Minggu, 26 Oktober 2014

ISLAMISASI ILMU, SEBUAH RESPONS



ISLAMISASI ILMU, SEBUAH RESPONS*)
Oleh Fazlur Rahman

Fazlur Rahman, adalah pemikir Muslim kenamaan yang wafat pada 26 Juli 1988 lalu. Dia dilahirkan di Pakistan pada 1919 dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Oxford dengan disertasi mengenai Filsafat Ibn Sina. Setelah mengajar di Universitas Durham, Inggris, dan Universitas McGill, Kanada, dia menjabat Direktur Lembaga Riset Islam di Pakistan (1962-1969). Setelah itu ia menjabat Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago, AS, sampai wafatnya. Beberapa bukunya telah terbit dalam bahasa Indonesia Islam (1982), Islam dan Modernitas (1984), Membuka Pintu Ijtihad (1983), dan Tema Pokok al-Qur‘an (1985). Baku-bukunya yang belum terbit dalam bahasa Indonesia, antara lain Prophecy in Islam (1958) dan Health and Medicine in the Islamic Tradition (1987).
Dalam kenyataan, dunia Barat modern telah menghasilkan berbagai jenis sistem ilmu pengetahuan, baik yang bersifat filsafat, teologi, maupun ilmu-ilmu empiris seperti sosiologi dan sains. Ada banyak sistem yang disetujui al-Qur‘an, tapi banyak juga yang ditolaknya. Di samping itu dunia modern pun telah berkembang melalui pengetahuan yang sama sekali tidak Islami. Penyebabnya karena dunia modern telah salah dalam menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam tulisan ini Fazlur Rahman memaparkan bahwa yang penting itu bukan menciptakan ilmu pengetahuan yang islami, tapi menciptakan pemikir besar yang berpikiran positif dan konstruktif.

Ilmu (’Ilm atau Knowledge) sangat penting bagi manusia. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia memberikannya ilmu. Jadi buat manusia, ilmu sama pentingnya dengan Wujud (existence). Jika manusia hanya memiliki wujud tanpa ilmu, ia kurang mulia. Al-Qur‘an menyebutkan bahwa ketika Allah hendak menciptakan Adam, Ia memberitahukan hal itu pada para malaikat. Malaikat sebenarnya tak setuju ide itu. Mereka bertanya: “Mengapa Anda ciptakan makhluk di bumi yang akan menyebarkan kerusakan dan menumpahkan darah? Kami di sini mengagungkan dan - mensucikan - kebesaranMu!”  Allah tak marah dengan sanggahan para malaikat tersebut. Tuhan berkata, “Aku mengetahui apa yang kamu tak ketahui” Setelah sempurna penciptaan Adam, Allah mempertemukan mereka (para malaikat dan Adam). Kemudian Ia bertanya pada malaikat: “Ceritakan pada-Ku nama-nama benda ini.” Itu tes sangat sederhana. Para malaikat itu pun menjawab: “Allahu Akbar, kami tak tahu, kami hanya mengetahui apa yang telah Engkau ajarkan, tak lebih” Adam, yang diberi Allah pengetahuan, mampu menunjukkan semua nama benda-benda itu. Jadi, manusia (Adam) sebenarnya memiliki kapasitas pengetahuan yang sangat besar, sementara malaikat atau pun makhluk lainnya tidak.
Karena kemampuan akal (intellect, reason, aql) yang telah diberikan Tuhan buat manusia, maka ia dapat menyingkap pengetahuan. Karena pengetahuan inilah, manusia memiliki tanggung jawab (sense of responsibility). Jika kita memberi pedang pada .anak kecil, mungkin ia akan mencelakai dirinya, kecuali jika ia memiliki rasa tanggung jawab Yang dapat mengontrol dirinya. Secara tegas al-Qur‘an‘ menyatakan bahwa manusia belum memiliki rasa tanggung jawab yang cukup. Meski pengetahuannya amat luas, tapi rasa tanggung jawab moralnya kecil sekali. Inilah maksud al-Qur‘an di akhir surat al-Ahzab.
Kami telah menawarkan amanat pada langit, bumi dan gunung-gunung (seluruh makhluk); tapi semua enggan memikul amanat itu karena khawatir mengkhianatinya. Namun manusia memikulnya. Sungguh manusia itu zalim dan bodoh, (Qs. : 33: 72)
Kita lihat, meski manusia punya ’ilm, ia lupa tanggung jawabnya. Hampir setiap ujian penting tiba, manusia tak mampu melaksanakan amanatnya. Kembali Qur‘an menyebutkan:
Sekali-kali tidak, manusia belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah padanya.(Q.s. 80: 23)
Hal itu disebabkan ketidaksesuaian antara kekuatan pengetahuan yang dimiliki manusia dan kegagalan mengangkat moral yang muncul dari pengetahuan itu. Inilah masalah yang perlu dikemukakan. Jadi pertanyaan yang harus dijawab adalah: bagaimana menjadi manusia bertanggung jawab? Inilah masalah utama di antara kita yang memperhatikan subyek Islamisasi pengetahuan. Masalahnya adalah bahwa dunia modern telah maju dan berkembang melalui pengetahuan yang sama sekali tak Islami. Sebenarnya, yang harus kita katakan, bahwa dunia modern telah salah dalam menggunakan ilmu pengetahuan. Maksudnya, ilmu pengetahuan tak ada yang salah; yang salah adalah penggunaannya. Ilmu tentang atom, misalnya, telah ditemukan para saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti, yang bisa ditransformasikan menjadi energi listrik, Red.) atau menggunakannya buat hal-hal yang berguna, mereka menciptakan bom atom. Kini, pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. Contoh lain, manusia telah mulai menjelajah angkasa, namun masalah yang ada di bumi masih tetap tak terpecahkan. Di samping, itu, meskipun manusia terus menyingkap pengetahuan-pengetahuan baru, namun dorongan untuk memecahkan masalah-masalah etika tak juga bertambah.
Al-Qur‘an sangat sering menggunakan kata al-’ilm dengan akar katanya (’allama, ya’lamun, ’alim). Biasanya al-’ilm ini punya antonim yang disebut zann (perkiraan). Orang-orang Makkah, musuh al-Qur‘an, digambarkan sebagai orang yang menggunakan zann. Mereka tak mempunyai pengetahuan yang pasti (al-’ilm). Ilmu pengetahuan yang pasti ini (al-’ilm) hanya diberikan pada Nabi lewat wahyu. Itulah al-’iIm yang absolut dan tetap. Al-Qur‘an menggunakan al-’ilm untuk semua jenis pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga ’ilm. Bahkan magic, sihir (sihr), yang mana Qur‘an mengutuknya, juga disebut ’ilm. Menurut al-Qur‘an, Harut dan Marut mengajarkan sihir pada manusia. Itu juga salah satu jenis ’ilm, meskipun jelek; dalam arti praktek dan pemakaiannya jelek. Banyak orang menyalahgunakan sihir untuk memisahkan suami dari istrinya. Begitu pula hal-hal yang memberikan wawasan baru pada akal termasuk ’ilm.
Sistem pemikiran modern
Barat modern telah membangun semua jenis sistem: filsafat, teologi, sosiologi dan sains. Banyak sistem yang disetujui al-Qur‘an, namun banyak juga yang ditolaknya. Kant, misalnya, seorang filsuf Jerman sangat terkenal dan berpengaruh, telah mengembangkan sebuah sistem filsafat yang luar biasa pengaruhnya sejak abad 18. Kant berpendapat bahwa sesuatu yang mutlak baik di dunia ini adalah kehendak baik (good will). Yakni kehendak untuk berbuat hal yang baik, seperti menolong seseorang. Keinginan baik ini atau iradah adalah sesuatu yang mutlak baik, sebab menurutnya bahwa ketika seseorang mencoba untuk melaksanakan iradahnya di “dunia luar” (dunia luar ide atau dunia nyata, Red.), ia harus menghadapi semua jenis rintangan dan berhadapan dengan beberapa problem atau ’awaiq. Jadi apa yang dicapai di “dunia luar” tak bisa sebagus kehendak (will) yang ada dalam akal seseorang (“dunia dalam” atau dunia ide, Red.).
Saya yakin, Islam tak mungkin menerima proposisi ini, sebab Islam mengajarkan dan mengarahkan manusia untuk merubah masalah-masalah di dunia nyata, Karenanya kehendak baik mutlak diperlukan. Meskipun kehendak baik ini tak dapat direalisasikan secara sempurna di dunia, apa pun yang dapat direalisasikan adalah baik. Dan itu lebih baik daripada hanya sekedar ‘kehendak baik’. Saya percaya, inilah sikap Islam. Nabi berkata bahwa iman yang nyata dan benar adalah bila seseorang melihat sesuatu yang salah, maka ia akan merubah dengan tangannya. Jika tak bisa merubah dengan tangannya, maka ia harus merubah dengan mulutnya (berbicara). Dan jika ia tak bisa merubah dengan mulutnya, maka ia harus membencinya dalam hati; tapi itulah iman paling lemah.
Dalam suatu khutbah di Chicago, saya katakan bahwa dari dalam tradisi Islam, saya dapat memungut beberapa sistem, atau beberapa agama yang tak ada hubungannya dengan Islam, Qur‘an atau Sunnah Nabi. Namun kita menganggap itu semua tradisi Islam. Ibn Taimiyyah menceritakan pernyataan seorang ahli hukum Syria abad kedua, al-Awza‘i. Menurut cerita itu, al-Awza‘i berkata bahwa siapa saja yang menghalalkan alkohol, kawin sementara (mut’ah), obat bius dan musik, berarti dia telah mengumpulkan semua kejahatan. Semua pendapatnya ada dalam fiqh Islam. Hal itu terjadi, karena begitu Islam meluas, baik secara geografis maupun intelektualis, seluruh jenis elemen baru bisa menjadi bagian dari tradisi Islam. Namun banyak juga tradisi yang bertentangan dengan al-Qur‘an.
Sebagaimana telah saya katakan bahwa ’ilm, dalam dirinya, adalah baik. Penyalahgunaannyalah yang membuatnya jelek. Namun keputusan untuk menyalahgunakannya tak tergantung dari ilmu itu sendiri, tapi pada prioritas moral. Keputusan moral itulah yang menghasilkan prioritas. Jika seseorang ahli dalam fisika nuklir, ia seharusnya mengembangkan tenaga nuklir (misal dijadikan energi listrik, Red.), atau membuat isotop (misal untuk kedokteran, Red.) yang berguna untuk umat manusia. Tapi jika keahliannya disalahgunakan untuk membuat bom atom, itulah keputusan moral yang salah.
Tradisi dan Sejarah Islam Masa Lalu
Pada awal sejarah Islam, abad 3 H, bahkan sebelumnya, banyak pemikiran dan kebiasaan dari Iran masuk dalam Islam. Ketika orang-orang Arab Muslim mulai menaklukkan negeri-negeri tetangganya, mereka menemukan kebudayaan Iran dan Byzantium yang canggih. Islam dapat mengalahkan kedua imperium itu dengan mudah karena keduanya telah kehabisan tenaga dan semangat (akibat terlibat peperangan yang terus menerus, Red.). Byzantium, khususnya, memiliki pengetahuan yang amat tinggi: filsafat, sains, kedokteran, sastra dan lain-lain.
Umat Islam menerjemahkan semua disiplin ini ke dalam bahasa Arab secara sistematis dan besar-besaran. Kaum Muslim memutuskan untuk menerjemahkan sains Yunani, filsafat dan kedokteran, tapi tak menerjemahkan sastranya. Sebab karya sastra Yunani penuh dengan dongeng dewa dan dewi. Karya besar puisi Homer dan Hesoid, juga tak diterjemahkan. Inilah keputusan moral dan agama.
Tidak lama setelah masuknya filsafat dalam Islam, manusia sekaliber Ibn Sina telah mampu membangun sebuah sistem filsafat. Ibn Sina adalah pemikir pertama yang menciptakan sistem filsafat komprehensif yang bertujuan menjelaskan segala sesuatu yang ada di jagat raya, termasuk kehidupan manusia dengan semua aspeknya. Ibn Sina sangat berpengaruh, baik dalam tradisi pemikiran Islam maupun Barat. Ia seorang pemikir sistematis, meski beberapa ide yang dilontarkannya mengganggu banyak teolog Muslim (al-mutakallimun), khususnya masalah yang menyangkut batasan antara agama dan filsafat.
Ibn Sina berusaha memadukan filsafat Yunani dan Islam. Walau secara prinsip ia tetap berpegang pada filsafat Yunani, namun ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; tak seperti al-Farabi sebelumnya, yang lebih mementingkan tuntutan agama. Karena itu, ia diserang al-Ghazali melalui bukunya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Menurut al-Ghazali filsafat Ibn Sina rancu, dan ia mengutuk proposisi penting filsafatnya karena bertentangan dengan pandangan Islam. Inilah upaya Ghazali untuk meluruskan filsafat yang menurutnya tak Islami menjadi filsafat yang Islami. Kemudian Ibn Rushd membalas serangan al-Ghazali dalam bukunya at-Tahafut (Rancunya Kerancuan) dan jadilah perdebatan itu berlanjut.
Sementara itu, para teolog Muslim (mutakallimun) sejak awal telah menyusun ajaran dan teologi untuk mempertahankan aqidah. Spekulasi mereka berkisar pada pertanyaan apakah manusia bebas atau tidak; apakah manusia memiliki kemampuan (qudrah) untuk bertindak atau tidak; dan apakah qadar Allah telah tertulis sebelumnya atau tidak. Masalah ini telah didiskusikan berabad-abad. Ketika filsafat mempengaruhi tradisi kalam, setelah al-Ghazali, muncul pemikir besar lain, Fakr al-Din al-Razi. Pencapaian al-Razi dalam bidang kalam adalah sebagai berikut: sementara al-Ghazali telah mengkritik proposisi-proposisi tertentu para filsuf, seperti keabadian alam (bahwa alam tak diciptakan dalam waktu ), al-Razi, mengikuti sistem filsafat Ibn Sina, menciptakan sistem kalam untuk menjawab sistem sebelumnya. Inilah jawaban kalami terhadap sistem filsafat. Para filsuf mendiskusikan problematika wujud dan ‘Adam serta karakteristiknya; begitu pula al-Razi. Setiap masalah yang didiskusikan para filsuf, teolog juga mendiskusikannya. Inilah pencapaian luar biasa al-Razi dalam ’ilm al-kalam, yaitu menghasilkan sebuah sistem kalam komprehensif untuk menjawab sistem filsafat.
Al-Razi melakukan itu sebagai seorang Asy’ari. la mempercayai proposisi bahwa manusia tak mempunyai kekuasaan bertindak sebelum ia bertindak. Dengan kata lain, manusia tak mempunyai kekuatan mengangkat tangannya sebelum ia benar-benar mengangkatnya. Inilah yang disebut al-Qudrah al-Hadithah. Ketika ia benar-benar mengangkat tangannya, Allah menciptakan kekuatan sementara buatnya untuk menghasilkan tindakan itu, dan kemudian kekuatan itu lenyap. Api, misalnya, tak punya kekuatan membakar kapas. Namun ketika api dipertemukan dengan kapas, saat itulah Allah menciptakan kekuatan sementara dalam diri api untuk membakarnya. Api menurut proposisi itu, tak mempunyai kekuatan untuk membakar, baik sebelum maupun sesudahnya. Inilah doktrin Asy’ari. Kita bisa saja menerimanya, menolaknya atau mengkritiknya. Yang jelas Asy’ari menolak hukum kausalitas. Al-Ghazali, misalnya, menguraikan hal itu secara panjang lebar. Di samping itu, Asy’arism menganut paham atomisme, al-Juz’ alladhi la yatajazza: menurut paham ini, dunia tercipta dari atom-atom. Atom-atom ini dikumpulkan dan disusun dengan cara tertentu, sehingga makhluk hidup seperti kita terwujud. Kemudian ketika seseorang mati, susunan atom-atom itu pecah (terpisah). Namun ada sesuatu dari susunan atom itu (nukleus?) yang tetap. Pada hari kiamat, Allah akan menciptakan kembali jasad makhluk hidup di sekeliling nukleus itu. Inilah doktrin Asy’ari tentang hari kebangkitan.
Para filsuf, tentu saja, menolak dan mengkritiknya. Saya tak peduli, pada tahap ini, kenapa kita menerima atau menolak. Yang jadi perhatian saya adalah kenapa atomisme begitu penting, hingga Al-Baqillani, seorang ulama Asy’ariyah yang terkenal menyarankan setiap Muslim tak hanya beriman pada Allah, Kitab, Rasul, Malaikat dan Hari Akhir, tapi juga harus beriman pada atomisme. Al-Baqillani menganjurkan ini, sebab dia berpikir bahwa iman pada atomisme sangat mendasar, sangat penting hingga Islam perlu mewajibkan pengikutnya mengimani atomisme. Umat Islam telah membicarakan itu semua, namun muncul pertanyaan: mana di antara itu semua yang Islami; yang kurang Islami; dan yang tak Islami? Kita sangat peduli dengan Barat, karena kita menemukan diri kita berhadapan dengannya. Tapi kita harus bertanya juga: Bisakah kita menghadapi Barat dan mengumumkan, pengetahuan mana yang baik dan yang buruk; juga apa yang cocok dan yang tidak – tanpa sebelumnya mengetahui diri kita sendiri?
Kebutuhan Buat Memeriksa dan Menganalisa Kembali
Tugas pertama yang amat penting adalah memeriksa kembali tradisi Islam itu sendiri. Saya lebih suka menyebutnya tradisi Muslim yang tentunya berisi banyak hal yang Islami, yang tak Islami dan yang antara garis batas keduanya. Ini sangat penting. Contohnya, apakah Ibn Arabi cerminan Qur’an? Sejauh mana karya al-Razi yang Asy’ari sesuai al-Qur‘an? Sejauh mana ajaran Ghazali sesuai al-Qur‘an? Kita tahu, al-Ghazali orang besar. Ia pernah jadi guru besar brilian di Baghdad, hidup berkecukupan; lalu tiba-tiba mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai profesor teologi dan hukum, dan mengasingkan diri. Ia menjadi sufi, menghabiskan waktunya bertahun-tahun di masjid dan di ruang shalat (zawiyah). Ia menulis karya-karyanya yang brilian, melebihrendahkan teologi dan hukum dibandingkan spiritualisme. Kemudian ia mengangkat kembali hukum, dan menulis sebuah buku yang sangat penting, kitab al-Mustashfa tentang fiqh.
Jika kita hendak memahami Islam melalui al-Ghazali, bagaimana kita melakukannya? Ajaran mana lebih utama, teologi atau hukum? Apakah tahap kedua al-Ghazali lebih atau kurang Islami? Bagaimana tahap ketiganya? Ia telah menulis otobiograli spiritual, Al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesesatan) di mana ia mengisahkan masa kekecewaannya ketika menjabat sebagai guru besar teologi dan hukum. Ia menemukan empat jalan yang harus dipilih sebelum menemukan dirinya. Pertama, jalan mutakallimun; kedua, jalan para filsuf; ketiga jalan ismailiyah (al-bathiniyah); dan terakhir jalan para sufi. Tanpa ragu-ragu al-Ghazali mengatakan bahwa sufi adalah jalan terbaik. Ia menyatakan bahwa para sufi memiliki hati paling bersih; semua tindakannya ikhlas; sedangkan tiga jalan lainnya adalah saleh untuk kemanusiaan. Karena itulah Ghazali memilih jalan sufi. Menurut Ibn Taimiyyah pernyataan Ghazali adalah benar sekali. Jalan para sufi adalah yang terbaik dari keempat jalan tersebut. Meskipun ada kelompok-kelompok sufi ekstrem yang punya pandangan dan perilaku aneh, namun secara keseluruhan, kaum sufi adalah orang-orang saleh, takut pada Tuhan dan muslim sejati. Tapi kemudian Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ada jalan lain, jalan kelima, yaitu jalan Qur‘an dan Sunnah. Ia menyatakan bahwa al-Ghazali belum memikirkan jalan ini - huwa kana qalil al ’ilm bihi (pengetahuannya tentang itu tak banyak). Menurut saya Ibn Taymiyyah benar.
Al-Ghazali adalah orang besar dan brilian yang mencapai tingkat intelektual tertinggi dan sukses duniawi; kemudian ia mengundurkan diri di tengah kegemilangan karirnya dan mengambil jalan sufi. Ibn Taimiyyah menolak pendekatan al-Ghazali terhadap Islam. Menurutnya, cara yang ditempuh al-Ghazali menjauhkannya dari Qur‘an dan Sunnah. Namun di antara karya-karyanya terdapat kitab Jawahir al-Qur‘an (Mutiara al-Qur‘an) - sebuah karya besar yang orisinal, berisi banyak pengertian yang bagus dan spiritualitas yang sehat. Ia menulis kitab tersebut pada saat masih jadi sufi.
Yang jadi pertanyaan, apakah al-Ghazali beriman pada al-Qur‘an atau apakah karyanya mencerminkan ajaran Qur‘an? Al-Qur‘an memberi kita petunjuk. Pertama kali ia memberi petunjuk kegiatan Nabi, dan juga memberi kita petunjuk saat kita bimbang. Tapi jika kita membandingkan Jawahir al-Qur’an-nya Ghazali dengan ajaran Qur’an, saya ragu seseorang bisa menyimpulkan bahwa karya ini mewakili al-Qur‘an. Karya ini secara keseluruhan menyajikan kesalehan individual (taqwa) yang diam total terhadap masalah kemasyarakatan dan problema dunia.
Ketika seorang mahasiswa dari dunia Islam datang ke Barat, ia bisa terpikat dengan Weber, Durkheim atau Kant, dan ingin mempelajari lebih jauh para pemikir itu. Ini bagus. Para pemikir itu adalah orang-orang besar. Mereka telah menulis masalah filsafat dan sosial kemanusiaan, baik klasik maupun kontemporer. Demikian juga banyak di antara kita tertarik dengan tokoh-tokoh Islam dan mengatakan bahwa yang benar hanyalah Abu Hamid al-Ghazali, Imam Fakhr al-Din al-Razi, Ibn Sina, al-Farabi atau Muhammad Iqbal. Inilah sikap orang bingung, yang tak tahu apa yang akan dilakukannya. Jika kita ingin petunjuk, kita punya Kitab. Kitab itu diturunkan Allah pada Nabi yang di dalamnya ada petunjuk dan hasilnya telah terbukti bisa menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kebodohan. Kitab itu memberikan petunjuk dan takwa. Kitab inilah yang membuat umat Islam tak hanya mampu menaklukkan negeri-negeri lain, tapi juga mampu membimbingnya. Kita akui bahwa Kitab itu luar biasa hebat. Kenapa kita tak memakai petunjuk Kitab itu?
Selama masalah ini masih menyangkut “Islamisasi ilmu pengetahuan,” saya menyimpulkan bahwa kita seharusnya tak perlu susah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan yang Islami. Lebih baik kita memanfaatkan Waktu, energi dan uang untuk berkreasi. Kita ambil contoh, Aristoteles, filsuf Yunani yang telah menyusun logika. Ia merumuskan teori silogisme, premis mayor (kubra), premis minor (sughra) dan kemudian kesimpulan (natidjah). la yakin beginilah manusia berpikir; mereka menyusun premis mayor, kemudian premis minor dalam akal mereka, dan baru kemudian mengambil kesimpulan. Kenyataannya, semuanya ini tak terjadi. Pikiran manusia tak silogis, tapi punya cara operasi sendiri. Kita masih belum tahu bagaimana pikiran itu berproses. Hampir tiap saat kita tak tahu apa yang ingin kita ketahui, jika kita tak sedang melakukan pekerjaan mekanis. Sebenarnya ilmu pengetahuan itu sangat misterius. Umumnya orang menganggap pengetahuan mudah didapat: orang tahu apa yang ingin ia ketahui dan kemudian ia mendapatkan ilmunya. Kenyataannya tak begitu. Orang tak dapat merencanakan ilmu pengetahuan, sebab ia diciptakan Allah dalam akal manusia. Namun, seseorang dapat melatih pengetahuan orang lain dan kemudian mengharapkan hasil terbaik.
Karena itu, harapan saya adalah kita menciptakan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Kita tak perlu meletakkan aturan-aturan pada mereka untuk berpikir. Sebagaimana telah saya tunjukkan dalam kasus Kant: seseorang dapat saja mengkritik atau menolak proposisinya yang tak sesuai dengan prinsip Islam. Demikian juga dengan kasus sains sosial Barat, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan lain-lain – seseorang bisa menerima atau menolaknya. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap pemikir Islam masa lalu.
Menurut pendapat saya, jika kita tak memeriksa tradisi kita secara seksama, dengan kacamata al-Qur’an, kita tak dapat melangkah lebih jauh dalam pemikiran Islam. Ini karena kita harus punya kriteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu jelas berasal dari al-Qur‘an. Pertama, kita harus memeriksa tradisi Islam kita, dengan memakai prinsip dan kriteria tersebut; dan kemudian mempelajari secara kritis ilmu pengetahuan modern. Kita juga harus ingat bahwa pengetahuan dalam Islam muncul agar memungkinkan kita merubah permasalahan yang ada di dunia. Qur’an adalah Kitab yang berorientasi pada amal perbuatan. Kita harus menggalinya secara serius dan menilai tradisi kita, apakah ia benar atau salah. Baru kemudian kita harus menilai tradisi Barat. Tak ada cara mekanis untuk melakukan itu. Saya tak bisa duduk dan berusaha mengislamkan Durkheim dan Weber. Saya tak bisa duduk dan secara mekanis menilai apa yang dikatakan Durkheim tentang masyarakat primitif, atau apa yang dikatakan Weber tentang masyarakat ini dan itu; pemerintahan ini dan itu.
Tentu saja seseorang dapat saja mengatakan bahwa sebagian pendapat itu salah dan sebagian lainnya betul, tapi hal semacam itu tak akan menciptakan pengetahuan. Pengetahuan kreatif hanya akan datang jika dalam diri kita tertanam sikap Qur’ani. Baru kemudian kita dapat mengapresiasi dan juga menilai, baik tradisi kita maupun tradisi Barat. Meskipun demikian, penilaian dan sikap kritis bukanlah langkah akhir; tapi baru merupakan langkah pertama dalam menyingkap pengetahuan baru yang mana merupakan tujuan utama dalam intelektualisme Islam.



* Tulisan Fazlur Rahman ini aslinya berjudul:Islamization of Knowledge: A Response,” dimuat dalam The American Iournal of Islamic Social Science, Vol. 5/No. I (1988), hal. 3. Diterjemahkan Luthfi Assyaukanie dan disunting Syaefudin Simon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar