ISLAMISASI SAINS DENGAN PSIKOLOGI SEBAGAI
ILUSTRASI
Oleh: Hanna Djumhana
Bastaman
Hanna
Djumhana Bastaman, yang lahir pada 4 November 1939 di Padaherang, Jawa barat,
adalah staf pengajar pada jurusan Psikologi Klinis, Fak. Psikologi, Universitas
Indonesia, Depok. Selain aktif sebagai psikolog klinis di RSCM dan RSPAD, ia
juga aktif sebagai koordinator mata kuliah Ilmu Perilaku Terapan pada Akademi
Pariwisata, Universitas Trisakti, Jakarta. Psikolog yang banyak berminat dengan
gagasan Psikologi Islam dan Psikologi Humanis ini banyak menulis artikel
tentang psikologi dalam beberapa majalah, seperti Psikologi Anda, Indonesian Magazine dan lain-lain.
Profesor
Toshihiko Izutsu, guru besar Institute of Culture and Linguistics Studies, Keio
University, Tokyo, dalam bukunya God and
Man in Koran: Semantics of the Koranic Weltanshauung, menyatakan adanya dua ragam tanda (sign, ayat) Tuhan yang perlu diketahui
dan dipahami. Pertama, tada-tanda (ayat-ayat) yang bercorak linguistik/verbal,
dan menggunakan bahasa insani (bahasa Arab-Qur’ani). Kedua, tanda-tanda
(ayat-ayat) yang bercorak non-verbal berupa gejala-gejala alami.
Keduanya
diturunkan Allah swt. untuk manusia agar mereka menelaah dan mendalaminya untuk
kemudian memahami keagungan-Nya dan beriman kepada-Nya. Dalam pandangan Islam,
tanda-tanda (ayat-ayat) Ilahi yang bercorak verbal dimasyhurkan sebagai Firman
Ilahi yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya(c.q. Muhammad saw.) dan dituliskan
berupa Kitab Suci (c.q. Al-Qur’an). Sedangkan ayat-ayat yang bercorak
non-verbal dan “tertulis” dalam semesta alam ciptaan-Nya disebut sebagai
sunnatullah. Sunnatullah sering diartikan sebagai pengatur atau ketetapan Ilahi
yang berlaku pada seluruh ciptaan-Nya,yang di lingkungan ilmu pengetahuan
dikenal sebagai hukum alam (nature’s
law).
Sebagai
ayat-ayat yang sama-sama bersumber dari Allah swt. sebenarnya antara al-Qur’an
dengan sunnatullah tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya (walaupun dapat
dibedakan), karena keduanya pada hakekatnya sama-sama mengandung kebenaran dari
Tuhan. Ini antara lain dapat kita amati dari cukup banyaknya ayat-ayat suci
al-Qur’an yang mengungkapkan azas-azas sains. Dan sebaliknya, banyak
prinsip-prinsip dan temuan-temuan ilmiah yang membuktikan kebenaran-kebenaran
al-Qur’an. Tetapi dengan berkembangnya waktu dan pemikiran serta kesejahteraan
masing-masing, antara agama dan sains seakan-akan menjadi terkotak-kotak: agama
menjadi lahan para agamawan dengan iman (dan akal budi) sebagai sarana
pemahamannya, sedangkan sains merupakan ajang para ilmuwan dengan akal budi
(dengan/tanpa iman) sebagai sarana utama analisisnya. Bahkan antara agama dan
sains terdapat perbedaan prinsip berpikir yang seakan-akan bertentangan satu
sama dengan lainnya, seperti disinyalir oleh Hidayat Nataatmadja antara lain
sebagai berikut:
Prinsip Berpikir
Ilmiah
|
|
Ilmiah Kontemporer
|
Ilmiah Agamawi
|
1.
Empiris
2.
Rasional
3.
Obyektif-imparsial
4.
Relativisme
moral berpijak pada ekuivalen sistem referensi.
5.
Agnostik
terhadap hakikat spiritual.
6.
Aksioma:
sembarang spekulatif
7.
Pendekatan
parsial menurut disiplin, baru kemudian dicoba dihubungkan menjadi satu.
|
1.
Empiris-metaempiris
2.
Rasional-intuitif
3.
Obyektif-partisipatif
4. Absolutisme
moral berpijak pada prinsip keunikan sistem
5. Eksplisit
mengungkapkan kemampuan spiritual
6.
Aksioma
diturunkan dari ajaran agama
7. Pendekatan
holistik menurut model manusia seutuhnya, baru spesialisasi ke bidang
disiplin.
|
Apakah dengan
demikian timbul pertentangan antara ilmuwan dengan agamawan? Soedewo P.K.,
dalam bukunya Islam dan Ilmu Pengetahuan, mengamati gejala ini sebagai berikut:
Di antara
ahli-ahli ilmu pengetahuan banyak terdapat orang yang setia kepada agamanya,
dan di kalangan kaum agama banyak yang sama sekali tidak merasa asing dalam
dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi tidak sedikit pula ahli ilmu pengetahuan
yang tak acuh akan agama, bahkan memusuhinya dan terang-terangan muncul dan
memusuhinya. Karena itu timbul anggapan pada sebagian orang, seakan-akan ada
“perang dingin” atau pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan, dan
sebagian lagi bertanya-tanya bagaimana sebenarnya duduk perkaranya.
Pemisahan dan
pengotakan ini jelas akan menimbulkan kepincangan-kepincangan yang merugikan:
agama tanpa dukungan sains akan tidak menjadi mengakar pada realitas dan
penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh azas-azas agama dan sikap
keagamaan yang baik akan tumbuh menjadi liar dan menimbulkan dampak merusak.
Lebih-lebih dalam kurun sains dan teknologi seperti sekarang ini!
Oleh karena
itu tidak mengherankan apabila di kalangan para cendekiawan Muslim timbul
pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan Islamisasi sains yang pada hakikatnya
merupakan ungkapan keinginan untuk menghubungkan kembali sains dengan agama
dalam visi modern, dan memandang sains sebagai upaya manusia untuk membuka
rahasia sunnatullah, yang semuanya didasari oleh kesadaran bahwa agama dan
sains merupakan kurnia Allah swt. kepada manusia.
Islamisasi
Sains
Sejak
penghubung kurun 14 hijriah pemikiran-pemikiran mengenai Islamisasi sains telah
berkembang di kalangan cendekiawan Muslim. Hal ini mungkin sejalan dengan makin
disadarinya ketimpangan-ketimpangan yang merugikan akibat terpisah dan terkotak-kotaknya
sains dengan agama, antara lain berupa perkembangan ilmu dan teknologi yang
makin lama makin canggih, tetapi ternyata makin meninggalkan nilai-nilai etis
dan agamis. Sebaliknya agama yang tidak mendapat dukungan ilmu dan teknologi
disinyalir makin “tidak laku” di lingkungan masyarakat maju yang “ilmiah minded”.
Pemikiran-pemikiran
mengenai “Islamisasi pengetahuan”(Ismail Raji al-Faruqi), “dewesternisasi
pengetahuan” (Naquib al-Attas), dan gerakan-gerakan “AMSS” (Association of
Muslim Social Scientists) di Amerika Serikat merupakan gambaran dari keinginan
untuk memberi warna agamis pada sains. Di kalangan psikolog Muslim pemikiran
dan gerakan-gerakan serupa itu mulai bersemi, antara lain terungkap dalam
tulisan Malik M. Badri The Dilemma of
Muslim Psychology, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa-nya Utsman Najati, dan gerakan The Islamic Psychology-nya Rashid Hamid.
Walaupun
pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan tersebut sejauh ini masih terkesan
sporadis dan belum terpadu, tetapi pada awal kurun 15 hijriah tampaknya
islamisasi sains telah menjadi tema sentral yang trendy di kalangan cendekiawan Muslim.
Yang dimaksud
dengan “islamisasi sains” sampai saat ini tampaknya benar-benar masih merupakan
gagasan mendasar yang masih berkembang dan mungkin saja masih kontroversial
antara pandangan yang satu dengan yang lainnya, serta masih memerlukan waktu
yang lama untuk mewujudkan “sains yang islami”. Sehubungan dengan itu dengan
sendirinya masih banyak peluang untuk memikirkan konsep dan gambaran mengenai
islamisasi sains. Dalam tulisan sederhana ini “islamisasi sains” diartikan
sebagai upaya untuk menghubungkan kembali sains dengan agama, yang berarti
menghubungkan kembali sunnatullah dengan al-Qur’an yang keduanya pada
hakekatnya merupakan ayat-ayat Tuhan.
Terlepas dari disadari atau tidaknya tujuan islamisasi sains, usaha-usaha
menghubungkan sains dengan agama (Islam) sebenarnya telah lama dilakukan para
ahli dalam tulisan-tulisan mereka dalam pola hubungan yang beragam.
Sejauh
pengamatan penulis, ada beberapa bentuk pola pemikiran “islamisasi sains”,
mulai dari bentuk yang paling superfisial sampai dengan bentuk yang agak
mendasar, yang penulis istilahkan sebagai berikut:
1.
Similarisasi
2.
Paralelisasi
3.
Komplementasi
4.
Komparasi
5.
Induktifikasi
6.
Verifikasi
Similarisasi:
menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal
dari agama, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap bahwa roh sama dengan
jiwa, atau nafs al-ammarah, nafs
al-lawwamah dan nafs al-muthmainnah
dari al-Qur’an dianggap identik dengan konsep-konsep id, ego, dan superego dari
psikologi, atau menyamakan superego dengan qalb. Penyamaan serupa ini
sebenarnya lebih tepat disebut siilarisasi semu, yang dapat mengakibatkan
biasnya sains dengan direduksinya agama ke taraf sains.
Paralelisasi:
menganggap sejalan (parallel) konsep yang berasal dari al-Qur’an dengan konsep
yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya, tanpa menyamakan
(mengidentikkan) keduanya. Misalnya menganggap Perang Dunia III sejalan dengan
kiamat, atau menjelaskan perjalanan Isra’ Mi’raj sejalan dengan perjalanan ke
ruag angkasa dengan menggunakan rumus fisika S=v.t (jarak = kecepatan x waktu)
di mana factor velocitas/kecepatan =
tak hingga. Paralelisasi sering dipergunakan sebagai scientific explanation atas kebenaran ayat-ayat al-Qur’an dalam
rangka menyebarkan syiar Islam kepada kelompok masyarakat tertentu.
Komplementasi:
antarai sains dengan agama saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, tetapi
tetap mempertahankan eksistensi masing-masing. Misalnya manfaat puasa Ramadhan
(untuk kesehatan) dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dari ilmu kedokteran. Atau kebijakan Keluarga Berencana
didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam hal ini tampaknya
terjadi saling mengabsahkan/justifikasi antara sains dengan agama.
Komparasi:
membandingkan konsep/teori sains dengan konsep/teori agama mengenai
gejala-gejala yang sama, misalnya teori motivasi dari ilmu jiwa dibandingkan
dengan konsep motivasi yang dijabarkan dari ayat-ayat al-Qur’an.
Induktivikasi:
asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan
empiris dilanjutkan pemikirannya secara teoriretis-abstrak ke arah pemikiran
metafisika/gaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan
al-Qur’an mengenai hal tersebut. Teori mengenai adanya “sumber gerak yang tak
bergerak” dari Aristoteles misalnya merupakan contoh dari proses induktivikasi
dari pemikiran agamis. Contoh lainnya: adanya keteraturan dan keseimbangan yang
sangat menakjubkan di alam semesta ini menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar
yang mengatur.
Verifikasi:
mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan
kebenaran (ayat-ayat) al-Qur’an. Misalnya penelitian mengenai potensi madu
sebagai obat yang dihubungkan dengan Q. an-Nahl: 69 dan Hadits “Lazimkanlah memakai dua macam obat, yaitu
al-Qur’an dan madu” (riwayat Ibn Majah). Atau penelitian mengenai efek
pengalaman dzikir kepada Allah terhadap ketenangan perasaan.
Keenam pola
pemikiran tersebut tampaknya harus dihargai sebagai upaya menghubungkan sains
dengan agama dalam rangka upaya Islamisasi sains, walaupun masih saja tetap
terasa adanya jurang pemisah antara keduanya. Agama, yang pada dasarnya
bersumber dari keimanan/wahyu, yang bercorak metafisis, tidak begitu saja dapat
dihubungkan dengan sains yang lebih bercorak empiris dan merupakan produk akal
dan intelektual manusia. Terasa ada semacam missing
link antara keduannya, yangharus dicari sebagai bentuk lain yang lebih
mendasar dalam proses Islamisasi sains. Menurut penulis, the missing link yang dapat menghubungkan sains dengan agama harus
lebih bercorak falsafi/metafisis serta didukung oleh sikap islami dari para
cendekiawan Muslim sendiri mengenai status sains terhadap agama.
Pola pemikiran
yang diajukan ini untuk sementara penulis sebut sebagai fondasi falsafi dan sikap islami, yang artinya memberikan landasan
filsafat yang bercorak islami kepada sains. Ini didukung oleh kesetujuan para
ilmuwan sendiri untuk percaya dan mengakui, bahwa al-Qur’an sebagai firman
Allah yang tertulis mengandung kebenaran paripurna (the ultimate truth) yang senantiasa dicari sepanjang masa oleh
sains. Dengan demikian, selain meletakkan fondasi falsafah islami, sains
memerlukan pula sikap islami (the Islamic
attitude) dari para ilmuwan sendiri, yang berarti “mengislamkan” para
ilmuwan sendiri.
Adapun secara
operasional, pola pemikiran ini bekerja kira-kira sebagai berikut: ayat-ayat
al-Qur’an (dan Hadits) mengenai suatu masalah tertentu (alam, manusia, sosial,
budaya, dan sebagainya) dikumpulkan dan diintegrasikan sedemikian rupa sehingga
kita mendapat wawasan mengenai masalah itu, kemudian disarikan menjadi filsafat
Islam mengenai masalah tersebut. Di lain pihak filsafat dari sains tertentu
(filsafat alam, filsafat antropologi, filsafat sosial, filsafat budaya, dan
sebagainya), yang beraneka ragam itu, dihubungkan dengan filsafat islami
mengenai bidang yang sama.
Dalam hal ini
mungkin saja keduanya sesuai, sejalan dan sinkron, tetapi mungkin pula tidak,
bahkan bertentangan. Menghadapi suasana pertentangan ini, diperlukan sikap
rendah hati dari para cendekiawan Muslim sendiri, yakni bersedia untuk
menempatkan agama (c.q. Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang harus menjadi
landasan, pengarah, dan penyempurna, serta sumber ilham yang tak habis-habisnya
bagi sains.
Sikap islami
lainnya adalah keyakinan bahwa sains merupakan upaya manusia untuk membuka
sunnatullah dengan tujuan menemukan kebenaran melalui akal budi dan keimanan
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan kesadaran bahwa kebenaran yang
ditemukan oleh sains bukanlah kebenaran paripurna. Kebenaran paripurna
terkandung dalam al-Qur’an!
Psikologi:
Gambaran Umum
Sebagai salah
satu disiplin ilmu mempelajari manusia yang bersifat multikompleks dan
memungkinkan sudut pandang serta pendekatan yang berbeda-beda, tidaklah
mengherankan bila definisi mengenai psikologi sangat beraneka ragam. Merujuk
kepada etimologinya (psyche = jiwa,
rohani; logos = sains), maka semula
psikologi sering diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai jiwa manusia.
Tetapi jiwa sebagai sasaran telaah dianggap terlalu abstrak dan tak mungkin
diteliti secara utuh. Maka psikologi membatasi diri untuk hanya mempelajari
gejala-gejala kejiwaan, khususnya kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan.
Kemudian untuk lebih mendapatkan kejelasan sasaran telaah, metodologi dan
efektivitas teknik-teknik pendekatannya, maka psikologi modern menyatakan diri
sebagai sains yang mempelajari perilaku manusia dengan asumsi bahwa perilaku
merupakan ungkapan dan cerminan dari kondisi, proses, dan fungsi-fungsi
kejiwaan.
Ditetapkannya
perilaku sebagai sasaran telaah psikologi modern, di satu pihak, makin
menegaskan proses psikologi sebagai disiplin ilmu dengan sasaran telaah serta
metode pendekatan dan teknik-teknik penerapan yang lebih terarah. Tetapi, di
lain pihak, penekanan yang berlebihan pada perilaku yang semata-mata teramati
dengan metodologinya yang makin kuantitatif-matematis menyebabkan psikologi
makin lama makin tak-insani dan manusia yang digambarkannya pun seakan-akan
dihilangkan roh-nya, seperti disindir
oleh Malik Badri sebagai a psychology without soul studying a man
without soul.
Walaupun
demikian, psikologi sebagai disiplin sains, telah benar-benar memenuhi tolok
ukur ilmu pengetahuan pada umumnya, berdasarkan kriteria berikut:
… adanya
batasan tentang sasaran studi (sebagaimana dirumuskan dalam definisinya sebagai
disiplin), dan atas dasar itu menetapkan konsep-konsep dasar dengan ruang
lingkup yang relatif jelas; atas dasar mana terbuka kemungkinan untuk menyusun
teori-teori dan kaidah-kaidah (dalil, hukum, dan sebagainya); serta memiliki
cara (metode) serta alat (teknik) dalam terapannya; dan kesemuanya itu bersifat
terbuka (publik) dapat diajarkan dan dipelajari.
Selain
posisinya yang makin teguh dan diakui dalam dunia sains, sumbangsih psikologi
terhadap masyarakat telah sejak lama dirasakan manfaatnya. Ini antara lain
terlihat dari makin berkembangnya ragam psikologi terapan, seperti Psikologi
Klinis, Psikologi Sosial,Psikologi Perkembangan, Psikologi Industri, Psikologi
Olah Raga, Psikologi Agama, Psikologi Kemiliteran, dan sebagainya.
Dilihat dari
sejarahnya, pemikiran-pemikiran mengenai jiwa manusia sebenarnya telah sejak
lama diungkapkan oleh para cendekiawan, bahkan Kitab-kitab suci (khususnya
al-Qur’an) sarat dengan azas-azas psikologi. Tetapi, sebagai sains modern,
psikologi dianggap baru muncul di medan ilmu pengetahuan setelah Wilhelm Wundt
mendirikan laboratorium khusus untuk psikologi di Universitas Leipzig sekitar
seabad yang lalu. Setelah itu psikologi makin pesat berkembang metodologi dan
teknik-tekniknya, serta berbagai alirannya seperti aliran-aliran structuralism, associationism, psycho-analysis,
functionalism, gestaalt theory, behaviorism, dan humanistic psychology.
Model-model
Manusia dalam Psikologi
Setiap aliran,
teori, system, metode, dan teknik-teknik psikologi pada umumnya dilandasi dan
diwarnai oleh model of man, yakni
wawasan mengenai manusia yang dikembangkan oleh masing-masing aliran psikologi.
Dewasa ini di dunia psikologi dianut bermacam-macam model manusia, yakni: model biologic, yang dominan dalam ilmu
kedokteran yang tampaknya akhir-akhir ini makin “laku” di lingkungan psikologi;
model psiko-sosial yang meliputi
model psiko-analisis, model behavioristis, model humanistis, model
eksistensial, dan model interpersonal.
Model-model
tersebut mengandung kelemahan dasar yang sama, yakni cenderung hanya
menitikberatkan konsepnya pada salah satu dimensi penghayatan pribadi, atau
dimensi sosiokultural semata-mata. Menyadari ketimpangan tersebut para ahli
psikologi dan psikiatri mengajukan sebuah model yang lebih komprehensif yang
bercorak “eklektik-holistik”, yakni keseluruhan yang terdiri dari tri-unsur:
organo-biologik, psiko-edukatif, dan sosio-kultural, yang saling mempengaruhi.
Hadirnya wawasan mengenai manusia yang bercorak komprehensif serupa itu adalah
sangat relevan, walaupun – menurut penulis – masih mengabaikan satu dimensi
terpenting dan paling menentukan dari manusia, yakni dimensi spiritual (rohani)
yang justru menjadi ciri khas insani dan yang membedakannya dari
makhluk-makhluk lain.
Memang, tak
disangkal, ada juga tokoh-tokoh psikologi dan psikiatri yang mengembangkan
teori mengenai manusia dengan mengikutsertakan dimensi spiritual. Viktor
Frankl, pendiri aliran logo-terapi, misalnya, menyebutkan tiga factor yang
menandai eksistensi manusia, yakni: spirituality
(kerohaian), freedom (kebebasan),
dan responsibility (tanggung jawab).
Akan tetapi Frankl sendiri menegaskan bahwa istilah spirituality yang dimaksud tidak mengandung konotasi agama, tetapi
semata-mata merupakan penghayatan maknawi manusia akibat adanya kemampuan
transedensi terhadap dirinya dan terhadap lingkungan. Demikian pua, aliran psikology transpersonal, yang dirintis
oleh tokoh-tokoh psikologi humanistik (antara lain oleh mendiang Abraham
Maslow), yang berusaha mempelajari segi esoteric
(rohani) manusia, ternyata kurang populer di kalangan psikologi masa kini yang
cenderung makin praktis da menitikberatkan perhatian pada ungkapan-ungkapan
yang teramati.
Kondisi serupa
ini benar-benar menimbulkan dilema bagi para psikolog Muslim, karena di satu
pihak disadari banyak model dan aliran psikolog yang “tak islami” tetapi di
lain pihak psikologi “yang islami” sendiri belum terwujud! Oleh karena itu
sepenuhnya dapat dipahami kalau Prof. Dr. Malik Badri menulis buku yang
berjudul The Dilemma of Muslim
Psychologists.
Wawasan
Islam Mengenai Manusia
Salah satu
peluang untuk memahami wawasan Islam mengenai manusia adalah dengan mempelajari
ayat-ayat al-Qur’an (dan Hadits) yang berkaitan dengan riwayat Nabi Adam a.s.,
mengingat bahwa dalam keyakinan Islam Nabi Adam a.s. adalah “cikal bakal” umat manusia
yang diciptakan langsung oleh kuasa dan kehendak Ilahi, dan dengan demikian
merupakan prototipe manusia pada umumnya.
Seperti kita
ketahui, tema-tema utama dalam riwayat Nabi Adam a.s. antara lain sebagai
berikut:
-
Firman
Allah kepada para malaikat mengenai rencana akan dijadikan-Nya khalifah Allah
di bumi (Q. 2:30);
-
Adam
diciptakan dari tanah (Q. 3:59; 15:28,33; 17:61; 36:71);
-
Ditiupkan
roh-Ku (Q. 15:29; 38:72);
-
Allah
swt. mengajarkan keseluruhan nama kepada Adam dan mengujikannya kepada para malaikat
(Q. 2:31,32,33);
-
Para
malaikat bersujud kepada Adam a.s., kecuali iblis yang tidak mau bersujud (Q.
2:34; 7:11; 15:30-31; 17:61; 18:50; 20:116; 38:72,73,74);
-
Alas
an iblis menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam a.s. (Q. 7:121;
15:33; 17:62; 38:76);
-
Iblis
diusir dari surga, ia memohon izin untuk senantiasa menyesatkan manusia (Q.
7:13-18; 15:34-39; 17:62; 38:79-82);
-
Adam
a.s. dan istri beliau tinggal dalam surga (Q. 2:35; 7:19);
-
Adam
a.s. ditipu setan (Q. 2:36; 7:20-22; 20:120-121);
-
Nabi
Adam a.s. bertobat kepada Allah swt. dan mendapatkan ampunan-Nya (Q. 2:37;
7:23-24; 20:122);
-
Nabi
Adam a.s. diperintahkan meninggalkan surga dan tinggal di dunia (Q. 2:36,38;
7:24; 20:123);
-
Dijanjikan
petunjuk-Nya (Q. 2:38; 20:122-124).
Telaah
ayat-ayat mengenai Nabi Adam a.s. menunjukkan gambaran mengenai wawasan islami
mengenai manusia (the Islamic concept of
man) antara lain sebagai berikut:
1.
Wawasan
islami mengenai manusia bercorak teosentris (c.q. Allah-sentris) dan hakikat manusia
terletak dalam relasinya dengan Tuhan di samping relasinya dengan sesama mansia
dan alam.
2.
Manusia
diakui mempunyai martabat yang sangat tinggi. Fungsinya sebagai khalifah Tuhan
di bumi yang dipercaya memegang dan melaksanakan amanah Tuhan menunjukkan
betapa tingginya martabat itu.
3.
Wawasan
Islami mengenai manusia tidak mengenal dosa asal atau dosa keturunan. Ini
berarti bahwa setiap orang harus bertanggung jawab sendiri atas perbuatannya.
Selain itu manusia dapat membersihkan dosa-dosanya dengan jalan bertobat kepada
Tuhan.
4.
Manusia
merupakan totalitas yang memiliki empat dimensi, yakni: dimensi fisik-biologis,
dimensi mental psikis, dimensi sosio-kultural, dan dimensi spiritual (rohani).
5.
Adanya
dimensi rohani (c.q. roh-Ku/roh Ilahi), secara potensial memungkinkan manusia
mampu mengadakan hubungan dan mengenal Tuhannya melalui cara-cara yang
diajarkan-Nya.
6.
Wawasan
islami mengenai manusia mengakui manusia sebagai makhluk yang berakal, memahami
lambang (simbol), intelek dan berilmu pengetahuan serta memiliki kesadaran
normatif.
7.
Manusia
memiliki kebebasan berkehendak (freedom
of will) untuk berusaha mengarahkan dirinya ke taraf keluhuran rohani atau
ke taraf dorongan-dorongan nafsu jasmaniah yang rendah. Dengan sendirinya
kebebasan ini tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh kondisinya sebagai makhluk,
serta tetap dituntut untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
8.
Di
samping keunggulan-keunggulannya, manusia pun memiliki kelemahan-kelemahan yang
memungkinkan mereka terjerumus ke dalam kesesatan.
9.
Eksistensi
manusia ditandai oleh tantangan dan perjuangan yang terus menerus guna
meningkatkan hidup dan kehidupannya. Di antara tantangan-tantangan itu,
tantangan setanlah yang akan terus menerus dihadapi manusia.
10. Manusia tidak dibiarkan hidup tanpa tuntunan
dan petunjuk Tuhan. Kepada mereka diberikan harapan (hope) dan dijanjikan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat
bagi mereka yang mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.
Demikianlah
antara lain gambaran wawasan islami mengenai manusia yang tersirat di balik
riwayat Nabi Adam a.s. Melengkapi wawasan islami mengenai manusia berdasarkan
riwayat Nabi Adam a.s. ini, Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengemukakan semacam struktur kerohanian
manusia dengan aspek-aspeknya sebagai berikut:
1.
Kalbu,
yang mempunyai dua arti, yakni artian fisik (jantung) dan artian
metafisik/kerohanian. Kalbu dalam artian kedua ini dinyatakan beliau sebagai
“suatu karunia Tuhan yang halus dan indah, bersifat rohaniah, yang ada
hubungannya dengan hati-jasmani (c.q. jantung). Kalbu yang halus dan indah
inilah hakekat kemanusiaan, serta menjadi sasaran perintah, sasaran cela,
sasaran hukuman, dan tuntutan dari Tuhan.
2.
Roh,
yang diartikan sebagai nyawa atau sumber hidup dan juga diartikan sebagai
“suatu barang yang halus dan indah dalam diri manusia yang mengetahui dan
mengenal segalanya seperti halnya kalbu dalam artian kedua.”
3.
Nafsu,
yang mempunyai dua arti pula yakni dorongan-dorongan agresif (ganas) dan
dorongan-dorongan erotis (berahi) yang dapat menjadi sumber kekacauan bila
tidak bisa dikendalikan dan diadabkan. Ada pun nafsu dalam artian kedua adalah nafs al-muthmainnah, yakni nafsu yang
suci dan tenang yang searti dengan kalbu dan roh dalam arti kedua.
4.
Akal
atau daya pikir yang dapat diartikan sebagai kemampuan atau potensi
inteligensi, yang dapat disamakan dengan ketiga unsur di atas dalam artian
metafisik.
Dari
uraian singkat di atas nyata bahwa keempat unsur (kalbu, roh, nafsu, akal)
dalam artian pertama merupakan aspek kejiwaan yang tak asing lagi bagi para
psikolog, tetapi unsur-unsur dalam artian kedua sejauh ini hanya menjadi ajang
telaah dan olahan para ahli sufi, yang mungkin kelak “tersentuh” oleh psikologi
islami!
Islamisasi
Psikologi: Mungkinkah?
Sejalan
dengan pola pemikiran fondasi falsafi dan sikap islami sebagai salah satu
bentuk usaha ke arah islamisasi sains, maka yang dimaksud dengan “islamisasi
psikologi” dalam tulisan ini adalah landasan filsafat kepada psikologi berupa
wawasan islami mengenai manusia. Ini bukan berarti menghapus atau menganggap
salah sama sekali wawasan-wawasan , teori, sistem metodologi, dan teknik-teknik
pendekatan yang sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi dewasa ini.
Melainkan bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan melakukan penafsiran
baru serta memberikan pandangan integral terhadap konsep-konsep yang sudah ada.
Untuk itu diperlukan telaah-banding antara wawasan-wawasan islami dengan
wawasan psikologi mengenai manusia, dicari persamaan dan perbedaannya serta
komplementasinya, kemudian dilakukan reorientasi-falsafi dari wawasan psikologi
kepada wawasan islami mengenai manusia.
Di
sinilah perlunya mengembangkan sikap kesetujuan para psikologi Muslim untuk mau
menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama, untuk mendapatkan
patokan kebenaran ilmiah psikologi. Hal lain yang perlu dikembangkan adalah
kesadaran bahwa psikologi merupakan ilmu untuk membuka rahasia sunnatullah yang
bekerja dalam diri manusia (Q. Fushilat: 53) dengan terutama menggunakan akal
budi dan metodologi yang dianggap tepat.
Dengan demikian wawasan, teori, konsep, metode, dan hasil-hasil kajian
psikologi tak mungkin seluruhnya salah. Dalam taraf tertentu pasti mengandung
kebenaran, walaupun bukan mutlak dan paripurna. Untuk mendekati kebenaran
paripurna inilah perlu sains dilandasi nilai-nilai agama: islamisasi psikologi.
Sudah
pasti usaha islamisasi psikologi ini bukan merupakan upaya yang ringan,
melainkan hal yang sangat berat untuk dilakukan. Sebagai contoh, kita
mengetahui bahwa azas teosentris dan dimensi roh merupakan unsur-unsur utama
dalam wawasan islami mengenai manusia yang akan merubah wajah psikologi sekuler
menjadi wajah psikologi islami. Masalahnya, bagaimana meletakkan azas
teosentris pada wawasan psikologi yang pada umumnya berorientasi
antroposentris? Atau apakah yang harus dilakukan agar dimensi roh yang diyakini ada dalam diri manusia
diterima sebagai salah satu dimensi insani selain dimensi ragawi, kejiwaan,
sosio-kultural?
Mengembangkan
suatu aliran dalam dunia sains adalah suatu pekerjaan yang sulit dan memerlukan
waktu yang lama, tetapi bukan hal yang mustahil. Khususnya bagi psikologi,
bukankah al-Qur’an dan Hadits Rasul sarat dengan prinsip-prinsip yang mapan
mengenai manusia? Bukankah para pemikir Islam seperti Ibnu Sina telah
memikirkan dan mengemukakan pandangan-pandangannya sejak dahulu mengenai kejiwaan
manusia? Bukankah al-Ghazali pun telah mengemukakannya pula? Kemudian roh, yang
dianggap metafisik dan misterius itu, telah menjadi obyek kajian para sufi
sejak dahulu sampai saat ini? Suatu psikologi yang berwawasan islami, psikologi
islami, bukan suatu hal yang mustahil hadir di lingkungan psikologi modern!
Rangkuman
Tulisan
ini beranjak dari keyakinan bahwa sains dan agama pada hakekatnya merupakan
ayat-ayat Allah, yang karena sejarah dan perkembangannya menjadi terpisah,
terkotak-kotak, seakan-akan taka da hubungannya antara satu dengan lainnya.
Keadaan serupa ini jelas akan sangat merugikan kehidupan manusia, karena sains
makin jauh dari nilai-nilai etis-agamis, dan agama sendiri makin tak mengakar
pada realitas dan penalaran. Islamisasi sains berupaya menghubungkan keduanya
kembali, dengan jalan memberi landasan dan warna islami kepada sains.
Dalam
tulisan ini dikemukakan enam pola pemikiran islamisasi sains (similarisasi,
paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi) dan
diajukan pula sebuah pola pemikiran islamisasi sains sebagai alternatif, yaitu
fondasi falsafi dan sikap islami, yang
memberikan landasan filsafat islami kepada sains, dan mengembangkan sikap para
ilmuwan untuk setuju bahwa dalam agama (c.q. al-Qur’an dan hadits) terkandung
azas-azas ilmiah yang patut menjadi peroman dan rujukan sains.
Selanjutnya,
sebagai ilustrasi, dikemukakan islamisasi psikologi yang pada dasarnya
menempatkan wawasan Islam mengenai manusia sebagai landasan filsafatnya, serta
berusaha agar para psikolog Muslim sepakat untuk menjadikan agama sebagai
rujukan utama dalam mendapatkan kebenaran mengenai manusia.
Islamisasi
sains, termasuk islamisasi psikologi, merupakan kerja raksasa dan waktu yang
lama serta menuntut kerja sama yang terbuka antara para ilmuwan dan agamawan
untuk dapat mewujudkan sains yang berwajah islami, sains yang menyelamatkan!
Inilah peluang yang menantang cendekiawan Muslim untuk menghadirkannya dalam
kurun sains dan teknologi sekarang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar