TASAWUF AL-QUR’AN TENTANG
PERKEMBANGAN JIWA MANUSIA
Oleh Djohan Effendi
Djohan Effendi adalah staf peneliti pada Balai
Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Departemen Agama dan dosen Islamologi pada
STF Driyakara dan Universitas Trisakti. Dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan, 52 tahun lalu, ia menyelesaikan studinya pada fakultas Syari’ah, IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sering mengikuti seminar tentang agama, perubahan
sosial dan politik baik di dalam maupun l;uar negeri. Juga banyak menulis berbagai
artikel tentang Islam. Sehari-harinya bekerja di Kantor Sekretariat Negara.
Manusia, menurut tasawuf al-Qur’an, tidak hanya sekedar
berbeda dengan, tetapi terutama mengatasi makhluk-makhluk lainnya. Manusia
mengungguli ciptaan-ciptaan Tuhan di luar dirinya. Kedudukannya selaku khalifah
Tuhan di muka bumi melahirkan bentuk hubungan antara manusia dan dunia
bukan-manusia, yang bersifat penguasaan, pengaturan dan penempatan oleh dan
untuk manusia. Keunggulan manusia tersebut terletak dalam wujud kejadiannya
sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan ahsan al taqwim (sebaik-baiknya ciptaan), baik dalam keindahan,
kesempurnaan bentuk perawakannya, maupun dalam kemampuan maknawinya, baik
intelektual maupun spiritual.
Tetapi hal tersebut tidak dengan sendirinya menjadi kelebihluhuran
manusia secara langsung. Kemampuan-kemampuan maknawi manusia tersebut masih
bersifat laten, dan terletak dalam perwujudan potensi insani itu sehingga
menjadi kualitas moral dalam kenyataan tingkah laku kehidupan sehari-hari,
dalam akhlaknya. Dalam mutu dan kualitas akhlaknya, manusia menunjukkan tingkat
kepribadiannya dan mewujudkan nilai kemanusiaannya.
Kepribadian Manusia
Manusia tidak diciptakan dalam keadaan sekali jadi. Ia
lahir dalam keadaan belum selesai.
Karena itu, di samping pertumbuhan badani yang berlangsung secara lebih
alamiah, ia sendiri membangun dan mengembangkan diri pribadinya sesuai dengan
titah kejadiannya. Al-Qur’an sendiri memberikan isyarat jelas tentang ada da
perlunya proses penyempurnaan diri pribadi itu: “Demi sukma dan penyempurnaannya” (Q. 91:7).
Proses penyempurnaan diri (taswijat al-nafs), adalah proses dimana manusia berusaha
mengadakan perubahan dan peningkatan dirinya. Menurut al-Qur’an, hal tersebut
berlangsung secara lebih manusiawi. Artinya bahwa proses penyempurnaan tersebut
tergantung pada faktor manusia sendiri sebagai makhluk yang memiliki kesadaran
dan tanggung jawab. Dalam al-Qur’an ada ayat, “Sungguh, Allah tiada akan mengubah (nikmat yang dilimpahkan-Nya)
kepada sesuatu kaum, jika tiada mereka mengubah keadaannya sendiri” (Q.
13:11).
Peletakan tanggung jawab proses penyempurnaan diri itu pada
manusia ada dalam pilihan tentang jalan hidupnya, seperti dinyatakan oleh ayat
lanjutan dari Q. 91:7 di atas, “(Allah)
mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan” (Q. 91:8). Sehingga, dalam
proses penyempurnaan diri itu, manusia berdiri sebagai subyek yang sadar dan
bebas menentukan pilihan: apakah akan memilih fujur, yang berarti, menurut Muhammad ‘Ali, “jalan kejahatan” yakni
–menurut “Abduh- “hal-hal yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan”, atau
memilih taqwa, yang berarti “jalan kebaikan”, yakni “hal-hal yang
menyebabkannya terpelihara dari akibat-akibat yang buruk.”
Pembentangan dan jalan Allah dalam kehidupan manusia
dikatakan pula oleh al-Qur’an di tempat lain, “Dan kami tunjuki dua jalan (jalan kebaikan dan jalan kejahatan)”
(Q. 90:10).
Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa, dalam
memperjelas ide tentang penyempurnaan diri tersebut, al-Qur’an mempergunakan
perkataan zakka (menyucikan) seperti
terdapat dalam ayat berikutnya dari Q. 19:7, 8 di atas “Sungguh, bahagialah siapa yang menyucikannya” (Q. 91:9).
Perkataan zakka
berasal dari dan merupakan bentuk muta’addi
atau transitif dari perkataan zaka,
yang memuat dua arti, yaitu (a) bertumbuh atau membesar, dan (b) membersihkan.
Maka dengan perkataan tazkiyah al-nafs
tersimpul pengertian dan gagasan tentang:
1.
Usaha-usaha yang bersifat pengembangan diri, yaitu usaha
mewujudkan potensi-potensi manusia menjadi kualitas-kualitas moral yang luhur (aklahq al-hasanah); dan
2.
Usaha-usaha yang bersifat pembersihan diri dari
kecenderungan-kecenderungan immoral (akhlaq
al-sayyi’ah).
Dengan demikian, tazkiyah al-nafs adalah proses
perkembangan jiwa manusia, proses pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan akhlaq al-karimah (moralitas yang mulia)
dalam diri dan kehidupan manusia. Dan dalam proses perkembangan jiwa itulah
terletak falah (kebahagiaan), yaitu
keberhasilan manusia dalam memberi bentuk dan isi pada keluhuran martabatnya
sebagai makhluk yang berakal budi.
Perkembangan Kesadaran Moral
Jika esensi dari proses perkembangan jiwa adalah
pertumbuhan, pembinaan dan pengembanan nilai-nilai akhlaq al-karimah dalam diri dan kehidupan manusia, maka akhlak
adalah kualitas-kualitas moral yang khas manusiawi dan bahkan merupakan esensi
utama kemanusiaan itu sendiri. Dalam akhlak itu tercermin jiwa sebagai makhluk
jasmani dan rohani. Sebab, dalam kehidupan akhlak itu, manusia menyatakan
dirinya memberikan bentuk dan isi pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang
diciptakan dalam keadaan ahsan al-taqwim.
Tanpa akhlak, manusia kehilangan esensi kemanusiaannya. Ia hidup dan berada di
dunia sebagai manusia tanpa kemanusiaan, sebagai makhluk asfala safilin.
Oleh karena itu, perkembangan moral manusia bukanlah
kualitas-kualitas yang statis, ada dan melekat pada diri dan kehidupan manusia
dengan sendirinya, melainkan tumbuh dan menjadi luhur dalam dinamika kehidupan
manusia. Perkembangan moral manusia itu bermula dan berangkat dari kesadaran
moral, kesadaran tentang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban.
Kesadaran moral pada hakikatnya adalah penjelmaan dari kemampuan-kemampuan
maknawi manusia yang bersifat intelektual dan spiritual.
Di dalam kehidupan praktis, kesadaran moral mmewujudkan
diri dalam bentuk hati nurani (dhamir,
gewetn, a conscience). Al-Qur’an Menyebu hati nurani sebagai suatu potensi
kesadaran moral manusia (al-nafs
al-lawwamah), seperti dalam ayat “Dan
aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesal” (Q. 752).
Dilihat dari segi bahasa, perkataan lawwamah berasal dari dan merupakan bentuk “penekanan” atau sibghah muballaghah dari perkataan la-i-ma yang berarti mencela atau
menyesali diri. Karena itu, al-nafs
al-lawwamah tidak hanya sekedar kesadaran moral yang dengannya mengerti dan
menghukumi baik dan buruk dan menyadari kedudukan, hak dan kewajibannya,
melainkan – seperti dikatakan Yusuf Ali – juga bisa dibandingkan dengan dan
dianggap sebagai “hati nurani”, yakni potensi batin manusia yang mencegah,
menghentikan dan menyesali segala perbuatannya yang bersifat dosa dan immoral.
Penyebutan al-nafs
al-lawwamah sebagai obyek sumpah oleh al-Qur’an menunjukkan kesangat-pentingan
arti kata ini bagi diri dan kehidupan manusia. Sebab, kesadaran moral – yang
dalam bentuk nyata wujud sebagai hati nurani – adalah aspek asasi bagi
kehidupan manusia dna kemanusiaannya. Ia mengenai seluruh jiwa manusia dan menyangkut
kehidupan manusia dalam keseluruhan.
Penguasaan
Diri
Telah disinggung di atas, bahwa proses perkembangan jiwa
berlangsung secara manusiawi. Dalam proses perkembangan jiwa itu, manusia
berdiri sebagai subyek yang sadar dan bebas untuk dan dalam menentukan pilihan,
apakah ia mengambil fujur (jalan
kejahatan) atau taqwa (jalan
kebaikan). Proses perkembangan jiwa manusia itu sepenuhnya memiliki dan berada
dalam kesadaran moral yang terwujud dan terbentuk dalam kebebasan berkehendak
dan kebebasan memilih. Tetapi, walaupun demikian, di balik ide tentang
kebebasan moral itu, tersimpul di dalamnya ide tentang tanggung jawab moral
terhadap dan untuk dirinya sendiri. Dengan meletakkan fujur dan taqwa sebagai
dua hal yang berada di hadapan
pilihan manusia, yang menyangkut dan bahkan menentukan proses penyempurnaan
dirinya, tersirat suatu perintah halus dan tidak langsung mengenai kewajiban
moral, agar manusia – dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri – mengambil dan
memilih taqwa.
Perkataan taqwa, yang oleh ‘Abduh – seperti dikutip di atas
– diartikan sebagai “hal-hal yang menyebabkan (seseorang) terpelihara dari
akibat-akibat yang buruk”jika dilihat dari segi bahawa, berasal dari kata kerja
waqa yang berarti “menyelamatkan,
menjaga dan memelihara. Al-Raghib al-Asfahani menjelaskan arti wiqayah, bentuk mashdar atau infinitif dari perkataan waqa, sebagai “memelihara sesuatu dari hal-hal yang merugikan dan
membuat bencana. Dari pengertian itu, ia mengartikan taqwa – dari segi bahasa – sebagai “membuat diri dalam keadaan
terpelihara, dan – dari segi syari’at – sebagai “pemeliharaan diri dari hal-hal
yang menimbulkan dosa. Sehingga, mudah dipahami bahwa esensi taqwa adalah penguasaan, pengendalian
dan pemeliharaan diri dari al-ahwa’
yang oleh Muhammad ‘Ali diterjemahkan sebagai “keinginan-keinginan rendah” yang
mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan yang bersifat dosa dan immoral, yang langsung atau tidak
menghambat proses perkembangan jiwa manusia.
Jika perkembangan jiwa berkaitan dengan falah, maka falah memerlukan zad atau
bekal. Menurut al-Qur’an, perbekalan yang paling baik, yaitu yang paling
menjamin tercapainya falah tersebut,
adalah taqwa, seperti dapat dibaca
dalam ayat berikut, “Bawalah bekal, tapi
sebaik-baiknya bekal ialah taqwa” (Q. 2:197).
Di tempat lain al-Qur’an mengumpamakan taqwa sebagai pakaian batin, yang – sebagaimana pakaian lahir –
mempunyai fungsi primer sebagai penutup aurat dan fungsi sekunder sebagai
perhiasan. Kita tahu kedua-duanya amat menentukan nilai kemanusiaan seseorang.
Al-Qur’an menyebutkan, “Hai bani Adam!
Telah kami turunkan kepadamu pakaian guna menutupi auratmu. Dan (sebagai
perhiasan (bagimu). Tetapi pakaian berupa takwa, itu lebih baik” (Q. 7:26).
Sebagai usaha penguasaan dan pengendalian diri, yang
membuat manusia tetap dalam keadaan terpelihara, taqwa memuat dua aspek, yakni: (1) pencegahan dan penanggalan
sifat, sikap dan tabiat buruk (al-akhlaq
al-madzmumah) dari dirinya; dan (2) penumbuhan dan penghiasan sifat, sikap
dan tabiat baik dan terpuji (al-akhlaq
al-mahmudah) pada dirinya.
Dari uraian di atas tampak jelas hubungan erat dan kaitan
antara taqwa dan tazkiyat al-nafs, antara usaha penguasaan, pengendalian dan
pemeliharaan diri dengan proses perkembangan jiwa. Proses perkembangan jiwa itu
bersatu dan bersenyawa dengan usaha pengembangan kemampuan dan kesanggupan
penguasaan, pengendalian dan pemeliharaan diri. Oleh karena itu mudah
dimengerti mengapa al-Qur’an mengaitkan ketakwaan dengan seluruh aspek
kehidupan manusia. Al-Qur’an menyebutkan, “Barangsiapa
takut akan waktu ia berdiri di depan Tuhannya, dan menahan diri dari hawa
nafsunya, surgalah tempat kediamannya” (Q. 79:40-41).
Maka dari itu, sambil mengemukakan gagasan tentang
kesatuan, persamaan dan persaudaraan umat manusia, al-Qur’an dengan tegas
menyarankan bahwa ketakwaan mempunyai arti yang sangat penting sebagai nilai
dan faktor penentu bagi keluhuran dan kemuliaan martabat dan harkat insani.
Simaklah ayat berikut:
Hai
manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu
berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang
paling mulia di antara kamu, bagi Allah, ialah yang paling takwa di antara
kamu. Sungguh Allah maha mengetahui, maha sempurna pengetahuan-Nya (Q. 49:13).
Maka, usaha penguasaan, pengendalian dan pemeliharaan diri
adalah dasar dari proses perkembangan jiwa dan nilai-nilai moral manusia, dan
dalam diri itulah terletak kemungkinan pembinaan, pertumbuhan dan pengembangan
diri pribadi.
Tasawuf al-Qur’an tentang
Moralitas Manusia
Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani, dan karena itu
wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat kejasmaniahan,
melainkan lebih berbentuk kualitas-kualitas moral yang hidup dan dinamis.
Hakikat proses perkembangan jiwa adalah rentetan dan susunan dari
tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman yang tak pernah berhenti. Apa yang
dinamakan sebagai Insan Kamil atau
Manusia Sempurna tidak akan pernah menjelma sebagai kenyataan faktual dalam
diri dan kehidupan manusia. Yang ada dan terjadi hanyalah proses penyempurnaan
diri, tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya makin sempurna.
Ini berarti, Insan Kamil
sebagai pola cita kepribadian sekali-kali bukan wujud konkret dalam dunia
nyata, melainkan suatu ide abstrak dalam dunia cita. Tapi ini sama sekali tidak
berarti bahwa proses perkembangan jika tersebut dibiarkan berlangsung tanpa
arah. Bentuk pengarahannya terletak pada gagasan moral yang mengilhami dan
menafasi proses perkembangan jiwa manusia tersebut. Di sinilah terlihat
kedalaman makna peletakan al-asma’
al-husna oleh al-Qur’an sebagai cita moral bagi kehidupan manusia.
Al-Qur’an menyitir:
Kepunyaan
Allah-lah al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang agung dan indah). Maka serulah Ia
dengannya. Dan tinggalkanlah orang yang menyalahgunakan nama-nama-Nya. Mereka
akan beroleh balasan, atas apa yang mereka lakukan (Q. 7:180).
Adapun yang dimaksud dengan al-asma’ al-husna, menurut Muhammad ‘Ali, adalah “nama-nama yang
menampakkan sifat-sifat yang paling baik dari Dzat Ilahi. Sedang dengan
perkataan fa ud’uhu biha, menurutnya,
berarti “bahwa manusia harus menyimpan sifat-sifat Ilahi dalam pikirannya, dan
berusaha memiliki sifat-sifat tersebut, sebab, hanya dengan itu dia bisa
mencapai kesempurnaan. Hal ini lebih diperjelas lagi oleh al-Qur’an:
Bagi
mereka yang tiada beriman kepada hari kemudian, berlaku perumpamaan kejahatan.
Tapi, bagi Allah, berlaku perumpamaan yang paling tinggi. Ialah yang maha
perkasa, yang maha bijaksana (Q.
16:60).
Dalam ayat di atas al-Qur’an mengaitkan matsal al-su’ (sifat-sifat buruk) kepada
orang-orang yang tidak beriman kepada hari kemudian, yakni kehidupan setelah
mati sebagai proses lanjutan dari kehidupan dunia ini, dan sebaliknya
menisbahkan matsal al-a’la
(sifat-sifat luhur) kepada Ilahi. Dengan demikian terdapat isyarat halus dari
ayat tersebut, bahwa kepribadian seorang mukmin adalah kepribadian orang-orang
yang berhasil menanggalkan matsal al-su’
dari dirinya dan berusaha menumbuhkan matsal
al-a’la dalam dirinya. Atau, dengan perkataan lain, menjadikan sifat-sifat
Ilahi sebagai sumber gagasan yang mewarnai kehidupan akhlaknya, sebab
“manusia,” kata Khaja Kamal-ud Din, “diciptakan untuk mengambil Tuhan sebagai
prototipenya dan untuk mewujudkan kembali akhlak Ilahi.”
Pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi dalam wujud akhlak
insani diperintahkan sendiri oleh al-Qur’an, “Berbuatlah baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu” (Q.
28:77). Manusia dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesamanya sebagaimana
Tuhan telah berbuat baik kepadanya. Dan kebaikan Ilahi kepada manusia
dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifatnya yang luhur dan sempurna. Karena itu,
kebaikan manusia terhadap sesamanya harus dimanifestasikan dalam bentuk
pelahiran dan pewujudan kembali sifat-sifat Ilahi dalam kehidupan manusia
sesuai dengan batas kemampuan dan alam manusia.
Dengan demikian, jelas dan pasti bahwa manusia tidak
mungkin bisa menyamai dan menyerupai sifat-sifat Ilahi itu. Namun, dalam
ketidaksempurnaannya sebagai makhluk Tuhan, dengan meletakkan sifat-sifat Ilahinya
sebagai gagasan dan pola kehidupan moralnya, manusia dapat berusaha dan mencoba
mengarahkan proses perkembangan kepribadian. Dan justru dalam proses
mengarahkan perkembangan pribadinya pada keluhuran dan kesempurnaan sifat-sifat
Ilahi itulah manusia berhadapan dengan sumber Ilahi yang tak kunjung kering
untuk pembentukan kepribadiannya dalam proses yang menerus dan tak kenal henti.
Media perkembangan Kepribadian
Manusia
Insan
Kamil atau Manusia Sempurna
hanyalah sekedar gagasan ideal dari kepribadian manusia. Menurut al-Qur’an, ini
harus dilakukan dengan menyerap sifat-sifat Ilahi dan memancarkannya kembali
dalam kehidupan antar dan sesama manusia. Penyerapan dan pemancaran kembali
sifat-sifat Ilahi ini pada hakikatnya adalah usaha pemantapan dan pemberian
makna pada keberadaan manusia., bahwa ia benar-benar ada, berada dan mengada,
yang hanya mungkin terjadi dalam komunikasi dan interaksi antara manusia dan
keadaan di luar dirinya. Ide tentang keharusadaan komunikasi tersebut,
dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai berikut: “Mereka
selalu diliputi kehinaan, di mana saja mereka ditemukan, kecuali mereka
berpegang pada tali Allah dan tali manusia” (Q. 3:111).
Dari ayat tersebut di atas, terlihat adanya dua sistem
hubungan yang harus dilakukan oleh manusia dalam rangka proses penyempurnaan
diri pribadinya, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia
dengan sesamanya, yang bisa kita sebut dengan “aspek keberagaman” (hubungan
manusia-Tuhan) dan “aspek kebersamaan” (hubungan manusia-manusia).
1.
Aspek Keberagamaan
Hidup keberagamaan adalah perwujudan nyata dari habl min Allah, yakni hubungan manusia
dengan Tuhan. Dalam keberagamaan, manusia menyatakan
sifat kemakhlukannya yang sangat tergantung pada al-Khaliq, yang terwujud dalam sikap aslama, yaitu penyerahan dan pemasrahan diri kepada Tuhan yang
merupakan aspek asasi, bukan saja bagi hidup keberagamaan melainkan juga bagi
hakikat keberadaannya.
Meskipun dalam wujud kejadian manusia terkandung aneka
kemampuan batin, namun manusia dilahirkan dalam keadaan lemah (Q. 4:28). Aneka
kemampuan batin manusia tersebut harus ditumbuhkan dan dikembangkan dengan
usaha mengenal, mencintai dan mengabdi kepada Tuhan, hingga ia mampu
menumbuhkan akhlak Ilahi dalam dirinya. Dalam pengertian tasawuf, di sini terletak
arti dan makna dari lembaga-lembaga ibadah yang diwajibkan dalam al-Qur’an,
yang di samping merupakan media perkembangan bagi kesadaran dan penghayatan
akan wujud Ilahi, juga mengandung riyadlah
atau latihan bagi kemampuan penguasaan diri. Inilah makna ayat al-Qur’an yang
berbunyi: “Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu
yan menciptakan kamu dan orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa” (Q.
2:2). Dan itulah sebabnya mengapa keberagamaan dengan sendirinya merupakan
aspek asasi bagi pengembangan nilai-nilai moral, bagi penyempurnaan kehidupan
pribadi sebagai makhluk individu maupun social.
2.
Aspek Kebersamaan
Salah satu prinsip dasar yang diajarkan al-Qur’an adalah
gagasan tentang kesatuan umat manusia, “Manusia
adalah satu umat (saja)” (Q. 2:213). Tetapi di balik gagasan tentang
kesatuan umat manusia tersebut, al-Qur’an tidak mengecilkan arti dan bahkan
mengakui kenyataan eksistensial kemajemukan dan keberanekaan umat manusia. Umat
manusia adalah satu dalam keserbaragaman dan beraneka dalam kesatuan. Simaklah
ayat-ayat berikut:
Manusia
hanya satu umat saja, kemudian mereka bertikai. Jika tiada karena suatu
ketentuan yang terdahulu keluar dari Tuhanmu, tentu apa yang mereka
perselisihkan telah diselesaikan antara mereka (Q. 10:19).
Sungguh,
agama kamu ini, satu agama saja. Dan aku adalah Tuhanmu. Maka bertakwalah
kepada-Ku. Tapi mereka terpecah-belah dalam persoalan (agama)-nya, menjadi
beberapa golongan. Tiap golongan bergirang hati dengan apa yang ada padanya (Q. 23:52-53).
Hai
manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, Kami jadikan kamu
berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu, bagi Allah, ialah yang paling takwa di antara
kamu. Sungguh Allah maha mengetahui, maha sempurna pengetahuan-Nya (Q. 49:13).
Ayat-ayat di atas mengemukakan adanya lingkungan-lingkungan
maknawi tertentu, baik yang bersifat kesukuan, kekeluargaan dan kebangsaan
maupun yang bersifat aliran-aliran pemikiran, keyakinan dan agama.
Masing-masing lingkungan tersebut mempunyai daya pengaruh yang cukup besar
untuk melahirkan ikatan batin, dan tidak jarang juga ikatan fisik, hingga
menimbulkan proses pemiripan dan penyerupaan pada warga lingkungannya dalam
suatu identitas kelompok. Dan tidak jarang bahwa daya pengaruh lingkungan sedemikian
besarnya hingga menimbulkan akibat-akibat negatif, menghambat perkembangan
nilai-nilai dan identitas pribadi. Akan tetapi Q. 49:13 di atas memandang
penting dan memberikan tempat yang wajar pada nilai-nilai dan identitas pribadi
dalam kebersamaan.
Dengan perkataan lita’araf,
yang berarti untuk saling kenal-mengenal, al-Qur’an menegaskan bahwa, dalam
komunikasi manusia dengan manusia, masing-masing pihak tegak sebagai subyek dan
pribadi utuh. Hidup kebersamaan, menurut al-Qur’an, bukalah wahana peluluhan,
melainkan seharusnya media pertumbuhan nilai-nilai dan identitas diri. Dalam
komunikasi itu manusia memperoleh kesempatan dan kemungkinan untuk memperkaya
dan membangun jiwanya.
Menurut al-Qur’an, sifat kebersamaan kehidupan manusia tersebut tidak hanya harus dimanifestasikan
dalam ta’awun atau kerja sama (cooperation), melainkan juga harus
diwujudkan dalam istibaq atau
persaingan (competition). Al-Qur’an
mengajarkan agar manusia saling bekerja sama untuk menegakkan kebajikan dan
ketakwaan dan saling bersaing dalam mengejar kebaikan. Al-Qur’an juga
menyebutkan:
Dan
kami turunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) yang mengandung kebenaran untuk menguatkan
Kitab terdahulu dan untuk menjaganya. Maka putuskanlah perkara antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah ikut nafsu mereka, yang
(menyimpang) dari Kebenaran yang datang kepadamu. Bagi masing-masing dari padamu
Kami tentukan undang-undang dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
tentulah Ia jadikan kamu satu umat, tapi maksud-Nya hendak menguji kamu dalam
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itulah berlomba-lombalah kamu dalam
kebaikan. Kepada Allah kamu kembali semuanya. Dan Ialah yang akan
memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan (Q. 5:48).
Dengan memberikan arti yang senilai dan arah yang sama pada
kerjasama dan persaingan antar manusia, al-Qur’an memberikan bentuk dan isi
pada hidup kebersamaan yang sesuai dengan fitrah manusia. Kebersamaan ini
diwujudkan dalam sikap yang saling berbuat baik satu sama lain, baik untuk
dirinya dan untuk orang lain.
Perkembangan Jiwa: Proses
Terus-menerus
Jika proses perkembangan jiwa berlangsung menyatu dalam
kesenyawaan dengan penyerapan dan pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi yang
diwujudkan dalam hidup keberagamaan dan kebersamaan, yang masing-masing dan
bersama-sama merupakan aspek asasi bagi keberadaan manusia, maka hanya dalam
hidup keberagamaan dan kebersamaan tersebutlah manusia akan mencapai kestabilan
jiwa. Inilah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah, seperti dikemukakan dalam ayat berikut:
Hai
jiwa dalam ketenangan! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati senang dan
diridai-Nya. Masuklah kau dalam gologan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah dalam
surga-Ku (Q. 89:27-30).
Dilihat dari segi perkembangan kejiwaan manusia, maka al-nafs al muthmainnah dapat dianggap, seperti dikatakan oleh Yusuf ‘Ali sebagai “tingkat
terakhir dari kebahagiaan,” atau lebih tepat, menurut Bashir-ud-Ruhani dan
Muhammad ‘Ali, “tingkat tertinggi dari perkembangan ruhani.” Dan dalam tingkat
itulah manusia mencapai dan berada dalam suasana batin yang “la khawf ‘alayhim wa la hum yahzanun,”
yakni suasana batin dimana manusia merasakan kebahagiaan, diliputi oleh rasa
aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan dukacita. Al-Qur’an mengatakan:
Tidak,
barangsiapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan,
baginya pahala pada Tuhan-Nya. Tiada mereka perlu dikuatirkan, dan tiada mereka
berdukacita (Q. 2:112)
Kebebasan batin dari rasa takut dan dukacita itulah yang
harus menjadi arah perjalanan hidup manusia di dunia ini. Hal ini telah
diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam kisah kejatuhan Adam dari situasi surgawi ke
situasi duniawi.
Kami
berfirman, turunlah kamu sekalian dari sini! Dan jika datang kepadamu petunjuk
daripada-Ku, tiadalah mereka perlu dikuatirkan, dan tiada mereka berdukacita (Q. 2:38).
Jika Insan Kamil
atau Manusia Sempurna itu hanya gagasan ideal dalam dunia cita dan tidak akan
pernah terwujud dalam dunia nyata, maka situasi batin yang la hawf ‘alayhim wa la hum yahzanun tersebut harus dipandang
sebagai gagasan dinamis dalam proses perkembangan kepribadian manusia. Proses
perkembangan kepribadian adalah proses penyempurnaan diri pribadi yang bersifat
terus menerus dan tak mengenal titik akhir. Ia harus dilakukan tanpa jemu dan
henti dalam dan lewat keberagamaan dan kebersamaan.
Keberagamaan dan kebersamaan bukanlah dua aspek yang
terpisah dan lepas satu sama lain, melainkan harus dilihat dan didudukkan dalam
keutuhan hidup manusia yang berlangsung dinamis. “Hidup,” kata Iqbal, adalah
“satu dan terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu menerima
cahaya-cahaya baru dari suatu realitas yang tak terbatas, yang setiap saat
muncul sebagai kemegahan yang baru.” Dan manusia, kata Iqbal seterusnya,
sebagai “penerima cahaya ketuhanan, bukanlah hanya sekedar penerima pasif.
Setiap perbuatan dari ego merdeka melahirkan suatu situasi baru, dan dengan
demikian kemungkinan lebih jauh dari kerja kreatif.” Dan justru dalam kerja
kreatif itulah manusia berusaha secara terus-menerus mengembangkan kepribadian dirinya, memperjelas
kehadirannya dan memberi bentuk dan isi pada keberadaannya sebagai makhluk yang
diciptakan dalam keadaan ahsan
al-taqwim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar