SEMBAHYANG DALAM ISLAM
Penyajian Surat al-Fatihah dalam Kitab-kitab
Tafsir
Oleh:
Mahmud M. Ayyub
Mahmud
M. Ayyub menyelesaikan program doktornya dalam kajian agama-agama di
Universitas Harvard, USA. Ketika menulis artikel ini, ia adalah tenaga peneliti
pada Centre for Religious Studies, Universitas Toronto, dan Muhammadi Islamic
Centre, yang juga berpusat di Toronto, Canada. Selain itu, ia juga adalah Guru
Besar Tamu pada Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Canada. Ia
telah melakukan banyak penelitian, da menerbitkan serangkaian artikel mengenai
masalah-masalah keislaman dan hubungan Islam dan Kristen di jurnal-jurnal
terkemuka, seperti The Muslim World,
Humaniora Islamica, dan jurnal-jurnal kenamaan lainnya. Sarjana kelahiran
Iran yang buta sejak lahir ini juga menulis buku Redemptive Suffering in Islam: A Study of the Devotional Aspects of
‘Asyura’ in Twelver Syi’ism (Mouton, 1978). Dalam bidang tafsir, Ayyub juga
dikenal sebagai sarjana yang giat mempopulerkan pendekatan perbandingan antar
berbagai metode dan paham penafsiran
(tafsir al-muqaran). Bukunya dalam bidang ini, yang sudah diterbitkan
adalah The Qur’an and Its Interpreters,
Vol. I (Albany: State University of New York Press, 1984).
Al-Fatihah,
surat pembuka al-Qur’an, dalam Islam mempunyai peran yang serupa dengan Doa
Tuhan (Lord’s Prayer) dalam agama
Kristen. Seperti Doa Tuhan itu, al-Fatihah mengandung unsur penting dalam
pemujaan liturgis. Surat itu dibaca setidak-tidaknya 17 kali sehari, ketika
kaum Muslimin melaksanakan shalat lima waktu. Juga seperti Doa Tuhan, surat itu
dipandang bukan saja sebagai ucapan Tuhan yang dibaca kaum Muslimin yang saleh
ke hadapan Tuhan sebagai permohonan dan pemujaan, melainkan juga sebagai sumber
kelemahlembutan dan berkah Ilahi yang dapat diresapi orang-orang yang bertakwa
dan dijadikan milik mereka sendiri dengan membacanya berulang-ulang.
Selain
keutamaannya dalam shalat lima waktu, surat ini pun menempati tempat yang unik
dalam kehidupan kaum Muslimin sehari-hari. Tiap kesepakatan, dalam perjanjian
dagang maupun ikatan perkawinan, selalu diakhiri dengan bacaan surat ini.
Dengan bacaan surat itu seorang anak diterima hadir di dunia, dan dengannya
pulalah ia diantarkan ke liang lahatnya. Lebih lagi, al-Fatihah menjadi
satu-satunya rantai penghubung antara orang-orang takwa di dunia dan
orang-orang yang mereka cintai yang telah mendahului mereka. Bacaan tersebut,
yang dialamatkan kepada orang yang telah wafat, merupakan pemberian jasa yang
membawa keharuman, penerangan dan kebahagiaan di liang kubur dan kesenangan
serta kepuasan jiwa.
Al-Qur’an
bukan hanya sebuah buku atau dokumen sejarah, tetapi juga, dan lebih penting
lagi, sebuah kenyataan hidup dan berlaku dalam kehidupan umat Islam. Ia
memberikan harapan dan kekuatan di hadapan kegaiban-kegaiban kehidupan dan
menentukan nasib mereka di dunia ini da di akhirat kelak. Itulah sebabnya, ia
harus dihadirkan ke hadapan para pembaca dengan segala dimensinya. Apa yang
saya tulis berikut ini adalah hasil pertama dari serangkaian upaya saya
memenuhi kebutuhan ini. Karena itu, sementara saya telah semaksimal mungkin
menghadirkan bagian karya saya sebagai suatu pembahasan independen, namun ia
harus dilihat sebagai bagian dari sebuah proyek yang membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Pada halaman-halaman berikut, saya akan
menyajikan surat al-Fatihah yang dibaca kaum Muslimin, kemudian saat-saat
pewahyuannya, nama-nama dan julukan-julukannya dan terakhir signifikansinya.
Lalu, saya akan mengetengahkan ayat demi ayat, dengan berbagai perbedaan
pandangan para mufassir yang pernah ada selama ini mengenainya.
Surat al-Fatihah
(Aku berlindung kepada
Allah dari segala godaan setan)
1.
Dengan menyebut nama Allah, Maha Pengasih, Penyayang.
2.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3.
Maha Pengasih, Penyayang.
4.
Penguasa Hari Pembalasan.
5.
Hanya engkau yang kami sembah dan hanya kepada engkau kami
mohon pertolongan.
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
7.
Jalan orang-orang yang telah Kau anugerahkan nikmat kepada
mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang
sesat.
(Amin)
Saat Pewahyuan dan Nama-nama Surat al-Fatihah
Para
mufassir tidak bersepakat sehubungan dengan masalah kapan dan di mana Surat ini
diwahyukan. Namun, mayoritas mereka menyatakan bahwa surat itu diwahyukan di
Mekkah, pada saat karier kenabian Muhammad yang sangat awal. Diriwayatkan, atas
kewenangan Abu Maysarah dan ‘Ali, bahwa,
…. Setiap kali Nabi
pergi ke padang pasir (yakni pada masa awal karier kenabiannya di Mekkah), ia
mendengar suara yang memanggilnya, "Wahai Muhammad.” Tapi ketika mendengar
suara itu, ia lari ketakutan. Waraqah Ibn Nawfal berkata kepadanya, “Jika kau
mendengar suara itu lagi, tetaplah berdiri tegak dan dengar apa yang
dikatakannya kepadamu, kemudian datang dan ceritakanlah kepadaku”. Ketika Nabi
pergi lagi, ia mendengar suara memanggilnya, “Wahai Muhammad!” Ia menjawab,
“Saya di sini.” Suara itu berkata, “Katakanlah: ‘Saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah’.”
Kemudian suara itu berkata lagi, “Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam...”’ seterusnya, hingga ia membaca surat Pembuka (al-Fatihah) dari
al-Qur’an (Wahidi: 17).
Lebih
lanjut, diriwayatkan atas kewenangan ‘Ali, Ibn ‘Abbas, Ubayy dan
sahabat-sahabat Rasul lainnya bahwa a1-Fatihah diturunkan sangat awal di Mekkah
(Wahidi: 17; Zamakhsyari: 23; Qurthubi: 115). Para mufassir yang belakangan
menyatakan bahwa karena surat itu merupakan bacaan sembahyang, ia tidak mungkin
diturunkan di Madinah, sebab itu akan berarti bahwa Nabi dan kaum Muslimin yang
awal, selama kira-kira 12 tahun, tanpa bacaan shalat (Thabari: 107; Qur- thubi:
115). Hanya Mujahid yang, dalam sebuah hadits mengenai keutamaan-keutamaan
Surat ini, menyatakan bahwa asalnya turun di Madinah (Wahidi: 17). Beberapa
mufassir, dengan maksud menggabungkan kedua pandangan ini, menyebutkan bahwa
Surat ini diwahyukan dua kali: pertama di Mekkah dan kemudian di Madinah.
Menurut mereka, ini disebabkan kenyataan bahwa surat al-Fatihah menempati
posisi utama dalam shalat lima waktu. Walaupun demikian, pandangan ini tidak
memberi penyelesaian masalah yang memuaskan bagi para mufassir. Berkata
al-Husayn Ibn al-Fadhl, “Setiap orang yang terpelajar melakukan kesalahan, dan
kesalahan Mujahid adalah pernyataannya bahwa surat al-Fatihah diturunkan di
Madinah” (Wahidi: 18).
Keutamaan
surat ini dalam sembahyang dan kesalehan seorang Muslim secara umum telah
diakui sejak sangat awal oleh kaum Muslimin, seperti yang akan kita diskusikan
di bawah nanti. Untuk alasan inilah maka ‘Abd Allah Ibn Mas‘ud berpendapat
bahwa surat al-Fatihah ini tidak termasuk ke dalam tempat tertentu di dalam
al-Qur’an. Diceritakan atas kewenangan Ibn Sirin bahwa Ibn Mas‘ud tidak
memasukkan Surat ini ke dalam bacaannya. Ketika ditanya mengenai masalah ini,
ia memberi jawaban demikian: “Jika saya memasukkannya, maka saya terpaksa harus
menuliskannya pada awal segala sesuatu yang saya tulis” (Syawkani: 14).
Walaupun demikian, al-Fatihah sejak awalnya telah diterima oleh mayoritas kaum
Muslimin sebagai surat pembukaan dalam al-Qur’an yang sekaligus menjadi
julukannya yang paling utama. Lebih jauh lagi, diceritakan bahwa, ”... dengan
membaca Surat itu, pembacaan al-Qur’an dimulai dan dengannya pulalah para
sahabat memulai penulisan al-Qur’an yang secara resmi diterima (al-mushaf al-imam)” (Syawkani: 14).
Surat
pertama al-Qur’an ini dikenal dengan berbagai nama julukan. Namanya yang paling
banyak diterima adalah al-Fatihah (pembukaan), karena dengan Surat inilah
al-Qur’an ”dimulai”, baik ketika membacanya maupun menuliskannya. Surat ini
juga dikenal dengan sebutan umm al-kitab
induk Kitab Suci) atau umm al-Qur’an
(induk al-Qur’an), sebab ia mengandung esensi al-Qur’an Thabari: 107ff.).
Nama-nama sebutan lain untuk surat ini adalah al-sab ‘al-matsani, yang berarti “tujuh (ayat) yang sering diulang-ulang”.
Hasan al-Bashri ditanya sehubungan dengan ayat ”Kami telah memberimu (Muhammad) tujuh ayat yang dibaca dua kali dan
al-Qur’an yang mulia” (al-Qur’an 15: ST), dan ia menjawab: ”Itulah Surat
Pembuka (al-Qur’an)” (Thabari: 109f.). Ia disebut demikian karena ia terdiri
dari tujuh ayat dan dibaca ulang setidak-tidaknya sebanyak dua kali pada setiap
shalat (lihat Wahidi: 18). Para sarjana berbeda pendapat sehubungan dengan
masalah apakah doa (basmalah), “Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang,” merupakan salah satu dari ketujuh ayat tersebut atau tidak (masalah
ini akan dibahas belakangan nanti). Sebutan-sebutan lain untuk Surat ini
adalah: al-Kafiyah atau al-Wafiyah (“yang cukup”), al-Asas (dasar al-Qur’an). al-Syifa’ atau al-Syafiyah (“penyembuh”), al-Shalat
(“sembahyang”), al-Hamd (“Surat pemujian”)
(Ibn Katsir: 17; Qurthubi: 111-13).
Keutamaan Surat al-Fatihah
Diriwayatkan
atas kewenangan Ubayy bahwa “Setiap orang yang membaca al-Fatihah akan diberi sebanyak-banyaknya
pahala seakan-akan ia telah membaca dua pertiga al-Qur’an dan seakan-akan ia
telah memberi sedekah kepada Setiap laki-laki dan perempuan beriman” (Thabarsiz
36). Ketika Ubayy membacakan Surat al-Fatihah ini kepada Nabi, yang disebut belakangan
ini berkata, “Demi Dia yang nyawa saya berada dalam genggaman tangan-Nya, tidak
ada ayat dalam Taurat, Zabur, Injil dan juga dalam al-Qur’an yang Sejenis
dengan ayat-ayat ini yang diwahyukan” (Ibn Katsirz 20).
Pentingnya
al-Fatihah terletak terutama pada keutamaannya dalam shalat sehari-hari, di
mana ia dibaca Sebanyak 17 kali sepanjang hari dan malam. Walaupun pendek,
Surat ini mengandung dua unsur yang paling penting dalam shalat: pertama
permohonan (doa) dan kedua pujian (hamd).
Lebih dari itu, Surat ini merupakan ekspresi yang seimbang mengenai keesaan dan
kekuasaan Tuhan, kasih Sayang-Nya dan keutamaan manusia Sebagai hamba Tuhan
Yang Maha Esa. Demikianlah, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan baik oleh
mufassir Sunni maupun Syi’i, disebutkan bahwa “Aku telah membagi shalat antara
Aku dan hamba-hamba-Ku dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang ia minta. Ketika
hamba-Ku berkata, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam,’ Aku
berkata, “Hamba-Ku telah memujaku. Ketika hamba-Ku berkata, ‘Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang’ Aku berkata, “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.” Ketika
hamba-Ku berkata, ‘Yang Menguasai Hari Pengadilan’ Tuhan berkata, ‘Hamba-Ku
telah mengagungkan-Ku... Ini hagian-Ku dan sisanya adalah miliknya” (Thabari:
201; Thabarsi: 36).
Mujahid
berkata, “Setan empat kali dibuat pontang-panting ketakutan: ketika ia dikutuk
(Tuhan), ketika ia diusir dari surga, ketika Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul
dan ketika Surat al-Fatihah diwahyukan...” (Qurthubi: 109; Syawkani: l5.
Syawkani meriwayatkan hadits atas kewenangan Abu Hurayrah).
Dalam
surat al-Fatihah ini, doa (basmalah)
sejak semula mempunyai tempat yang khusus dalam kesalehan kaum Muslimin.
Kata-kata rahman dan rahim kedua-dua-nya menunjukkan kasih
sayang. Namun rahman merupakan bentuk
intensif pada kata benda. Kasih sayang Tuhan sebagai rahman meliputi seluruh makhluk, sementara kasih sayang-Nya sebagai
rahim terbatas hanya kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman. Karena itu dapat dikatakan bahwa Allah Maha Pengasih rahman baik terhadap dunia ini maupun dunia
yang akan datang, dan Penyayang (rahim)
hanya sehubungan dengan dunia ini. Dapat pula dikatakan bahwa “Dia rahman di dunia ini dan rahim di dunia yang akan datang, karena kasih
sayang-Nya di dunia ini juga meliputi orang-orang kafir, selain orang-orang
yang baik; sementara di dunia yang akan datang, kasih sayang-Nya terbatas hanya
kepada orang-orang yang beriman saja” (Nisaburi: 75).
Nabi
menyatakan: “Tuhan, Yang Maha Agung, memiliki seratus kasih sayang; Salah satu
darinya Ia kirim ke bumi dan dibagi-bagikan diantara makhluk-makhluk-Nya.
Melaluinya Ia menyebarkan kasih dan menunjukkan sayang-Nya kepada yang satu dengan
yang lain. Kesembilan puluh sembilan sisanya ia pegang untuk diri-Nya sendiri,
untuk diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman pada Hari Kebangkitan”
(Nisaburi: 75).
‘Ali
meriwayatkan bahwa basmalah pertama
kali diwahyukan kepada Adam, yang berkata, “Keturunanku akan dilindungi dari siksaan
(api neraka) selama mereka terus membacanya.” Kemudian ia diwahyukan kepada Nabi
Ibrahim, yang membacanya ketika ia diseret ke dalam api, tetapi membuat api
tersebut ‘dingin dan damai’ baginya (al-Qur’an 21:69). Kemudian ia
ditarik (dari peredaran) sampai ketika ia diwahyukan kepada Nabi Sulaiman;
malaikat-malaikat mendatanginya, sambil berkata, “Sekarang, demi Tuhan,
kerajaanmu telah menjadi lengkapl” (Lihat Thabarsi: 36 dan al-Qur’an 27: 30).
“Kembali ia ditarik (dari peredaran) sampai Tuhan menurunkannya kepadaku (kata
Nabi). Umatku akan datang pada Hari Kebangkitan, dengan membaca ‘Dengan nama
Tuhan. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.’ Ketika amal perbuatan mereka
ditimbang, amal mereka itu akan mengalahkan dosa mereka” (Nisaburi: 79).
Basmalah memiliki barakah yang sangat besar sebagai
suatu cara penyelamatan di dunia ini dan di dunia yang akan datang.
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa mengeluh mengenai kekerasan hati dan kesombongan
Firaun. Namun Firaun menulis kata basmalah di pintu gerbang luar kerajaannya.
Musa mengeluh, “Ya Tuhan. betapa sering aku telah menyeru kepadanya (untuk
beriman kepada-Mu), tetapi aku sama sekali tidak melihat kebaikan padanya.’
Tuhan menjawab, “Wahai Musa mungkin engkau mengharapkan kutukan terhadapnya,
engkau melihat keengganannya beriman, tetapi aku melihat kepada apa yang telah
ditulisnya di pintu gerbang.” Dari sini Nisaburi berkesimpulan bahwa “Siapa pun
yang menulis basmalah di pintunya
akan diselamatkan dari kutukan, bahkan pun jika ia seorang kafir” (77). Seorang
Sufi menunjukkan bahwa ketika ia mati, basmalah
ditulis di atas secarik kertas dan diletakkannya di kain kafannya. Ketika
ditanya mengapa, ia menjawab, “Allah saya katakan pada Hari Kebangkitan, ‘Tuhanku,
engkau telah menurunkan sebuah Buku dan membuat kopnya, dengan nama Tuhan...;
hakimilah saya menurut kop Kitab-Mu”’ (Nisaburi: 79).
Sebuah
hadits menyebutkan bahwa seluruh cabang pengetahuan dimuat dalam keempat Kitab
Suci: Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an. Pengetahuan yang terkandung dalam
ketiga Kitab Suci yang pertama semuanya terkandung dalam al-Qur’an. Pengetahuan
al-Qur’an diungkapkan dalam surat al-Fatihah, dan pengetahuan surat al-Fatihah
itu dikandung dalam basmalah
(Nisaburi: 77);
Sebagai
sebuah sumber pengetahuan Tuhan, Surat al-Fatihah memiliki misteri-misteri yang
dalam dan kekuatan-kekuatan yang menyembuhkan (raqyah). Nabi berkata kepada Jabir Ibn ‘Abd Allah al-Anshari,
“Al-Fatihah adalah sumber penyembuhan bagi setiap penyakit kecuali kematian”
(Thabarsi: 36). Al-Fatihah (dan seringkali bahkan hanya bagian basmalahnya)
digunakan untuk menyembuhkan penyakit, menghalau rasa takut dan merestui setiap
tindakan seorang Muslim. Sebuah hadits populer menisbatkan kepada Nabi
kata-kata sebagai berikut: “Hijab antara mata jin dan ketelanjangan anak-anak
Adam, ketika mereka membuka bajunya, adalah ucapan mereka ‘Dengan nama
Tuhan...”’ (Nisaburi: 80).
Basmalah juga merupakan doa dengan tiga al-asma’ al-husna di dalamnya, yaitu:
Allah, al-Rahman dan al-Rahim. Karena itu, di dalam basmalah itu terkandung doa. Hal ini
diekspresikan dalam ucapan Tuhan yang populer (hadits qudsi), “Hamba-hamba-Ku,
setan adalah musuhmu; jadi, setiap kali engkau memulai suatu kegiatan atau
tindakan kepatuhan, letakkanlah padanya nama-Ku dan katakan, ‘Dengan nama
Tuhan...”’(Nisaburi: 78).
Akhirnya,
dalam basmalah, seorang Muslim yang
saleh dapat melihat maksud dan peruntungan seseorang yang sesungguhnya.
Demikianlah, penulis Ghara’ib al-Qur’an
menyatakan bahwa karena surat al-Tawbah mengandung pernyataan perang dan
perselisihan, maka Surat itu tidak dimulai dengan basmalah. Lebih dari itu, doa
“Dengan nama Allah” (basmalah) dibaca
pada waktu penyembelihan hewan, sementara kata al-rahman dan al-rahim
tidak disertakan. Penulis berkesimpulan, "Karena Allah telah merestui kamu
di dalam shalat-shalat wajib, hal itu berarti bahwa Ia tidak menciptakan kamu
untuk membunuh dan menyiksa, melainkan untuk menyebarkan kasih dan membalas
budi baik” (Nisaburi: 79).
Tafsir Ayat-per-Ayat
(Aku berlindung kepada Allah
dari godaan setan yang terkutuk)
Setiap
kali seorang Muslim membaca al-Qur’an harus dimulai dengan kata-kata ini;
Dengan adanya firman Allah yang berbunyi “Ketika
engkau membaca al-Qur’an berlindunglah kepada Tuhan dari setan yang terkutuk” (al-Qur’an
16: 98), maka isti‘adzah (yakni kata-kata
di atas) adalah wajib. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas‘ud biasa memulai bacaan al-Qur’an-nya
dengan kata-kata: “Aku berlindung kepada
Tuhan, Yang Maha Pendengar, Maha Mengetahui, dari segala godaan setan yang
dirajam” (lihat al-Qur’an 7: 200), tetapi Nabi berkata kepadanya, “Aku berlindung
dari godaan setan yang dirajam, maka Jibril mengajariku untuk membaca benih
yang terpelihara baik sebagaimana dituliskan Pena” (Qurthubi:)87; lihat juga
Nisaburi: 115). “Aku berlindung kepada Tuhan...” berarti berlindung hanya
kepada Tuhan sendiri dan tidak kepada seorang dari makhluk-makhluk-Nya, dari setan
yang terkutuk (Thabari:113).
Setiap
makhluk yang memberontak, baik itu manusia, jin atau binatang, disebut
orang-orang Arab sebagai syaythan,
yang dikatakan sebagai kata benda dari akar kata syathana, yang berarti ”yang dijauhi”. Dengan demikian, Tuhan
menjauhkan setan dari semua kebaikan. Kata rajim
berarti seorang yang dikutuk dan dijelek-jelekkan oleh kata-kata dan perbuatan.
Ia juga berarti dirajam dengan batu-batu meteor yang menyala-nyala dari surga
(lihat al-Qur’an 67: 5; Thabari: 111; lihat juga Thabarsi: 37f.).
1.
Dengan Nama Tuhan, Maha
Pengasih, Penyayang
Para
sarjana tidak bersepakat dalam hal apakah basmalah merupakan salah satu ayat
yang utuh pada setiap awal surat, bagian dari sebuah ayat pada awal setiap
surat, atau hanya merupakan bagian dari surat al-Fatihah saja. Sarjana-sarjana
lainnya menyatakan bahwa basmalah itu
bukan merupakan sebuah ayat dari surat mana pun dan bahwa ia ditulis pada awal
surat hanya untuk memisahkan akhir dari sebuah surat dan awal dari surat
lainnya. Penghafal-penghafal al-Qur’an dari Mekkah dan Kufah menegaskan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari
al-Fatihah dan juga dari surat-surat lainnya di mana ia muncul. Sebaliknya,
para penghafal al-Qur’an dari Basrah, Madinah dan Syria, menganggap basmalah bukan sebagai ayat dalam surat
al-Fatihah dan bukan pula ayat dari surat-surat lainnya, dan mengatakan bahwa
perkataan itu ditulis hanya untuk memisahkan awal 'dan akhir surat-surat dan
memperoleh berkah yang terdapat di dalamnya. Diriwayatkan atas kewenangan Ibn
‘Abbas bahwa Nabi tidak mengetahui pemisah satu surat dengan yang lainnya,
hingga kata-kata “Dengan nama Allah,
Maha Pengasih, Penyayang” diwahyukan kepadanya (Syawkani:17).
Para
sarjana juga tidak bersepakat mengenai apakah pengucapan lafaz basmalah harus dikeraskan dalam shalat
atau tidak. Hadits-hadits yang diriwayatkan atas kewenangan Abu Hurayrah dan
Ibn ‘Abbas menegaskan bahwa pengucapan basmalah
tidak usah dikeraskan, berdasarkan sebuah hadits atas kewenangan ‘A’isyah yang
menyatakan, “Nabi biasa memulai shalat dengan takbir diikuti dengan bacaan hamdalah
(yakni surat al-Fatihah tanpa basmalah).” Diriwayatkan pula bahwa Malik Ibn
Anas berkata, “Aku shalat di belakang Nabi, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman dan
mereka semua memulai dengan Hamdalah”
(Syawkaniz 17; lihat juga Ibn Katsir: 32 dan Zainakhsyari: 24-25). Para sarjana
Syi’ah, atas kewenangan para imam, menegaskan dengan keras bahwa basmalah merupakan ayat dalam surat al-Fatihah
dan surat-surat lainnya. Imam keenam menyatakan bahwa basmalah merupakan ayat terbesar dalam “Kitab Allah” (Thabalsiz 38f.;
Thabathaba’i: 22f.).
2.
Segala Puji Bagi Allah, Tuhan
Sekaliam Alam
Al-hamd (pujian) adalah syukur kepada Allah atas
segala nikmat yang diberikan-Nya di dunia ini dan pahala yang dilimpahkan-Nya
di akhirat kelak. Rasulullah berkata, “Ketika engkau berkata, ‘Segala puji bagi
Allah, Tuhan seru sekalian alam,’ engkau berterima kasih kepada Tuhan dan Ia
akan menambah nikmat-Nya kepadamu.” Nabi juga berkata, “Tiada yang lebih
menyenangkan Allah daripada rasa syukur. Untuk alasan inilah ia memuji diri-Nya
sendiri dengan mengatakan ‘Segala puji bagi Allah...”’ (Thabarsi: l36f.). Dalam
sebuah hadits qudsi, Tuhan berkata, “Pujian-Ku terhadap diri-Ku sendiri
mengikuti puji-pujian hamba-Ku. Pujian-Ku terhadap diri-Ku sendiri sejak semula
keabadian (‘azal) bukan untuk maksud
lain kecuali semata-mata untuk pujian, sementara puji-pujian dari hamba-hamba-Ku
disertai motivasi-motivasi.” Dikatakan bahwa Tuhan memuji diri-Nya dalam
keabadian yang tak bermula untuk kebesaran rahmat-Nya. karena hamba-hamba-Nya
tidak dapat memuji-Nya (semata-mata hanya karena-Nya), maka Ia memuji diri-Nya
sendiri atas nama mereka. Rasulullah berkata, “Aku tidak dapat menyebut
puji-pujian satu demi satu atas nama kalian.” (Qurthubi: 135).
Puji-pujian (al-hamd), bagi para sufi,
merupakan tindakan memanifestasikan' kesempurnaan Allah yang dipuji.
Kesempurnaan Allah yang mulia itu dimanifestasikan dalam sifat-sifat,
perbuatan-perbuatan dan pengaruh-pengaruh-Nya (dalam penciptaan). Seorang
syaikh yang terkemuka, Dawud al-Qayshari, berkata:
Puji-pujian
dapat dilakukan melalui kata-kata, tindakan-tindakan dan melalui keadaan-keadaan
sufistik (hal). Yang pertama adalah
pujian dengan lidah, di mana Tuhan memuji diri-Nya sendiri melalui lidah-lidah
para Nabi-Nya. Puji-pujian melalui perbuatan adalah pelaksanaan
tindakan-tindakan jasmaniah dalam memuji, perbuatan-perbuatan baik dengan
maksud semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya dan berada dekat dengan
kehadiran-Nya yang mulia. Ini disebabkan, karena puji-pujian itu diinginkan
oleh lidah, maka ia pun diinginkan oleh setiap anggota tubuh dalam keadaan apa
pun... Sedangkan untuk pujian dalam keadaan mistik, maka hal itu tergantung
kepada jiwa (ruh) dan hati (qalb) dan
apakah mereka mempunyai kesempurnaan pengetahuan dan tindakan, serta
pelaksanaan sifat seseorang secara sesuai dengan sifat Tuhan. Manusia diikat
oleh Tuhan melalui Nabi-nabi-Nya untuk membentuk sifat mereka -agar sesuai
dengan sifat Tuhan, sehingga, kesempurnaan menjadi fakultas-fakultas jiwa dan
esensi mereka. Dalam kenyataannya, ini merupakan puji-pujian Allah atas
diri-Nya sendiri dalam keragaman tingkat kesempurnaannya, yang dikenal sebagai
manifestasi-manifestasi, tetapi yang tiada lain selain dari diri-Nya sendiri.
Sedangkan untuk pujian-Nya terhadap diri-Nya sendiri dalam cara Tauhid melalui
firman-Nya, maka itu merupakan apa yang ia ucapkan dalam, buku-buku dan Kitab-kitab
Suci-Nya (shuhuf), membuat
sifat-sifat kesempurnaan-Nya diketahui. Pujian-Nya melalui tindakan merupakan
manifestasi sifat-sifat kecantikan-Nya... dan keagungan, dari yang tersembunyi
menjadi yang nyata termanifestasi... Puji-puji-Nya melalui keadaan-keadaan
sufistik (hal) merupakan manifestasi
esensi-esensi-Nya dalam pancaran-pancaran pertama dan pemancaran sinar
cahaya-Nya yang abadi. Ia merupakan Zat yang memuji dan merupakan satu-satunya
yang dipuji, baik dalam kesatuan maupun keragaman. Dengan demikian, dikatakan,
“Aku telah ada bahkan sebelum hijab disingkapkan/maka aku membayangkan bahwa
aku merupakan seorang yang mengingatmu/namun ketika malam diterangi, aku
bersaksi bahwa engkaulah yang diingat, ingatan dan yang mengingat” (Haqqi: 11).
Para
mufassir telah berbeda pendapat mengenai arti kata ‘alamin yang secara harfiah
berarti alam semesta. ‘Alamin adalah kata majemuk dari kata ‘alam. Sebagian mereka
menyatakan bahwa manusia, pada setiap generasi, adalah sebuah alam (‘alam), seperti dinyatakan dalam Fiman
Tuhan:
”Mengapa kamu mendatangi jenis
laki-laki dari al-‘alamin
(al-Qur’an 26: 165). Dari kewenangan Ibn ‘Abbas, diceritakan bahwa al-‘ala-min adalah manusia dari jin,
seperti dalam firman Tuhan,”... Agar ia menjadi pemberi peringatan kepada al-‘alamin” (al-Qur’an 25: 1). Sebagian
di antara para Mufassir telah berkata bahwa al-‘alamin
merujuk kepada seluruh makhluk yang diberi rizki/makanan oleh Allah dan setiap
makhluk hidup yang bergerak di permukaan bumi. Wahb Ibn Munnabih berkata,
“Tuhan telah menciptakan delapan belas ribu alam dan dunia ini hanyalah satu di
antaranya.” Ahli tata bahasa, al-Khalil, menyebutkan, ”Kata itu (‘alama) merupakan sesuatu yang memberi
tanda-tanda (‘alama), yang
menunjukkan bahwa ia memiliki Pencipta dan Penguasa” (Qurthubi: 138f.).
Al-Razi,
yang tafsirnya mungkin adalah tafsir paling filosofis, menjelaskan kata al-‘alamin sebagai berikut:
Telah
dikukuhkan melalui bukti yang jelas bahwa di luar dunia ini, ada ruang yang
tidak terbatas. Sama juga dengan itu, telah dibuktikan bahwa Allah Yang Maha
Mulia mampu mengaktualisasikan segala kemungkinan. Maka Ia pun mampu
menciptakan beribu-ribu alam selain dunia ini dan masing-masingnya lebih luas
dan lebih lebar ketimbang dunia ini. Lebih jauh lagi, di dalam setiap alam, terdapat
obyek-obyek yangsama dengan yang terdapat di dunia ini,seperti halnya
Singgasana dan Tempat Duduk, langit dan bumi, serta matahari dan bulan. Dengan
demikian, Tuhan seru sekalian alam adalah Tuhan segala sesuatu, baik hal-hal
yang dapat dilihat dan dibayangkan maupun yang tidak (6-7).
3.
Maha Pengasih, Penyayang
4.
Penguasa di Hari Pengadilan
Malik (baca: Maalik – yang secara harfiah berarti pemilik atau
penguasa) Hari Pengadilan dan malik
(baca: malik, raja) di Hari Kiamat
merupakan dua cara membaca yang para mufassir sering berbeda pandangan
mengenainya. Mereka yang lebih menyukai malik
(pemilik, penguasa) mengatakan, atas kewenangan Ibn ‘Abbas, bahwa pada Hari
Pengadilan, Tuhan akan merupakan Penguasa segala sesuatu. Dari
penguasa-penguasa di dunia ini, tidak seorang pun yang bebas dari perhitungan
pengadilan-Nya. Sementara itu, mereka yang lebih cenderung memilih malik
(raja), yang merupakan model bacaan lain, mengatakan bahwa ”... Kekuasaan hanya
milik Tuhan sendiri dan bukan milik salah satu dari makhluk-makhluk-Nya
(sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an)... ‘Kepunyaan siapakah kekuasaan pada hari ini (Hari Pengadilan) –Kepunyaan
Allah, Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan’ (al-Qur’an 40: 16)... Kekuasaan
bukan milik siapa-siapa, kecuali milik Tuhan dan karena itulah maka Ia adalah malik (raja). Namun, boleh jadi bahwa seorang
penguasa pada saat yang sama bukan merupakan seorang raja, sementara seorang
raja selalu merupakan seorang penguasa” (Thabari: 148-50; lihat juga Zamakhsyari:
56-9; Qurthubi: I40f.; dan Syawkani: 22. Syawkani, seperti mufassir-mufassir Syi‘ah
lainnya, lebih cenderung memilih malik (maalik) -lihat Thabarsi: 52 dan
Thabathaba’i 11: 22 dan 25).
5.
Hanya kepada-Mu /cami menyembah
dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan.
6.
Tunjukilah kami jalan yang
lurus.
Tunjukilah
kami (ihdina) pada awalnya
ditafsirkan dalam pengertian (atas kewenangan ‘Ali) ”teguhkanlah kami”. Kata shirath dikatakan berasal dari kata
kerja “sharatha” yang berarti “menelan”,
sebagaimana jalan “menelan” seseorang dari penglihatan. Di dunia ini, shirath adalah jalan kebenaran, yaitu
agama Islam. Di akhirat nanti, shirath
merupakan jembatan di atas neraka yang harus dilewati seluruh manusia untuk
mencapai surga (lihat Thabari: 166-77; Zamakhsyari: 67; Razi: 254-8; dan Qurthubi:
l47f.). Imam Syi‘ah yang keenam, Ja‘far al-Shadiq, menyatakan demikian: “Panjangnya
jembatan sama dengan seribu tahun pendakian dan penurunan... jembatan itu lebih
halus dibandingkan dengan rambut dan lebih tajam ketimbang mata pedang.
Sebagian orang akan mampu menyeberanginya secara kilat, sementara yang lainnya seperti
kuda betina yang sedang berjalan. Yang lainnya akan melewatinya dengan langkah
kebingungan, sementara yang lainnya lagi seperti merangkak. Sebagian lainnya
akan melewatinya dengan tertunda-tunda dan sebagian tubuh mereka termakan api
(di atas mana mereka tergantung)” (Qummi I 29).
Mufassir-mufassir
lain memandang shirath sebagai
al-Qur’an, seperti diriwayatkan dari Nabi atas kewenangan ‘Ali dan Ibn Mas‘ud. Sebagian
mufassir menjelaskannya sebagai ”... iman yang benar, yang Allah tiada menerima
apa pun dari hamba-hamba-Nya selainnya” (Thabarsi: 59). Kaum Syi‘ah sudah sejak
lama berpendapat bahwa shirath
merujuk kepada ‘Ali, Imam mereka yang pertama, atau kepada Nabi dan
keturunan-keturunannya, yakni para imam, yang ”... merupakan wakil-wakil mereka
yang sesungguhnya (Thabarsi: 59).
7.
Jalan mereka yang telah Engkau
beri nikmat dan bukan jalan mereka yang
Engkau murkai dan sesat
Kebanyakan
mufassir memasukkan orang-orang Yahudi ke dalam mereka yang dimurkai Tuhan dan orang-orang
Kristen ke dalam kelompok orang-orang yang sesat (Thabari: 185-95: Zamakhsyari:
71). Namun. sebagian mufassir lainnya mempermasalahkan pandangan ini karena
teksnya tidak merujuk secara khusus kepada suatu masyarakat tertentu, dan telah
memilih untuk mempertahankan arti umum teks tersebut yang merujuk kepada dua
jenis manusia dan bukan dua masyarakat keagamaan tertentu. Nisaburi mengatakan bahwa mereka yang dimurkai Tuhan adalah mereka
yang lalai dan alpa, dan mereka yang sesat adalah mereka yang tidak mampu menjaga
keseimbangan dan bersikap wajar” (Nisaburi: 113. Untuk pembahasan yang lebih
menyeluruh mengenai pandangan-pandangan yang berbeda ini, lihat Thabarsi:
64f.). Bagi para Sufi, ayat tersebut juga merujuk kepada jenis-jenis manusia. Diriwayatkan
bahwa Ibn ‘Asa’ berkata:
Mereka yang diberi
nikmat Allah memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Para sufi merupakan
mereka yang diberi pengetahuan oleh Allah; para wali (awliya’) yang dianugerahi
kebenaran, kepuasan, kepastian dan pemilihan. Orang-orang yang benar telah
Allah anugerahi dengan kebaikan dan kelemahlembutan; para murid (muridun) telah
Ia anugerahi dengan manisnya kepatuhan; dan orang-orang yang beriman telah Ia
anugerahi dengan kebajikan moral dan kejujuran. Dikatakan juga bahwa mereka
(yang Allah anugerahi nikmat) adalah para Nabi dan orang-orang yang benar, para
syuhada’ dan orang-orang saleh; seperti yang dikatakan Allah, ”Mereka ini merupakan
orang-orang yang kepada mereka Tuhan menganugerahkan nikmat-Nya yang ia berikan
kepada Nabii dan orang-orang yang benar, para syuhada’ dan (orang-orang yang
Saleh...” (al-Qur’an 4: 69) (Haqqi: 22).
“Mereka
yang mendapat kutukan Tuhan adalah orang-orang yang berontak, dan mereka yang telah
sesat adalah mereka yang tidak memiliki pengetahuan, karena mereka yang
dianugerahi nikmat oleh-Nya adalah mereka yang memadukan pengetahuan dan
tindakan... Mungkin saja yang dimaksud dengan yang pertama adalah orang-orang
Yahudi dan yang kedua adalah orang-orang Kristen... Namun, menisbatkan kemurkaan
Tuhan kepada orang- orang Yahudi dan kesesatan kepada orang-orang Kristen adalah
sesuatu yang tidak disengaja” (Haqqi: 24f.). Akhirnya penulis memilih rujukan
yang umum kepada orang-orang yang sesat dari jalan yang dapat menyampaikan manusia
kepada Allah.
(Amin)
Kata
amin (kabulkanlah permohonan kami)
adalah kata yang ditambahkan dalam shalat. Namun orang-orang Syi‘ah tidak
membacanya dan menggantinya dengan membaca hamdalah
(lihat Qurthubi: 127-81 dan Thabarsi: 65).
Akhirul Kalam
Secara
keseluruhan, Surat al-Fatihah menyuguhkan kata atau ucapan Tuhan yang sudah
sangat tua, yang sejak keabadian (‘azal)
tetap tidak terucapkan, hingga ia memasuki eksistensi manusia yang sementara
dan menjadi dialog antara Tuhan dan manusia melalui membacanya dalam shalat. Al-Fatihah
bukan merupakan doa yang diajarkan kepada manusia, seperti Yesus memerintahkan murid-muridnya,
“Jika kalian sembahyang, katakanlah...” (Lukas 11: 2 dan Matius 6: 9). Namun ia
merupakan sebuah doa yang diucapkan Tuhan sendiri, atas nama hamba-hamba-Nya
yang beriman dan yang mereka baca setiap kali mereka melakukan shalat.
Al-Fatihah
mengetengahkan tiga sifat Tuhan: kasih sayang, kekuasaan dan keadilan, dalam
suatu Cara yang singkat. Dengan begitu, Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang,
'merupakan sumber kasih sayang yang tiada habis-habisnya untuk makhluk-makhluk-Nya.
Sebagai Tuhan segala makhluk dan Penguasa Hari Pengadilan, Ia juga merupakan
Tuhan keagungan, kekuasaan dan keadilan, di atas segala sesuatu. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang saleh mengutarakan kata-kata dalam bentuk puji-pujian
kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, dengan harapan akan dan rasa syukur atas
kasih-Nya. Dalam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Adil akan bimbingan
menuju jalan yang lurus, mereka mengekspresikan ketakutan dan kesadaran penuh
akan kekuatan Tuhan.
Sebagai
sebuah ekspresi mengenai keadilan Tuhan, al-Fatihah membagi manusia ke dalam
dua kategori dilihat dari konteks bimbingan dan pelanggaran. Para mufassir yang
memberikan label kemanusiaan kepada pengadilan Tuhan yang universal, telah melakukan
distorsi terhadap karakter universal surat al-Fatihah. Mereka telah memeras hak
prerogatif Tuhan dengan melampaui pengadilan tentang siapa yang berhak atas
ampunan Tuhan dan siapa pula yang patut menerima kutukannya. Mereka telah membatasi
kasih dan sayang Tuhan kepada nama-nama dan institusi-institusi manusia. Biar
pun demikian, al-Fatihah tetap merupakan doa yang universal, melampaui batas penilaian
dan institusi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar