Oleh Fazlur Rahman
Fazlur Rahman, adalah pemikir Muslim kenamaan
yang wafat pada 26 Juli 1988 lalu. Dia dilahirkan di Pakistan pada 1919 dan
menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Oxford dengan disertasi
mengenai Filsafat Ibn Sina. Setelah mengajar di Universitas Durham, Inggris,
dan Universitas McGill, Kanada, dia menjabat Direktur Lembaga Riset Islam di
Pakistan (1962-1969). Setelah itu ia menjabat Guru Besar Pemikiran Islam di
Universitas Chicago, AS, sampai wafatnya. Beberapa bukunya telah terbit dalam
bahasa Indonesia Islam (1982), Islam dan Modernitas (1984), Membuka Pintu
Ijtihad (1983), dan Tema Pokok al-Qur‘an (1985). Baku-bukunya yang belum terbit
dalam bahasa Indonesia, antara lain Prophecy in Islam (1958) dan Health and
Medicine in the Islamic Tradition (1987).
Dalam kenyataan, dunia Barat
modern telah menghasilkan berbagai jenis sistem ilmu pengetahuan, baik yang
bersifat filsafat, teologi, maupun ilmu-ilmu empiris seperti sosiologi dan
sains. Ada banyak sistem yang disetujui al-Qur‘an, tapi banyak juga yang ditolaknya.
Di samping itu dunia modern pun telah berkembang melalui pengetahuan yang sama
sekali tidak Islami. Penyebabnya karena dunia modern telah salah dalam
menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam tulisan ini Fazlur Rahman memaparkan bahwa
yang penting itu bukan menciptakan ilmu pengetahuan yang islami, tapi
menciptakan pemikir besar yang berpikiran positif dan konstruktif.
Ilmu (’Ilm atau Knowledge) sangat
penting bagi manusia. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia memberikannya ilmu.
Jadi buat manusia, ilmu sama pentingnya dengan Wujud (existence). Jika manusia hanya memiliki wujud tanpa ilmu, ia
kurang mulia. Al-Qur‘an menyebutkan bahwa ketika Allah hendak menciptakan Adam,
Ia memberitahukan hal itu pada para malaikat. Malaikat sebenarnya tak setuju
ide itu. Mereka bertanya: “Mengapa Anda ciptakan makhluk di bumi yang akan
menyebarkan kerusakan dan menumpahkan darah? Kami di sini mengagungkan dan -
mensucikan - kebesaranMu!” Allah tak
marah dengan sanggahan para malaikat tersebut. Tuhan berkata, “Aku mengetahui
apa yang kamu tak ketahui” Setelah sempurna penciptaan Adam, Allah
mempertemukan mereka (para malaikat dan Adam). Kemudian Ia bertanya pada
malaikat: “Ceritakan pada-Ku nama-nama benda ini.” Itu tes sangat
sederhana. Para malaikat itu pun menjawab: “Allahu
Akbar, kami tak tahu, kami hanya mengetahui apa yang telah Engkau ajarkan,
tak lebih” Adam, yang diberi Allah pengetahuan, mampu menunjukkan semua nama
benda-benda itu. Jadi, manusia (Adam) sebenarnya memiliki kapasitas pengetahuan
yang sangat besar, sementara malaikat atau pun makhluk lainnya tidak.
Karena kemampuan akal (intellect, reason, aql) yang telah
diberikan Tuhan buat manusia, maka ia dapat menyingkap pengetahuan. Karena
pengetahuan inilah, manusia memiliki tanggung jawab (sense of responsibility). Jika kita memberi pedang pada .anak
kecil, mungkin ia akan mencelakai dirinya, kecuali jika ia memiliki rasa
tanggung jawab Yang dapat mengontrol dirinya. Secara tegas al-Qur‘an‘
menyatakan bahwa manusia belum memiliki rasa tanggung jawab yang cukup. Meski
pengetahuannya amat luas, tapi rasa tanggung jawab moralnya kecil sekali.
Inilah maksud al-Qur‘an di akhir surat al-Ahzab.
Kami telah menawarkan amanat pada langit, bumi dan
gunung-gunung (seluruh makhluk); tapi semua enggan memikul amanat itu karena
khawatir mengkhianatinya. Namun manusia memikulnya. Sungguh manusia itu zalim
dan bodoh, (Qs. : 33: 72)
Kita lihat, meski manusia
punya ’ilm, ia lupa tanggung
jawabnya. Hampir setiap ujian penting tiba, manusia tak mampu melaksanakan
amanatnya. Kembali Qur‘an menyebutkan:
Sekali-kali tidak, manusia belum melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah padanya.(Q.s. 80: 23)
Hal itu disebabkan
ketidaksesuaian antara kekuatan pengetahuan yang dimiliki manusia dan kegagalan
mengangkat moral yang muncul dari pengetahuan itu. Inilah masalah yang perlu
dikemukakan. Jadi pertanyaan yang harus dijawab adalah: bagaimana menjadi
manusia bertanggung jawab? Inilah masalah utama di antara kita yang memperhatikan
subyek Islamisasi pengetahuan. Masalahnya adalah bahwa dunia modern telah maju
dan berkembang melalui pengetahuan yang sama sekali tak Islami. Sebenarnya,
yang harus kita katakan, bahwa dunia modern telah salah dalam menggunakan ilmu
pengetahuan. Maksudnya, ilmu pengetahuan tak ada yang salah; yang salah adalah
penggunaannya. Ilmu tentang atom, misalnya, telah ditemukan para saintis Barat,
namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang
dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti, yang bisa ditransformasikan
menjadi energi listrik, Red.) atau menggunakannya buat hal-hal yang berguna,
mereka menciptakan bom atom. Kini, pembuatan bom atom masih terus dilakukan
bahkan dijadikan perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan
untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. Contoh lain, manusia telah
mulai menjelajah angkasa, namun masalah yang ada di bumi masih tetap tak
terpecahkan. Di samping, itu, meskipun manusia terus menyingkap
pengetahuan-pengetahuan baru, namun dorongan untuk memecahkan masalah-masalah
etika tak juga bertambah.
Al-Qur‘an sangat sering
menggunakan kata al-’ilm dengan akar
katanya (’allama, ya’lamun, ’alim).
Biasanya al-’ilm ini punya antonim
yang disebut zann (perkiraan). Orang-orang
Makkah, musuh al-Qur‘an, digambarkan sebagai orang yang menggunakan zann. Mereka tak mempunyai pengetahuan
yang pasti (al-’ilm). Ilmu
pengetahuan yang pasti ini (al-’ilm)
hanya diberikan pada Nabi lewat wahyu. Itulah al-’iIm yang absolut dan tetap. Al-Qur‘an menggunakan al-’ilm untuk semua jenis pengetahuan. Contohnya,
ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga ’ilm.
Bahkan magic, sihir (sihr), yang mana
Qur‘an mengutuknya, juga disebut ’ilm. Menurut
al-Qur‘an, Harut dan Marut mengajarkan sihir pada manusia. Itu juga salah satu
jenis ’ilm, meskipun jelek; dalam
arti praktek dan pemakaiannya jelek. Banyak orang menyalahgunakan sihir untuk
memisahkan suami dari istrinya. Begitu pula hal-hal yang memberikan wawasan
baru pada akal termasuk ’ilm.
Sistem
pemikiran modern
Barat modern telah membangun semua
jenis sistem: filsafat, teologi, sosiologi dan sains. Banyak sistem yang
disetujui al-Qur‘an, namun banyak juga yang ditolaknya. Kant, misalnya, seorang
filsuf Jerman sangat terkenal dan berpengaruh, telah mengembangkan sebuah sistem
filsafat yang luar biasa pengaruhnya sejak abad 18. Kant berpendapat bahwa
sesuatu yang mutlak baik di dunia ini adalah kehendak baik (good will). Yakni kehendak untuk berbuat hal yang baik, seperti
menolong seseorang. Keinginan baik ini atau iradah adalah sesuatu yang mutlak
baik, sebab menurutnya bahwa ketika seseorang mencoba untuk melaksanakan
iradahnya di “dunia luar” (dunia luar ide atau dunia nyata, Red.), ia harus menghadapi
semua jenis rintangan dan berhadapan dengan beberapa problem atau ’awaiq. Jadi apa yang dicapai di “dunia
luar” tak bisa sebagus kehendak (will)
yang ada dalam akal seseorang (“dunia dalam” atau dunia ide, Red.).
Saya yakin, Islam tak mungkin menerima
proposisi ini, sebab Islam mengajarkan dan mengarahkan manusia untuk merubah
masalah-masalah di dunia nyata, Karenanya kehendak baik mutlak diperlukan.
Meskipun kehendak baik ini tak dapat direalisasikan secara sempurna di dunia,
apa pun yang dapat direalisasikan adalah baik. Dan itu lebih baik daripada
hanya sekedar ‘kehendak baik’. Saya percaya, inilah sikap Islam. Nabi berkata
bahwa iman yang nyata dan benar adalah bila seseorang melihat sesuatu yang
salah, maka ia akan merubah dengan tangannya. Jika tak bisa merubah dengan
tangannya, maka ia harus merubah dengan mulutnya (berbicara). Dan jika ia tak
bisa merubah dengan mulutnya, maka ia harus membencinya dalam hati; tapi itulah
iman paling lemah.
Dalam suatu khutbah di
Chicago, saya katakan bahwa dari dalam tradisi Islam, saya dapat memungut
beberapa sistem, atau beberapa agama yang tak ada hubungannya dengan Islam,
Qur‘an atau Sunnah Nabi. Namun kita menganggap itu semua tradisi Islam. Ibn
Taimiyyah menceritakan pernyataan seorang ahli hukum Syria abad kedua,
al-Awza‘i. Menurut cerita itu, al-Awza‘i berkata bahwa siapa saja yang
menghalalkan alkohol, kawin sementara (mut’ah),
obat bius dan musik, berarti dia telah mengumpulkan semua kejahatan. Semua pendapatnya
ada dalam fiqh Islam. Hal itu terjadi, karena begitu Islam meluas, baik secara
geografis maupun intelektualis, seluruh jenis elemen baru bisa menjadi bagian
dari tradisi Islam. Namun banyak juga tradisi yang bertentangan dengan al-Qur‘an.
Sebagaimana telah saya katakan
bahwa ’ilm, dalam dirinya, adalah
baik. Penyalahgunaannyalah yang membuatnya jelek. Namun keputusan untuk
menyalahgunakannya tak tergantung dari ilmu itu sendiri, tapi pada prioritas
moral. Keputusan moral itulah yang menghasilkan prioritas. Jika seseorang ahli
dalam fisika nuklir, ia seharusnya mengembangkan tenaga nuklir (misal dijadikan
energi listrik, Red.), atau membuat isotop (misal untuk kedokteran, Red.) yang
berguna untuk umat manusia. Tapi jika keahliannya disalahgunakan untuk membuat
bom atom, itulah keputusan moral yang salah.
Tradisi
dan Sejarah Islam Masa Lalu
Pada awal sejarah Islam, abad
3 H, bahkan sebelumnya, banyak pemikiran dan kebiasaan dari Iran masuk dalam
Islam. Ketika orang-orang Arab Muslim mulai menaklukkan negeri-negeri
tetangganya, mereka menemukan kebudayaan Iran dan Byzantium yang canggih. Islam
dapat mengalahkan kedua imperium itu dengan mudah karena keduanya telah
kehabisan tenaga dan semangat (akibat terlibat peperangan yang terus menerus,
Red.). Byzantium, khususnya, memiliki pengetahuan yang amat tinggi: filsafat,
sains, kedokteran, sastra dan lain-lain.
Umat Islam menerjemahkan semua
disiplin ini ke dalam bahasa Arab secara sistematis dan besar-besaran. Kaum
Muslim memutuskan untuk menerjemahkan sains Yunani, filsafat dan kedokteran,
tapi tak menerjemahkan sastranya. Sebab karya sastra Yunani penuh dengan
dongeng dewa dan dewi. Karya besar puisi Homer dan Hesoid, juga tak
diterjemahkan. Inilah keputusan moral dan agama.
Tidak lama setelah masuknya
filsafat dalam Islam, manusia sekaliber Ibn Sina telah mampu membangun sebuah
sistem filsafat. Ibn Sina adalah pemikir pertama yang menciptakan sistem
filsafat komprehensif yang bertujuan menjelaskan segala sesuatu yang ada di jagat
raya, termasuk kehidupan manusia dengan semua aspeknya. Ibn Sina sangat
berpengaruh, baik dalam tradisi pemikiran Islam maupun Barat. Ia seorang
pemikir sistematis, meski beberapa ide yang dilontarkannya mengganggu banyak
teolog Muslim (al-mutakallimun),
khususnya masalah yang menyangkut batasan antara agama dan filsafat.
Ibn Sina berusaha memadukan
filsafat Yunani dan Islam. Walau secara prinsip ia tetap berpegang pada
filsafat Yunani, namun ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; tak seperti
al-Farabi sebelumnya, yang lebih mementingkan tuntutan agama. Karena itu, ia
diserang al-Ghazali melalui bukunya, Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Menurut al-Ghazali filsafat Ibn Sina
rancu, dan ia mengutuk proposisi penting filsafatnya karena bertentangan dengan
pandangan Islam. Inilah upaya Ghazali untuk meluruskan filsafat yang menurutnya
tak Islami menjadi filsafat yang Islami. Kemudian Ibn Rushd membalas serangan
al-Ghazali dalam bukunya at-Tahafut
(Rancunya Kerancuan) dan jadilah perdebatan itu berlanjut.
Sementara itu, para teolog
Muslim (mutakallimun) sejak awal
telah menyusun ajaran dan teologi untuk mempertahankan aqidah. Spekulasi mereka
berkisar pada pertanyaan apakah manusia bebas atau tidak; apakah manusia
memiliki kemampuan (qudrah) untuk
bertindak atau tidak; dan apakah qadar
Allah telah tertulis sebelumnya atau tidak. Masalah ini telah didiskusikan
berabad-abad. Ketika filsafat mempengaruhi tradisi kalam, setelah al-Ghazali,
muncul pemikir besar lain, Fakr al-Din al-Razi. Pencapaian al-Razi dalam bidang
kalam adalah sebagai berikut: sementara al-Ghazali telah mengkritik
proposisi-proposisi tertentu para filsuf, seperti keabadian alam (bahwa alam
tak diciptakan dalam waktu ), al-Razi, mengikuti sistem filsafat Ibn Sina, menciptakan
sistem kalam untuk menjawab sistem sebelumnya. Inilah jawaban kalami terhadap sistem filsafat. Para
filsuf mendiskusikan problematika wujud dan ‘Adam
serta karakteristiknya; begitu pula al-Razi. Setiap masalah yang didiskusikan
para filsuf, teolog juga mendiskusikannya. Inilah pencapaian luar biasa al-Razi
dalam ’ilm al-kalam, yaitu
menghasilkan sebuah sistem kalam komprehensif untuk menjawab sistem filsafat.
Al-Razi melakukan itu sebagai
seorang Asy’ari. la mempercayai
proposisi bahwa manusia tak mempunyai kekuasaan bertindak sebelum ia bertindak.
Dengan kata lain, manusia tak mempunyai kekuatan mengangkat tangannya sebelum
ia benar-benar mengangkatnya. Inilah yang disebut al-Qudrah al-Hadithah. Ketika ia benar-benar mengangkat tangannya,
Allah menciptakan kekuatan sementara buatnya untuk menghasilkan tindakan itu,
dan kemudian kekuatan itu lenyap. Api, misalnya, tak punya kekuatan membakar
kapas. Namun ketika api dipertemukan dengan kapas, saat itulah Allah menciptakan
kekuatan sementara dalam diri api untuk membakarnya. Api menurut proposisi itu,
tak mempunyai kekuatan untuk membakar, baik sebelum maupun sesudahnya. Inilah doktrin
Asy’ari. Kita bisa saja menerimanya,
menolaknya atau mengkritiknya. Yang jelas Asy’ari
menolak hukum kausalitas. Al-Ghazali, misalnya, menguraikan hal itu secara
panjang lebar. Di samping itu, Asy’arism menganut
paham atomisme, al-Juz’ alladhi la
yatajazza: menurut paham ini, dunia tercipta dari atom-atom. Atom-atom ini
dikumpulkan dan disusun dengan cara tertentu, sehingga makhluk hidup seperti
kita terwujud. Kemudian ketika seseorang mati, susunan atom-atom itu pecah
(terpisah). Namun ada sesuatu dari susunan atom itu (nukleus?) yang tetap. Pada
hari kiamat, Allah akan menciptakan kembali jasad makhluk hidup di sekeliling
nukleus itu. Inilah doktrin Asy’ari
tentang hari kebangkitan.
Para filsuf, tentu saja,
menolak dan mengkritiknya. Saya tak peduli, pada tahap ini, kenapa kita menerima
atau menolak. Yang jadi perhatian saya adalah kenapa atomisme begitu penting,
hingga Al-Baqillani, seorang ulama Asy’ariyah yang terkenal menyarankan setiap
Muslim tak hanya beriman pada Allah, Kitab, Rasul, Malaikat dan Hari Akhir,
tapi juga harus beriman pada atomisme. Al-Baqillani menganjurkan ini, sebab dia
berpikir bahwa iman pada atomisme sangat mendasar, sangat penting hingga Islam
perlu mewajibkan pengikutnya mengimani atomisme. Umat Islam telah membicarakan
itu semua, namun muncul pertanyaan: mana di antara itu semua yang Islami; yang
kurang Islami; dan yang tak Islami? Kita sangat peduli dengan Barat, karena
kita menemukan diri kita berhadapan dengannya. Tapi kita harus bertanya juga:
Bisakah kita menghadapi Barat dan mengumumkan, pengetahuan mana yang baik dan
yang buruk; juga apa yang cocok dan yang tidak – tanpa sebelumnya mengetahui
diri kita sendiri?
Kebutuhan
Buat Memeriksa dan Menganalisa Kembali
Tugas pertama yang amat
penting adalah memeriksa kembali tradisi Islam itu sendiri. Saya lebih suka
menyebutnya tradisi Muslim yang tentunya berisi banyak hal yang Islami, yang
tak Islami dan yang antara garis batas keduanya. Ini sangat penting. Contohnya,
apakah Ibn Arabi cerminan Qur’an? Sejauh mana karya al-Razi yang Asy’ari sesuai
al-Qur‘an? Sejauh mana ajaran Ghazali sesuai al-Qur‘an? Kita tahu, al-Ghazali
orang besar. Ia pernah jadi guru besar brilian di Baghdad, hidup berkecukupan;
lalu tiba-tiba mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai profesor teologi dan
hukum, dan mengasingkan diri. Ia menjadi sufi, menghabiskan waktunya
bertahun-tahun di masjid dan di ruang shalat (zawiyah). Ia menulis karya-karyanya yang brilian, melebihrendahkan
teologi dan hukum dibandingkan spiritualisme. Kemudian ia mengangkat kembali
hukum, dan menulis sebuah buku yang sangat penting, kitab al-Mustashfa tentang fiqh.
Jika kita hendak memahami
Islam melalui al-Ghazali, bagaimana kita melakukannya? Ajaran mana lebih utama,
teologi atau hukum? Apakah tahap kedua al-Ghazali lebih atau kurang Islami?
Bagaimana tahap ketiganya? Ia telah menulis otobiograli spiritual, Al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari
Kesesatan) di mana ia mengisahkan masa kekecewaannya ketika menjabat sebagai
guru besar teologi dan hukum. Ia menemukan empat jalan yang harus dipilih sebelum
menemukan dirinya. Pertama, jalan mutakallimun; kedua, jalan para filsuf; ketiga
jalan ismailiyah (al-bathiniyah); dan
terakhir jalan para sufi. Tanpa ragu-ragu al-Ghazali mengatakan bahwa sufi
adalah jalan terbaik. Ia menyatakan bahwa para sufi memiliki hati paling
bersih; semua tindakannya ikhlas; sedangkan tiga jalan lainnya adalah saleh untuk
kemanusiaan. Karena itulah Ghazali memilih jalan sufi. Menurut Ibn Taimiyyah
pernyataan Ghazali adalah benar sekali. Jalan para sufi adalah yang terbaik
dari keempat jalan tersebut. Meskipun ada kelompok-kelompok sufi ekstrem yang punya
pandangan dan perilaku aneh, namun secara keseluruhan, kaum sufi adalah
orang-orang saleh, takut pada Tuhan dan muslim sejati. Tapi kemudian Ibn
Taimiyah berpendapat bahwa ada jalan lain, jalan kelima, yaitu jalan Qur‘an dan
Sunnah. Ia menyatakan bahwa al-Ghazali belum memikirkan jalan ini - huwa kana qalil al ’ilm bihi (pengetahuannya
tentang itu tak banyak). Menurut saya Ibn Taymiyyah benar.
Al-Ghazali adalah orang besar
dan brilian yang mencapai tingkat intelektual tertinggi dan sukses duniawi;
kemudian ia mengundurkan diri di tengah kegemilangan karirnya dan mengambil
jalan sufi. Ibn Taimiyyah menolak pendekatan al-Ghazali terhadap Islam.
Menurutnya, cara yang ditempuh al-Ghazali menjauhkannya dari Qur‘an dan Sunnah.
Namun di antara karya-karyanya terdapat kitab Jawahir al-Qur‘an (Mutiara al-Qur‘an) - sebuah karya besar yang
orisinal, berisi banyak pengertian yang bagus dan spiritualitas yang sehat. Ia
menulis kitab tersebut pada saat masih jadi sufi.
Yang jadi pertanyaan, apakah
al-Ghazali beriman pada al-Qur‘an atau apakah karyanya mencerminkan ajaran
Qur‘an? Al-Qur‘an memberi kita petunjuk. Pertama kali ia memberi petunjuk
kegiatan Nabi, dan juga memberi kita petunjuk saat kita bimbang. Tapi jika kita
membandingkan Jawahir al-Qur’an-nya
Ghazali dengan ajaran Qur’an, saya ragu seseorang bisa menyimpulkan bahwa karya
ini mewakili al-Qur‘an. Karya ini secara keseluruhan menyajikan kesalehan
individual (taqwa) yang diam total terhadap
masalah kemasyarakatan dan problema dunia.
Ketika seorang mahasiswa dari dunia
Islam datang ke Barat, ia bisa terpikat dengan Weber, Durkheim atau Kant, dan
ingin mempelajari lebih jauh para pemikir itu. Ini bagus. Para pemikir itu
adalah orang-orang besar. Mereka telah menulis masalah filsafat dan sosial kemanusiaan,
baik klasik maupun kontemporer. Demikian juga banyak di antara kita tertarik dengan
tokoh-tokoh Islam dan mengatakan bahwa yang benar hanyalah Abu Hamid
al-Ghazali, Imam Fakhr al-Din al-Razi, Ibn Sina, al-Farabi atau Muhammad Iqbal.
Inilah sikap orang bingung, yang tak tahu apa yang akan dilakukannya. Jika kita
ingin petunjuk, kita punya Kitab. Kitab itu diturunkan Allah pada Nabi yang di
dalamnya ada petunjuk dan hasilnya telah terbukti bisa menyelamatkan manusia dari
kegelapan dan kebodohan. Kitab itu memberikan petunjuk dan takwa. Kitab inilah
yang membuat umat Islam tak hanya mampu menaklukkan negeri-negeri lain, tapi juga
mampu membimbingnya. Kita akui bahwa Kitab itu luar biasa hebat. Kenapa kita
tak memakai petunjuk Kitab itu?
Selama masalah ini masih
menyangkut “Islamisasi ilmu pengetahuan,” saya menyimpulkan bahwa kita
seharusnya tak perlu susah payah membuat rencana dan bagan bagaimana
menciptakan ilmu pengetahuan yang Islami. Lebih baik kita memanfaatkan Waktu,
energi dan uang untuk berkreasi. Kita ambil contoh, Aristoteles, filsuf Yunani
yang telah menyusun logika. Ia merumuskan teori silogisme, premis mayor (kubra), premis minor (sughra) dan kemudian kesimpulan (natidjah). la yakin beginilah manusia
berpikir; mereka menyusun premis mayor, kemudian premis minor dalam akal
mereka, dan baru kemudian mengambil kesimpulan. Kenyataannya, semuanya ini tak
terjadi. Pikiran manusia tak silogis, tapi punya cara operasi sendiri. Kita masih
belum tahu bagaimana pikiran itu berproses. Hampir tiap saat kita tak tahu apa
yang ingin kita ketahui, jika kita tak sedang melakukan pekerjaan mekanis.
Sebenarnya ilmu pengetahuan itu sangat misterius. Umumnya orang menganggap pengetahuan
mudah didapat: orang tahu apa yang ingin ia ketahui dan kemudian ia mendapatkan
ilmunya. Kenyataannya tak begitu. Orang tak dapat merencanakan ilmu pengetahuan,
sebab ia diciptakan Allah dalam akal manusia. Namun, seseorang dapat melatih
pengetahuan orang lain dan kemudian mengharapkan hasil terbaik.
Karena itu, harapan saya
adalah kita menciptakan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif
dan positif. Kita tak perlu meletakkan aturan-aturan pada mereka untuk
berpikir. Sebagaimana telah saya tunjukkan dalam kasus Kant: seseorang dapat
saja mengkritik atau menolak proposisinya yang tak sesuai dengan prinsip Islam.
Demikian juga dengan kasus sains sosial Barat, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi dan lain-lain – seseorang bisa menerima atau menolaknya. Hal yang
sama juga perlu dilakukan terhadap pemikir Islam masa lalu.
Menurut pendapat saya, jika
kita tak memeriksa tradisi kita secara seksama, dengan kacamata al-Qur’an, kita
tak dapat melangkah lebih jauh dalam pemikiran Islam. Ini karena kita harus punya
kriteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu jelas berasal dari
al-Qur‘an. Pertama, kita harus memeriksa tradisi Islam kita, dengan memakai prinsip
dan kriteria tersebut; dan kemudian mempelajari secara kritis ilmu pengetahuan
modern. Kita juga harus ingat bahwa pengetahuan dalam Islam muncul agar memungkinkan
kita merubah permasalahan yang ada di dunia. Qur’an adalah Kitab yang
berorientasi pada amal perbuatan. Kita harus menggalinya secara serius dan
menilai tradisi kita, apakah ia benar atau salah. Baru kemudian kita harus
menilai tradisi Barat. Tak ada cara mekanis untuk melakukan itu. Saya tak bisa duduk
dan berusaha mengislamkan Durkheim dan Weber. Saya tak bisa duduk dan secara
mekanis menilai apa yang dikatakan Durkheim tentang masyarakat primitif, atau
apa yang dikatakan Weber tentang masyarakat ini dan itu; pemerintahan ini dan
itu.
Tentu saja seseorang dapat
saja mengatakan bahwa sebagian pendapat itu salah dan sebagian lainnya betul,
tapi hal semacam itu tak akan menciptakan pengetahuan. Pengetahuan kreatif
hanya akan datang jika dalam diri kita tertanam sikap Qur’ani. Baru kemudian
kita dapat mengapresiasi dan juga menilai, baik tradisi kita maupun tradisi Barat.
Meskipun demikian, penilaian dan sikap kritis bukanlah langkah akhir; tapi baru
merupakan langkah pertama dalam menyingkap pengetahuan baru yang mana merupakan
tujuan utama dalam intelektualisme Islam.
* Tulisan
Fazlur Rahman ini aslinya berjudul:
“Islamization of Knowledge: A Response,” dimuat dalam The American Iournal
of Islamic Social Science, Vol. 5/No. I (1988), hal. 3. Diterjemahkan Luthfi
Assyaukanie dan disunting Syaefudin Simon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar