Minggu, 26 Oktober 2014

ISLAMISASI SAINS DENGAN PSIKOLOGI SEBAGAI ILUSTRASI



ISLAMISASI SAINS DENGAN PSIKOLOGI SEBAGAI ILUSTRASI
Oleh: Hanna Djumhana Bastaman
Hanna Djumhana Bastaman, yang lahir pada 4 November 1939 di Padaherang, Jawa barat, adalah staf pengajar pada jurusan Psikologi Klinis, Fak. Psikologi, Universitas Indonesia, Depok. Selain aktif sebagai psikolog klinis di RSCM dan RSPAD, ia juga aktif sebagai koordinator mata kuliah Ilmu Perilaku Terapan pada Akademi Pariwisata, Universitas Trisakti, Jakarta. Psikolog yang banyak berminat dengan gagasan Psikologi Islam dan Psikologi Humanis ini banyak menulis artikel tentang psikologi dalam beberapa majalah, seperti Psikologi Anda, Indonesian Magazine dan lain-lain.

Profesor Toshihiko Izutsu, guru besar Institute of Culture and Linguistics Studies, Keio University, Tokyo, dalam bukunya God and Man in Koran: Semantics of the Koranic Weltanshauung,  menyatakan adanya dua ragam tanda (sign, ayat) Tuhan yang perlu diketahui dan dipahami. Pertama, tada-tanda (ayat-ayat) yang bercorak linguistik/verbal, dan menggunakan bahasa insani (bahasa Arab-Qur’ani). Kedua, tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak non-verbal berupa gejala-gejala alami.
Keduanya diturunkan Allah swt. untuk manusia agar mereka menelaah dan mendalaminya untuk kemudian memahami keagungan-Nya dan beriman kepada-Nya. Dalam pandangan Islam, tanda-tanda (ayat-ayat) Ilahi yang bercorak verbal dimasyhurkan sebagai Firman Ilahi yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya(c.q. Muhammad saw.) dan dituliskan berupa Kitab Suci (c.q. Al-Qur’an). Sedangkan ayat-ayat yang bercorak non-verbal dan “tertulis” dalam semesta alam ciptaan-Nya disebut sebagai sunnatullah. Sunnatullah sering diartikan sebagai pengatur atau ketetapan Ilahi yang berlaku pada seluruh ciptaan-Nya,yang di lingkungan ilmu pengetahuan dikenal sebagai hukum alam (nature’s law).

Sebagai ayat-ayat yang sama-sama bersumber dari Allah swt. sebenarnya antara al-Qur’an dengan sunnatullah tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya (walaupun dapat dibedakan), karena keduanya pada hakekatnya sama-sama mengandung kebenaran dari Tuhan. Ini antara lain dapat kita amati dari cukup banyaknya ayat-ayat suci al-Qur’an yang mengungkapkan azas-azas sains. Dan sebaliknya, banyak prinsip-prinsip dan temuan-temuan ilmiah yang membuktikan kebenaran-kebenaran al-Qur’an. Tetapi dengan berkembangnya waktu dan pemikiran serta kesejahteraan masing-masing, antara agama dan sains seakan-akan menjadi terkotak-kotak: agama menjadi lahan para agamawan dengan iman (dan akal budi) sebagai sarana pemahamannya, sedangkan sains merupakan ajang para ilmuwan dengan akal budi (dengan/tanpa iman) sebagai sarana utama analisisnya. Bahkan antara agama dan sains terdapat perbedaan prinsip berpikir yang seakan-akan bertentangan satu sama dengan lainnya, seperti disinyalir oleh Hidayat Nataatmadja antara lain sebagai berikut:

Prinsip Berpikir Ilmiah
Ilmiah Kontemporer
Ilmiah Agamawi
1.      Empiris
2.      Rasional
3.      Obyektif-imparsial
4.      Relativisme moral berpijak pada ekuivalen sistem referensi.
5.      Agnostik terhadap hakikat spiritual.
6.      Aksioma: sembarang spekulatif
7.      Pendekatan parsial menurut disiplin, baru kemudian dicoba dihubungkan menjadi satu.
1.      Empiris-metaempiris
2.      Rasional-intuitif
3.      Obyektif-partisipatif
4.  Absolutisme moral berpijak pada prinsip keunikan sistem
5. Eksplisit mengungkapkan kemampuan spiritual
6.      Aksioma diturunkan dari ajaran agama
7.   Pendekatan holistik menurut model manusia seutuhnya, baru spesialisasi ke bidang disiplin.

Apakah dengan demikian timbul pertentangan antara ilmuwan dengan agamawan? Soedewo P.K., dalam bukunya Islam dan Ilmu Pengetahuan, mengamati gejala ini sebagai berikut:
Di antara ahli-ahli ilmu pengetahuan banyak terdapat orang yang setia kepada agamanya, dan di kalangan kaum agama banyak yang sama sekali tidak merasa asing dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi tidak sedikit pula ahli ilmu pengetahuan yang tak acuh akan agama, bahkan memusuhinya dan terang-terangan muncul dan memusuhinya. Karena itu timbul anggapan pada sebagian orang, seakan-akan ada “perang dingin” atau pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan, dan sebagian lagi bertanya-tanya bagaimana sebenarnya duduk perkaranya.
Pemisahan dan pengotakan ini jelas akan menimbulkan kepincangan-kepincangan yang merugikan: agama tanpa dukungan sains akan tidak menjadi mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh azas-azas agama dan sikap keagamaan yang baik akan tumbuh menjadi liar dan menimbulkan dampak merusak. Lebih-lebih dalam kurun sains dan teknologi seperti sekarang ini!
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila di kalangan para cendekiawan Muslim timbul pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan Islamisasi sains yang pada hakikatnya merupakan ungkapan keinginan untuk menghubungkan kembali sains dengan agama dalam visi modern, dan memandang sains sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunnatullah, yang semuanya didasari oleh kesadaran bahwa agama dan sains merupakan kurnia Allah swt. kepada manusia.

Islamisasi Sains
Sejak penghubung kurun 14 hijriah pemikiran-pemikiran mengenai Islamisasi sains telah berkembang di kalangan cendekiawan Muslim. Hal ini mungkin sejalan dengan makin disadarinya ketimpangan-ketimpangan yang merugikan akibat terpisah dan terkotak-kotaknya sains dengan agama, antara lain berupa perkembangan ilmu dan teknologi yang makin lama makin canggih, tetapi ternyata makin meninggalkan nilai-nilai etis dan agamis. Sebaliknya agama yang tidak mendapat dukungan ilmu dan teknologi disinyalir makin “tidak laku” di lingkungan masyarakat maju yang “ilmiah minded”.
Pemikiran-pemikiran mengenai “Islamisasi pengetahuan”(Ismail Raji al-Faruqi), “dewesternisasi pengetahuan” (Naquib al-Attas), dan gerakan-gerakan “AMSS” (Association of Muslim Social Scientists) di Amerika Serikat merupakan gambaran dari keinginan untuk memberi warna agamis pada sains. Di kalangan psikolog Muslim pemikiran dan gerakan-gerakan serupa itu mulai bersemi, antara lain terungkap dalam tulisan Malik M. Badri The Dilemma of Muslim Psychology, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa-nya Utsman Najati, dan gerakan The Islamic Psychology-nya Rashid Hamid.
Walaupun pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan tersebut sejauh ini masih terkesan sporadis dan belum terpadu, tetapi pada awal kurun 15 hijriah tampaknya islamisasi sains telah menjadi tema sentral yang trendy di kalangan cendekiawan Muslim.
Yang dimaksud dengan “islamisasi sains” sampai saat ini tampaknya benar-benar masih merupakan gagasan mendasar yang masih berkembang dan mungkin saja masih kontroversial antara pandangan yang satu dengan yang lainnya, serta masih memerlukan waktu yang lama untuk mewujudkan “sains yang islami”. Sehubungan dengan itu dengan sendirinya masih banyak peluang untuk memikirkan konsep dan gambaran mengenai islamisasi sains. Dalam tulisan sederhana ini “islamisasi sains” diartikan sebagai upaya untuk menghubungkan kembali sains dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali sunnatullah dengan al-Qur’an yang keduanya pada hakekatnya merupakan ayat-ayat Tuhan. Terlepas dari disadari atau tidaknya tujuan islamisasi sains, usaha-usaha menghubungkan sains dengan agama (Islam) sebenarnya telah lama dilakukan para ahli dalam tulisan-tulisan mereka dalam pola hubungan yang beragam.
Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa bentuk pola pemikiran “islamisasi sains”, mulai dari bentuk yang paling superfisial sampai dengan bentuk yang agak mendasar, yang penulis istilahkan sebagai berikut:

1.        Similarisasi
2.        Paralelisasi
3.        Komplementasi
4.        Komparasi
5.        Induktifikasi
6.        Verifikasi

Similarisasi: menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari agama, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap bahwa roh sama dengan jiwa, atau nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah dan nafs al-muthmainnah dari al-Qur’an dianggap identik dengan konsep-konsep id, ego, dan superego dari psikologi, atau menyamakan superego dengan qalb. Penyamaan serupa ini sebenarnya lebih tepat disebut siilarisasi semu, yang dapat mengakibatkan biasnya sains dengan direduksinya agama ke taraf sains.
Paralelisasi: menganggap sejalan (parallel) konsep yang berasal dari al-Qur’an dengan konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya, tanpa menyamakan (mengidentikkan) keduanya. Misalnya menganggap Perang Dunia III sejalan dengan kiamat, atau menjelaskan perjalanan Isra’ Mi’raj sejalan dengan perjalanan ke ruag angkasa dengan menggunakan rumus fisika S=v.t (jarak = kecepatan x waktu) di mana factor velocitas/kecepatan = tak hingga. Paralelisasi sering dipergunakan sebagai scientific explanation atas kebenaran ayat-ayat al-Qur’an dalam rangka menyebarkan syiar Islam kepada kelompok masyarakat tertentu.
Komplementasi: antarai sains dengan agama saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masing-masing. Misalnya manfaat puasa Ramadhan (untuk kesehatan) dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dari ilmu kedokteran. Atau kebijakan Keluarga Berencana didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam hal ini tampaknya terjadi saling mengabsahkan/justifikasi antara sains dengan agama.
Komparasi: membandingkan konsep/teori sains dengan konsep/teori agama mengenai gejala-gejala yang sama, misalnya teori motivasi dari ilmu jiwa dibandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan dari ayat-ayat al-Qur’an.
Induktivikasi: asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empiris dilanjutkan pemikirannya secara teoriretis-abstrak ke arah pemikiran metafisika/gaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan al-Qur’an mengenai hal tersebut. Teori mengenai adanya “sumber gerak yang tak bergerak” dari Aristoteles misalnya merupakan contoh dari proses induktivikasi dari pemikiran agamis. Contoh lainnya: adanya keteraturan dan keseimbangan yang sangat menakjubkan di alam semesta ini menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang mengatur.
Verifikasi: mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran (ayat-ayat) al-Qur’an. Misalnya penelitian mengenai potensi madu sebagai obat yang dihubungkan dengan Q. an-Nahl: 69 dan Hadits “Lazimkanlah memakai dua macam obat, yaitu al-Qur’an dan madu” (riwayat Ibn Majah). Atau penelitian mengenai efek pengalaman dzikir kepada Allah terhadap ketenangan perasaan.
Keenam pola pemikiran tersebut tampaknya harus dihargai sebagai upaya menghubungkan sains dengan agama dalam rangka upaya Islamisasi sains, walaupun masih saja tetap terasa adanya jurang pemisah antara keduanya. Agama, yang pada dasarnya bersumber dari keimanan/wahyu, yang bercorak metafisis, tidak begitu saja dapat dihubungkan dengan sains yang lebih bercorak empiris dan merupakan produk akal dan intelektual manusia. Terasa ada semacam missing link antara keduannya, yangharus dicari sebagai bentuk lain yang lebih mendasar dalam proses Islamisasi sains. Menurut penulis, the missing link yang dapat menghubungkan sains dengan agama harus lebih bercorak falsafi/metafisis serta didukung oleh sikap islami dari para cendekiawan Muslim sendiri mengenai status sains terhadap agama.
Pola pemikiran yang diajukan ini untuk sementara penulis sebut sebagai fondasi falsafi dan sikap islami, yang artinya memberikan landasan filsafat yang bercorak islami kepada sains. Ini didukung oleh kesetujuan para ilmuwan sendiri untuk percaya dan mengakui, bahwa al-Qur’an sebagai firman Allah yang tertulis mengandung kebenaran paripurna (the ultimate truth) yang senantiasa dicari sepanjang masa oleh sains. Dengan demikian, selain meletakkan fondasi falsafah islami, sains memerlukan pula sikap islami (the Islamic attitude) dari para ilmuwan sendiri, yang berarti “mengislamkan” para ilmuwan sendiri.
Adapun secara operasional, pola pemikiran ini bekerja kira-kira sebagai berikut: ayat-ayat al-Qur’an (dan Hadits) mengenai suatu masalah tertentu (alam, manusia, sosial, budaya, dan sebagainya) dikumpulkan dan diintegrasikan sedemikian rupa sehingga kita mendapat wawasan mengenai masalah itu, kemudian disarikan menjadi filsafat Islam mengenai masalah tersebut. Di lain pihak filsafat dari sains tertentu (filsafat alam, filsafat antropologi, filsafat sosial, filsafat budaya, dan sebagainya), yang beraneka ragam itu, dihubungkan dengan filsafat islami mengenai bidang yang sama.
Dalam hal ini mungkin saja keduanya sesuai, sejalan dan sinkron, tetapi mungkin pula tidak, bahkan bertentangan. Menghadapi suasana pertentangan ini, diperlukan sikap rendah hati dari para cendekiawan Muslim sendiri, yakni bersedia untuk menempatkan agama (c.q. Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang harus menjadi landasan, pengarah, dan penyempurna, serta sumber ilham yang tak habis-habisnya bagi sains.
Sikap islami lainnya adalah keyakinan bahwa sains merupakan upaya manusia untuk membuka sunnatullah dengan tujuan menemukan kebenaran melalui akal budi dan keimanan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan kesadaran bahwa kebenaran yang ditemukan oleh sains bukanlah kebenaran paripurna. Kebenaran paripurna terkandung dalam al-Qur’an!

Psikologi: Gambaran Umum
Sebagai salah satu disiplin ilmu mempelajari manusia yang bersifat multikompleks dan memungkinkan sudut pandang serta pendekatan yang berbeda-beda, tidaklah mengherankan bila definisi mengenai psikologi sangat beraneka ragam. Merujuk kepada etimologinya (psyche = jiwa, rohani; logos = sains), maka semula psikologi sering diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai jiwa manusia. Tetapi jiwa sebagai sasaran telaah dianggap terlalu abstrak dan tak mungkin diteliti secara utuh. Maka psikologi membatasi diri untuk hanya mempelajari gejala-gejala kejiwaan, khususnya kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan. Kemudian untuk lebih mendapatkan kejelasan sasaran telaah, metodologi dan efektivitas teknik-teknik pendekatannya, maka psikologi modern menyatakan diri sebagai sains yang mempelajari perilaku manusia dengan asumsi bahwa perilaku merupakan ungkapan dan cerminan dari kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan.
Ditetapkannya perilaku sebagai sasaran telaah psikologi modern, di satu pihak, makin menegaskan proses psikologi sebagai disiplin ilmu dengan sasaran telaah serta metode pendekatan dan teknik-teknik penerapan yang lebih terarah. Tetapi, di lain pihak, penekanan yang berlebihan pada perilaku yang semata-mata teramati dengan metodologinya yang makin kuantitatif-matematis menyebabkan psikologi makin lama makin tak-insani dan manusia yang digambarkannya pun seakan-akan dihilangkan roh-nya, seperti disindir oleh Malik Badri sebagai  a psychology without soul studying a man without soul.
Walaupun demikian, psikologi sebagai disiplin sains, telah benar-benar memenuhi tolok ukur ilmu pengetahuan pada umumnya, berdasarkan kriteria berikut:
… adanya batasan tentang sasaran studi (sebagaimana dirumuskan dalam definisinya sebagai disiplin), dan atas dasar itu menetapkan konsep-konsep dasar dengan ruang lingkup yang relatif jelas; atas dasar mana terbuka kemungkinan untuk menyusun teori-teori dan kaidah-kaidah (dalil, hukum, dan sebagainya); serta memiliki cara (metode) serta alat (teknik) dalam terapannya; dan kesemuanya itu bersifat terbuka (publik) dapat diajarkan dan dipelajari.
Selain posisinya yang makin teguh dan diakui dalam dunia sains, sumbangsih psikologi terhadap masyarakat telah sejak lama dirasakan manfaatnya. Ini antara lain terlihat dari makin berkembangnya ragam psikologi terapan, seperti Psikologi Klinis, Psikologi Sosial,Psikologi Perkembangan, Psikologi Industri, Psikologi Olah Raga, Psikologi Agama, Psikologi Kemiliteran, dan sebagainya.
Dilihat dari sejarahnya, pemikiran-pemikiran mengenai jiwa manusia sebenarnya telah sejak lama diungkapkan oleh para cendekiawan, bahkan Kitab-kitab suci (khususnya al-Qur’an) sarat dengan azas-azas psikologi. Tetapi, sebagai sains modern, psikologi dianggap baru muncul di medan ilmu pengetahuan setelah Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium khusus untuk psikologi di Universitas Leipzig sekitar seabad yang lalu. Setelah itu psikologi makin pesat berkembang metodologi dan teknik-tekniknya, serta berbagai alirannya seperti aliran-aliran structuralism, associationism, psycho-analysis, functionalism, gestaalt theory, behaviorism, dan humanistic psychology.

Model-model Manusia dalam Psikologi
Setiap aliran, teori, system, metode, dan teknik-teknik psikologi pada umumnya dilandasi dan diwarnai oleh model of man, yakni wawasan mengenai manusia yang dikembangkan oleh masing-masing aliran psikologi. Dewasa ini di dunia psikologi dianut bermacam-macam model manusia, yakni: model biologic, yang dominan dalam ilmu kedokteran yang tampaknya akhir-akhir ini makin “laku” di lingkungan psikologi; model psiko-sosial yang meliputi model psiko-analisis, model behavioristis, model humanistis, model eksistensial, dan model interpersonal.
Model-model tersebut mengandung kelemahan dasar yang sama, yakni cenderung hanya menitikberatkan konsepnya pada salah satu dimensi penghayatan pribadi, atau dimensi sosiokultural semata-mata. Menyadari ketimpangan tersebut para ahli psikologi dan psikiatri mengajukan sebuah model yang lebih komprehensif yang bercorak “eklektik-holistik”, yakni keseluruhan yang terdiri dari tri-unsur: organo-biologik, psiko-edukatif, dan sosio-kultural, yang saling mempengaruhi. Hadirnya wawasan mengenai manusia yang bercorak komprehensif serupa itu adalah sangat relevan, walaupun – menurut penulis – masih mengabaikan satu dimensi terpenting dan paling menentukan dari manusia, yakni dimensi spiritual (rohani) yang justru menjadi ciri khas insani dan yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain.
Memang, tak disangkal, ada juga tokoh-tokoh psikologi dan psikiatri yang mengembangkan teori mengenai manusia dengan mengikutsertakan dimensi spiritual. Viktor Frankl, pendiri aliran logo-terapi, misalnya, menyebutkan tiga factor yang menandai eksistensi manusia, yakni: spirituality (kerohaian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab). Akan tetapi Frankl sendiri menegaskan bahwa istilah spirituality yang dimaksud tidak mengandung konotasi agama, tetapi semata-mata merupakan penghayatan maknawi manusia akibat adanya kemampuan transedensi terhadap dirinya dan terhadap lingkungan. Demikian pua, aliran psikology transpersonal, yang dirintis oleh tokoh-tokoh psikologi humanistik (antara lain oleh mendiang Abraham Maslow), yang berusaha mempelajari segi esoteric (rohani) manusia, ternyata kurang populer di kalangan psikologi masa kini yang cenderung makin praktis da menitikberatkan perhatian pada ungkapan-ungkapan yang teramati.
Kondisi serupa ini benar-benar menimbulkan dilema bagi para psikolog Muslim, karena di satu pihak disadari banyak model dan aliran psikolog yang “tak islami” tetapi di lain pihak psikologi “yang islami” sendiri belum terwujud! Oleh karena itu sepenuhnya dapat dipahami kalau Prof. Dr. Malik Badri menulis buku yang berjudul The Dilemma of Muslim Psychologists.

Wawasan Islam Mengenai Manusia
Salah satu peluang untuk memahami wawasan Islam mengenai manusia adalah dengan mempelajari ayat-ayat al-Qur’an (dan Hadits) yang berkaitan dengan riwayat Nabi Adam a.s., mengingat bahwa dalam keyakinan Islam Nabi Adam a.s. adalah “cikal bakal” umat manusia yang diciptakan langsung oleh kuasa dan kehendak Ilahi, dan dengan demikian merupakan prototipe manusia pada umumnya.
Seperti kita ketahui, tema-tema utama dalam riwayat Nabi Adam a.s. antara lain sebagai berikut:
-          Firman Allah kepada para malaikat mengenai rencana akan dijadikan-Nya khalifah Allah di bumi (Q. 2:30);
-          Adam diciptakan dari tanah (Q. 3:59; 15:28,33; 17:61; 36:71);
-          Ditiupkan roh-Ku (Q. 15:29; 38:72);
-          Allah swt. mengajarkan keseluruhan nama kepada Adam dan mengujikannya kepada para malaikat (Q. 2:31,32,33);
-          Para malaikat bersujud kepada Adam a.s., kecuali iblis yang tidak mau bersujud (Q. 2:34; 7:11; 15:30-31; 17:61; 18:50; 20:116; 38:72,73,74);
-          Alas an iblis menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam a.s. (Q. 7:121; 15:33; 17:62; 38:76);
-          Iblis diusir dari surga, ia memohon izin untuk senantiasa menyesatkan manusia (Q. 7:13-18; 15:34-39; 17:62; 38:79-82);
-          Adam a.s. dan istri beliau tinggal dalam surga (Q. 2:35; 7:19);
-          Adam a.s. ditipu setan (Q. 2:36; 7:20-22; 20:120-121);
-          Nabi Adam a.s. bertobat kepada Allah swt. dan mendapatkan ampunan-Nya (Q. 2:37; 7:23-24; 20:122);
-          Nabi Adam a.s. diperintahkan meninggalkan surga dan tinggal di dunia (Q. 2:36,38; 7:24; 20:123);
-          Dijanjikan petunjuk-Nya (Q. 2:38; 20:122-124).
Telaah ayat-ayat mengenai Nabi Adam a.s. menunjukkan gambaran mengenai wawasan islami mengenai manusia (the Islamic concept of man) antara lain sebagai berikut:
1.      Wawasan islami mengenai manusia bercorak teosentris (c.q. Allah-sentris) dan hakikat manusia terletak dalam relasinya dengan Tuhan di samping relasinya dengan sesama mansia dan alam.
2.      Manusia diakui mempunyai martabat yang sangat tinggi. Fungsinya sebagai khalifah Tuhan di bumi yang dipercaya memegang dan melaksanakan amanah Tuhan menunjukkan betapa tingginya martabat itu.
3.      Wawasan Islami mengenai manusia tidak mengenal dosa asal atau dosa keturunan. Ini berarti bahwa setiap orang harus bertanggung jawab sendiri atas perbuatannya. Selain itu manusia dapat membersihkan dosa-dosanya dengan jalan bertobat kepada Tuhan.
4.      Manusia merupakan totalitas yang memiliki empat dimensi, yakni: dimensi fisik-biologis, dimensi mental psikis, dimensi sosio-kultural, dan dimensi spiritual (rohani).
5.      Adanya dimensi rohani (c.q. roh-Ku/roh Ilahi), secara potensial memungkinkan manusia mampu mengadakan hubungan dan mengenal Tuhannya melalui cara-cara yang diajarkan-Nya.
6.      Wawasan islami mengenai manusia mengakui manusia sebagai makhluk yang berakal, memahami lambang (simbol), intelek dan berilmu pengetahuan serta memiliki kesadaran normatif.
7.      Manusia memiliki kebebasan berkehendak (freedom of will) untuk berusaha mengarahkan dirinya ke taraf keluhuran rohani atau ke taraf dorongan-dorongan nafsu jasmaniah yang rendah. Dengan sendirinya kebebasan ini tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh kondisinya sebagai makhluk, serta tetap dituntut untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
8.      Di samping keunggulan-keunggulannya, manusia pun memiliki kelemahan-kelemahan yang memungkinkan mereka terjerumus ke dalam kesesatan.
9.      Eksistensi manusia ditandai oleh tantangan dan perjuangan yang terus menerus guna meningkatkan hidup dan kehidupannya. Di antara tantangan-tantangan itu, tantangan setanlah yang akan terus menerus dihadapi manusia.
10.  Manusia tidak dibiarkan hidup tanpa tuntunan dan petunjuk Tuhan. Kepada mereka diberikan harapan (hope) dan dijanjikan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat bagi mereka yang mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.
Demikianlah antara lain gambaran wawasan islami mengenai manusia yang tersirat di balik riwayat Nabi Adam a.s. Melengkapi wawasan islami mengenai manusia berdasarkan riwayat Nabi Adam a.s. ini, Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengemukakan semacam struktur kerohanian manusia dengan aspek-aspeknya sebagai berikut:
1.      Kalbu, yang mempunyai dua arti, yakni artian fisik (jantung) dan artian metafisik/kerohanian. Kalbu dalam artian kedua ini dinyatakan beliau sebagai “suatu karunia Tuhan yang halus dan indah, bersifat rohaniah, yang ada hubungannya dengan hati-jasmani (c.q. jantung). Kalbu yang halus dan indah inilah hakekat kemanusiaan, serta menjadi sasaran perintah, sasaran cela, sasaran hukuman, dan tuntutan dari Tuhan.
2.      Roh, yang diartikan sebagai nyawa atau sumber hidup dan juga diartikan sebagai “suatu barang yang halus dan indah dalam diri manusia yang mengetahui dan mengenal segalanya seperti halnya kalbu dalam artian kedua.”
3.      Nafsu, yang mempunyai dua arti pula yakni dorongan-dorongan agresif (ganas) dan dorongan-dorongan erotis (berahi) yang dapat menjadi sumber kekacauan bila tidak bisa dikendalikan dan diadabkan. Ada pun nafsu dalam artian kedua adalah nafs al-muthmainnah, yakni nafsu yang suci dan tenang yang searti dengan kalbu dan roh dalam arti kedua.
4.      Akal atau daya pikir yang dapat diartikan sebagai kemampuan atau potensi inteligensi, yang dapat disamakan dengan ketiga unsur di atas dalam artian metafisik.
Dari uraian singkat di atas nyata bahwa keempat unsur (kalbu, roh, nafsu, akal) dalam artian pertama merupakan aspek kejiwaan yang tak asing lagi bagi para psikolog, tetapi unsur-unsur dalam artian kedua sejauh ini hanya menjadi ajang telaah dan olahan para ahli sufi, yang mungkin kelak “tersentuh” oleh psikologi islami!

Islamisasi Psikologi: Mungkinkah?
Sejalan dengan pola pemikiran fondasi falsafi dan sikap islami sebagai salah satu bentuk usaha ke arah islamisasi sains, maka yang dimaksud dengan “islamisasi psikologi” dalam tulisan ini adalah landasan filsafat kepada psikologi berupa wawasan islami mengenai manusia. Ini bukan berarti menghapus atau menganggap salah sama sekali wawasan-wawasan , teori, sistem metodologi, dan teknik-teknik pendekatan yang sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi dewasa ini. Melainkan bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan melakukan penafsiran baru serta memberikan pandangan integral terhadap konsep-konsep yang sudah ada. Untuk itu diperlukan telaah-banding antara wawasan-wawasan islami dengan wawasan psikologi mengenai manusia, dicari persamaan dan perbedaannya serta komplementasinya, kemudian dilakukan reorientasi-falsafi dari wawasan psikologi kepada wawasan islami mengenai manusia.
Di sinilah perlunya mengembangkan sikap kesetujuan para psikologi Muslim untuk mau menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama, untuk mendapatkan patokan kebenaran ilmiah psikologi. Hal lain yang perlu dikembangkan adalah kesadaran bahwa psikologi merupakan ilmu untuk membuka rahasia sunnatullah yang bekerja dalam diri manusia (Q. Fushilat: 53) dengan terutama menggunakan akal budi dan metodologi yang dianggap  tepat. Dengan demikian wawasan, teori, konsep, metode, dan hasil-hasil kajian psikologi tak mungkin seluruhnya salah. Dalam taraf tertentu pasti mengandung kebenaran, walaupun bukan mutlak dan paripurna. Untuk mendekati kebenaran paripurna inilah perlu sains dilandasi nilai-nilai agama: islamisasi psikologi.
Sudah pasti usaha islamisasi psikologi ini bukan merupakan upaya yang ringan, melainkan hal yang sangat berat untuk dilakukan. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa azas teosentris dan dimensi roh merupakan unsur-unsur utama dalam wawasan islami mengenai manusia yang akan merubah wajah psikologi sekuler menjadi wajah psikologi islami. Masalahnya, bagaimana meletakkan azas teosentris pada wawasan psikologi yang pada umumnya berorientasi antroposentris? Atau apakah yang harus dilakukan agar dimensi roh yang diyakini ada dalam diri manusia diterima sebagai salah satu dimensi insani selain dimensi ragawi, kejiwaan, sosio-kultural?
Mengembangkan suatu aliran dalam dunia sains adalah suatu pekerjaan yang sulit dan memerlukan waktu yang lama, tetapi bukan hal yang mustahil. Khususnya bagi psikologi, bukankah al-Qur’an dan Hadits Rasul sarat dengan prinsip-prinsip yang mapan mengenai manusia? Bukankah para pemikir Islam seperti Ibnu Sina telah memikirkan dan mengemukakan pandangan-pandangannya sejak dahulu mengenai kejiwaan manusia? Bukankah al-Ghazali pun telah mengemukakannya pula? Kemudian roh, yang dianggap metafisik dan misterius itu, telah menjadi obyek kajian para sufi sejak dahulu sampai saat ini? Suatu psikologi yang berwawasan islami, psikologi islami, bukan suatu hal yang mustahil hadir di lingkungan psikologi modern!

Rangkuman
Tulisan ini beranjak dari keyakinan bahwa sains dan agama pada hakekatnya merupakan ayat-ayat Allah, yang karena sejarah dan perkembangannya menjadi terpisah, terkotak-kotak, seakan-akan taka da hubungannya antara satu dengan lainnya. Keadaan serupa ini jelas akan sangat merugikan kehidupan manusia, karena sains makin jauh dari nilai-nilai etis-agamis, dan agama sendiri makin tak mengakar pada realitas dan penalaran. Islamisasi sains berupaya menghubungkan keduanya kembali, dengan jalan memberi landasan dan warna islami kepada sains.
Dalam tulisan ini dikemukakan enam pola pemikiran islamisasi sains (similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi) dan diajukan pula sebuah pola pemikiran islamisasi sains sebagai alternatif, yaitu fondasi falsafi dan  sikap islami, yang memberikan landasan filsafat islami kepada sains, dan mengembangkan sikap para ilmuwan untuk setuju bahwa dalam agama (c.q. al-Qur’an dan hadits) terkandung azas-azas ilmiah yang patut menjadi peroman dan rujukan sains.
Selanjutnya, sebagai ilustrasi, dikemukakan islamisasi psikologi yang pada dasarnya menempatkan wawasan Islam mengenai manusia sebagai landasan filsafatnya, serta berusaha agar para psikolog Muslim sepakat untuk menjadikan agama sebagai rujukan utama dalam mendapatkan kebenaran mengenai manusia.
Islamisasi sains, termasuk islamisasi psikologi, merupakan kerja raksasa dan waktu yang lama serta menuntut kerja sama yang terbuka antara para ilmuwan dan agamawan untuk dapat mewujudkan sains yang berwajah islami, sains yang menyelamatkan! Inilah peluang yang menantang cendekiawan Muslim untuk menghadirkannya dalam kurun sains dan teknologi sekarang!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar