Minggu, 26 Oktober 2014

SEMBAHYANG DALAM ISLAM



SEMBAHYANG DALAM ISLAM
Penyajian Surat al-Fatihah dalam Kitab-kitab Tafsir
Oleh: Mahmud M. Ayyub
Mahmud M. Ayyub menyelesaikan program doktornya dalam kajian agama-agama di Universitas Harvard, USA. Ketika menulis artikel ini, ia adalah tenaga peneliti pada Centre for Religious Studies, Universitas Toronto, dan Muhammadi Islamic Centre, yang juga berpusat di Toronto, Canada. Selain itu, ia juga adalah Guru Besar Tamu pada Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Canada. Ia telah melakukan banyak penelitian, da menerbitkan serangkaian artikel mengenai masalah-masalah keislaman dan hubungan Islam dan Kristen di jurnal-jurnal terkemuka, seperti The Muslim World, Humaniora Islamica, dan jurnal-jurnal kenamaan lainnya. Sarjana kelahiran Iran yang buta sejak lahir ini juga menulis buku Redemptive Suffering in Islam: A Study of the Devotional Aspects of ‘Asyura’ in Twelver Syi’ism (Mouton, 1978). Dalam bidang tafsir, Ayyub juga dikenal sebagai sarjana yang giat mempopulerkan pendekatan perbandingan antar berbagai metode dan paham penafsiran (tafsir al-muqaran). Bukunya dalam bidang ini, yang sudah diterbitkan adalah The Qur’an and Its Interpreters, Vol. I (Albany: State University of New York Press, 1984).

Al-Fatihah, surat pembuka al-Qur’an, dalam Islam mempunyai peran yang serupa dengan Doa Tuhan (Lord’s Prayer) dalam agama Kristen. Seperti Doa Tuhan itu, al-Fatihah mengandung unsur penting dalam pemujaan liturgis. Surat itu dibaca setidak-tidaknya 17 kali sehari, ketika kaum Muslimin melaksanakan shalat lima waktu. Juga seperti Doa Tuhan, surat itu dipandang bukan saja sebagai ucapan Tuhan yang dibaca kaum Muslimin yang saleh ke hadapan Tuhan sebagai permohonan dan pemujaan, melainkan juga sebagai sumber kelemahlembutan dan berkah Ilahi yang dapat diresapi orang-orang yang bertakwa dan dijadikan milik mereka sendiri dengan membacanya berulang-ulang.
Selain keutamaannya dalam shalat lima waktu, surat ini pun menempati tempat yang unik dalam kehidupan kaum Muslimin sehari-hari. Tiap kesepakatan, dalam perjanjian dagang maupun ikatan perkawinan, selalu diakhiri dengan bacaan surat ini. Dengan bacaan surat itu seorang anak diterima hadir di dunia, dan dengannya pulalah ia diantarkan ke liang lahatnya. Lebih lagi, al-Fatihah menjadi satu-satunya rantai penghubung antara orang-orang takwa di dunia dan orang-orang yang mereka cintai yang telah mendahului mereka. Bacaan tersebut, yang dialamatkan kepada orang yang telah wafat, merupakan pemberian jasa yang membawa keharuman, penerangan dan kebahagiaan di liang kubur dan kesenangan serta kepuasan jiwa.

Al-Qur’an bukan hanya sebuah buku atau dokumen sejarah, tetapi juga, dan lebih penting lagi, sebuah kenyataan hidup dan berlaku dalam kehidupan umat Islam. Ia memberikan harapan dan kekuatan di hadapan kegaiban-kegaiban kehidupan dan menentukan nasib mereka di dunia ini da di akhirat kelak. Itulah sebabnya, ia harus dihadirkan ke hadapan para pembaca dengan segala dimensinya. Apa yang saya tulis berikut ini adalah hasil pertama dari serangkaian upaya saya memenuhi kebutuhan ini. Karena itu, sementara saya telah semaksimal mungkin menghadirkan bagian karya saya sebagai suatu pembahasan independen, namun ia harus dilihat sebagai bagian dari sebuah proyek yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Pada halaman-halaman berikut, saya akan menyajikan surat al-Fatihah yang dibaca kaum Muslimin, kemudian saat-saat pewahyuannya, nama-nama dan julukan-julukannya dan terakhir signifikansinya. Lalu, saya akan mengetengahkan ayat demi ayat, dengan berbagai perbedaan pandangan para mufassir yang pernah ada selama ini mengenainya.

Surat al-Fatihah
(Aku berlindung kepada Allah dari segala godaan setan)
1.      Dengan menyebut nama Allah, Maha Pengasih, Penyayang.
2.      Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3.      Maha Pengasih, Penyayang.
4.      Penguasa Hari Pembalasan.
5.      Hanya engkau yang kami sembah dan hanya kepada engkau kami mohon pertolongan.
6.      Tunjukilah kami jalan yang lurus.
7.      Jalan orang-orang yang telah Kau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.
(Amin)

Saat Pewahyuan dan Nama-nama Surat al-Fatihah
Para mufassir tidak bersepakat sehubungan dengan masalah kapan dan di mana Surat ini diwahyukan. Namun, mayoritas mereka menyatakan bahwa surat itu diwahyukan di Mekkah, pada saat karier kenabian Muhammad yang sangat awal. Diriwayatkan, atas kewenangan Abu Maysarah dan ‘Ali, bahwa,
…. Setiap kali Nabi pergi ke padang pasir (yakni pada masa awal karier kenabiannya di Mekkah), ia mendengar suara yang memanggilnya, "Wahai Muhammad.” Tapi ketika mendengar suara itu, ia lari ketakutan. Waraqah Ibn Nawfal berkata kepadanya, “Jika kau mendengar suara itu lagi, tetaplah berdiri tegak dan dengar apa yang dikatakannya kepadamu, kemudian datang dan ceritakanlah kepadaku”. Ketika Nabi pergi lagi, ia mendengar suara memanggilnya, “Wahai Muhammad!” Ia menjawab, “Saya di sini.” Suara itu berkata, “Katakanlah: ‘Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah’.” Kemudian suara itu berkata lagi, “Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam...”’ seterusnya, hingga ia membaca surat Pembuka (al-Fatihah) dari al-Qur’an (Wahidi: 17).
Lebih lanjut, diriwayatkan atas kewenangan ‘Ali, Ibn ‘Abbas, Ubayy dan sahabat-sahabat Rasul lainnya bahwa a1-Fatihah diturunkan sangat awal di Mekkah (Wahidi: 17; Zamakhsyari: 23; Qurthubi: 115). Para mufassir yang belakangan menyatakan bahwa karena surat itu merupakan bacaan sembahyang, ia tidak mungkin diturunkan di Madinah, sebab itu akan berarti bahwa Nabi dan kaum Muslimin yang awal, selama kira-kira 12 tahun, tanpa bacaan shalat (Thabari: 107; Qur- thubi: 115). Hanya Mujahid yang, dalam sebuah hadits mengenai keutamaan-keutamaan Surat ini, menyatakan bahwa asalnya turun di Madinah (Wahidi: 17). Beberapa mufassir, dengan maksud menggabungkan kedua pandangan ini, menyebutkan bahwa Surat ini diwahyukan dua kali: pertama di Mekkah dan kemudian di Madinah. Menurut mereka, ini disebabkan kenyataan bahwa surat al-Fatihah menempati posisi utama dalam shalat lima waktu. Walaupun demikian, pandangan ini tidak memberi penyelesaian masalah yang memuaskan bagi para mufassir. Berkata al-Husayn Ibn al-Fadhl, “Setiap orang yang terpelajar melakukan kesalahan, dan kesalahan Mujahid adalah pernyataannya bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Madinah” (Wahidi: 18).
Keutamaan surat ini dalam sembahyang dan kesalehan seorang Muslim secara umum telah diakui sejak sangat awal oleh kaum Muslimin, seperti yang akan kita diskusikan di bawah nanti. Untuk alasan inilah maka ‘Abd Allah Ibn Mas‘ud berpendapat bahwa surat al-Fatihah ini tidak termasuk ke dalam tempat tertentu di dalam al-Qur’an. Diceritakan atas kewenangan Ibn Sirin bahwa Ibn Mas‘ud tidak memasukkan Surat ini ke dalam bacaannya. Ketika ditanya mengenai masalah ini, ia memberi jawaban demikian: “Jika saya memasukkannya, maka saya terpaksa harus menuliskannya pada awal segala sesuatu yang saya tulis” (Syawkani: 14). Walaupun demikian, al-Fatihah sejak awalnya telah diterima oleh mayoritas kaum Muslimin sebagai surat pembukaan dalam al-Qur’an yang sekaligus menjadi julukannya yang paling utama. Lebih jauh lagi, diceritakan bahwa, ”... dengan membaca Surat itu, pembacaan al-Qur’an dimulai dan dengannya pulalah para sahabat memulai penulisan al-Qur’an yang secara resmi diterima (al-mushaf al-imam)” (Syawkani: 14).
Surat pertama al-Qur’an ini dikenal dengan berbagai nama julukan. Namanya yang paling banyak diterima adalah al-Fatihah (pembukaan), karena dengan Surat inilah al-Qur’an ”dimulai”, baik ketika membacanya maupun menuliskannya. Surat ini juga dikenal dengan sebutan umm al-kitab induk Kitab Suci) atau umm al-Qur’an (induk al-Qur’an), sebab ia mengandung esensi al-Qur’an Thabari: 107ff.). Nama-nama sebutan lain untuk surat ini adalah al-sab ‘al-matsani, yang berarti “tujuh (ayat) yang sering diulang-ulang”. Hasan al-Bashri ditanya sehubungan dengan ayat ”Kami telah memberimu (Muhammad) tujuh ayat yang dibaca dua kali dan al-Qur’an yang mulia” (al-Qur’an 15: ST), dan ia menjawab: ”Itulah Surat Pembuka (al-Qur’an)” (Thabari: 109f.). Ia disebut demikian karena ia terdiri dari tujuh ayat dan dibaca ulang setidak-tidaknya sebanyak dua kali pada setiap shalat (lihat Wahidi: 18). Para sarjana berbeda pendapat sehubungan dengan masalah apakah doa (basmalah), “Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,” merupakan salah satu dari ketujuh ayat tersebut atau tidak (masalah ini akan dibahas belakangan nanti). Sebutan-sebutan lain untuk Surat ini adalah: al-Kafiyah atau al-Wafiyah (“yang cukup”), al-Asas (dasar al-Qur’an). al-Syifa’ atau al-Syafiyah (“penyembuh”), al-Shalat (“sembahyang”), al-Hamd (“Surat pemujian”) (Ibn Katsir: 17; Qurthubi: 111-13).

Keutamaan Surat al-Fatihah
Diriwayatkan atas kewenangan Ubayy bahwa “Setiap orang yang membaca al-Fatihah akan diberi sebanyak-banyaknya pahala seakan-akan ia telah membaca dua pertiga al-Qur’an dan seakan-akan ia telah memberi sedekah kepada Setiap laki-laki dan perempuan beriman” (Thabarsiz 36). Ketika Ubayy membacakan Surat al-Fatihah ini kepada Nabi, yang disebut belakangan ini berkata, “Demi Dia yang nyawa saya berada dalam genggaman tangan-Nya, tidak ada ayat dalam Taurat, Zabur, Injil dan juga dalam al-Qur’an yang Sejenis dengan ayat-ayat ini yang diwahyukan” (Ibn Katsirz 20).
Pentingnya al-Fatihah terletak terutama pada keutamaannya dalam shalat sehari-hari, di mana ia dibaca Sebanyak 17 kali sepanjang hari dan malam. Walaupun pendek, Surat ini mengandung dua unsur yang paling penting dalam shalat: pertama permohonan (doa) dan kedua pujian (hamd). Lebih dari itu, Surat ini merupakan ekspresi yang seimbang mengenai keesaan dan kekuasaan Tuhan, kasih Sayang-Nya dan keutamaan manusia Sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa. Demikianlah, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan baik oleh mufassir Sunni maupun Syi’i, disebutkan bahwa “Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-hamba-Ku dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang ia minta. Ketika hamba-Ku berkata, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam,’ Aku berkata, “Hamba-Ku telah memujaku. Ketika hamba-Ku berkata, ‘Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang’ Aku berkata, “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.” Ketika hamba-Ku berkata, ‘Yang Menguasai Hari Pengadilan’ Tuhan berkata, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku... Ini hagian-Ku dan sisanya adalah miliknya” (Thabari: 201; Thabarsi: 36).
Mujahid berkata, “Setan empat kali dibuat pontang-panting ketakutan: ketika ia dikutuk (Tuhan), ketika ia diusir dari surga, ketika Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dan ketika Surat al-Fatihah diwahyukan...” (Qurthubi: 109; Syawkani: l5. Syawkani meriwayatkan hadits atas kewenangan Abu Hurayrah).
Dalam surat al-Fatihah ini, doa (basmalah) sejak semula mempunyai tempat yang khusus dalam kesalehan kaum Muslimin. Kata-kata rahman dan rahim kedua-dua-nya menunjukkan kasih sayang. Namun rahman merupakan bentuk intensif pada kata benda. Kasih sayang Tuhan sebagai rahman meliputi seluruh makhluk, sementara kasih sayang-Nya sebagai rahim terbatas hanya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Karena itu dapat dikatakan bahwa Allah Maha Pengasih rahman baik terhadap dunia ini maupun dunia yang akan datang, dan Penyayang (rahim) hanya sehubungan dengan dunia ini. Dapat pula dikatakan bahwa “Dia rahman di dunia ini dan rahim di dunia yang akan datang, karena kasih sayang-Nya di dunia ini juga meliputi orang-orang kafir, selain orang-orang yang baik; sementara di dunia yang akan datang, kasih sayang-Nya terbatas hanya kepada orang-orang yang beriman saja” (Nisaburi: 75).
Nabi menyatakan: “Tuhan, Yang Maha Agung, memiliki seratus kasih sayang; Salah satu darinya Ia kirim ke bumi dan dibagi-bagikan diantara makhluk-makhluk-Nya. Melaluinya Ia menyebarkan kasih dan menunjukkan sayang-Nya kepada yang satu dengan yang lain. Kesembilan puluh sembilan sisanya ia pegang untuk diri-Nya sendiri, untuk diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman pada Hari Kebangkitan” (Nisaburi: 75).
‘Ali meriwayatkan bahwa basmalah pertama kali diwahyukan kepada Adam, yang berkata, “Keturunanku akan dilindungi dari siksaan (api neraka) selama mereka terus membacanya.” Kemudian ia diwahyukan kepada Nabi Ibrahim, yang membacanya ketika ia diseret ke dalam api, tetapi membuat api tersebut ‘dingin dan damai’ baginya (al-Qur’an 21:69). Kemudian ia ditarik (dari peredaran) sampai ketika ia diwahyukan kepada Nabi Sulaiman; malaikat-malaikat mendatanginya, sambil berkata, “Sekarang, demi Tuhan, kerajaanmu telah menjadi lengkapl” (Lihat Thabarsi: 36 dan al-Qur’an 27: 30). “Kembali ia ditarik (dari peredaran) sampai Tuhan menurunkannya kepadaku (kata Nabi). Umatku akan datang pada Hari Kebangkitan, dengan membaca ‘Dengan nama Tuhan. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.’ Ketika amal perbuatan mereka ditimbang, amal mereka itu akan mengalahkan dosa mereka” (Nisaburi: 79).
Basmalah memiliki barakah yang sangat besar sebagai suatu cara penyelamatan di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Diriwayatkan bahwa Nabi Musa mengeluh mengenai kekerasan hati dan kesombongan Firaun. Namun Firaun menulis kata basmalah di pintu gerbang luar kerajaannya. Musa mengeluh, “Ya Tuhan. betapa sering aku telah menyeru kepadanya (untuk beriman kepada-Mu), tetapi aku sama sekali tidak melihat kebaikan padanya.’ Tuhan menjawab, “Wahai Musa mungkin engkau mengharapkan kutukan terhadapnya, engkau melihat keengganannya beriman, tetapi aku melihat kepada apa yang telah ditulisnya di pintu gerbang.” Dari sini Nisaburi berkesimpulan bahwa “Siapa pun yang menulis basmalah di pintunya akan diselamatkan dari kutukan, bahkan pun jika ia seorang kafir” (77). Seorang Sufi menunjukkan bahwa ketika ia mati, basmalah ditulis di atas secarik kertas dan diletakkannya di kain kafannya. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab, “Allah saya katakan pada Hari Kebangkitan, ‘Tuhanku, engkau telah menurunkan sebuah Buku dan membuat kopnya, dengan nama Tuhan...; hakimilah saya menurut kop Kitab-Mu”’ (Nisaburi: 79).
Sebuah hadits menyebutkan bahwa seluruh cabang pengetahuan dimuat dalam keempat Kitab Suci: Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an. Pengetahuan yang terkandung dalam ketiga Kitab Suci yang pertama semuanya terkandung dalam al-Qur’an. Pengetahuan al-Qur’an diungkapkan dalam surat al-Fatihah, dan pengetahuan surat al-Fatihah itu dikandung dalam basmalah (Nisaburi: 77);
Sebagai sebuah sumber pengetahuan Tuhan, Surat al-Fatihah memiliki misteri-misteri yang dalam dan kekuatan-kekuatan yang menyembuhkan (raqyah). Nabi berkata kepada Jabir Ibn ‘Abd Allah al-Anshari, “Al-Fatihah adalah sumber penyembuhan bagi setiap penyakit kecuali kematian” (Thabarsi: 36). Al-Fatihah (dan seringkali bahkan hanya bagian basmalahnya) digunakan untuk menyembuhkan penyakit, menghalau rasa takut dan merestui setiap tindakan seorang Muslim. Sebuah hadits populer menisbatkan kepada Nabi kata-kata sebagai berikut: “Hijab antara mata jin dan ketelanjangan anak-anak Adam, ketika mereka membuka bajunya, adalah ucapan mereka ‘Dengan nama Tuhan...”’ (Nisaburi: 80).
Basmalah juga merupakan doa dengan tiga al-asma’ al-husna di dalamnya, yaitu: Allah, al-Rahman dan al-Rahim. Karena itu, di dalam basmalah itu terkandung doa. Hal ini diekspresikan dalam ucapan Tuhan yang populer (hadits qudsi), “Hamba-hamba-Ku, setan adalah musuhmu; jadi, setiap kali engkau memulai suatu kegiatan atau tindakan kepatuhan, letakkanlah padanya nama-Ku dan katakan, ‘Dengan nama Tuhan...”’(Nisaburi: 78).
Akhirnya, dalam basmalah, seorang Muslim yang saleh dapat melihat maksud dan peruntungan seseorang yang sesungguhnya. Demikianlah, penulis Ghara’ib al-Qur’an menyatakan bahwa karena surat al-Tawbah mengandung pernyataan perang dan perselisihan, maka Surat itu tidak dimulai dengan basmalah. Lebih dari itu, doa “Dengan nama Allah” (basmalah) dibaca pada waktu penyembelihan hewan, sementara kata al-rahman dan al-rahim tidak disertakan. Penulis berkesimpulan, "Karena Allah telah merestui kamu di dalam shalat-shalat wajib, hal itu berarti bahwa Ia tidak menciptakan kamu untuk membunuh dan menyiksa, melainkan untuk menyebarkan kasih dan membalas budi baik” (Nisaburi: 79).
Tafsir Ayat-per-Ayat
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)

Setiap kali seorang Muslim membaca al-Qur’an harus dimulai dengan kata-kata ini; Dengan adanya firman Allah yang berbunyi “Ketika engkau membaca al-Qur’an berlindunglah kepada Tuhan dari setan yang terkutuk” (al-Qur’an 16: 98), maka isti‘adzah (yakni kata-kata di atas) adalah wajib. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas‘ud biasa memulai bacaan al-Qur’an-nya dengan kata-kata: “Aku berlindung kepada Tuhan, Yang Maha Pendengar, Maha Mengetahui, dari segala godaan setan yang dirajam” (lihat al-Qur’an 7: 200), tetapi Nabi berkata kepadanya, “Aku berlindung dari godaan setan yang dirajam, maka Jibril mengajariku untuk membaca benih yang terpelihara baik sebagaimana dituliskan Pena” (Qurthubi:)87; lihat juga Nisaburi: 115). “Aku berlindung kepada Tuhan...” berarti berlindung hanya kepada Tuhan sendiri dan tidak kepada seorang dari makhluk-makhluk-Nya, dari setan yang terkutuk (Thabari:113).
Setiap makhluk yang memberontak, baik itu manusia, jin atau binatang, disebut orang-orang Arab sebagai syaythan, yang dikatakan sebagai kata benda dari akar kata syathana, yang berarti ”yang dijauhi”. Dengan demikian, Tuhan menjauhkan setan dari semua kebaikan. Kata rajim berarti seorang yang dikutuk dan dijelek-jelekkan oleh kata-kata dan perbuatan. Ia juga berarti dirajam dengan batu-batu meteor yang menyala-nyala dari surga (lihat al-Qur’an 67: 5; Thabari: 111; lihat juga Thabarsi: 37f.).

1.       Dengan Nama Tuhan, Maha Pengasih, Penyayang
Para sarjana tidak bersepakat dalam hal apakah basmalah merupakan salah satu ayat yang utuh pada setiap awal surat, bagian dari sebuah ayat pada awal setiap surat, atau hanya merupakan bagian dari surat al-Fatihah saja. Sarjana-sarjana lainnya menyatakan bahwa basmalah itu bukan merupakan sebuah ayat dari surat mana pun dan bahwa ia ditulis pada awal surat hanya untuk memisahkan akhir dari sebuah surat dan awal dari surat lainnya. Penghafal-penghafal al-Qur’an dari Mekkah dan Kufah menegaskan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari al-Fatihah dan juga dari surat-surat lainnya di mana ia muncul. Sebaliknya, para penghafal al-Qur’an dari Basrah, Madinah dan Syria, menganggap basmalah bukan sebagai ayat dalam surat al-Fatihah dan bukan pula ayat dari surat-surat lainnya, dan mengatakan bahwa perkataan itu ditulis hanya untuk memisahkan awal 'dan akhir surat-surat dan memperoleh berkah yang terdapat di dalamnya. Diriwayatkan atas kewenangan Ibn ‘Abbas bahwa Nabi tidak mengetahui pemisah satu surat dengan yang lainnya, hingga kata-kata Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Penyayang” diwahyukan kepadanya (Syawkani:17).
Para sarjana juga tidak bersepakat mengenai apakah pengucapan lafaz basmalah harus dikeraskan dalam shalat atau tidak. Hadits-hadits yang diriwayatkan atas kewenangan Abu Hurayrah dan Ibn ‘Abbas menegaskan bahwa pengucapan basmalah tidak usah dikeraskan, berdasarkan sebuah hadits atas kewenangan ‘A’isyah yang menyatakan, “Nabi biasa memulai shalat dengan takbir diikuti dengan bacaan hamdalah (yakni surat al-Fatihah tanpa basmalah).” Diriwayatkan pula bahwa Malik Ibn Anas berkata, “Aku shalat di belakang Nabi, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman dan mereka semua memulai dengan Hamdalah” (Syawkaniz 17; lihat juga Ibn Katsir: 32 dan Zainakhsyari: 24-25). Para sarjana Syi’ah, atas kewenangan para imam, menegaskan dengan keras bahwa basmalah merupakan ayat dalam surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya. Imam keenam menyatakan bahwa basmalah merupakan ayat terbesar dalam “Kitab Allah” (Thabalsiz 38f.; Thabathaba’i: 22f.).

2.       Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Sekaliam Alam
Al-hamd (pujian) adalah syukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya di dunia ini dan pahala yang dilimpahkan-Nya di akhirat kelak. Rasulullah berkata, “Ketika engkau berkata, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam,’ engkau berterima kasih kepada Tuhan dan Ia akan menambah nikmat-Nya kepadamu.” Nabi juga berkata, “Tiada yang lebih menyenangkan Allah daripada rasa syukur. Untuk alasan inilah ia memuji diri-Nya sendiri dengan mengatakan ‘Segala puji bagi Allah...”’ (Thabarsi: l36f.). Dalam sebuah hadits qudsi, Tuhan berkata, “Pujian-Ku terhadap diri-Ku sendiri mengikuti puji-pujian hamba-Ku. Pujian-Ku terhadap diri-Ku sendiri sejak semula keabadian (‘azal) bukan untuk maksud lain kecuali semata-mata untuk pujian, sementara puji-pujian dari hamba-hamba-Ku disertai motivasi-motivasi.” Dikatakan bahwa Tuhan memuji diri-Nya dalam keabadian yang tak bermula untuk kebesaran rahmat-Nya. karena hamba-hamba-Nya tidak dapat memuji-Nya (semata-mata hanya karena-Nya), maka Ia memuji diri-Nya sendiri atas nama mereka. Rasulullah berkata, “Aku tidak dapat menyebut puji-pujian satu demi satu atas nama kalian.” (Qurthubi: 135).
Puji-pujian (al-hamd), bagi para sufi, merupakan tindakan memanifestasikan' kesempurnaan Allah yang dipuji. Kesempurnaan Allah yang mulia itu dimanifestasikan dalam sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan pengaruh-pengaruh-Nya (dalam penciptaan). Seorang syaikh yang terkemuka, Dawud al-Qayshari, berkata:
Puji-pujian dapat dilakukan melalui kata-kata, tindakan-tindakan dan melalui keadaan-keadaan sufistik (hal). Yang pertama adalah pujian dengan lidah, di mana Tuhan memuji diri-Nya sendiri melalui lidah-lidah para Nabi-Nya. Puji-pujian melalui perbuatan adalah pelaksanaan tindakan-tindakan jasmaniah dalam memuji, perbuatan-perbuatan baik dengan maksud semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya dan berada dekat dengan kehadiran-Nya yang mulia. Ini disebabkan, karena puji-pujian itu diinginkan oleh lidah, maka ia pun diinginkan oleh setiap anggota tubuh dalam keadaan apa pun... Sedangkan untuk pujian dalam keadaan mistik, maka hal itu tergantung kepada jiwa (ruh) dan hati (qalb) dan apakah mereka mempunyai kesempurnaan pengetahuan dan tindakan, serta pelaksanaan sifat seseorang secara sesuai dengan sifat Tuhan. Manusia diikat oleh Tuhan melalui Nabi-nabi-Nya untuk membentuk sifat mereka -agar sesuai dengan sifat Tuhan, sehingga, kesempurnaan menjadi fakultas-fakultas jiwa dan esensi mereka. Dalam kenyataannya, ini merupakan puji-pujian Allah atas diri-Nya sendiri dalam keragaman tingkat kesempurnaannya, yang dikenal sebagai manifestasi-manifestasi, tetapi yang tiada lain selain dari diri-Nya sendiri. Sedangkan untuk pujian-Nya terhadap diri-Nya sendiri dalam cara Tauhid melalui firman-Nya, maka itu merupakan apa yang ia ucapkan dalam, buku-buku dan Kitab-kitab Suci-Nya (shuhuf), membuat sifat-sifat kesempurnaan-Nya diketahui. Pujian-Nya melalui tindakan merupakan manifestasi sifat-sifat kecantikan-Nya... dan keagungan, dari yang tersembunyi menjadi yang nyata termanifestasi... Puji-puji-Nya melalui keadaan-keadaan sufistik (hal) merupakan manifestasi esensi-esensi-Nya dalam pancaran-pancaran pertama dan pemancaran sinar cahaya-Nya yang abadi. Ia merupakan Zat yang memuji dan merupakan satu-satunya yang dipuji, baik dalam kesatuan maupun keragaman. Dengan demikian, dikatakan, “Aku telah ada bahkan sebelum hijab disingkapkan/maka aku membayangkan bahwa aku merupakan seorang yang mengingatmu/namun ketika malam diterangi, aku bersaksi bahwa engkaulah yang diingat, ingatan dan yang mengingat” (Haqqi: 11).
Para mufassir telah berbeda pendapat mengenai arti kata ‘alamin yang secara harfiah berarti alam semesta. ‘Alamin adalah kata majemuk dari kata ‘alam. Sebagian mereka menyatakan bahwa manusia, pada setiap generasi, adalah sebuah alam (‘alam), seperti dinyatakan dalam Fiman Tuhan:
”Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki dari al-‘alamin (al-Qur’an 26: 165). Dari kewenangan Ibn ‘Abbas, diceritakan bahwa al-‘ala-min adalah manusia dari jin, seperti dalam firman Tuhan,”... Agar ia menjadi pemberi peringatan kepada al-‘alamin” (al-Qur’an 25: 1). Sebagian di antara para Mufassir telah berkata bahwa al-‘alamin merujuk kepada seluruh makhluk yang diberi rizki/makanan oleh Allah dan setiap makhluk hidup yang bergerak di permukaan bumi. Wahb Ibn Munnabih berkata, “Tuhan telah menciptakan delapan belas ribu alam dan dunia ini hanyalah satu di antaranya.” Ahli tata bahasa, al-Khalil, menyebutkan, ”Kata itu (‘alama) merupakan sesuatu yang memberi tanda-tanda (‘alama), yang menunjukkan bahwa ia memiliki Pencipta dan Penguasa” (Qurthubi: 138f.).
Al-Razi, yang tafsirnya mungkin adalah tafsir paling filosofis, menjelaskan kata al-‘alamin sebagai berikut:
Telah dikukuhkan melalui bukti yang jelas bahwa di luar dunia ini, ada ruang yang tidak terbatas. Sama juga dengan itu, telah dibuktikan bahwa Allah Yang Maha Mulia mampu mengaktualisasikan segala kemungkinan. Maka Ia pun mampu menciptakan beribu-ribu alam selain dunia ini dan masing-masingnya lebih luas dan lebih lebar ketimbang dunia ini. Lebih jauh lagi, di dalam setiap alam, terdapat obyek-obyek yangsama dengan yang terdapat di dunia ini,seperti halnya Singgasana dan Tempat Duduk, langit dan bumi, serta matahari dan bulan. Dengan demikian, Tuhan seru sekalian alam adalah Tuhan segala sesuatu, baik hal-hal yang dapat dilihat dan dibayangkan maupun yang tidak (6-7).

3.       Maha Pengasih, Penyayang
4.       Penguasa di Hari Pengadilan
Malik (baca: Maalik – yang secara harfiah berarti pemilik atau penguasa) Hari Pengadilan dan malik (baca: malik, raja) di Hari Kiamat merupakan dua cara membaca yang para mufassir sering berbeda pandangan mengenainya. Mereka yang lebih menyukai malik (pemilik, penguasa) mengatakan, atas kewenangan Ibn ‘Abbas, bahwa pada Hari Pengadilan, Tuhan akan merupakan Penguasa segala sesuatu. Dari penguasa-penguasa di dunia ini, tidak seorang pun yang bebas dari perhitungan pengadilan-Nya. Sementara itu, mereka yang lebih cenderung memilih malik (raja), yang merupakan model bacaan lain, mengatakan bahwa ”... Kekuasaan hanya milik Tuhan sendiri dan bukan milik salah satu dari makhluk-makhluk-Nya (sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an)... ‘Kepunyaan siapakah kekuasaan pada hari ini (Hari Pengadilan) –Kepunyaan Allah, Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan’ (al-Qur’an 40: 16)... Kekuasaan bukan milik siapa-siapa, kecuali milik Tuhan dan karena itulah maka Ia adalah malik (raja). Namun, boleh jadi bahwa seorang penguasa pada saat yang sama bukan merupakan seorang raja, sementara seorang raja selalu merupakan seorang penguasa” (Thabari: 148-50; lihat juga Zamakhsyari: 56-9; Qurthubi: I40f.; dan Syawkani: 22. Syawkani, seperti mufassir-mufassir Syi‘ah lainnya, lebih cenderung memilih malik (maalik) -lihat Thabarsi: 52 dan Thabathaba’i 11: 22 dan 25).

5.       Hanya kepada-Mu /cami menyembah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan.

6.       Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Tunjukilah kami (ihdina) pada awalnya ditafsirkan dalam pengertian (atas kewenangan ‘Ali) ”teguhkanlah kami”. Kata shirath dikatakan berasal dari kata kerja “sharatha” yang berarti “menelan”, sebagaimana jalan “menelan” seseorang dari penglihatan. Di dunia ini, shirath adalah jalan kebenaran, yaitu agama Islam. Di akhirat nanti, shirath merupakan jembatan di atas neraka yang harus dilewati seluruh manusia untuk mencapai surga (lihat Thabari: 166-77; Zamakhsyari: 67; Razi: 254-8; dan Qurthubi: l47f.). Imam Syi‘ah yang keenam, Ja‘far al-Shadiq, menyatakan demikian: “Panjangnya jembatan sama dengan seribu tahun pendakian dan penurunan... jembatan itu lebih halus dibandingkan dengan rambut dan lebih tajam ketimbang mata pedang. Sebagian orang akan mampu menyeberanginya secara kilat, sementara yang lainnya seperti kuda betina yang sedang berjalan. Yang lainnya akan melewatinya dengan langkah kebingungan, sementara yang lainnya lagi seperti merangkak. Sebagian lainnya akan melewatinya dengan tertunda-tunda dan sebagian tubuh mereka termakan api (di atas mana mereka tergantung)” (Qummi I 29).
Mufassir-mufassir lain memandang shirath sebagai al-Qur’an, seperti diriwayatkan dari Nabi atas kewenangan ‘Ali dan Ibn Mas‘ud. Sebagian mufassir menjelaskannya sebagai ”... iman yang benar, yang Allah tiada menerima apa pun dari hamba-hamba-Nya selainnya” (Thabarsi: 59). Kaum Syi‘ah sudah sejak lama berpendapat bahwa shirath merujuk kepada ‘Ali, Imam mereka yang pertama, atau kepada Nabi dan keturunan-keturunannya, yakni para imam, yang ”... merupakan wakil-wakil mereka yang sesungguhnya (Thabarsi: 59).

7.       Jalan mereka yang telah Engkau beri nikmat dan bukan jalan mereka  yang Engkau murkai dan sesat
Kebanyakan mufassir memasukkan orang-orang Yahudi ke dalam mereka yang dimurkai Tuhan dan orang-orang Kristen ke dalam kelompok orang-orang yang sesat (Thabari: 185-95: Zamakhsyari: 71). Namun. sebagian mufassir lainnya mempermasalahkan pandangan ini karena teksnya tidak merujuk secara khusus kepada suatu masyarakat tertentu, dan telah memilih untuk mempertahankan arti umum teks tersebut yang merujuk kepada dua jenis manusia dan bukan dua masyarakat keagamaan tertentu. Nisaburi mengatakan bahwa   mereka yang dimurkai Tuhan adalah mereka yang lalai dan alpa, dan mereka yang sesat adalah mereka yang tidak mampu menjaga keseimbangan dan bersikap wajar” (Nisaburi: 113. Untuk pembahasan yang lebih menyeluruh mengenai pandangan-pandangan yang berbeda ini, lihat Thabarsi: 64f.). Bagi para Sufi, ayat tersebut juga merujuk kepada jenis-jenis manusia. Diriwayatkan bahwa Ibn ‘Asa’ berkata:
Mereka yang diberi nikmat Allah memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Para sufi merupakan mereka yang diberi pengetahuan oleh Allah; para wali (awliya’) yang dianugerahi kebenaran, kepuasan, kepastian dan pemilihan. Orang-orang yang benar telah Allah anugerahi dengan kebaikan dan kelemahlembutan; para murid (muridun) telah Ia anugerahi dengan manisnya kepatuhan; dan orang-orang yang beriman telah Ia anugerahi dengan kebajikan moral dan kejujuran. Dikatakan juga bahwa mereka (yang Allah anugerahi nikmat) adalah para Nabi dan orang-orang yang benar, para syuhada’ dan orang-orang saleh; seperti yang dikatakan Allah, ”Mereka ini merupakan orang-orang yang kepada mereka Tuhan menganugerahkan nikmat-Nya yang ia berikan kepada Nabii dan orang-orang yang benar, para syuhada’ dan (orang-orang yang Saleh...” (al-Qur’an 4: 69) (Haqqi: 22).

“Mereka yang mendapat kutukan Tuhan adalah orang-orang yang berontak, dan mereka yang telah sesat adalah mereka yang tidak memiliki pengetahuan, karena mereka yang dianugerahi nikmat oleh-Nya adalah mereka yang memadukan pengetahuan dan tindakan... Mungkin saja yang dimaksud dengan yang pertama adalah orang-orang Yahudi dan yang kedua adalah orang-orang Kristen... Namun, menisbatkan kemurkaan Tuhan kepada orang- orang Yahudi dan kesesatan kepada orang-orang Kristen adalah sesuatu yang tidak disengaja” (Haqqi: 24f.). Akhirnya penulis memilih rujukan yang umum kepada orang-orang yang sesat dari jalan yang dapat menyampaikan manusia kepada Allah.

(Amin)
Kata amin (kabulkanlah permohonan kami) adalah kata yang ditambahkan dalam shalat. Namun orang-orang Syi‘ah tidak membacanya dan menggantinya dengan membaca hamdalah (lihat Qurthubi: 127-81 dan Thabarsi: 65).

Akhirul Kalam
Secara keseluruhan, Surat al-Fatihah menyuguhkan kata atau ucapan Tuhan yang sudah sangat tua, yang sejak keabadian (‘azal) tetap tidak terucapkan, hingga ia memasuki eksistensi manusia yang sementara dan menjadi dialog antara Tuhan dan manusia melalui membacanya dalam shalat. Al-Fatihah bukan merupakan doa yang diajarkan kepada manusia, seperti Yesus memerintahkan murid-muridnya, “Jika kalian sembahyang, katakanlah...” (Lukas 11: 2 dan Matius 6: 9). Namun ia merupakan sebuah doa yang diucapkan Tuhan sendiri, atas nama hamba-hamba-Nya yang beriman dan yang mereka baca setiap kali mereka melakukan shalat.
Al-Fatihah mengetengahkan tiga sifat Tuhan: kasih sayang, kekuasaan dan keadilan, dalam suatu Cara yang singkat. Dengan begitu, Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang, 'merupakan sumber kasih sayang yang tiada habis-habisnya untuk makhluk-makhluk-Nya. Sebagai Tuhan segala makhluk dan Penguasa Hari Pengadilan, Ia juga merupakan Tuhan keagungan, kekuasaan dan keadilan, di atas segala sesuatu. Itulah sebabnya mengapa orang-orang saleh mengutarakan kata-kata dalam bentuk puji-pujian kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, dengan harapan akan dan rasa syukur atas kasih-Nya. Dalam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Adil akan bimbingan menuju jalan yang lurus, mereka mengekspresikan ketakutan dan kesadaran penuh akan kekuatan Tuhan.
Sebagai sebuah ekspresi mengenai keadilan Tuhan, al-Fatihah membagi manusia ke dalam dua kategori dilihat dari konteks bimbingan dan pelanggaran. Para mufassir yang memberikan label kemanusiaan kepada pengadilan Tuhan yang universal, telah melakukan distorsi terhadap karakter universal surat al-Fatihah. Mereka telah memeras hak prerogatif Tuhan dengan melampaui pengadilan tentang siapa yang berhak atas ampunan Tuhan dan siapa pula yang patut menerima kutukannya. Mereka telah membatasi kasih dan sayang Tuhan kepada nama-nama dan institusi-institusi manusia. Biar pun demikian, al-Fatihah tetap merupakan doa yang universal, melampaui batas penilaian dan institusi manusia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar