelat. Pada waktu sekarang yang sudah maju
terlebih dahulu adalah ras Kaukasia atau kulit putih. Kemudian menyusul ras
Mongol atau kulit kuning, meski itu pun dihalangi oleh ras Kaukasia. Ras Melayu
atau kulit cokelat tentu juga ingin main, setingkat dengan yang sudah lebih
dulu maju. Tapi seperti dalam segala hal, pihak yang sudah lebih dulu maju
biasanya tidak mau disamai posisinya oleh yang baru. Sebab itu Indonesia pun
akan mengalami tekanan untuk kurang maju. Demikian posisi Indonesia di masa
kini dan menghadapi abad ke-2l yang sudah di ambang pintu. Karena kita tetap
menginginkan terwujudnya kehidupan dalam masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan
Pancasila, maka kita harus waspada terhadap posisi Indonesia ini dan mengambil
langkah-langkah agar tidak mengalami kerugian dalam pencapaian tujuannya; Dalam
hal itu faktor yang amat menentukan adalah manusia Indonesia. Dan karena di
antara itu umat Islam adalah terbanyak, maka amat menentukan perkembangan umat
Islam Indonesia di tahun-tahun mendatang.
Dalam
hal ini tiga faktor yang merupakan kelemahan struktural yang perlu kita sadari
dan usahakan untuk mengatasinya. Tidak mustahil ada faktor lain lebih dari yang
tiga. Namun ini merupakan landasan bagi yang lain dan karenanya tiga ini saja
yang akan dibicarakan dalam makalah ini.
Kemampuan Mengembangkan dan Menggunakan Energi
Kelemahan
dan kerawanan struktural pertama pada rakyat dan umat Islam Indonesia dewasa
ini adalah kurangnya kemampuan memanfaatkan potensi besar dan karunia Tuhan
yang diberikan pada mereka. Dalam potensi itu tidak hanya segala potensi alam
dan kependudukan yang telah dikemukakan, tapi juga potensi kecerdasan “dan
fleksibilitas yang ada pada rata-rata manusia Indonesia.
Itu
disebabkan terutama karena kurang ada cukup dorongan dari dalam dirinya sendiri
untuk mengembangkan energi dan menggunakan secara tepat dan bermanfaat. Kalau
kita perhatikan sejarah Indonesia, maka kekalahan atau bahaya besar yang
dihadapi pada umumnya bukan disebabkan karena hebatnya keunggulan pihak lain,
tapi karena manusia Indonesia sendiri yang menimbulkan kelemahan pada dirinya
sendiri sehingga akibatnya dapat dikalahkan atau diungguli oleh pihak lain.
Contoh
jelas adalah ketika Sultan Agung yang merupakan penguasa kuat Mataram dan telah
berhasil mengumpulkan kekuatan besar di sekitar kedudukan Belanda (yang waktu
itu hanya berada di tempat amat terbatas yang sekarang kita kenal dengan daerah
Pelabuhan Sunda Kelapa di ujung utara kota Jakarta), lagi pula jumlah Belanda
tidak lebih dari sekitar 3.000 orang dan dalam kondisi jasmaniah yang tidak
mungkin prima karena perjalanan laut dari negerinya waktu itu memerlukan
sekitar satu tahun dengan kondisi makanan yang buruk. Namun ternyata Sultan
Agung tidak berhasil mengusir kekuatan Belanda yang kecil dan terpencil itu.
Itu menunjukkan dari segi militer bahwa ada kelemahan moral dan bukan kelemahan
material. Ada orang yang mencari alasan keunggulan Belanda dalam teknologi
militer. Tapi pada waktu itu teknologi militer baru berupa senapan dan meriam
saja. Itu sebenarnya dapat dihadapi secara efektif dengan jumlah manusia yang
digerakkan secara bergelombang. Itu dibuktikan oleh tentara RRC ketika pada
Perang Korea berhadapan dengan tentara AS yang teknologinya jauh lebih unggul.
Jadi karena kurang adanya kekuatan kemauan yang menghasilkan energi, maka
Indonesia dapat menjadi jajahan Belanda. Andai kata waktu itu Sultan Agung
dapat mengusir J.P. Coen ke laut dan meninggalkan daratan Jakarta, pasti
sejarah akan berbeda.
Contoh
lain adalah tumbuhnya PKI di Indonesia sehingga menjadi partai komunis ketiga
terbesar di dunia setelah PK Uni Soviet dan PK Cina. Padahal PKI sudah memberontak
di Madiun pada tahun 1948 dan dapat kita likuidasi pimpinannya. Bahwa kemudian
PKI menjadi organisasi begitu besar sehingga hampir saja dapat merebut
kekuasaan di Indonesia bukan karena PKI dan orang-orangnya yang jauh lebih
unggul daripada kita pembela Pancasila dan umat Islam, melainkan karena kita
mengambil sikap dan berlaku demikian rupa sehingga menimbulkan kerawanan dan
kelemahan. Itulah yang dimanfaatkan PKI dan Komunis Internasional yang besar
kepentingannya untuk menguasai Indonesia. Kita masih beruntung bahwa perbuatan
kekuasaan PKI dapat kita gagalkan, meskipun hampir seluruh masyarakat sudah diinfiltrasi
dan bahkan dipengaruhi olehnya. Hanya TNI-AD yang secara tegas dan konsekuen
menghadapi PKI, sekalipun tidak jarang dituduh dan dikatakan oleh Bung Karno
sebagai komunisto-fobi.
Kelemahan
struktural ini mungkin disebabkan oleh respons yang kurang tepat terhadap
segala kemurahan dan karunia Tuhan pada rakyat dan manusia Indonesia. Dengan
segala kemurahan yang jarang dimiliki bangsa lain, bangsa Indonesia bagaikan
anak orang kaya, sebab semua serba mudah. Bahkan, kalau bangsa lain yang
tinggalnya dekat kita seperti Filipina setiap tahun harus mengalami serangan
taifun yang selalu merusak kehidupan yang telah dibangun, Indonesia pun bebas
dari bahaya musiman seperti itu. Karena semua dirasakan serba mudah, maka
timbul kecenderungan menjadi manusia yang lunak dan kurang terdorong
mengembangkan energi. Dengan pikiran: toh semua nanti akan beres sendiri. Jadi
sikap pikiran dan perasaan anak orang kaya yang manja. Memang dalam kehidupan
masyarakat anak kaya yang mania akan sukar berhadapan secara efektif dengan anak
miskin yang gigih bersemangat dan besar energinya. Yaitu seperti manusia Jepang
dan Korea yang tanahnya kebanyakan gunung dan batu dan secara musiman harus
berhadapan dengan alam yang keras dan bahkan kejam. Atau manusia Cina yang
karena banyaknya penduduk di negerinya sendiri, harus berimigrasi untuk dapat
hidup. Tapi tidak semua orang kaya dengan sendirinya manja. Buktinya manusia Amerika
yang negaranya paling kaya di dunia menghasilkan manusia yang kuat energinya;
baru belakangan saja mereka berat menghadapi energi manusia Jepang, Korea dan
Cina.
Satu
kelemahan struktural tidak harus bersifat permanen atau tidak dapat berubah.
Tergantung pada manusia dan usaha yang dilakukannya apakah kelemahan struktural
dapat berubah atau tidak. Sejarah umat manusia banyak memberikan bukti. Dulu
Eropa dikuasai kerajaan Romawi dengan orang-orang yang berasal dari sekitar
kota Roma sebagai inti kekuatan kerajaan. Pada waktu itu orang Romawi
menganggap rendah pada orang Eropa yang berasal dari utara, yang semuanya
dikuasai tentara Romawi yang kuat. Tapi itu semua sekarang justru terbalik.
Sekarang justru manusia Eropa yang berasal dari utara, seperti Jerman dan
Skandinavia, jauh lebih main dan berkembang dari pada manusia Eropa bagian
Selatan termasuk orang yang berasal dari Italia Selatan sampai Roma.
Perbandingan
antara Jepang dan Amerika serta Eropa Barat sekarang juga menunjukkan bahwa
kelemahan struktural tidak perlu permanen; Siapa yang lima puluh tahun yang
lalu dapat mengira hasil industri AS tidak mampu menyaingi produk industri
Jepang di wilayah AS sendiri?
Sebetulnya
rakyat Indonesia pernah menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan energi besar,
yaitu ketika memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan kemudian selama
5 tahun menjalankan perjuangan fisik, psikis, mental dan intelektual secara
gigih untuk mempertahankan kemerdekaan itu dari usaha penjajah untuk
meniadakannya. Pada waktu itu rakyat Indonesia benar-benar berbeda sikapnya
dibandingkan sebelumnya ketika dijajah Belanda dan Jepang. Meskipun cukup
banyak yang masih tetap dalam sikap lemah dan lunak. Tapi arus utama (mainstream) masyarakat adalah kuat dan
penuh energi, bersedia berpikir dan berbuat dengan komitmen penuh untuk satu
tujuan. Sayangnya adalah bahwa setelah tahun 1950 sikap itu lambat laun hilang
kembali oleh perkembangan keadaan yang dialami rakyat Indonesia. Sehingga ada
orang mengatakan bahwa manusia Indonesia baru menunjukkan kualitas yang terbaik
kalau merasa terpojok. Dinilai bahwa masa penjajahan Jepang yang kejam telah
memicu yang penuh energi itu.
Tapi
kita tidak dapat meneruskan pandangan seperti itu. Sebab itu berarti bahwa
sikap manusia Indonesia merupakan reaksi belaka terhadap tekanan dari luar.
Kalau pihak lawan kita cerdas, maka ia tidak akan memojokkan kita secara
drastis, melainkan memotong-motong kita secara perlahan-lahan hingga habis sama
sekali karena tidak pernah ada perasaan terpojok. Kita harus dapat mengadakan
perubahan dalam sikap respons kita terhadap kehidupan dan lingkungan secara
positif. Dan itu mungkin kita lakukan kalau kita dapat benar-benar menyadari kekuasaan
mutlak Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai
manusia yang yakin pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sebenarnya memang tidak
ada sesuatu yang mutlak selain Tuhan sendiri. Itu berarti bahwa sikap anak kaya
mania yang masih ada pada kebanyakan manusia Indonesia dapat diubah dan diganti
menjadi sikap yang sanggup menghasilkan energi besar serta menggunakannya
secara tepat dan bermanfaat. Itu penting sekali bagi masa depan kita, khususnya
umat Islam yang masih banyak yang tergolong miskin dan terbelakang. Kalau kita
kurang mampu mengatasi kelemahan struktural itu, segala karunia Tuhan berupa
potensi yang banyak dan kaya akan justru dimanfaatkan oleh manusia lain yang
lebih kuat energinya.
Kita
semua sudah mengetahui bahwa masa depan umat manusia amat dipengaruhi oleh
kemampuan menguasai dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia
Indonesia pada umumnya cukup mempunyai potensi kecerdasan untuk itu. Tapi
penguasaan iptek tidak cukup hanya dengan potensi kecerdasan saja. Telah
terbukti bahwa diperlukan kesediaan untuk belajar dengan tekun dan
sungguh-sungguh agar dapat menguasai ilmu pengetahuan secara baik. Karena
kekurangan energi maka sekarang nampak sekali bahwa penguasaan iptek di
Indonesia masih hanya di permukaan saja, sebab baru ditopang oleh kecerdasan
belaka. Karena manusia Indonesia cukup cerdas, maka ia juga pandai menemukan
alasan bagi kekurangberhasilannya. Sehingga selalu ada saja alasan bahwa hal
yang kalah maju dari apa yang dicapai bangsa lain. Termasuk dalam iptek, selalu
dikembalikan pada alasan yang dicari itu. Padahal alasan itu sebenarnya tidak
bersifat menentukan.
Salah
satu alasan yang selalu dikemukakan adalah bahwa kita hidup di satu lingkungan
dengan udara panas. Itu mudah membuat orang lemas dan mengantuk, katanya. Tapi
itu jelas satu alasan yang dicari-cari, sebab juga di negara Utara setiap musim
panas temperatur meningkat jauh di atas 36 derajat Celsius, dan orang tetap
bekerja. Masalahnya bukan fisik, melainkan mental. Para pakar tentang otak
manusia dapat memberikan informasi lebih tepat dan mendalam mengenai fungsi
otak kiri dan otak kanan manusia, dihubungkan dengan sikap hidupnya. Demikian
pula para pakar ilmu perilaku (behavioural
sciences) dapat menjelaskan lebih
lanjut tentang perilaku manusia dalam berbagai keadaan.
Persaingan
internasional dalam ekonomi, khususnya bisnis, akan makin keras. Meskipun
globalisasi berarti kerjasama internasional, tapi sekaligus juga perlunya daya
saing internasional pada kita. Terbentuknya berbagai himpunan kerja sama
internasional, seperti ASEAN yang nanti malahan akan berkembang menjadi Wilayah
Perdagangan Bebas Asia Tenggara (AFTA), APEC, dan lainnya tetap dan justru
menuntut daya saing internasional pada kita. Kalau tidak ada daya saing, maka
kemitraan menjadi berat sebelah dengan kita di pihak yang dirugikan. Tidak
mungkin ada daya saing yang cukup tanpa ada kemampuan mengembangkan energi yang
kuat. Apalagi kita akan dihadapkan pada Amerika Serikat dengan AFTA yang ingin
menguasai ekonomi dunia kembali. Demikian pula Eropa yang meskipun sekarang
masih belum dapat mewujudkan kehendaknya, namun pasti pada permulaan abad ke-21
akan jauh lebih bersatu dan kuat.
Sebab
itu sudah tiba waktunya umat Islam mengambil inti sari Islam untuk dapat
menimbulkan perubahan pada dirinya menjadi manusia yang lebih mampu
mengembangkan energi dan menggunakannya secara tepat dan bermanfaat. Harus
dapat terlihat dengan nyata bahwa kita lebih mampu berpikir dan menggunakan
perasaan secara jernih. Kekuatan energi demikian harus menghasilkan berbagai
tulisan dan teori yang bermanfaat bagi kemajuan. Kemudian diperlukan kekuatan
energi untuk berbuat. Mengimplementasikan pikiran dan konsep menjadi
kenyataan-kenyataan baru. Kekuatan energi diperlukan pula untuk secara
konsisten dan berlanjut mengejar tujuan yang telah ditetapkan secara matang.
Namun juga dibutuhkan kekuatan energi untuk bersikap realis dan menyadari serta
mengakui perlunya penyesuaian pada jalan yang telah ditetapkan mencapai tujuan,
kalau ternyata perkembangan keadaan berbeda dari apa yang diperkirakan
sebelumnya. Secara pasti, sekalipun mungkin kadang-kadang tidak dalam tempo
cepat, harus kita buktikan adanya perubahan dan pembaruan. Sebab itu tidak
cukup hanya menghasilkan teori dan konsep, tapi harus pula ada perbuatan dan
pelaksanaan. Hanya melalui jalan demikian kita akan merebut respek dan
pengakuan akan maksud baik kita. Kita tidak mencari untuk dikasihani pihak
lain, sebab hal itu bertentangan dengan harga diri kita., Tapi, kita harus
mampu menimbulkan persepsi pada pihak lain melalui segala pikiran, perasaan dan
perbuatan, bahwa kita sudah sepatutnya direspek dan dihargai.
Ini
harus menjadi landasan kepemimpinan di lingkungan umat Islam Indonesia. Di
kalangan ICMI yang sudah ada pedoman tentang Lima Kualitas (kualitas iman,
kualitas hidup, kualitas bekerja, kualitas berkarya, dan kualitas berpikir)
harus memberikan landasan terwujudnya pengembangan kekuatan energi yang lebih
kuat di masa akan datang. Kalau dikatakan bahwa ini harus menjadi landasan
kepemimpinan, itu tidak berarti bahwa hanya pemimpin saja yang berenergi,
melainkan kepemimpinannya harus dapat mempengaruhi dan mengajak umat untuk
mengembangkan energi. Sebaliknya, kecenderungan yang sekarang masih ada untuk
lebih menggantungkan pada beberapa orang yang memang energik harus dapat dihilangkan.
Kepemimpinan justru harus menghasilkan kemandirian pada pihak yang dipimpin,
bukan menimbulkan ketergantungan.
Kemampuan Menghasilkan Sintesa
Kelemahan
struktural kedua yang ada pada rakyat Indonesia, khususnya umat Islamnya,
adalah masih terbatasnya kemampuan untuk menghasilkan sintesa dalam proses
dialektika dari tesa yang berhadapan dengan antitesa.
Karena
manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan berperasaan, di samping
mempunyai naluri seperti makhluk hewan, maka adalah hal yang lumrah bahwa
setiap orang dapat mempunyai pikiran dan perasaan yang belum tentu sama dengan
yang lain. Kehidupan berkelompok, seperti keluarga dan lingkungan etnis atau
geografis, dapat mengembangkan kebiasaan dan tradisi yang memberikan pedoman
kuat pada pikiran dan perasaan setiap anggota kelompok itu. Namun itu tetap
tidak dapat meniadakan kenyataan bahwa di antar anggota satu keluarga yang
berasal dari satu ayah dan satu ibu mungkin saja timbul perbedaan pendapat.
Memang Tuhan membedakan makhluk manusia dari makhluk yang lain dengan
memberikan padanya kemampuan dan kebebasan berpendapat.
Naluri
yang ada pada setiap manusia, ditambah dengan kemampuan berpikir dan
berperasaan dapat menimbulkan berbagai rangsangan dan dorongan pada manusia
untuk menyatakan pendapatnya dan mempunyai kepentingannya tertentu dalam
kehidupan. Dan pendapat serta kepentingan itu belum tentu sama dengan pendapat
dan kepentingan orang lain.
Masyarakat
menjadi kuat kalau sanggup dan mampu menimbulkan proses dialektika yang sehat
di mana tesa yang berhadapan dengan antitesa menghasilkan sintesa. Dan bukan
menghasilkan konflik atau pertentangan.
Di
dalam masyarakat kita terlalu sering kita temukan bahwa perbedaan pendapat, bahkan
yang bersifat sederhana saja, sukar dipertemukan dan malahan menimbulkan
pertentangan pribadi. Bahkan itu terjadi di lingkungan orang-orang yang mengaku
dirinya terpelajar karena telah mencapai berbagai gelar akademis hasil
pendidikan berbagai perguruan tinggi. Nampaknya masih kurang adanya kekuatan
kendali diri dalam penggunaan rasio atau nalar dan perasaan sehingga prosesnya
menjadi negatif emosional. Bahwa satu perbedaan antara dua pendapat yang
berbeda sebaiknya dilakukan secara mendalam dan bahkan mungkin tajam secara
rasional karena ingin mencari kebenaran yang semaksimal mungkin, adalah baik.
Tapi hasilnya harus berupa satu kesimpulan yang bersifat sintesa atau persetujuan untuk tidak saling mufakat (to agree to disagree). Dan bukan satu pertentangan pribadi atau
bahkan konflik yang menggunakan kekerasan.
Nampaknya
masih belum ada cukup kesadaran bahwa pertentangan pribadi yang emosional,
apalagi yang menggunakan kekerasan, justru merugikan diri sendiri. Itu jelas
sekali kita lihat di arena sepak bola Indonesia dewasa ini. Pemain begitu mudah
beralih pada perkelahian tanpa menyadari bahwa energi yang dipakai untuk
berkelahi merupakan pemborosan yang sebetulnya dapat digunakan secara efektif
untuk bermain sepak bola yang baik, melalui kemampuan berpikir tajam dan
bergerak lincah Serta cepat. Selama kondisi mental dan sikap kehidupan ini
belum dapat diubah sukar sekali kita mengharapkan peningkatan prestasi. Tapi
tidak hanya dalam arena sepak bola itu kita lihat. Itu juga terdapat dalam
dunia politik dan bahkan dalam lingkungan agama Islam. Padahal Islam dengan
tegas dan jelas mengajarkan bahwa manusia harus menggunakan nalarnya secara
baik. Dan bahwa manusia harus hidup bersama untuk memperoleh hasil lebih tinggi
dan bermakna, karena setiap manusia tak ada yang sempurna melainkan mempunyai
berbagai keterbatasan.
Kita
seringkali mengkritik masyarakat Barat tentang sikap individualismenya. Tapi
dalam kenyataan kita melihat bahwa orang Barat, khususnya dalam lingkungan ilmu
pengetahuan, lebih mampu daripada kita untuk tidak jatuh dalam pertentangan
pribadi apabila ada perbedaan pendapat. Jadi kalau begitu, apa artinya
kewajiban kita untuk dapat hidup bersama yang sebenarnya memberikan landasan
yang lebih sehat bagi kita dibandingkan pandangan masyarakat individualis.
Akibat
dari kekurangmampuan menemukan sintesa adalah luas sekali. Pertama, kita selalu
sukar memperoleh persatuan dan solidaritas masyarakat yang sebenarnya. Pepatah
yang berbunyi “bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh” tidak difungsikan.
Sebaliknya, malahan terjadi pemborosan energi kalau terjadi pertentangan yang
tajam secara pribadi.
Kedua,
karena orang khawatir dituduh menimbulkan pertentangan dan perpecahan dengan
mengemukakan pendapatnya, maka terjadi kondisi masyarakat yang tertutup. Itu
berarti bahwa otak sekian ribu atau juta manusia yang sebetulnya dikaruniakan Tuhan
untuk dipakai, menjadi kurang berfungsi untuk kepentingan umum.
Ketiga,
oleh sebab kurang ada mobilitas pikiran dan perasaan maka kurang ada dinamika
dalam kehidupan. Yang terjadi hanya gerak pikiran dari beberapa pihak saja yang
belum tentu menghasilkan pendapat yang paling baik bagi masyarakat itu. Dalam
lingkungan ilmu pengetahuan hal demikian dapat menyebabkan berhentinya atau
amat terhambatnya gerak maju dalam kemampuan menguasai ilmu pengetahuan. Kita
teringat ketika Galilei mendapat hukuman dari gereja Katolik karena berani
berpikir lain dari yang dihasilkan oleh pimpinan gereja. Padahal ternyata justru
pikiran Galilei yang sesuai dengan kehendak dan keadaan alam ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa.
Keempat,
karena kurang adanya dinamika berpikir, maka sukar diharapkan adanya usaha yang
lincah dan dinamis untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidaklah mengherankan
kalau kemudian justru mereka atau golongan yang lebih berani berpikir yang
menarik keuntungan dari keadaan itu. Mereka lebih cepat melihat peluang dan
kesempatan karena sudah terbiasa berpikir secara dinamis. Memang kita -khususnya,
umat Islam- masih dirugikan oleh sejarah bahwa dalam masa penjajahan lebih
ditekan untuk tidak berpikir merdeka dan meningkatkan kemampuan usaha dibandingkan
golongan lain. Akan tetapi masa penjajahan sudah hampir setengah abad di
belakang kita. Dan tidak pada tempatnya lagi untuk digunakan sebagai alasan
bagi sikap kita yang kurang terbuka untuk mencari sintesa.
Kelima,
dalam kehidupan beragama sendiri kurang terjadi perkembangan yang semestinya,
karena orang khawatir dianggap salah bicara tentang suatu yang dianggap sakral.
Seakan-akan hanya beberapa orang saja yang menguasai, ilmu dan teori agama yang
berhak bicara tentang agama. Padahal agama Islam adalah universal, berlaku
untuk semua orang dan seluruh zaman. Bahwa agama Islam diturunkan di negara
Arab tidak menjadikannya agama Arab atau mengharuskan penganutnya bersifat
seperti orang Arab dalam temperamen dan sikap hidupnya. Kalau kurang ada kemungkinan
untuk berbicara secara terbuka dan bertanggung jawab tentang agama, maka faktor moralitas dalam kehidupan
akan mengalami kesulitan. Padahal, perkembangan benda disebabkan oleh makin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi bukan main besarnya. Justru untuk
menjamin agar manusia tidak dikuasai benda, melainkan menguasai benda bagi kesejahteraan
hidupnya secara lahir dan batin, harus ada perkembangan pula dalam moralitas.
Sebab itu, pengeluaran pendapat tentang agama dan moral perlu diberikan
kemungkinan untuk dilakukan secara terbuka dan penuh tanggung jawab. Dalam hal
ini kita sering kecewa, karena begitu kejam nya dan cepatnya reaksi sesama
pakar agama Islam terhadap satu pendapat tertentu dari pakar Islam lainnya.
Reaksi yang bukan bersifat adu pendapat secara moderat dan terbuka, melainkan
tidak jarang membawa masalah pribadi. Kalau hal demikian kurang dapat
diperbaiki oleh para tokoh dan pemimpin Islam, maka Indonesia sebagai bangsa
dengan umat Islam terbesar di dunia sukar memberikan sumbangan pada Kebangkitan
Islam yang selalu kita dengungkan. Padahal, kebangkitan Islam bukanlah sesuatu
yang sifatnya hanya untuk kebanggaan politik atau kelompok, melainkan
menyangkut perbaikan hidup ratusan juta manusia yang sekarang masih hidup
terbelakang. Sebab itu kelemahan struktural kedua dalam kehidupan rakyat
Indonesia, khususnya umat Islamnya, perlu kita waspadai dan atasi. Sebenarnya
pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia moderat dan karena itu kita
berlandaskan hidup gotong-royong. Tapi di sini, lagi-lagi
nampak adanya kesenjangan antara perilaku kita dengan apa yang kita pahami. Itu
juga salah satu akibat dari kelemahan struktural pertama, yaitu kurang mampu
mengembangkan energi. Sehingga kurang sungguh-sungguh pula dalam mengusahakan
gotong royong dalam pemikiran dan berpendapat.
Kemampuan Menyusun Jaringan
Sosial
Kelemahan
struktural ketiga dalam masyarakat kita adalah kurang adanya jaringan sosial (social network) yang efektif. Meskipun
kita selalu mengatakan bahwa landasan hidup kita gotong royong, namun dalam
kenyataan sukar ditemukan kehidupan gotong royong. Bung Karno dulu mengatakan
bahwa andai kata kita boleh memeras lima nilai Pancasila, maka yang kita
peroleh adalah gotong royong. Demikian kuatnya pengertian gotong royong dalam
alam pikiran dan perasaan kita, tapi hampir nihil dalam kehidupan nyata
masyarakat.
Ini
mungkin karena kita mengalami invasi kuat dari sikap hidup individualisme
Barat. Kehidupan di kota-kota besar sekarang makin terpengaruh oleh sikap individualis
itu, dan makin besar kotanya makin kuat pengaruhnya.
Kita
mungkin berpikir bahwa hanya melalui sikap demikian kita dapat mengejar
ketinggalan kita terhadap kemajuan kebendaan dunia Barat. Sebab itu kita nilai
penting untuk kesejahteraan masyarakat yang ingin kita bangun.
Kalau
itu yang menjadi alasan, maka jawaban yang kita ambil adalah satu kesalahan
besar. Sebab, justru sekarang bangsa-bangsa Asia Pasifik yang telah berhasil
mengejar ketinggalannya dalam kehidupan material Barat, seperti Jepang dan Cina
Perantauan, telah mencapai kemajuan mereka berdasarkan kehidupan yang
mengandung jaringan sosial yang kuat. Malahan sekarang terjadi pemikiran di sementara
orang Amerika apakah tidak perlu bangsa Amerika mengambil sikap yang lebih
mendekati kehidupan masyarakat Jepang itu untuk dapat menyaingi secara efektif.
Kita tahu bahwa di masyarakat Jepang ada lembaga “oyabun-kobun”. Satu hubungan antara dua orang yang tidak harus
mempunyai ikatan darah atau kekeluargaan, tapi dekat secara mental. Oyabun adalah pihak yang tua, sedangkan kobun pihak yang muda. Orang yang
menjadi oyabun terhadap orang lain,
di pihak lain merupakan kobun dari
orang yang lebih tua lagi. Sebaliknya, kobun
yang pertama mungkin saja merupakan oyabun
bagi orang yang lebih muda lagi. Dengan begitu terjadi satu jaringan sosial
yang kuat sekali di masyarakat Jepang. Sebab hubungan antara oyabun dan kobun adalah amat erat, bahkan tidak jarang lebih erat daripada
hubungan dengan orang tua sendiri. Sebab dalam masyarakat Jepang hanya anak laki-laki
tertua yang melanjutkan keluarganya, sedangkan anak perempuan ikut suami dan
anak laki-laki lain harus membangun kehidupan mereka sendiri.
Perkembangan
Cina Perantauan di Asia Tenggara, termasuk juga Hongkong dan Taiwan, amat
dimungkinkan oleh jaringan sosial yang juga amat kuat. Itu terutama tampak
dalam perkembangan bisnis mereka, karena sebagai pendatang mereka akan sukar
hidup berlanjut kalau tidak ada hubungan satu sama lain yang kokoh. Tidak
jarang pengusaha Cina yang kemudian menjadi besar berasal mula dari anak yang
miskin, tapi mendapat bantuan permulaan dan dorongan dari jaringan sosialnya.
Sampai kini kita terus melihat kaum WNI keturunan Cina dapat berhubungan secara
lancar dengan mereka yang ada di seluruh Asia Tenggara, khususnya Hongkong dan
Singapura.
Menyusun
jaringan sosial bagi kita di Indonesia harus kita lakukan secara sadar sebagai
realisasi kehidupan gotong royong dalam bentuk modern. Itu berarti bahwa dengan
cara itu kita hendak membangun kehidupan yang maju, adil dan sejahtera yang justru
lebih baik dari kehidupan yang tanpa jaringan sosial atau yang bersifat
individualis.
Namun
di pihak lain, kita juga harus waspada jangan sampai usaha membentuk jaringan
sosial mengakibatkan kelemahan dan keretakan. Itu antara lain dapat terjadi
kalau jaringan sosial yang kita buat didasarkan hubungan etnik belaka secara
kuat, tanpa ada perimbangan yang sesuai. Pada waktu ini di seluruh dunia faktor
etnik menjadi masalah besar dalam pemeliharaan persatuan bangsa. Itu tidak
hanya terjadi di bekas Uni Soviet, Yugoslavia dan bekas negara komunis lainnya,
tapi juga di negara-negara Barat. Masyarakat AS yang termasuk kuat menghadapi
bentrokan berbahaya antar etnik aneka ragam yang telah meletus bulan Juni 1992.
Demikian pula Kanada tidak bebas dari ancaman perpecahan keturunan Prancis. Di
Eropa masyarakat Inggris tidak hanya menghadapi masalah Irlandia yang laten,
tapi belakangan juga Skotlandia, Belgia menghadapi masalah Vlaam dan Walloon. Jadi
masalah etnik adalah kongkrit dalam masyarakat yang paling modern pun. Oleh sebab
itu kita harus amat waspada terhadap hal itu, khususnya karena rakyat kita
masih mudah sekali terbakar emosinya.
Jadi
pembentukan jaringan sosial perlu mengambil jalan lain. Alternatif yang ada
adalah asal sekolah yang sama seperti yang banyak terjadi di Jepang. Mungkin saja
sekolah tersebut menjadi tempat bagi orang yang berasal dari etnik tertentu.
Tapi, hubungan yang kemudian terjadi bukanlah karena hubungan etnik, melainkan
karena asal sekolah atau alumni. Alternatif lain adalah organisasi pemuda,
seperti Karang Taruna dan Pramuka.
Memang
ada yang berpendapat adalah tidak baik untuk berpikir dalam ukuran golongan,
dan harus dalam ukuran bangsa dan negara. Dilihat dari sudut itu pembentukan jaringan
sosial menjadi salah. Tapi dalam kenyataan jaringan sosial yang dilakukan
secara baik justru menguntungkan negara dan bangsa, seperti kita lihat di Jepang.
Sebaliknya, tanpa jaringan sosial kurang ada kohesi masyarakat yang seringkali
kita perlukan untuk menumbuhkan kekuatan bangsa, termasuk sekarang dalam
mengusahakan daya saing internasional dalam berbagai bidang.
Adalah
benar bahwa kehadiran jaringan sosial tidak boleh terlalu menonjolkan kehidupan
golongan atau biasa dinamakan “kliek”. Seperti umpamanya saja dalam lingkungan
satu departemen pemerintahan tertentu kebanyakan hanya ada orang-orang lulusan
satu universitas tertentu saja. Namun keadaan seperti itu kita lihat di
mana-mana, termasuk di AS yang paling individualis dan apalagi di Inggris yang
dinamakan “the old boys network”. Jadi
kita sadar akan aspek negatifnya, tapi harus kita batasi itu demi keuntungan yang
ingin kita peroleh dari kekuatan jaringan sosial.
Sebaliknya,
tanpa ada jaringan sosial yang berarti kita akan sukar menghadapi bangsa Asia
Pasifik lainnya dan akan kurang kuat berhadapan dengan bangsa yang berdasarkan
individualisme karena memang individualisme bukan sifat kita semula. Sedangkan dipandang
dari sudut pembangunan bangsa pembentukan jaringan sosial yang efektif adalah
perwujudan kehidupan gotong royong secara modern.
Penutup
Telah
diusahakan untuk mengemukakan tiga kelemahan struktural yang masih menghinggapi
masyarakat Indonesia, khususnya umat Islamnya dewasa ini.
Kalau
kita ingin menjadi bangsa yang secara efektif dapat memanfaatkan segala potensi
yang dikaruniakan Tuhan pada kita, maka kita harus dapat mencari jawaban yang
tepat terhadap tiga kelemahan itu.
Untuk
itu perlu ada studi yang lebih mendalam dan bersifat interdisiplin. Secara umum
dapat kita katakan bahwa hasil studi itu nanti harus dapat dibawa dalam implementasi
pendidikan. Pendidikan di lingkungan keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat.
Juga harus ada pengaruhnya dalam penyelenggaraan kepemimpinan di segala bidang
dan semua tingkat.
Memang
bukan hal yang mudah dan ringan yang kita hadapi. Namun dengan keyakinan bahwa
dengan ridho Allah semua dapat
dicapai asalkan kita cukup menjalankan ikhtiar, maka kita pun yakin segala masalah
yang nampak berat dan sukar itu dapat kita atasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar