Minggu, 26 Oktober 2014

TASAWUF AL-QUR’AN TENTANG PERKEMBANGAN JIWA MANUSIA



TASAWUF AL-QUR’AN TENTANG
PERKEMBANGAN JIWA MANUSIA

Oleh Djohan Effendi
Djohan Effendi adalah staf peneliti pada Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Departemen Agama dan dosen Islamologi pada STF Driyakara dan Universitas Trisakti. Dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 52 tahun lalu, ia menyelesaikan studinya pada fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sering mengikuti seminar tentang agama, perubahan sosial dan politik baik di dalam maupun l;uar negeri. Juga banyak menulis berbagai artikel tentang Islam. Sehari-harinya bekerja di Kantor Sekretariat Negara.

Manusia, menurut tasawuf al-Qur’an, tidak hanya sekedar berbeda dengan, tetapi terutama mengatasi makhluk-makhluk lainnya. Manusia mengungguli ciptaan-ciptaan Tuhan di luar dirinya. Kedudukannya selaku khalifah Tuhan di muka bumi melahirkan bentuk hubungan antara manusia dan dunia bukan-manusia, yang bersifat penguasaan, pengaturan dan penempatan oleh dan untuk manusia. Keunggulan manusia tersebut terletak dalam wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan ahsan al taqwim (sebaik-baiknya ciptaan), baik dalam keindahan, kesempurnaan bentuk perawakannya, maupun dalam kemampuan maknawinya, baik intelektual maupun spiritual.
Tetapi hal tersebut tidak dengan sendirinya menjadi kelebihluhuran manusia secara langsung. Kemampuan-kemampuan maknawi manusia tersebut masih bersifat laten, dan terletak dalam perwujudan potensi insani itu sehingga menjadi kualitas moral dalam kenyataan tingkah laku kehidupan sehari-hari, dalam akhlaknya. Dalam mutu dan kualitas akhlaknya, manusia menunjukkan tingkat kepribadiannya dan mewujudkan nilai kemanusiaannya.


Kepribadian Manusia
Manusia tidak diciptakan dalam keadaan sekali jadi. Ia lahir dalam keadaan belum selesai. Karena itu, di samping pertumbuhan badani yang berlangsung secara lebih alamiah, ia sendiri membangun dan mengembangkan diri pribadinya sesuai dengan titah kejadiannya. Al-Qur’an sendiri memberikan isyarat jelas tentang ada da perlunya proses penyempurnaan diri pribadi itu: “Demi sukma dan penyempurnaannya” (Q. 91:7).
Proses penyempurnaan diri (taswijat al-nafs), adalah proses dimana manusia berusaha mengadakan perubahan dan peningkatan dirinya. Menurut al-Qur’an, hal tersebut berlangsung secara lebih manusiawi. Artinya bahwa proses penyempurnaan tersebut tergantung pada faktor manusia sendiri sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab. Dalam al-Qur’an ada ayat, “Sungguh, Allah tiada akan mengubah (nikmat yang dilimpahkan-Nya) kepada sesuatu kaum, jika tiada mereka mengubah keadaannya sendiri” (Q. 13:11).
Peletakan tanggung jawab proses penyempurnaan diri itu pada manusia ada dalam pilihan tentang jalan hidupnya, seperti dinyatakan oleh ayat lanjutan dari Q. 91:7 di atas, “(Allah) mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan” (Q. 91:8). Sehingga, dalam proses penyempurnaan diri itu, manusia berdiri sebagai subyek yang sadar dan bebas menentukan pilihan: apakah akan memilih fujur, yang berarti, menurut Muhammad ‘Ali, “jalan kejahatan” yakni –menurut “Abduh- “hal-hal yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan”, atau memilih taqwa, yang berarti “jalan kebaikan”, yakni “hal-hal yang menyebabkannya terpelihara dari akibat-akibat yang buruk.”
Pembentangan dan jalan Allah dalam kehidupan manusia dikatakan pula oleh al-Qur’an di tempat lain, “Dan kami tunjuki dua jalan (jalan kebaikan dan jalan kejahatan)” (Q. 90:10).
Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa, dalam memperjelas ide tentang penyempurnaan diri tersebut, al-Qur’an mempergunakan perkataan zakka (menyucikan) seperti terdapat dalam ayat berikutnya dari Q. 19:7, 8 di atas “Sungguh, bahagialah siapa yang menyucikannya” (Q. 91:9).
Perkataan zakka berasal dari dan merupakan bentuk muta’addi atau transitif dari perkataan zaka, yang memuat dua arti, yaitu (a) bertumbuh atau membesar, dan (b) membersihkan. Maka dengan perkataan tazkiyah al-nafs tersimpul pengertian dan gagasan tentang:
1.      Usaha-usaha yang bersifat pengembangan diri, yaitu usaha mewujudkan potensi-potensi manusia menjadi kualitas-kualitas moral yang luhur (aklahq al-hasanah); dan
2.      Usaha-usaha yang bersifat pembersihan diri dari kecenderungan-kecenderungan immoral (akhlaq al-sayyi’ah).
Dengan  demikian, tazkiyah al-nafs adalah proses perkembangan jiwa manusia, proses pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan akhlaq al-karimah (moralitas yang mulia) dalam diri dan kehidupan manusia. Dan dalam proses perkembangan jiwa itulah terletak falah (kebahagiaan), yaitu keberhasilan manusia dalam memberi bentuk dan isi pada keluhuran martabatnya sebagai makhluk yang berakal budi.

Perkembangan Kesadaran Moral
Jika esensi dari proses perkembangan jiwa adalah pertumbuhan, pembinaan dan pengembanan nilai-nilai akhlaq al-karimah dalam diri dan kehidupan manusia, maka akhlak adalah kualitas-kualitas moral yang khas manusiawi dan bahkan merupakan esensi utama kemanusiaan itu sendiri. Dalam akhlak itu tercermin jiwa sebagai makhluk jasmani dan rohani. Sebab, dalam kehidupan akhlak itu, manusia menyatakan dirinya memberikan bentuk dan isi pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan ahsan al-taqwim. Tanpa akhlak, manusia kehilangan esensi kemanusiaannya. Ia hidup dan berada di dunia sebagai manusia tanpa kemanusiaan, sebagai makhluk asfala safilin.
Oleh karena itu, perkembangan moral manusia bukanlah kualitas-kualitas yang statis, ada dan melekat pada diri dan kehidupan manusia dengan sendirinya, melainkan tumbuh dan menjadi luhur dalam dinamika kehidupan manusia. Perkembangan moral manusia itu bermula dan berangkat dari kesadaran moral, kesadaran tentang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban. Kesadaran moral pada hakikatnya adalah penjelmaan dari kemampuan-kemampuan maknawi manusia yang bersifat intelektual dan spiritual.
Di dalam kehidupan praktis, kesadaran moral mmewujudkan diri dalam bentuk hati nurani (dhamir, gewetn, a conscience). Al-Qur’an Menyebu hati nurani sebagai suatu potensi kesadaran moral manusia (al-nafs al-lawwamah), seperti dalam ayat “Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesal” (Q. 752).
Dilihat dari segi bahasa, perkataan lawwamah berasal dari dan merupakan bentuk “penekanan” atau sibghah muballaghah dari perkataan la-i-ma yang berarti mencela atau menyesali diri. Karena itu, al-nafs al-lawwamah tidak hanya sekedar kesadaran moral yang dengannya mengerti dan menghukumi baik dan buruk dan menyadari kedudukan, hak dan kewajibannya, melainkan – seperti dikatakan Yusuf Ali – juga bisa dibandingkan dengan dan dianggap sebagai “hati nurani”, yakni potensi batin manusia yang mencegah, menghentikan dan menyesali segala perbuatannya yang bersifat dosa dan immoral.
Penyebutan al-nafs al-lawwamah sebagai obyek sumpah oleh al-Qur’an menunjukkan kesangat-pentingan arti kata ini bagi diri dan kehidupan manusia. Sebab, kesadaran moral – yang dalam bentuk nyata wujud sebagai hati nurani – adalah aspek asasi bagi kehidupan manusia dna kemanusiaannya. Ia mengenai seluruh jiwa manusia dan menyangkut kehidupan manusia dalam keseluruhan.

Penguasaan Diri
Telah disinggung di atas, bahwa proses perkembangan jiwa berlangsung secara manusiawi. Dalam proses perkembangan jiwa itu, manusia berdiri sebagai subyek yang sadar dan bebas untuk dan dalam menentukan pilihan, apakah ia mengambil fujur (jalan kejahatan) atau taqwa (jalan kebaikan). Proses perkembangan jiwa manusia itu sepenuhnya memiliki dan berada dalam kesadaran moral yang terwujud dan terbentuk dalam kebebasan berkehendak dan kebebasan memilih. Tetapi, walaupun demikian, di balik ide tentang kebebasan moral itu, tersimpul di dalamnya ide tentang tanggung jawab moral terhadap dan untuk dirinya sendiri. Dengan meletakkan fujur dan taqwa sebagai dua hal yang berada di hadapan pilihan manusia, yang menyangkut dan bahkan menentukan proses penyempurnaan dirinya, tersirat suatu perintah halus dan tidak langsung mengenai kewajiban moral, agar manusia – dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri – mengambil dan memilih taqwa.
Perkataan taqwa, yang oleh ‘Abduh – seperti dikutip di atas – diartikan sebagai “hal-hal yang menyebabkan (seseorang) terpelihara dari akibat-akibat yang buruk”jika dilihat dari segi bahawa, berasal dari kata kerja waqa yang berarti “menyelamatkan, menjaga dan memelihara. Al-Raghib al-Asfahani menjelaskan arti wiqayah, bentuk mashdar atau infinitif dari perkataan waqa, sebagai “memelihara sesuatu dari hal-hal yang merugikan dan membuat bencana. Dari pengertian itu, ia mengartikan taqwa – dari segi bahasa – sebagai “membuat diri dalam keadaan terpelihara, dan – dari segi syari’at – sebagai “pemeliharaan diri dari hal-hal yang menimbulkan dosa. Sehingga, mudah dipahami bahwa esensi taqwa adalah penguasaan, pengendalian dan pemeliharaan diri dari al-ahwa’ yang oleh Muhammad ‘Ali diterjemahkan sebagai “keinginan-keinginan rendah” yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan yang bersifat dosa dan immoral, yang langsung atau tidak menghambat proses perkembangan jiwa manusia.
Jika perkembangan jiwa berkaitan dengan falah, maka falah memerlukan zad atau bekal. Menurut al-Qur’an, perbekalan yang paling baik, yaitu yang paling menjamin tercapainya falah tersebut, adalah taqwa, seperti dapat dibaca dalam ayat berikut, “Bawalah bekal, tapi sebaik-baiknya bekal ialah taqwa” (Q. 2:197).
Di tempat lain al-Qur’an mengumpamakan taqwa sebagai pakaian batin, yang – sebagaimana pakaian lahir – mempunyai fungsi primer sebagai penutup aurat dan fungsi sekunder sebagai perhiasan. Kita tahu kedua-duanya amat menentukan nilai kemanusiaan seseorang. Al-Qur’an menyebutkan, “Hai bani Adam! Telah kami turunkan kepadamu pakaian guna menutupi auratmu. Dan (sebagai perhiasan (bagimu). Tetapi pakaian berupa takwa, itu lebih baik” (Q. 7:26).
Sebagai usaha penguasaan dan pengendalian diri, yang membuat manusia tetap dalam keadaan terpelihara, taqwa memuat dua aspek, yakni: (1) pencegahan dan penanggalan sifat, sikap dan tabiat buruk (al-akhlaq al-madzmumah) dari dirinya; dan (2) penumbuhan dan penghiasan sifat, sikap dan tabiat baik dan terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) pada dirinya.
Dari uraian di atas tampak jelas hubungan erat dan kaitan antara taqwa dan tazkiyat al-nafs, antara usaha penguasaan, pengendalian dan pemeliharaan diri dengan proses perkembangan jiwa. Proses perkembangan jiwa itu bersatu dan bersenyawa dengan usaha pengembangan kemampuan dan kesanggupan penguasaan, pengendalian dan pemeliharaan diri. Oleh karena itu mudah dimengerti mengapa al-Qur’an mengaitkan ketakwaan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an menyebutkan, “Barangsiapa takut akan waktu ia berdiri di depan Tuhannya, dan menahan diri dari hawa nafsunya, surgalah tempat kediamannya” (Q. 79:40-41).
Maka dari itu, sambil mengemukakan gagasan tentang kesatuan, persamaan dan persaudaraan umat manusia, al-Qur’an dengan tegas menyarankan bahwa ketakwaan mempunyai arti yang sangat penting sebagai nilai dan faktor penentu bagi keluhuran dan kemuliaan martabat dan harkat insani. Simaklah ayat berikut:
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu, bagi Allah, ialah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah maha mengetahui, maha sempurna pengetahuan-Nya (Q. 49:13).
Maka, usaha penguasaan, pengendalian dan pemeliharaan diri adalah dasar dari proses perkembangan jiwa dan nilai-nilai moral manusia, dan dalam diri itulah terletak kemungkinan pembinaan, pertumbuhan dan pengembangan diri pribadi.

Tasawuf al-Qur’an tentang Moralitas Manusia
Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani, dan karena itu wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat kejasmaniahan, melainkan lebih berbentuk kualitas-kualitas moral yang hidup dan dinamis. Hakikat proses perkembangan jiwa adalah rentetan dan susunan dari tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman yang tak pernah berhenti. Apa yang dinamakan sebagai Insan Kamil atau Manusia Sempurna tidak akan pernah menjelma sebagai kenyataan faktual dalam diri dan kehidupan manusia. Yang ada dan terjadi hanyalah proses penyempurnaan diri, tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya makin sempurna.
Ini berarti, Insan Kamil sebagai pola cita kepribadian sekali-kali bukan wujud konkret dalam dunia nyata, melainkan suatu ide abstrak dalam dunia cita. Tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa proses perkembangan jika tersebut dibiarkan berlangsung tanpa arah. Bentuk pengarahannya terletak pada gagasan moral yang mengilhami dan menafasi proses perkembangan jiwa manusia tersebut. Di sinilah terlihat kedalaman makna peletakan al-asma’ al-husna oleh al-Qur’an sebagai cita moral bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an menyitir:
Kepunyaan Allah-lah al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang agung dan indah). Maka serulah Ia dengannya. Dan tinggalkanlah orang yang menyalahgunakan nama-nama-Nya. Mereka akan beroleh balasan, atas apa yang mereka lakukan (Q. 7:180).
Adapun yang dimaksud dengan al-asma’ al-husna, menurut Muhammad ‘Ali, adalah “nama-nama yang menampakkan sifat-sifat yang paling baik dari Dzat Ilahi. Sedang dengan perkataan fa ud’uhu biha, menurutnya, berarti “bahwa manusia harus menyimpan sifat-sifat Ilahi dalam pikirannya, dan berusaha memiliki sifat-sifat tersebut, sebab, hanya dengan itu dia bisa mencapai kesempurnaan. Hal ini lebih diperjelas lagi oleh al-Qur’an:
Bagi mereka yang tiada beriman kepada hari kemudian, berlaku perumpamaan kejahatan. Tapi, bagi Allah, berlaku perumpamaan yang paling tinggi. Ialah yang maha perkasa, yang maha bijaksana (Q. 16:60).
Dalam ayat di atas al-Qur’an mengaitkan matsal al-su’ (sifat-sifat buruk) kepada orang-orang yang tidak beriman kepada hari kemudian, yakni kehidupan setelah mati sebagai proses lanjutan dari kehidupan dunia ini, dan sebaliknya menisbahkan matsal al-a’la (sifat-sifat luhur) kepada Ilahi. Dengan demikian terdapat isyarat halus dari ayat tersebut, bahwa kepribadian seorang mukmin adalah kepribadian orang-orang yang berhasil menanggalkan matsal al-su’ dari dirinya dan berusaha menumbuhkan matsal al-a’la dalam dirinya. Atau, dengan perkataan lain, menjadikan sifat-sifat Ilahi sebagai sumber gagasan yang mewarnai kehidupan akhlaknya, sebab “manusia,” kata Khaja Kamal-ud Din, “diciptakan untuk mengambil Tuhan sebagai prototipenya dan untuk mewujudkan kembali akhlak Ilahi.”
Pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi dalam wujud akhlak insani diperintahkan sendiri oleh al-Qur’an, “Berbuatlah baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu” (Q. 28:77). Manusia dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesamanya sebagaimana Tuhan telah berbuat baik kepadanya. Dan kebaikan Ilahi kepada manusia dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifatnya yang luhur dan sempurna. Karena itu, kebaikan manusia terhadap sesamanya harus dimanifestasikan dalam bentuk pelahiran dan pewujudan kembali sifat-sifat Ilahi dalam kehidupan manusia sesuai dengan batas kemampuan dan alam manusia.
Dengan demikian, jelas dan pasti bahwa manusia tidak mungkin bisa menyamai dan menyerupai sifat-sifat Ilahi itu. Namun, dalam ketidaksempurnaannya sebagai makhluk Tuhan, dengan meletakkan sifat-sifat Ilahinya sebagai gagasan dan pola kehidupan moralnya, manusia dapat berusaha dan mencoba mengarahkan proses perkembangan kepribadian. Dan justru dalam proses mengarahkan perkembangan pribadinya pada keluhuran dan kesempurnaan sifat-sifat Ilahi itulah manusia berhadapan dengan sumber Ilahi yang tak kunjung kering untuk pembentukan kepribadiannya dalam proses yang menerus dan tak kenal henti.

Media perkembangan Kepribadian Manusia
Insan Kamil atau Manusia Sempurna hanyalah sekedar gagasan ideal dari kepribadian manusia. Menurut al-Qur’an, ini harus dilakukan dengan menyerap sifat-sifat Ilahi dan memancarkannya kembali dalam kehidupan antar dan sesama manusia. Penyerapan dan pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi ini pada hakikatnya adalah usaha pemantapan dan pemberian makna pada keberadaan manusia., bahwa ia benar-benar ada, berada dan mengada, yang hanya mungkin terjadi dalam komunikasi dan interaksi antara manusia dan keadaan di luar dirinya. Ide tentang keharusadaan komunikasi tersebut, dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai berikut: “Mereka selalu diliputi kehinaan, di mana saja mereka ditemukan, kecuali mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia” (Q. 3:111).
Dari ayat tersebut di atas, terlihat adanya dua sistem hubungan yang harus dilakukan oleh manusia dalam rangka proses penyempurnaan diri pribadinya, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya, yang bisa kita sebut dengan “aspek keberagaman” (hubungan manusia-Tuhan) dan “aspek kebersamaan” (hubungan manusia-manusia).
1.      Aspek Keberagamaan
Hidup keberagamaan adalah perwujudan nyata dari habl min Allah, yakni hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam keberagamaan, manusia menyatakan sifat kemakhlukannya yang sangat tergantung pada al-Khaliq, yang terwujud dalam sikap aslama, yaitu penyerahan dan pemasrahan diri kepada Tuhan yang merupakan aspek asasi, bukan saja bagi hidup keberagamaan melainkan juga bagi hakikat keberadaannya.
Meskipun dalam wujud kejadian manusia terkandung aneka kemampuan batin, namun manusia dilahirkan dalam keadaan lemah (Q. 4:28). Aneka kemampuan batin manusia tersebut harus ditumbuhkan dan dikembangkan dengan usaha mengenal, mencintai dan mengabdi kepada Tuhan, hingga ia mampu menumbuhkan akhlak Ilahi dalam dirinya. Dalam pengertian tasawuf, di sini terletak arti dan makna dari lembaga-lembaga ibadah yang diwajibkan dalam al-Qur’an, yang di samping merupakan media perkembangan bagi kesadaran dan penghayatan akan wujud Ilahi, juga mengandung riyadlah atau latihan bagi kemampuan penguasaan diri. Inilah makna ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yan menciptakan kamu dan orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa” (Q. 2:2). Dan itulah sebabnya mengapa keberagamaan dengan sendirinya merupakan aspek asasi bagi pengembangan nilai-nilai moral, bagi penyempurnaan kehidupan pribadi sebagai makhluk individu maupun social.

2.      Aspek Kebersamaan
Salah satu prinsip dasar yang diajarkan al-Qur’an adalah gagasan tentang kesatuan umat manusia, “Manusia adalah satu umat (saja)” (Q. 2:213). Tetapi di balik gagasan tentang kesatuan umat manusia tersebut, al-Qur’an tidak mengecilkan arti dan bahkan mengakui kenyataan eksistensial kemajemukan dan keberanekaan umat manusia. Umat manusia adalah satu dalam keserbaragaman dan beraneka dalam kesatuan. Simaklah ayat-ayat berikut:
Manusia hanya satu umat saja, kemudian mereka bertikai. Jika tiada karena suatu ketentuan yang terdahulu keluar dari Tuhanmu, tentu apa yang mereka perselisihkan telah diselesaikan antara mereka (Q. 10:19).
Sungguh, agama kamu ini, satu agama saja. Dan aku adalah Tuhanmu. Maka bertakwalah kepada-Ku. Tapi mereka terpecah-belah dalam persoalan (agama)-nya, menjadi beberapa golongan. Tiap golongan bergirang hati dengan apa yang ada padanya (Q. 23:52-53).
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu, bagi Allah, ialah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah maha mengetahui, maha sempurna pengetahuan-Nya (Q. 49:13).
Ayat-ayat di atas mengemukakan adanya lingkungan-lingkungan maknawi tertentu, baik yang bersifat kesukuan, kekeluargaan dan kebangsaan maupun yang bersifat aliran-aliran pemikiran, keyakinan dan agama. Masing-masing lingkungan tersebut mempunyai daya pengaruh yang cukup besar untuk melahirkan ikatan batin, dan tidak jarang juga ikatan fisik, hingga menimbulkan proses pemiripan dan penyerupaan pada warga lingkungannya dalam suatu identitas kelompok. Dan tidak jarang bahwa daya pengaruh lingkungan sedemikian besarnya hingga menimbulkan akibat-akibat negatif, menghambat perkembangan nilai-nilai dan identitas pribadi. Akan tetapi Q. 49:13 di atas memandang penting dan memberikan tempat yang wajar pada nilai-nilai dan identitas pribadi dalam kebersamaan.
Dengan perkataan lita’araf, yang berarti untuk saling kenal-mengenal, al-Qur’an menegaskan bahwa, dalam komunikasi manusia dengan manusia, masing-masing pihak tegak sebagai subyek dan pribadi utuh. Hidup kebersamaan, menurut al-Qur’an, bukalah wahana peluluhan, melainkan seharusnya media pertumbuhan nilai-nilai dan identitas diri. Dalam komunikasi itu manusia memperoleh kesempatan dan kemungkinan untuk memperkaya dan membangun jiwanya.
Menurut al-Qur’an, sifat kebersamaan kehidupan manusia tersebut tidak hanya harus dimanifestasikan dalam ta’awun atau kerja sama (cooperation), melainkan juga harus diwujudkan dalam istibaq atau persaingan (competition). Al-Qur’an mengajarkan agar manusia saling bekerja sama untuk menegakkan kebajikan dan ketakwaan dan saling bersaing dalam mengejar kebaikan. Al-Qur’an juga menyebutkan:
Dan kami turunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) yang mengandung kebenaran untuk menguatkan Kitab terdahulu dan untuk menjaganya. Maka putuskanlah perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah ikut nafsu mereka, yang (menyimpang) dari Kebenaran yang datang kepadamu. Bagi masing-masing dari padamu Kami tentukan undang-undang dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, tentulah Ia jadikan kamu satu umat, tapi maksud-Nya hendak menguji kamu dalam apa yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itulah berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Kepada Allah kamu kembali semuanya. Dan Ialah yang akan memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan (Q. 5:48).
Dengan memberikan arti yang senilai dan arah yang sama pada kerjasama dan persaingan antar manusia, al-Qur’an memberikan bentuk dan isi pada hidup kebersamaan yang sesuai dengan fitrah manusia. Kebersamaan ini diwujudkan dalam sikap yang saling berbuat baik satu sama lain, baik untuk dirinya dan untuk orang lain.

Perkembangan Jiwa: Proses Terus-menerus
Jika proses perkembangan jiwa berlangsung menyatu dalam kesenyawaan dengan penyerapan dan pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi yang diwujudkan dalam hidup keberagamaan dan kebersamaan, yang masing-masing dan bersama-sama merupakan aspek asasi bagi keberadaan manusia, maka hanya dalam hidup keberagamaan dan kebersamaan tersebutlah manusia akan mencapai kestabilan jiwa. Inilah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah, seperti dikemukakan dalam ayat berikut:
Hai jiwa dalam ketenangan! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati senang dan diridai-Nya. Masuklah kau dalam gologan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah dalam surga-Ku (Q. 89:27-30).
Dilihat dari segi perkembangan kejiwaan manusia, maka al-nafs al muthmainnah dapat dianggap, seperti dikatakan oleh Yusuf ‘Ali sebagai “tingkat terakhir dari kebahagiaan,” atau lebih tepat, menurut Bashir-ud-Ruhani dan Muhammad ‘Ali, “tingkat tertinggi dari perkembangan ruhani.” Dan dalam tingkat itulah manusia mencapai dan berada dalam suasana batin yang “la khawf ‘alayhim wa la hum yahzanun,” yakni suasana batin dimana manusia merasakan kebahagiaan, diliputi oleh rasa aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan dukacita. Al-Qur’an mengatakan:
Tidak, barangsiapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan, baginya pahala pada Tuhan-Nya. Tiada mereka perlu dikuatirkan, dan tiada mereka berdukacita (Q. 2:112)
Kebebasan batin dari rasa takut dan dukacita itulah yang harus menjadi arah perjalanan hidup manusia di dunia ini. Hal ini telah diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam kisah kejatuhan Adam dari situasi surgawi ke situasi duniawi.
Kami berfirman, turunlah kamu sekalian dari sini! Dan jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, tiadalah mereka perlu dikuatirkan, dan tiada mereka berdukacita (Q. 2:38).
Jika Insan Kamil atau Manusia Sempurna itu hanya gagasan ideal dalam dunia cita dan tidak akan pernah terwujud dalam dunia nyata, maka situasi batin yang la hawf ‘alayhim wa la hum yahzanun tersebut harus dipandang sebagai gagasan dinamis dalam proses perkembangan kepribadian manusia. Proses perkembangan kepribadian adalah proses penyempurnaan diri pribadi yang bersifat terus menerus dan tak mengenal titik akhir. Ia harus dilakukan tanpa jemu dan henti dalam dan lewat keberagamaan dan kebersamaan.
Keberagamaan dan kebersamaan bukanlah dua aspek yang terpisah dan lepas satu sama lain, melainkan harus dilihat dan didudukkan dalam keutuhan hidup manusia yang berlangsung dinamis. “Hidup,” kata Iqbal, adalah “satu dan terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu menerima cahaya-cahaya baru dari suatu realitas yang tak terbatas, yang setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru.” Dan manusia, kata Iqbal seterusnya, sebagai “penerima cahaya ketuhanan, bukanlah hanya sekedar penerima pasif. Setiap perbuatan dari ego merdeka melahirkan suatu situasi baru, dan dengan demikian kemungkinan lebih jauh dari kerja kreatif.” Dan justru dalam kerja kreatif itulah manusia berusaha secara terus-menerus mengembangkan kepribadian dirinya, memperjelas kehadirannya dan memberi bentuk dan isi pada keberadaannya sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan ahsan al-taqwim.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar