Minggu, 26 Oktober 2014

BEBERAPA LANGKAH PENINGKATAN MUTU BANGSA



BEBERAPA LANGKAH PENINGKATAN MUTU BANGSA
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
Nama Sayidiman Suryohadiprojo, di masyarakat lebih dikenal sebagai penulis ketimbang  mantan perwira tinggi TNI AD berpangkat Letnan Jenderal. Ia lahir di Bojonegoro, 1927, dan menyelesaikan Akademi Militer RI di Yogyakarta, 1948. Karier militemya dimulai dari Komandan Peleton di Divisi Siliwangi hingga Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), 1974. Mantan Dubes Indonesia di Jepang ini, sangat produktif menulis dan
kerap diundang dalam pelbagai seminar. Mungkin karena keluasan pengetahuan dan ketajaman pemikirannya itulah, baru-baru ini ia dipanggil Pak Harto untuk menjadi Dubes  keliling dalam rangka “sosialisasi” hasil-hasil Konferensi Puncak Gerakan Non-Blok (GNB) baru lalu di Jakarta. Selain itu, Sayidiman juga adalah anggota Dewan Penasehat Pengurus ICMI Pusat.

Mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Karena itu upaya peningkatan mutu umat Islam sangat menentukan hari depan Bangsa Indonesia. Tapi, ternyata ada kendala mental dan struktural yang menghambat pengembangan potensi umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kendala mental antara lain tercermin dalam sikap pikiran dan perasaan menjadi “anak orang kaya yang manja”. Sedang kendala struktural antara lain berupa kurangnya kemampuan memanfaatkan potensi dan karunia Tuhan, terbatasnya kemampuan menghasilkan sintesa dalam proses dialektika serta kurangnya kemampuan mewujudkan jaringan sosial (social network) yang efektif. Menurut Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo dalam esseinya ini, kalau kita berhasil mengatasi kelemahan-kelemahan itu, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan efektif.

Artikel ini hendak mengemukakan beberapa pendapat dan observasi tentang mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam maka apa yang dikemukakan itu juga menyangkut keadaan umat di Indonesia. Penulis bukan pakar agama Islam. Tapi ia seorang Muslim yang berusaha untuk menjalankan segala kewajiban dan ketentuan yang diletakkan oleh agama Islam kepadanya. Karena ia berpendapat bahwa Islam adalah- agama universal yang berlaku di mana-mana dan sepanjang zaman. Maka menurut pendapatnya Islam adalah agama yang sesuai dengan akal sehat (common sense) manusia. Sebab itu ia yakin bahwa dalam al-Qur’an terdapat segala ketentuan yang sesuai dengan kehidupan di segala zaman dan tempat untuk memungkinkan kehidupan manusia berkembang sesuai dengan kehendak Tuhan Sang Pencipta. Tergantung pada manusia untuk menemukan ketentuan itu dan menerapkannya dalam kehidupannya. Atau berdasarkan penggunaan otaknya yang dikaruniakan Tuhan pada manusia untuk dapat berpikir, berperasaan, berintuisi dan berpersepsi, menyusun kehidupan sesuai dengan kewajiban yang ditentukan oleh Islam padanya dan dengan demikian juga merupakan akal sehat yang penting bagi kehidupan selanjutnya. Terserah pada pakar agama Islam untuk kemudian meletakkan dalam hubungannya dengan ajaran yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur'an.
Karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, maka hanya dengan mutu umat Islam Indonesia yang memadai bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang bermutu. Oleh sebab itu titik berat isi makalah ini tertuju pada sesama Muslim Indonesia. Itu tidak berarti bahwa di antara kita tak ada perkecualian terhadap hal-hal tertentu yang dikemukakan. Yang digambarkan adalah satu generalisasi untuk mengarahkan pada pembaruan menyeluruh sehingga terwujud kondisi umat Islam Indonesia baru yang lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan bangsa yang ingin hidup sejahtera dan maju dalam perkembangan umat manusia yang bukan main cepatnya dan variasinya.
Meskipun terutama menyangkut umat Islam, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa itu juga berlaku bagi rakyat Indonesia yang bukan Muslim. Dan pembaruan memang merupakan keperluan seluruh bangsa. Sebab itu semoga pendapat dan observasi ini juga menjadi perhatian sesama rakyat Indonesia lainnya. Adapun titik berat yang diletakkan pada umat Islam adalah untuk memperoleh massa kritik (critical mass). Tanpa itu sukar memperoleh pembaruan bangsa yang sebenarnya.
Makalah ini merupakan pendapat dan observasi. Karena itu ia merupakan hasil dari penglihatan, pengalaman, pemikiran dan perasaan. Jadi, bukan hasil satu kegiatan riset yang teratur. Maksud penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh tanggapan tentang kebenaran atau kekurangbenaran pendapat serta observasi itu. Kemudian baru perlu diadakan penelitian yang seksama dan mendalam tentang sebab-musababnya serta ditentukan hal apa yang perlu dilakukan untuk pembaruan.

Posisi Indonesia di Masa Mendatang
Perkembangan umat manusia makin cepat dan aneka ragam. Itu tidak dapat lain, karena manusia dimana-mana makin banyak memperoleh pendidikan dan pengalaman yang memaksanya makin banyak menggunakan otaknya serta melakukan perbuatan untuk menyesuaikan dirinya bagi kelangsungan hidup atau bahkan keunggulan hidup.
Pendidikan formal makin meluas melalui berbagai macam pendidikan sekolah. Tapi tidak kalah pentingnya adalah pendidikan tidak formal yang diperolehnya melalui berbagai alat komunikasi yang makin banyak dan tersebar di mana-mana sebagai akibat kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan angkutan.
Pengalaman juga menjadi makin banyak karena harus bereaksi terhadap perkembangan baru yang tadinya sama sekali tidak dihadapi. Atau memang sengaja mengadakan aksi karena terangsang oleh naluri untuk berkuasa atau menonjolkan dan didukung oleh pengetahuan dan informasi yang bertambah.
Menjadi makin jelas bahwa semua bangsa menghendaki kesejahteraan hidup makin tinggi. Namun juga dipahami bahwa usaha untuk kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari jaminan keamanan.
Berakhirnya Perang Dingin dengan hancurnya blok komunis tanpa terjadi penggunaan senjata yang sudah diakumulasi dalam jumlah besar sekali menunjukkan pentingnya faktor ekonomi dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi itu. Sebab blok komunis tidak inferior dalam politik dan militer, bahkan juga tidak dalam sosial, melainkan inferior dalam ekonomi. Tapi, inferioritasnya dalam ekonomi itu menimbulkan kelemahan dan bahkan kerawanan jangka panjang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan itu dapat berakibat besar pada kekuatan militer yang selanjutnya juga berpengaruh besar pada kekuatan politik. Itu sebabnya Mikhail Gorbachev dapat meyakinkan mayoritas bangsa bekas Uni Soviet untuk membenarkan konsep perestroika atau restrukturisasi. Tadinya, ia sama sekali tidak berpikir bahwa perestroika mengharuskan perubahan besar dalam politik, karena yang dikehendakinya adalah perbaikan sosialisme dengan struktur ekonomi baru yang lebih efektif dan efisien. Ternyata perestroika tidak mungkin terjadi tanpa glasnost atau keterbukaan dan demokratizatsinya (demokratisasinya). Itulah kemudian membuktikan bobroknya blok komunis sehingga hancur berantakan.
Setelah Perang Dingin selesai masuk akal kalau naluri manusia Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk menjadi penguasa dunia. Sebab AS merasa dan berpikir bahwa berkat kekuatan dan kemampuan AS blok Barat dan unggul dalam Perang Dingin. Jadi sekarang terasa sekali dalam kehidupan internasional betapa AS hendak menjadi penentu segala keadaan umat manusia. Ia bahkan datang dengan konsep Tata Dunia Baru yang harus dilandasi demokrasi, ekonomi yang berorientasi pasar dan hak-hak asasi manusia. Tentu semuanya menurut versi AS tanpa banyak menghiraukan bahwa bisa saja ada demokrasi, ekonomi yang berorientasi pasar dan hak-hak asasi manusia yang tidak sama dan sebangun dengan versi AS. Yang tidak sesuai dengan versinya harus menyesuaikan diri dengan AS. Sebab dialah yang menjadi penguasa dan penentu Dunia.
Satu kehendak (intention) untuk menjadi kenyataan memerlukan kemampuan yang memadai. Sebab kehendak tanpa perbuatan nyata tidak akan mengubah keadaan secara kongkrit. Celakanya bagi AS adalah bahwa kemampuannya untuk mendukung kehendaknya jauh dari memadai. Sebab meskipun ia pemenang atau unggul dalam Perang Dingin dan menjadi kekuatan utama blok Barat, namun dalam kenyataan ekonominya sendiri juga mengalami keadaan yang parah. Memang AS masih merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan GNP sekitar AS$.6.000 miliar. Tapi, ia juga negara dengan utang terbesar, yaitu AS$.4.000 miliar, meskipun terbanyak merupakan utang dalam negeri. Selain itu ia mempunyai defisit anggaran belanja yang terbesar pula sekitar AS $400 miliar, dan menurut perkiraan para pakarnya sendiri dapat meningkat menjadi AS$.500 miliar dalam 3-5 tahun yang akan datang. Selain itu ia mengalami defisit perdagangan yang juga tidak kecil, sekitar AS$.150 miliar. Itu malahan berakibat kurang adanya kemampuan bersaing bagi sebagian industrinya sehingga harus menutup cukup banyak tempat produksi. Akibatnya, adalah peningkatan pengangguran. Ini harus merupakan satu gambaran umum dari kondisi ekonomi AS yang kurang baik, Sehingga kemampuan tidak sesuai dengan kehendak untuk menjadi penentu dan penguasa dunia.
Dalam, keadaan demikian adalah lumrah pada manusia yang kurang berpikir luas untuk mencari sebab kekurangannya pada pihak lain. Memang, bagian dunia lain banyak yang mengalami kemajuan sehingga tidak kalah dari AS atau bahkan melebihinya dalam ekonomi. Yang terutama dinilai AS sebagai kekuatan yang menjadikannya bukan unggul adalah Eropa Barat dengan Jerman sebagai inti kekuatan dan Asia Pasifik dengan Jepang sebagai inti kekuatan.
Maka setelah Uni Soviet dan Blok Komunis tidak ada lagi, rakyat AS cenderung menentukan tantangan baru, kalau tidak mau dinamakan musuh baru. Eropa Barat dengan Jerman sebagai kekuatan inti sebenarnya merupakan kekuatan ekonomi yang lebih besar, Tapi, mayoritas rakyat AS berasal dari Eropa, maka ada afinitas yang cukup kuat dengan Eropa. Jadi meskipun orang selalu mengatakan bahwa dalam abad ke-20 yang hampir berakhir ini sikap primordial sudah harus tidak ada, namun dalam kenyataan hidup manusia hubungan primordial tetap saja kuat. Maka yang sekarang oleh AS dianggap penghalang atau bahkan musuh utama bagi kekuatan ekonominya adalah Asia Pasifik dengan Jepang sebagai kekuatan inti. Suasana masyarakat AS cenderung untuk menuduhkan segala ketidakberesan ekonominya pada Asia Pasifik dan khususnya Jepang. Ternyata Jepang dan bangsa Asia Pasifik lainnya kurang mau membuka pasarnya bagi hasil produksi AS, malah sebaliknya membanjiri pasar AS dengan hasil produksi mereka. Mereka dapat berbuat demikian karena acapkali melakukan dumping harga produksinya, sehingga produk AS kurang mampu bersaing di pasarnya sendiri. Dan berbagai tuduhan lain tanpa disertai mawas diri bahwa hasil produksinya memang kurang dapat menyajikan mutu dan harga yang sesuai dengan keinginan rakyatnya sendiri.
Maka dapat dikatakan bahwa dari sudut ekonomi AS melihat Asia Pasifik sebagai tantangan, kalau bukan ancaman. Sebab itu ia selalu harus turut dalam segenap susunan Asia Pasifik untuk dapat mengatur agar jangan merugikannya. Itu sebabnya AS keras sekali sikapnya terhadap konsep PM Malaysia Mahathir Mohamad untuk menyusun kelompok Ekonomi Asia Timur (East Asia Economic Grouping yang kemudian diubah menjadi East Asia Economic Causus untuk melunakkan AS), karena dalam konsep itu tidak ada tempat bagi AS. Padahal, AS sendiri menyusun Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement) terdiri dari AS, Kanada dan Meksiko serta tidak mustahil meluas lagi dengan negara Amerika latin lainnya.
Meskipun ekonomi sekarang menjadi faktor utama bagi kehidupan umat manusia, namun politik dan militer tidak dapat sama sekali ditiadakan perannya. Malahan dapat memperkuat posisi ekonomi dan kesejahteraan pada umumnya. Maka setelah blok komunis tidak ada lagi dan tidak berperan sebagai kekuatan politik dan militer yang membahayakan kepentingan AS, yang dilihat sebagai bahaya baru adalah Islam. Soalnya. adalah karena jumlah umat Islam di dunia besar dan dapat menghasilkan vitalitas yang besar pula. Karena itu juga tidak mudah untuk begitu saja disuruh mengikuti kehendak AS. Untuk memberikan justifikasi bagi pendapat itu adalah terjadinya aksi gerilya kaum Muslim yang dinamakannya teror yang membahayakan umat manusia. Dan digunakan istilah fundamentalisme Islam untuk menimbulkan persepsi umat manusia betapa bahaya dan merugikan umat Islam itu bagi umat manusia. Apalagi kalau ada bangsa yang bagian terbesar rakyatnya umat Islam dan dapat membentuk kekuatan yang tidak mudah didikte pihak lain. Bangsa demikian dengan mudah dinilai sebagai ancaman bagi AS dan umat manusia.
Demikianlah kondisi dunia di mana Indonesia berada. Oleh sebab itu, kita melihat ada lima alasan yang mengharuskan kita waspada dan siap terhadap pandangan dan sikap kurang menguntungkan dari pihak lain, khususnya AS, terhadap perkembangan Indonesia. Kecuali kalau mau sepenuhnya tunduk pada kehendaknya.
Pertama, Indonesia merupakan bagian dari Asia Pasifik yang dalam perkembangan ekonominya dekat dengan Jepang dan bangsa Asia Pasifik lainnya. Meskipun Indonesia bersahabat dengan bangsa lain dunia, termasuk Eropa Barat dan Amerika, karena memang berkepentingan untuk meluaskan hubungan ekonominya ke seluruh dunia untuk memaksimalkan ekspornya, namun toh kita tidak dapat menutup kenyataan bahwa hubungan ekonomi Indonesia terbanyak adalah dengan Jepang. Atas dasar ini kita harus siap untuk menerima pukulan berupa peraturan yang merugikan kita di AS dan Eropa Barat.
Kedua, meskipun Indonesia selalu mengatakan bahwa dasar ideologi negaranya adalah Pancasila, namun adalah satu kenyataan bahwa umat Islam di Indonesia adalah yang terbesar di antara semua bangsa di dunia. Jadi, kemajuan Indonesia merupakan bukti kemajuan umat Islam yang dapat menjalar pada umat Islam di bagian lain dunia. Itu dapat menjadikan alasan agar kemajuan Indonesia harus dibatasi, khususnya kemajuan umat Islamnya. Selain itu Pancasila sendiri merupakan satu paham yang juga asing bagi dunia Barat yang berpaham individualisme.
Ketiga, Indonesia adalah anggota Gerakan Non-Blok yang sejak permulaan termasuk anggota yang konsekuen, Bahkan sejak tahun 1992 Indonesia adalah ketua GNB. Padahal perkembangan GNB atau pihak bangsa Selatan menimbulkan kepentingan yang tidak paralel dan karena itu kurang disukai pihak Utara, meskipun sebenarnya kemajuan Selatan justru menguntungkan Utara juga. Sebab pada waktu ini kepentingan Utara lebih tertuju pada dirinya sendiri dan bangsa-bangsa yang secara kultural dekat padanya, serta memerlukan bantuan untuk maju. Itu adalah Eropa Timur dan bekas Uni Soviet yang termasuk bangsa Kaukasia. Jadi GNB yang terlalu aktif dan terlalu mendesak tidak disukainya. Karena Indonesia menjadi ketuanya, maka tentu tekanan tertuju pada Indonesia.
Keempat, Indonesia mempunyai posisi dan kondisi geografi dan demografi yang unik. Wilayahnya merupakan harmoni antara daratan dan lautan terletak di posisi silang internasional yang amat penting, terletak pula sepanjang khatulistiwa yang amat signifikan dilihat dari sudut penggunaan angkasa luar, mempunyai potensi kekayaan alam besar di darat maupun di laut, mempunyai jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia yang belum berlebihan jika dibandingkan dengan luas wilayahnya. Ini semua merupakan karunia Allah yang bukan main besarnya dan uniknya. Tapi tentu bagi pihak lain dapat dianggap sebagai hal yang merugikan mereka kalau itu menjadi kekuatan riil yang berpengaruh besar dalam geostrategi dunia. Oleh sebab itu masuk akal kalau ada usaha agar Indonesia jangan maju. Sebaliknya, potensi besar itu sebaiknya justru yang memanfaatkan.
Kelima, meskipun penduduk Indonesia terdiri dari berbagai ras, namun bagian terbesar termasuk ras Melayu yang berkulit cokelat. Pada waktu sekarang yang sudah maju terlebih dahulu adalah ras Kaukasia atau kulit putih. Kemudian menyusul ras Mongol atau kulit kuning, meski itu pun dihalangi oleh ras Kaukasia. Ras Melayu atau kulit cokelat tentu juga ingin main, setingkat dengan yang sudah lebih dulu maju. Tapi seperti dalam segala hal, pihak yang sudah lebih dulu maju biasanya tidak mau disamai posisinya oleh yang baru. Sebab itu Indonesia pun akan mengalami tekanan untuk kurang maju. Demikian posisi Indonesia di masa kini dan menghadapi abad ke-2l yang sudah di ambang pintu. Karena kita tetap menginginkan terwujudnya kehidupan dalam masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila, maka kita harus waspada terhadap posisi Indonesia ini dan mengambil langkah-langkah agar tidak mengalami kerugian dalam pencapaian tujuannya; Dalam hal itu faktor yang amat menentukan adalah manusia Indonesia. Dan karena di antara itu umat Islam adalah terbanyak, maka amat menentukan perkembangan umat Islam Indonesia di tahun-tahun mendatang.
Dalam hal ini tiga faktor yang merupakan kelemahan struktural yang perlu kita sadari dan usahakan untuk mengatasinya. Tidak mustahil ada faktor lain lebih dari yang tiga. Namun ini merupakan landasan bagi yang lain dan karenanya tiga ini saja yang akan dibicarakan dalam makalah ini.

Kemampuan Mengembangkan dan Menggunakan Energi
Kelemahan dan kerawanan struktural pertama pada rakyat dan umat Islam Indonesia dewasa ini adalah kurangnya kemampuan memanfaatkan potensi besar dan karunia Tuhan yang diberikan pada mereka. Dalam potensi itu tidak hanya segala potensi alam dan kependudukan yang telah dikemukakan, tapi juga potensi kecerdasan “dan fleksibilitas yang ada pada rata-rata manusia Indonesia.
Itu disebabkan terutama karena kurang ada cukup dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk mengembangkan energi dan menggunakan secara tepat dan bermanfaat. Kalau kita perhatikan sejarah Indonesia, maka kekalahan atau bahaya besar yang dihadapi pada umumnya bukan disebabkan karena hebatnya keunggulan pihak lain, tapi karena manusia Indonesia sendiri yang menimbulkan kelemahan pada dirinya sendiri sehingga akibatnya dapat dikalahkan atau diungguli oleh pihak lain.
Contoh jelas adalah ketika Sultan Agung yang merupakan penguasa kuat Mataram dan telah berhasil mengumpulkan kekuatan besar di sekitar kedudukan Belanda (yang waktu itu hanya berada di tempat amat terbatas yang sekarang kita kenal dengan daerah Pelabuhan Sunda Kelapa di ujung utara kota Jakarta), lagi pula jumlah Belanda tidak lebih dari sekitar 3.000 orang dan dalam kondisi jasmaniah yang tidak mungkin prima karena perjalanan laut dari negerinya waktu itu memerlukan sekitar satu tahun dengan kondisi makanan yang buruk. Namun ternyata Sultan Agung tidak berhasil mengusir kekuatan Belanda yang kecil dan terpencil itu. Itu menunjukkan dari segi militer bahwa ada kelemahan moral dan bukan kelemahan material. Ada orang yang mencari alasan keunggulan Belanda dalam teknologi militer. Tapi pada waktu itu teknologi militer baru berupa senapan dan meriam saja. Itu sebenarnya dapat dihadapi secara efektif dengan jumlah manusia yang digerakkan secara bergelombang. Itu dibuktikan oleh tentara RRC ketika pada Perang Korea berhadapan dengan tentara AS yang teknologinya jauh lebih unggul. Jadi karena kurang adanya kekuatan kemauan yang menghasilkan energi, maka Indonesia dapat menjadi jajahan Belanda. Andai kata waktu itu Sultan Agung dapat mengusir J.P. Coen ke laut dan meninggalkan daratan Jakarta, pasti sejarah akan berbeda.
Contoh lain adalah tumbuhnya PKI di Indonesia sehingga menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah PK Uni Soviet dan PK Cina. Padahal PKI sudah memberontak di Madiun pada tahun 1948 dan dapat kita likuidasi pimpinannya. Bahwa kemudian PKI menjadi organisasi begitu besar sehingga hampir saja dapat merebut kekuasaan di Indonesia bukan karena PKI dan orang-orangnya yang jauh lebih unggul daripada kita pembela Pancasila dan umat Islam, melainkan karena kita mengambil sikap dan berlaku demikian rupa sehingga menimbulkan kerawanan dan kelemahan. Itulah yang dimanfaatkan PKI dan Komunis Internasional yang besar kepentingannya untuk menguasai Indonesia. Kita masih beruntung bahwa perbuatan kekuasaan PKI dapat kita gagalkan, meskipun hampir seluruh masyarakat sudah diinfiltrasi dan bahkan dipengaruhi olehnya. Hanya TNI-AD yang secara tegas dan konsekuen menghadapi PKI, sekalipun tidak jarang dituduh dan dikatakan oleh Bung Karno sebagai komunisto-fobi.
Kelemahan struktural ini mungkin disebabkan oleh respons yang kurang tepat terhadap segala kemurahan dan karunia Tuhan pada rakyat dan manusia Indonesia. Dengan segala kemurahan yang jarang dimiliki bangsa lain, bangsa Indonesia bagaikan anak orang kaya, sebab semua serba mudah. Bahkan, kalau bangsa lain yang tinggalnya dekat kita seperti Filipina setiap tahun harus mengalami serangan taifun yang selalu merusak kehidupan yang telah dibangun, Indonesia pun bebas dari bahaya musiman seperti itu. Karena semua dirasakan serba mudah, maka timbul kecenderungan menjadi manusia yang lunak dan kurang terdorong mengembangkan energi. Dengan pikiran: toh semua nanti akan beres sendiri. Jadi sikap pikiran dan perasaan anak orang kaya yang manja. Memang dalam kehidupan masyarakat anak kaya yang mania akan sukar berhadapan secara efektif dengan anak miskin yang gigih bersemangat dan besar energinya. Yaitu seperti manusia Jepang dan Korea yang tanahnya kebanyakan gunung dan batu dan secara musiman harus berhadapan dengan alam yang keras dan bahkan kejam. Atau manusia Cina yang karena banyaknya penduduk di negerinya sendiri, harus berimigrasi untuk dapat hidup. Tapi tidak semua orang kaya dengan sendirinya manja. Buktinya manusia Amerika yang negaranya paling kaya di dunia menghasilkan manusia yang kuat energinya; baru belakangan saja mereka berat menghadapi energi manusia Jepang, Korea dan Cina.
Satu kelemahan struktural tidak harus bersifat permanen atau tidak dapat berubah. Tergantung pada manusia dan usaha yang dilakukannya apakah kelemahan struktural dapat berubah atau tidak. Sejarah umat manusia banyak memberikan bukti. Dulu Eropa dikuasai kerajaan Romawi dengan orang-orang yang berasal dari sekitar kota Roma sebagai inti kekuatan kerajaan. Pada waktu itu orang Romawi menganggap rendah pada orang Eropa yang berasal dari utara, yang semuanya dikuasai tentara Romawi yang kuat. Tapi itu semua sekarang justru terbalik. Sekarang justru manusia Eropa yang berasal dari utara, seperti Jerman dan Skandinavia, jauh lebih main dan berkembang dari pada manusia Eropa bagian Selatan termasuk orang yang berasal dari Italia Selatan sampai Roma.
Perbandingan antara Jepang dan Amerika serta Eropa Barat sekarang juga menunjukkan bahwa kelemahan struktural tidak perlu permanen; Siapa yang lima puluh tahun yang lalu dapat mengira hasil industri AS tidak mampu menyaingi produk industri Jepang di wilayah AS sendiri?
Sebetulnya rakyat Indonesia pernah menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan energi besar, yaitu ketika memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan kemudian selama 5 tahun menjalankan perjuangan fisik, psikis, mental dan intelektual secara gigih untuk mempertahankan kemerdekaan itu dari usaha penjajah untuk meniadakannya. Pada waktu itu rakyat Indonesia benar-benar berbeda sikapnya dibandingkan sebelumnya ketika dijajah Belanda dan Jepang. Meskipun cukup banyak yang masih tetap dalam sikap lemah dan lunak. Tapi arus utama (mainstream) masyarakat adalah kuat dan penuh energi, bersedia berpikir dan berbuat dengan komitmen penuh untuk satu tujuan. Sayangnya adalah bahwa setelah tahun 1950 sikap itu lambat laun hilang kembali oleh perkembangan keadaan yang dialami rakyat Indonesia. Sehingga ada orang mengatakan bahwa manusia Indonesia baru menunjukkan kualitas yang terbaik kalau merasa terpojok. Dinilai bahwa masa penjajahan Jepang yang kejam telah memicu yang penuh energi itu.
Tapi kita tidak dapat meneruskan pandangan seperti itu. Sebab itu berarti bahwa sikap manusia Indonesia merupakan reaksi belaka terhadap tekanan dari luar. Kalau pihak lawan kita cerdas, maka ia tidak akan memojokkan kita secara drastis, melainkan memotong-motong kita secara perlahan-lahan hingga habis sama sekali karena tidak pernah ada perasaan terpojok. Kita harus dapat mengadakan perubahan dalam sikap respons kita terhadap kehidupan dan lingkungan secara positif. Dan itu mungkin kita lakukan kalau kita dapat benar-benar menyadari kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai manusia yang yakin pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sebenarnya memang tidak ada sesuatu yang mutlak selain Tuhan sendiri. Itu berarti bahwa sikap anak kaya mania yang masih ada pada kebanyakan manusia Indonesia dapat diubah dan diganti menjadi sikap yang sanggup menghasilkan energi besar serta menggunakannya secara tepat dan bermanfaat. Itu penting sekali bagi masa depan kita, khususnya umat Islam yang masih banyak yang tergolong miskin dan terbelakang. Kalau kita kurang mampu mengatasi kelemahan struktural itu, segala karunia Tuhan berupa potensi yang banyak dan kaya akan justru dimanfaatkan oleh manusia lain yang lebih kuat energinya.
Kita semua sudah mengetahui bahwa masa depan umat manusia amat dipengaruhi oleh kemampuan menguasai dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia Indonesia pada umumnya cukup mempunyai potensi kecerdasan untuk itu. Tapi penguasaan iptek tidak cukup hanya dengan potensi kecerdasan saja. Telah terbukti bahwa diperlukan kesediaan untuk belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh agar dapat menguasai ilmu pengetahuan secara baik. Karena kekurangan energi maka sekarang nampak sekali bahwa penguasaan iptek di Indonesia masih hanya di permukaan saja, sebab baru ditopang oleh kecerdasan belaka. Karena manusia Indonesia cukup cerdas, maka ia juga pandai menemukan alasan bagi kekurangberhasilannya. Sehingga selalu ada saja alasan bahwa hal yang kalah maju dari apa yang dicapai bangsa lain. Termasuk dalam iptek, selalu dikembalikan pada alasan yang dicari itu. Padahal alasan itu sebenarnya tidak bersifat menentukan.
Salah satu alasan yang selalu dikemukakan adalah bahwa kita hidup di satu lingkungan dengan udara panas. Itu mudah membuat orang lemas dan mengantuk, katanya. Tapi itu jelas satu alasan yang dicari-cari, sebab juga di negara Utara setiap musim panas temperatur meningkat jauh di atas 36 derajat Celsius, dan orang tetap bekerja. Masalahnya bukan fisik, melainkan mental. Para pakar tentang otak manusia dapat memberikan informasi lebih tepat dan mendalam mengenai fungsi otak kiri dan otak kanan manusia, dihubungkan dengan sikap hidupnya. Demikian pula para pakar ilmu perilaku (behavioural sciences) dapat menjelaskan lebih lanjut tentang perilaku manusia dalam berbagai keadaan.
Persaingan internasional dalam ekonomi, khususnya bisnis, akan makin keras. Meskipun globalisasi berarti kerjasama internasional, tapi sekaligus juga perlunya daya saing internasional pada kita. Terbentuknya berbagai himpunan kerja sama internasional, seperti ASEAN yang nanti malahan akan berkembang menjadi Wilayah Perdagangan Bebas Asia Tenggara (AFTA), APEC, dan lainnya tetap dan justru menuntut daya saing internasional pada kita. Kalau tidak ada daya saing, maka kemitraan menjadi berat sebelah dengan kita di pihak yang dirugikan. Tidak mungkin ada daya saing yang cukup tanpa ada kemampuan mengembangkan energi yang kuat. Apalagi kita akan dihadapkan pada Amerika Serikat dengan AFTA yang ingin menguasai ekonomi dunia kembali. Demikian pula Eropa yang meskipun sekarang masih belum dapat mewujudkan kehendaknya, namun pasti pada permulaan abad ke-21 akan jauh lebih bersatu dan kuat.
Sebab itu sudah tiba waktunya umat Islam mengambil inti sari Islam untuk dapat menimbulkan perubahan pada dirinya menjadi manusia yang lebih mampu mengembangkan energi dan menggunakannya secara tepat dan bermanfaat. Harus dapat terlihat dengan nyata bahwa kita lebih mampu berpikir dan menggunakan perasaan secara jernih. Kekuatan energi demikian harus menghasilkan berbagai tulisan dan teori yang bermanfaat bagi kemajuan. Kemudian diperlukan kekuatan energi untuk berbuat. Mengimplementasikan pikiran dan konsep menjadi kenyataan-kenyataan baru. Kekuatan energi diperlukan pula untuk secara konsisten dan berlanjut mengejar tujuan yang telah ditetapkan secara matang. Namun juga dibutuhkan kekuatan energi untuk bersikap realis dan menyadari serta mengakui perlunya penyesuaian pada jalan yang telah ditetapkan mencapai tujuan, kalau ternyata perkembangan keadaan berbeda dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Secara pasti, sekalipun mungkin kadang-kadang tidak dalam tempo cepat, harus kita buktikan adanya perubahan dan pembaruan. Sebab itu tidak cukup hanya menghasilkan teori dan konsep, tapi harus pula ada perbuatan dan pelaksanaan. Hanya melalui jalan demikian kita akan merebut respek dan pengakuan akan maksud baik kita. Kita tidak mencari untuk dikasihani pihak lain, sebab hal itu bertentangan dengan harga diri kita., Tapi, kita harus mampu menimbulkan persepsi pada pihak lain melalui segala pikiran, perasaan dan perbuatan, bahwa kita sudah sepatutnya direspek dan dihargai.
Ini harus menjadi landasan kepemimpinan di lingkungan umat Islam Indonesia. Di kalangan ICMI yang sudah ada pedoman tentang Lima Kualitas (kualitas iman, kualitas hidup, kualitas bekerja, kualitas berkarya, dan kualitas berpikir) harus memberikan landasan terwujudnya pengembangan kekuatan energi yang lebih kuat di masa akan datang. Kalau dikatakan bahwa ini harus menjadi landasan kepemimpinan, itu tidak berarti bahwa hanya pemimpin saja yang berenergi, melainkan kepemimpinannya harus dapat mempengaruhi dan mengajak umat untuk mengembangkan energi. Sebaliknya, kecenderungan yang sekarang masih ada untuk lebih menggantungkan pada beberapa orang yang memang energik harus dapat dihilangkan. Kepemimpinan justru harus menghasilkan kemandirian pada pihak yang dipimpin, bukan menimbulkan ketergantungan.

Kemampuan Menghasilkan Sintesa
Kelemahan struktural kedua yang ada pada rakyat Indonesia, khususnya umat Islamnya, adalah masih terbatasnya kemampuan untuk menghasilkan sintesa dalam proses dialektika dari tesa yang berhadapan dengan antitesa.
Karena manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan berperasaan, di samping mempunyai naluri seperti makhluk hewan, maka adalah hal yang lumrah bahwa setiap orang dapat mempunyai pikiran dan perasaan yang belum tentu sama dengan yang lain. Kehidupan berkelompok, seperti keluarga dan lingkungan etnis atau geografis, dapat mengembangkan kebiasaan dan tradisi yang memberikan pedoman kuat pada pikiran dan perasaan setiap anggota kelompok itu. Namun itu tetap tidak dapat meniadakan kenyataan bahwa di antar anggota satu keluarga yang berasal dari satu ayah dan satu ibu mungkin saja timbul perbedaan pendapat. Memang Tuhan membedakan makhluk manusia dari makhluk yang lain dengan memberikan padanya kemampuan dan kebebasan berpendapat.
Naluri yang ada pada setiap manusia, ditambah dengan kemampuan berpikir dan berperasaan dapat menimbulkan berbagai rangsangan dan dorongan pada manusia untuk menyatakan pendapatnya dan mempunyai kepentingannya tertentu dalam kehidupan. Dan pendapat serta kepentingan itu belum tentu sama dengan pendapat dan kepentingan orang lain.
Masyarakat menjadi kuat kalau sanggup dan mampu menimbulkan proses dialektika yang sehat di mana tesa yang berhadapan dengan antitesa menghasilkan sintesa. Dan bukan menghasilkan konflik atau pertentangan.
Di dalam masyarakat kita terlalu sering kita temukan bahwa perbedaan pendapat, bahkan yang bersifat sederhana saja, sukar dipertemukan dan malahan menimbulkan pertentangan pribadi. Bahkan itu terjadi di lingkungan orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar karena telah mencapai berbagai gelar akademis hasil pendidikan berbagai perguruan tinggi. Nampaknya masih kurang adanya kekuatan kendali diri dalam penggunaan rasio atau nalar dan perasaan sehingga prosesnya menjadi negatif emosional. Bahwa satu perbedaan antara dua pendapat yang berbeda sebaiknya dilakukan secara mendalam dan bahkan mungkin tajam secara rasional karena ingin mencari kebenaran yang semaksimal mungkin, adalah baik. Tapi hasilnya harus berupa satu kesimpulan yang bersifat sintesa atau persetujuan untuk tidak saling mufakat (to agree to disagree). Dan bukan satu pertentangan pribadi atau bahkan konflik yang menggunakan kekerasan.
Nampaknya masih belum ada cukup kesadaran bahwa pertentangan pribadi yang emosional, apalagi yang menggunakan kekerasan, justru merugikan diri sendiri. Itu jelas sekali kita lihat di arena sepak bola Indonesia dewasa ini. Pemain begitu mudah beralih pada perkelahian tanpa menyadari bahwa energi yang dipakai untuk berkelahi merupakan pemborosan yang sebetulnya dapat digunakan secara efektif untuk bermain sepak bola yang baik, melalui kemampuan berpikir tajam dan bergerak lincah Serta cepat. Selama kondisi mental dan sikap kehidupan ini belum dapat diubah sukar sekali kita mengharapkan peningkatan prestasi. Tapi tidak hanya dalam arena sepak bola itu kita lihat. Itu juga terdapat dalam dunia politik dan bahkan dalam lingkungan agama Islam. Padahal Islam dengan tegas dan jelas mengajarkan bahwa manusia harus menggunakan nalarnya secara baik. Dan bahwa manusia harus hidup bersama untuk memperoleh hasil lebih tinggi dan bermakna, karena setiap manusia tak ada yang sempurna melainkan mempunyai berbagai keterbatasan.
Kita seringkali mengkritik masyarakat Barat tentang sikap individualismenya. Tapi dalam kenyataan kita melihat bahwa orang Barat, khususnya dalam lingkungan ilmu pengetahuan, lebih mampu daripada kita untuk tidak jatuh dalam pertentangan pribadi apabila ada perbedaan pendapat. Jadi kalau begitu, apa artinya kewajiban kita untuk dapat hidup bersama yang sebenarnya memberikan landasan yang lebih sehat bagi kita dibandingkan pandangan masyarakat individualis.
Akibat dari kekurangmampuan menemukan sintesa adalah luas sekali. Pertama, kita selalu sukar memperoleh persatuan dan solidaritas masyarakat yang sebenarnya. Pepatah yang berbunyi “bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh” tidak difungsikan. Sebaliknya, malahan terjadi pemborosan energi kalau terjadi pertentangan yang tajam secara pribadi.
Kedua, karena orang khawatir dituduh menimbulkan pertentangan dan perpecahan dengan mengemukakan pendapatnya, maka terjadi kondisi masyarakat yang tertutup. Itu berarti bahwa otak sekian ribu atau juta manusia yang sebetulnya dikaruniakan Tuhan untuk dipakai, menjadi kurang berfungsi untuk kepentingan umum.
Ketiga, oleh sebab kurang ada mobilitas pikiran dan perasaan maka kurang ada dinamika dalam kehidupan. Yang terjadi hanya gerak pikiran dari beberapa pihak saja yang belum tentu menghasilkan pendapat yang paling baik bagi masyarakat itu. Dalam lingkungan ilmu pengetahuan hal demikian dapat menyebabkan berhentinya atau amat terhambatnya gerak maju dalam kemampuan menguasai ilmu pengetahuan. Kita teringat ketika Galilei mendapat hukuman dari gereja Katolik karena berani berpikir lain dari yang dihasilkan oleh pimpinan gereja. Padahal ternyata justru pikiran Galilei yang sesuai dengan kehendak dan keadaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Keempat, karena kurang adanya dinamika berpikir, maka sukar diharapkan adanya usaha yang lincah dan dinamis untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidaklah mengherankan kalau kemudian justru mereka atau golongan yang lebih berani berpikir yang menarik keuntungan dari keadaan itu. Mereka lebih cepat melihat peluang dan kesempatan karena sudah terbiasa berpikir secara dinamis. Memang kita -khususnya, umat Islam- masih dirugikan oleh sejarah bahwa dalam masa penjajahan lebih ditekan untuk tidak berpikir merdeka dan meningkatkan kemampuan usaha dibandingkan golongan lain. Akan tetapi masa penjajahan sudah hampir setengah abad di belakang kita. Dan tidak pada tempatnya lagi untuk digunakan sebagai alasan bagi sikap kita yang kurang terbuka untuk mencari sintesa.
Kelima, dalam kehidupan beragama sendiri kurang terjadi perkembangan yang semestinya, karena orang khawatir dianggap salah bicara tentang suatu yang dianggap sakral. Seakan-akan hanya beberapa orang saja yang menguasai, ilmu dan teori agama yang berhak bicara tentang agama. Padahal agama Islam adalah universal, berlaku untuk semua orang dan seluruh zaman. Bahwa agama Islam diturunkan di negara Arab tidak menjadikannya agama Arab atau mengharuskan penganutnya bersifat seperti orang Arab dalam temperamen dan sikap hidupnya. Kalau kurang ada kemungkinan untuk berbicara secara terbuka dan bertanggung jawab tentang agama, maka faktor moralitas dalam kehidupan akan mengalami kesulitan. Padahal, perkembangan benda disebabkan oleh makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi bukan main besarnya. Justru untuk menjamin agar manusia tidak dikuasai benda, melainkan menguasai benda bagi kesejahteraan hidupnya secara lahir dan batin, harus ada perkembangan pula dalam moralitas. Sebab itu, pengeluaran pendapat tentang agama dan moral perlu diberikan kemungkinan untuk dilakukan secara terbuka dan penuh tanggung jawab. Dalam hal ini kita sering kecewa, karena begitu kejam nya dan cepatnya reaksi sesama pakar agama Islam terhadap satu pendapat tertentu dari pakar Islam lainnya. Reaksi yang bukan bersifat adu pendapat secara moderat dan terbuka, melainkan tidak jarang membawa masalah pribadi. Kalau hal demikian kurang dapat diperbaiki oleh para tokoh dan pemimpin Islam, maka Indonesia sebagai bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia sukar memberikan sumbangan pada Kebangkitan Islam yang selalu kita dengungkan. Padahal, kebangkitan Islam bukanlah sesuatu yang sifatnya hanya untuk kebanggaan politik atau kelompok, melainkan menyangkut perbaikan hidup ratusan juta manusia yang sekarang masih hidup terbelakang. Sebab itu kelemahan struktural kedua dalam kehidupan rakyat Indonesia, khususnya umat Islamnya, perlu kita waspadai dan atasi. Sebenarnya pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia moderat dan karena itu kita berlandaskan hidup gotong-royong. Tapi di sini, lagi-lagi nampak adanya kesenjangan antara perilaku kita dengan apa yang kita pahami. Itu juga salah satu akibat dari kelemahan struktural pertama, yaitu kurang mampu mengembangkan energi. Sehingga kurang sungguh-sungguh pula dalam mengusahakan gotong royong dalam pemikiran dan berpendapat.

Kemampuan Menyusun Jaringan Sosial
Kelemahan struktural ketiga dalam masyarakat kita adalah kurang adanya jaringan sosial (social network) yang efektif. Meskipun kita selalu mengatakan bahwa landasan hidup kita gotong royong, namun dalam kenyataan sukar ditemukan kehidupan gotong royong. Bung Karno dulu mengatakan bahwa andai kata kita boleh memeras lima nilai Pancasila, maka yang kita peroleh adalah gotong royong. Demikian kuatnya pengertian gotong royong dalam alam pikiran dan perasaan kita, tapi hampir nihil dalam kehidupan nyata masyarakat.
Ini mungkin karena kita mengalami invasi kuat dari sikap hidup individualisme Barat. Kehidupan di kota-kota besar sekarang makin terpengaruh oleh sikap individualis itu, dan makin besar kotanya makin kuat pengaruhnya.
Kita mungkin berpikir bahwa hanya melalui sikap demikian kita dapat mengejar ketinggalan kita terhadap kemajuan kebendaan dunia Barat. Sebab itu kita nilai penting untuk kesejahteraan masyarakat yang ingin kita bangun.
Kalau itu yang menjadi alasan, maka jawaban yang kita ambil adalah satu kesalahan besar. Sebab, justru sekarang bangsa-bangsa Asia Pasifik yang telah berhasil mengejar ketinggalannya dalam kehidupan material Barat, seperti Jepang dan Cina Perantauan, telah mencapai kemajuan mereka berdasarkan kehidupan yang mengandung jaringan sosial yang kuat. Malahan sekarang terjadi pemikiran di sementara orang Amerika apakah tidak perlu bangsa Amerika mengambil sikap yang lebih mendekati kehidupan masyarakat Jepang itu untuk dapat menyaingi secara efektif. Kita tahu bahwa di masyarakat Jepang ada lembaga “oyabun-kobun”. Satu hubungan antara dua orang yang tidak harus mempunyai ikatan darah atau kekeluargaan, tapi dekat secara mental. Oyabun adalah pihak yang tua, sedangkan kobun pihak yang muda. Orang yang menjadi oyabun terhadap orang lain, di pihak lain merupakan kobun dari orang yang lebih tua lagi. Sebaliknya, kobun yang pertama mungkin saja merupakan oyabun bagi orang yang lebih muda lagi. Dengan begitu terjadi satu jaringan sosial yang kuat sekali di masyarakat Jepang. Sebab hubungan antara oyabun dan kobun adalah amat erat, bahkan tidak jarang lebih erat daripada hubungan dengan orang tua sendiri. Sebab dalam masyarakat Jepang hanya anak laki-laki tertua yang melanjutkan keluarganya, sedangkan anak perempuan ikut suami dan anak laki-laki lain harus membangun kehidupan mereka sendiri.
Perkembangan Cina Perantauan di Asia Tenggara, termasuk juga Hongkong dan Taiwan, amat dimungkinkan oleh jaringan sosial yang juga amat kuat. Itu terutama tampak dalam perkembangan bisnis mereka, karena sebagai pendatang mereka akan sukar hidup berlanjut kalau tidak ada hubungan satu sama lain yang kokoh. Tidak jarang pengusaha Cina yang kemudian menjadi besar berasal mula dari anak yang miskin, tapi mendapat bantuan permulaan dan dorongan dari jaringan sosialnya. Sampai kini kita terus melihat kaum WNI keturunan Cina dapat berhubungan secara lancar dengan mereka yang ada di seluruh Asia Tenggara, khususnya Hongkong dan Singapura.
Menyusun jaringan sosial bagi kita di Indonesia harus kita lakukan secara sadar sebagai realisasi kehidupan gotong royong dalam bentuk modern. Itu berarti bahwa dengan cara itu kita hendak membangun kehidupan yang maju, adil dan sejahtera yang justru lebih baik dari kehidupan yang tanpa jaringan sosial atau yang bersifat individualis.
Namun di pihak lain, kita juga harus waspada jangan sampai usaha membentuk jaringan sosial mengakibatkan kelemahan dan keretakan. Itu antara lain dapat terjadi kalau jaringan sosial yang kita buat didasarkan hubungan etnik belaka secara kuat, tanpa ada perimbangan yang sesuai. Pada waktu ini di seluruh dunia faktor etnik menjadi masalah besar dalam pemeliharaan persatuan bangsa. Itu tidak hanya terjadi di bekas Uni Soviet, Yugoslavia dan bekas negara komunis lainnya, tapi juga di negara-negara Barat. Masyarakat AS yang termasuk kuat menghadapi bentrokan berbahaya antar etnik aneka ragam yang telah meletus bulan Juni 1992. Demikian pula Kanada tidak bebas dari ancaman perpecahan keturunan Prancis. Di Eropa masyarakat Inggris tidak hanya menghadapi masalah Irlandia yang laten, tapi belakangan juga Skotlandia, Belgia menghadapi masalah Vlaam dan Walloon. Jadi masalah etnik adalah kongkrit dalam masyarakat yang paling modern pun. Oleh sebab itu kita harus amat waspada terhadap hal itu, khususnya karena rakyat kita masih mudah sekali terbakar emosinya.
Jadi pembentukan jaringan sosial perlu mengambil jalan lain. Alternatif yang ada adalah asal sekolah yang sama seperti yang banyak terjadi di Jepang. Mungkin saja sekolah tersebut menjadi tempat bagi orang yang berasal dari etnik tertentu. Tapi, hubungan yang kemudian terjadi bukanlah karena hubungan etnik, melainkan karena asal sekolah atau alumni. Alternatif lain adalah organisasi pemuda, seperti Karang Taruna dan Pramuka.
Memang ada yang berpendapat adalah tidak baik untuk berpikir dalam ukuran golongan, dan harus dalam ukuran bangsa dan negara. Dilihat dari sudut itu pembentukan jaringan sosial menjadi salah. Tapi dalam kenyataan jaringan sosial yang dilakukan secara baik justru menguntungkan negara dan bangsa, seperti kita lihat di Jepang. Sebaliknya, tanpa jaringan sosial kurang ada kohesi masyarakat yang seringkali kita perlukan untuk menumbuhkan kekuatan bangsa, termasuk sekarang dalam mengusahakan daya saing internasional dalam berbagai bidang. 
Adalah benar bahwa kehadiran jaringan sosial tidak boleh terlalu menonjolkan kehidupan golongan atau biasa dinamakan “kliek”. Seperti umpamanya saja dalam lingkungan satu departemen pemerintahan tertentu kebanyakan hanya ada orang-orang lulusan satu universitas tertentu saja. Namun keadaan seperti itu kita lihat di mana-mana, termasuk di AS yang paling individualis dan apalagi di Inggris yang dinamakan “the old boys network”. Jadi kita sadar akan aspek negatifnya, tapi harus kita batasi itu demi keuntungan yang ingin kita peroleh dari kekuatan jaringan sosial.
Sebaliknya, tanpa ada jaringan sosial yang berarti kita akan sukar menghadapi bangsa Asia Pasifik lainnya dan akan kurang kuat berhadapan dengan bangsa yang berdasarkan individualisme karena memang individualisme bukan sifat kita semula. Sedangkan dipandang dari sudut pembangunan bangsa pembentukan jaringan sosial yang efektif adalah perwujudan kehidupan gotong royong secara modern.

Penutup
Telah diusahakan untuk mengemukakan tiga kelemahan struktural yang masih menghinggapi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islamnya dewasa ini.
Kalau kita ingin menjadi bangsa yang secara efektif dapat memanfaatkan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan pada kita, maka kita harus dapat mencari jawaban yang tepat terhadap tiga kelemahan itu.
Untuk itu perlu ada studi yang lebih mendalam dan bersifat interdisiplin. Secara umum dapat kita katakan bahwa hasil studi itu nanti harus dapat dibawa dalam implementasi pendidikan. Pendidikan di lingkungan keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat. Juga harus ada pengaruhnya dalam penyelenggaraan kepemimpinan di segala bidang dan semua tingkat.
Memang bukan hal yang mudah dan ringan yang kita hadapi. Namun dengan keyakinan bahwa dengan ridho Allah semua dapat dicapai asalkan kita cukup menjalankan ikhtiar, maka kita pun yakin segala masalah yang nampak berat dan sukar itu dapat kita atasi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar