Minggu, 26 Oktober 2014

FILSAFAT ISLAM DAN AL-QUR’AN



FILSAFAT ISLAM DAN AL-QUR’AN
Oleh A. Rahman Djay
Dr. A. Rahman Djay memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia cabang Bandung (kini ITB ), M. Sc dalam bidang fisika dari Mc Master University, Kanada, dan gelar Doktor dari Uppsala Universitet, Swedia. Tak lama setelah pulang dari Swedia, setelah lebih dari sepuluh tahun bekerja pada sebuah lembaga atom di Sana, pria kelahiran Makasar 54 tahun lalu itu bekerja sebagai Direktur Pengkajian dan Penerapan Ilmu Dasar pada Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan BPPT, hingga saat ini. Keahliannya memang dalam ilmu dasar, khususnya fisika nuklir. Banyak penelitian tentang fisika nuklir dan rekayasa nuklir yang pernah dilakukannya, diantaranya di Brook-Haven National Laboratory, Upton, Long Island, USA; di Cavendish Laboratory, Cambridge; di Institut fur Angewandte Physik, Universitet Bonn; dan di laboratorium-laboratorium di Swedia, tempat ia meniti karier akademisnya. Kini, selain banyak melakukan penelitian untuk BPPT, Bapak seorang putri bernama Iqriah (yang
menurutnya diambil dari wahyu pertama al-Qur’an, iqra’) ini juga   mengajar di berbagai negara, antara lain di Kenya dan Swedia, Pada semester lalu, ia juga sempat memberi kursus filsafat sains di LSAF, sebagai dosen utama.

Dalam perkembangan Filsafat Islam, ada dua gaya berfilsafat, yaitu gaya al-Kindi dan Ibn Sina, dan gaya al-Farabi dan Ibn Rusyd. Yang pertama lebih bercorak teologis-falsafi, dan yang kedua betul-betul memisahkan keduanya dalam analisis dan mencoba membangun suatu Filsafat yang tidak “dibayang-bayangi” oleh teologi. Inilah awal mula berkembangnya tradisi analitik, yang kelak akan menumbuhkan tradisi berpikir sains. Sayangnya, menurut A. Rahman Djay, perkembangan ini berlangsung hanya dalam tiga abad. Setelah itu, dunia Islam mengalami kemunduran yang ditandai dengan berkembangnya sufisme. Sementara itu tradisi analitik berkembang dalam skolastisisme Kristen, dan kemudian memisahkan diri dalam bentuk sains modern.

Tujuan utama misi kerasulan Muhammad saw. ialah menyempurnakan moralitas (akhlaq) umat manusia, sebagaimana hadits, “Sesunggahnyalah, aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan kualitas sifat-sifat mulia umat manusia.” Penyempurnaan itu bukan saja dalam ruang lingkup moral, tetapi juga dalam aspek sosial, budaya, politik dan ruang lingkup kehidupan lainnya. Beberapa kutipan dari ucapan Nabi di bawah ini mencerminkan hal tersebut.
Tentang keluarga Allah, ”Seluruh makhluk Allah ada dalam suatu keluarga dan yang paling disayangi-Nya ialah yang paling banyak memberikan kebaikan kepada makhluk Allah lainnya.” Tentang bermoral baik, “Sesungguhnya, yang terbaik diantara kalian ialah yang memiliki karakter moral terbaik.” Tentang tingkah laku, “Takut kepada Allah dan bertingkah laku baik akan mengantarkan seseorang ke dalam surga.” Tentang orang terbaik, ”Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.” Tentang pendapatan hasil kerja, “Tiada makanan yang terbaik untuk dimakan kecuali hasil upah pekerjaan sendiri.” Tentang sogok, “Allah mengutuk penerima dan pemberi sogok.” Tentang orang munafik, “Orang yang terbiasa memiliki empat kebiasaan berikut adalah munafik: (1) bilamana sesuatu dipercayakan kepadanya maka dia mengkhianatinya; (2) bilamana dia berbicara, kebanyakan yang diucapkan adalah kebohongan, (3) bilamana dia berjanji, tidak ditepatinya; dan (4) bila dia bertengkar menggunakan kata-kata kotor.” Tentang kecemburuan, “Lindungilah dirimu dari sifat cemburu, karena cemburu memakan tindak kebaikan seperti halnya api membakar kayu-kayuan” Tentang tuntunan kebaikan, “Barangsiapa menuntun orang melakukan kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahalanya pula,” Tentang kesamaan manusia, “Tidak lebih baik scorang Arab itu daripada bukan Arab dan sebaliknya, tidak pula orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan sebaliknya; kelebihan seseorang dinilai dari ukuran kesalehannya.”
Demikian beberapa butir etika praktis yang diangkat dari hadits Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Tirmidzi. Selain doktrin yang mendasari iman dan ibadah, al-Qur’an juga mengandung banyak ajaran religius, etis (wijdaniyyat) dan perintah legalistis. Kewajiban religius (ibadah) membentuk dasar Islam. Tetapi bukan itu saja yang dilembagakan ketentuan-ketentuannya. Dalam soal keimanan, dalam mempercayai keputusan Allah mengenai kebaikan dan kejahatan (Q. 9:51; 3:139; 35:2), terdapat faktor dominan dalam pikiran dan perbuatan kaum Muslimin sepanjang masa. Tindakan benar (ihsan) memiliki dukungan otoritas yang sama. Sanksi atas moralitas pribadi dan masyarakat dalam dunia Islam seluruhnya bersifat religius. Pada dasarnya kehendak Allah, seperti yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, menetapkan mana yang benar (halal, diizinkan, dilegitimasi) dan mana yang salah (haram, dilarang).
Dalam evolusi historisnya, Islam menekankan keimanan Serta moralitas perorangan (Q. 53:39-42; 3I:32). Dalam hal kebajikan, manusia dituntut kemurahan hati dalam bentuk zakat (Q. 2:I'72; 4:40; 7:3I).
Sebagai bagian dari Hlsafat maka bidang moralitas dicakup oleh filsafat moral yang merupakan suatu ilmu (science) karena memiliki struktur kebenaran yang terorganisasi serta asas-asas yang jelas dengan sendirinya (self-evident). Filsafat moral meliputi refleksi atas persoalan yang ditimbulkan oleh moralitas' manusia. Persoalan itu, misalnya, bagaimana manusia harus berperilaku, apa itu hidup dan kehidupan yang baik. Di sini filsafat moral mencari penjelasan dan menilai pendapat moral manusia. Dalam terminologi agama, usaha mencari penjelasan dan menilai pendapat moral manusia merupakan bidang teologi moral yang secara umum adalah Studi tingkah laku manusia dalam relasinya dengan suatu kepercayaan teologis. Kalau kita menyebut teologi moral Islam, dongan demikian, itu adalah studi tentang tingkah laku Islam. Dan sebagai ilmu, etika yang mempelajari arti “karakter kebajikan”, dan pada pertanyaan tentang “apa yang baik bagi manusia”, teologi moral tersebut juga  mendiskusikan tingkah laku manusia sejauh mana menuju atau menjauhi kebaikan. Pada akhirnya teologi moral adalah etika juga yang mempunyai dimensi filsafat.

Filsafat Yunani dan Pengaruhnya kepada Islam
Aristoteles (384-322 SMI memulai risalahnya tentang etika dengan kata-kata yang terkenal: “Every art and every scientific enquiry,as well as every action and deliberate choice is held to aim at a good,” di mana “good” dia maksudkan sebagai suatu obyek nilai, sesuatu yang mulia untuk dicapai.
Kita merujuk kepada Aristoteles, karena: (a) dialah yang pertama menulis suatu risalah mengenai etika, di dalamnya dia telah mengetahui lebih dahulu banyak problema modern; dan (b) di samping itu, selain Plato (427-347 SM), Aristoteleslah yang paling dalam pengaruhnya atas fisafat Islam.
Dalam menguji filsafat Arab selalu timbul pertanyaan: seberapa jauh pikiran dan gagasan Yunani yang diislamisasi, atau gagasan Islam yang dihelenisasi? Ternyata alam pikiran Yunani, yang menekankan kekuasaan pemikiran manusia untuk memecahkan persoalan misteri alam semesta, tidak selalu cocok dengan struktur agama yang berdasarkan wahyu. Maka diperdebatkanlah apakah akal pikiran manusia yang diukur dengan wahyu, ataukah wahyu yang harus dijelaskan dengan akal pikiran manusia.
Warisan filsafat Yunani yang masuk ke dunia Islam, muncul dalam bentuk Neo-Platonisme. Tokoh-tokoh filsafat Islam yang terkemuka antara lain adalah al-Kindi (801-873 M), al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198 M). Dalam sejarah terlihat bahwa pemikiran filsafat Islam inilah yang menjadi awal perjalanan dan penemuan intelektual Islam yang akan mempengaruhi pemikiran Eropa abad pertengahan.
Neo-Platonisme adalah aliran filsafat yang dimulai oleh Ammonius Saccus (175-224 M) di Alexandria, kemudian diperluas dan diperdalam oleh Plotinus (205-270 M), murid Ammonius Saccus, yang kemudian berkembang hingga masa Proclus (411-485 M). Dasar Neo-Plastonismenya adalah adanya supremasi serta prioritas Yang Tunggal (the One) terhadap Yang Banyak. Plotinus meletakkan ontologi dan epistemologi berdasarkan penafsirannya atas dialog Plato. Yang Tunggal atau Yang Luhur (the Good), adalah Yang Sempurna, yang menurunkan (emanasi) citranya sendiri, yaitu Nous (pikiran atau inteligensia). Nous kemudian menurunkan, sebagai hasil renungannya pada Yang Tunggal itu, suatu entitas yang disebut psyche (dunia-jiwa). Jiwa (soul) adalah penyebab efisien sisa alam semesta, begitu juga sub-jiwa (jiwa-jiwa yang lebih rendah), benda-benda langit dan materi (yang terletak di pinggir alam semesta). Manusia adalah sebagian dari jiwa dan sebagian dari materi. Penyebab akhir dari segalanya datang dari Yang Tunggal dan kembali melalui konversi dalam pengetahuan dan keinginan menjadi psyche dan nous.
Jadi alam semesta dibangun atas dua ecstatis (gerakan melingkar) dimana makhluk keluar atau ber-emanasi dari Yang Tunggal dan kembali kepada-Nya melalui konversi. Hampir seluruh pemikiran para filsuf Islam sebelum Ibn Rusyd dipengaruhi oleh Plotinus – khususnya,  tidak disangsikan lagi, Ibn Sina.

Dua Garis Gaya dalam Filsafat Islam
Filsafat intelektual Islam dari awalnya berakar pada Cara berpikir filsafat Plato, Aristoteles dan beberapa dari sekolah Neo-Platonisme. Korpus pemikiran ini mengandung komponen atau substansi sesuatu yang bersifat teologis, kosmologis, etis dan politis. Penerimaan filsafat dalam dunia Islam bukan tidak tanpa masalah. Pendapat kebanyakan intelektual Islam pada awal abad ketiga hijrah, menganggap tidak dibutuhkan lagi korpus aturan kehidupan sejak munculnya Nabi. Mengapa? Karena al-Qur’an telah rnengandung segalanya yang dibutuhkan sebagai jaminan atas keselamatan hidup dunia dan akhirat, termasuk di dalamnya dasar-dasar dalam bidang iman dan aturan berperilaku. Di samping itu ada pula praktek, malah teori, mengenai organisasi sosial, masalah perorangan dan pemilikan harta. Semua itu telah ada korpus hukumnya (dalam fiqih) yang didasari oleh al-Qur’an, tradisi Nabi dan sahabat-sahabatnya (sunnah) dan ketentuan serta pendapat dari khalifah generasi awal. Termasuk di antaranya mengenai spekulasi tentang Allah, kebebasan dan kekuasaan. Soal ini telah ada secara sistematis dalam kalam (teologi).
Walaupun demikian, akhirnya fllsafat pun dapat masuk ke dalam lingkungan Islam. Ini karena pengaruh Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), yang pernah bermimpi bertemu dengan Aristoteles yang mengatakan kepadanya bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara hukum agama (syari‘ah) dengan filsafat Yunani.
Jika kita analisa lebih lanjut isi filsafat Aristoteles, memang dalam beberapa hal ada kecocokannya dengan agama Islam. Tetapi, di samping itu, keduanya juga mengandung banyak pertentangan dan kontradiksi. Misalnya. Aristoteles mengajarkan bahwa dunia ini abadi. Soal ini bagi Islam, yang mempunyai konsepsi dasar mengenai penciptaan, sulit untuk diterima. Tuhan dalam konsep filsafat Yunani tidak sama dengan Allah yang dilukiskan dalam al-Qur’an. Karena para filsuf, terutama dari kalangan Neo-Platonis, khususnya Proclus dan Iamblichus, mengembangkan secara eksplisit teologi politeistik.
Demikian pula, pendekatannya terhadap masalah hidup sesudah kehidupan duniawi, ajaran sosial dan etikanya pun tidak memuaskan para intelektual Islam. Sekalipun ajaran Neo-Platonisme ini telah mengusahakan penggabungan alam pikiran Plato, Aristoteles dan Stoicisme, sehingga sangat kuat diwarnai oleh agama, tetapi dasar agamanya tetap politeistik. Akibatnya pemikir serta intelektual yang mengaku filsuf yang tetap mau menjadi Muslim menghadapi macam-macam kesulitan.
Garis turunan para filsuf – baik dalam tradisi filsafat Yunani mau pun tradisi Islam- dimulai dengan al-Kindi dan diteruskan sampai kepada Ibn Sina. Al-Kindi menetapkan beberapa prinsip filsafatnya, antara lain mengenai kekuasaan dan keesaan Tuhan, juga pengertian mengenai kebajikan apa yang harus dilakukan dan kejahatan apa yang harus dihindari.
Mengenai Allah, al-Kindi pertama-tama melihat hanya satu: yaitu penyebab ciptaan seluruh materi dan anti materi yang merupakan kesatuan. Semua eksistensi adalah satu atau dipersatukan. Kedua adalah kenaikan tingkat dari roh manusia, melalui usaha kebaikan, beralih menempatkan diri dari dunia nyata ke dalam dunia intelek, melampaui ruang planet-planet dan bintang-bintang, ke dalam dunia di mana diri berfusi dengan cahaya Allah.
Yang ketiga, yang ada kaitannya dengan etika kosmologis atau intenerari astronomis (rencana perjalanan dan akhir alam semesta), adalah pandangannya mengenai alam sejagat yang tunduk kepada Allah. Hal ini menarik terutama karena al-Kindi membangun alam pikirannya dari penafsiran atau komentarnya atas ayat al-Qur’an yang melukiskan bagaimana bintang-bintang itu sujud (sajada) di hadapan Allah, “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohom, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar daripada manusia” (Q. 22:l8).
Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apa itu yang dimaksud dengan sujud? Al-Kindi berpendapat bahwa bintang-bintang itu taat kepada Allah. Karena bagaimana pun, alam semesta ini diperintah oleh Allah.
Di sini, dalam melihat komentar ayat al-Qur’an, al-Kindi dibantu oleh kosmologi Yunani. Dasar kosmologi Yunani adalah metafisika (kosmologi metafisika). Pandangan kosmologis yang metafisis inilah yang mendasari doktrin kosmologis Islam. Hal ini bisa diamati kalau kita mengkaji metode dan gaya analisa Ikhwan al-Shafa, al-Biruni dan Ibn Sina (lihat, Sayyed Hossein Nasr, An Introductionto Islamic Cosmological Doctrine, Thames and Hudson, London,1978); dan pada umumnya para filsuf Islam masih menggeluti jalur metafisika pada komentarnya atas ayat-ayat kosmos dan ilmu pengetahuan alam yang tersebar dalam al-Qur’an (penulis menaksir sekitar 10% dari korpus).
Selanjutnya al-Kindi, dalam komentarnya mengenai masalah hidup dan mati pada ayat al-Qur’an, menunjukkan bahwa apa yang dicari dan dikembangkan oleh para filsuf sepanjang masa melalui usaha keras, para nabi menyebarkannya dalam waktu singkat masa hidupnya, karena Allah memberi mereka inspirasi. Allah juga memberi kepada para nabi anugerah kekuatan imajinasi yang luar biasa yang berproyeksi ke luar -sebagai teori “vision” (penglihatan) dalam bentuk pancaran sinar- yang kandungannya bervisi profetis. Di sini tampak bahwa al-Kindi memakai dan memperluas alam pikiran Yunani, sementara itu dia tetap dalam kerangka pikiran Islam, dengan menangani butir-butir teologi secara khusus.
Aristoteles mengajarkan dunia abadi, di mana al-Kindi mendemonstrasikan sebaliknya: dunia tidak infinit atau abadi tetapi mempunyai suatu permulaan. Al-Kindi tampaknya tidak pernah jauh dari titik pandang religius.
Al-Farabi menelusuri filsafat yang lebih tidak tergantung pada agama. Secara tegas dia adalah seorang Neo-Platonis yang monoteis. Sudut pandangnya bernada agak sekuler dengan mengembangkan metafisika emanasi (keasal-usulan) tentang bagaimana alam semesta ini berasal dari Yang Satu. Pada al-Kindi dasar filsafat metafisikanya adalah penciptaan: keluar dengan konsep transisi dari ide unifikasi ke ide ekstensiasi, dan sebaliknya dari ide ekstensiasi kembali ke ide unifikasi. Sedangkan al-Farabi berbicara tentang emanasi, di mana suatu flux (aliran) memancar keluar dari Yang Pertama. Kalau Yang Pertama diafinitaskan dengan- “singularitas matematik”, maka konsep al-Farabi dekat dengan kosmologi fisika. Jelaslah bahwa pandangan al-Farabi adalah murni Neo-Platonistis dan cukup jauh dari ide agama mengenai penciptaan - yaitu suatu pandangan yang secara ortodoks esensial.
Sekarang bisa diperhatikan, bahwa jika menganalisa istilah yang dipakai oleh kedua filsuf ini, maka terungkap detil berikut: al-Kindi menyebut Allah sebagai Satu Sejati, al-Farabi menyebut-Nya dengan Yang Pertama. Dan kedua istilah filsafat tersebut (Satu Sejati dan Yang Pertarna) dapat ditemukandalam al-Qur’an.
Bolehlah dikatakan, kedua istilah filsafat tersebut berafinitas dengan prinsip keesaan Tuhan dan merupakan konsekuensi ide tauhid (unicity), yang merupakan dasar Islam. Dalam doktrin Islam, ada konsep la ilaha illa Allah, yang biasa dipahami sebagai tiada Tuhan selain Allah. Tetapi dalam pengertian filosofis al-Kindi dan al-Farabi diartikan tidak ada realiaas di luar, kecuali Realitas Mutlak (yaitu Satu Sejati dan Yang Pertama). Dengan demikian mereka menegasikan kesatuan totalitas yang bukan Allah.
Perumusan inilah yang nantinya menjadi basis al-Qur’an kaum sufi tentang “Kesatuan Yang Ada dan Terjadi” (wahdah al-wujud). Tentu saja hal ini tidak diartikan bahwa ada satu kontinuitas substansial antara Tuhan dengan alam semesta, atau suatu panteisme atau monisme, melainkan suatu pengertian yang menegaskan bahwa tidak boleh ada suatu pasangan tingkat realitas yang saling bebas satu dengan yang lain.
Al-Farabi menyampaikan kepada kita bahwa agama dan filsafat memiliki suatu sumber tunggal, yaitu cahaya intelektual yang datangnya dari Allah (tetapi tidak secara langsung) dan karena itu mengandung isi yang sama. Bagian spekulatif dan praktis dari agama koresponden dengan bagian teoretis dan praktis dari filsafat. Selanjutnya, karena tidak semua orang mampu berspekulasi secara falsafi, maka yang tak mampu itu membutuhkan representasi visual dari kebenaran. Representasi visual ini berubah menurut masing-masing nabi dan lingkungan tempat di mana representasi itu disebarkan, dan inilah penjelasan dari adanya keanekaragaman agama di dunia.Jadi tampaknya al-Farabi mengantarkan dirinya memasuki garis filsafat kedua, yaitu suatu filsafat yang sedapat mungkin tidak memasuki bidang agarna berdasarkan wahyu. Kegunaan wahyu bagi al-Farabi adalah untuk memperoleh kebajikan, sebagai fungsi sosial dari agama. Aspek lain dari filsafat Islam yang akan disinggung sedikit dalam tulisan ini ialah filsafat yang diturunkan oleh Ibn Sina yang pada umumnya menampilkan diri sebagai seorang fllsuf agama. Dia menganjurkan paham yang bersifat mistik, namun demikian dia  diserang oleh para ahli agama terutama dalam masalah fundamental seperti pengetahuan Allah terhadap sesuatu yang tertentu (juz’iyyat) dan pembangkitan di hari kiamat.
Ibn Sina terutama dikenal sebagai filsuf secara teknis. Karya agungnya, al-Syifa’, adalah suatu ensiklopedia yang meliputi ilmu-ilrnu yang dikenal pada masanya, di mana dia secara sistematis melanjutkan jalan pikirannya dengan memakai konsep-konsep Aristoteles secara baik, tetapi juga dipengaruhi oleh Neo-Platonisme, dengan mengganti ide politeistik dengan ide Islam. Teori inteleknya meliputi pengetahuan penyatuan diri (bila kita ingin dan mampu rnelakukannya) dengan agen intelek yang memberi bentuk yang dapat dipahami oleh jiwa manusia.Dia selalu berpikir untuk rnengharmoniskan antara agama dengan filsafat.
Dalam teori wahyu Islam, hanya ada satu perantara yaitu malaikat. padahal menurut Ibn Sina ada sejumlah hirarki intelek. Perbedaan yang esensial adalah karena pandangan prophetology Ibn Sina dalam kodratnya terlalu intelektualistis. Segalanya dimulai dan berakhir dengan intelek. Prophetism bisa dipandang menduduki tempat dalam kosmologi rnetafisika. Di sini pun Ibn Sina mengajukan konsep struktur hierarki alam semesta, suatu hierarki ‘ruang anti materi dan hierarki ruang materi. Rasul ialah seseorang yang berkomunikasi dengan ruang langit (kerajaan langit), komponen totalitasnya -akal, rohani dan jasmani- lebih dekat kepada Allah dibandingkan dengan makhluk lainnya. Nampaknya Ibn Sina rnenjadi precursor dari trialist interactionist Sir Karl Popper dengan konsepsinya tentang tiga dunia, yang didukung oleh ahli penyelidik otak manusia, Sir ]ohn Eccles (Nobel laureate Kedokteran 1963).
Dunia 1 adalah dunia obyek fisikalis dan segala fenomena yang ada di dalamnya. Dunia itu terdiri dari seluruh kosmos materi dan energi, semua biologi termasuk otak manusia, dan seluruh artifacts yang telah dilakukan manusia untuk rnengkode informasi. Dunia 1 adalah dunia totalitas bagi kaum materialis, di luar daripada itu hanyalah fantasi.
Dunia 2 adalah dunia kesadaran dan tingkat pengetahuan subyektif atas segalanya. Totalitas persepsi ada dalam Dunia 2 ini, yang mempunyai Liga tingkatan atau spektrum. Tingkat pertama, outer sense, merupakan persepsi biasa yang ditimbulkan oleh panca indera. Tingkat kedua, inner sense, dunia dengan persepsi halus, seperti emosi, perasaan, akal, intuisi, ingatan, mimpi dan imajinasi. Tingkat ketiga, yang merupakan teras Dunia 2 adalah “ego murni”, atau “ego diri”, yang menjadi basis kesadaran diri manusia yang mengalami hidup. Dunia 2 ini adalah realitas primer.
Dan Dunia 3 adalah dunia budaya. Dunia 3 ini adalah dunia yang diciptakan oleh manusia sendiri dan -sebaliknya- kembali mempengaruhi manusia. Dalam seluruh kehidupan manusia. dalam setiap tindakan yang dilakukannya. tidak putus-putusnya manusia diayunkan antara Dunia l dan Dunia 2. Pada diri kita secara kontinu terjadi interaksi sangat kuat antara ketiga Dunia tdr Dunia 1 – Dunia 2; dan Dunia3-Dunia1- Dunia 2. Trjansmisi dari Dunia 3 ke Dunia l dan ke Dunia 2 terjadi melalui proses tanggapan pancaindera, dengan coded transmission ke otak yang kernudian di-decoding dalam otak. Kalau ada transrnisi langsung dari Dunia 3 ke Dunia 2, maka itulah clairvoyance.
Tema sentral dalam perhubungan otak-akal pikiran (brain - mind ), adalah soal ego yang memberikan kita rasa kontinuitas terhadap waktu dan unit diri, yang dalam arti religius disebut roh. Kembali ke Ibn Sina, roh (soul) menurutnya berafinitas dengan interaksi antara otak - jiwa (brain - mind).
Dalam beberapa hal, Ibn Sina berbeda pendapat dengan para filsuf Islam lainnya. Pendapat Ibn Sina cukup unik dan orisinal. Pertama, dia membedakan antara wujud yang harus ada (wajib al-wujud, necessary being) dan wujud yang mungkin ada (mumkin al-wujud, contingent being). Yang pertama diasosiasikan dengan Allah, dan merupakan suatu terminologi filsafat. Kedua, penciptaan itu merupakan suatu hal yang perlu, dan paling kurang substansi sempurna langit adalah abadi dan berlanjut terus dalam emanasi. Dengan mengatakan bahwa penciptaan alam semesta adalah suatu keharusan dan abadi sifatnya, ia berarti agak menjauhi doktrin agama, di mana penciptaan dipandang sebagai hasil aksi kemauan Allah dan tidak boleh dilukiskan sebagai suatu keharusan. Ketiga, jika ciptaan itu dianalisa secara ontologis, maka dapat dibedakan -dalam ciptaan itu- adanya esensi dan eksistensi. Di sini Ibn Sina dapat dicatat sebagai orang yang pertama menggunakan metode analisis dan mencatat kesuksesan dalam sejarah filsafat. Dunia Barat kelak akan memperpanjang dan memperluas jalan pemikiran dari metode analisis Ibn Sina ini. Realitas kontemporer duniawi rnemperlihatkan kepada kita kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Kaumnya sendiri, antara lain al-Ghazali, menuduhnya terlalu mengagungkan filsafat. Ibn Rusyd menganggapnya terlalu religius, karena mencampuradukkan agamanya dengan filsafat. Yang jelas, dengan segala kesulitan, Ibn Sina telah berusaha keras mengaitkan agama dengan filsafat, melebihi usaha al-Farabi dan Ibn Rusyd.
Dari tinjauan historis di atas, dapatlah disimpulkan bahwa dalam filsafat Islam ada dua garis gaya, yaitu gaya al-Kindi dan Ibn Sina, dan gaya al-Farabi dan Ibn Rusyd. Keduanya harus dianggap tumbuh sebagai fungsi dari Islam. Islam memang memberikan ruang berkembangnya berbagai macam gaya, begitu pula pilihan sumber inspirasi serta masalah yang harus dipecahkan.

Masalah Exegesis al-Qur’an
Suatu subyek penting dalam kaitan prinsip yang benar atas penafsiran Kitab-kitab Suci ialah masalah exegesis (di sini yang dimaksud dengan exegesis adalah suatu kata yang kadang dipakai untuk efek kontras, yaitu membacakan arti ke dalam teks yang dibaca selain membaca arti dariteks). Dalam kebiasaan tradisional apa yang disebut hermeneutik adalah ilmu dan seni menafsir, terutama terhadap tulisan-tulisan kuno yang dianggap memiliki kebenaran abadi.
Pada puncak zaman pertengahan, diterapkan empat macam metode interpretasi yaitu literal, figuratif (atau alegorikal), moral, dan analogikal (yaitu spiritual atau supernatural). Kemudian, pada zaman reformasi, muncul prinsip bahwa Kitab-kitab Suci harus ditafsir sendiri oleh konsep skriptual, tetapi hal ini telah menimbulkan keraguan karena hanya merupakan penggantian dari satu rangkap prinsip interpretasi dogmatik dengan yang lainnya. Exegesis kontemporer belum berhasil menemukan suatu proses exegesis yang obyektif atau ilmiah. Akal (reason, yaitu metode analisis kritis yang historis) dan tradisi (yaitu konsensus para ulama), masih memainkan peran penting dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Dalam hal ini, pengetahuan individual yang meluas serta mendalam dari, penafsir dalam mengaitkan atau menghubungkan kata dan atau ungkapan ayat-ayat atau sumber pikiran historis dengan kebutuhan dan realitas kebenaran pada kurun waktu hidupnya sendiri masih sangat diperlukan. al-Qur’an, dalam Surah 3:7, memberi petunjuk penting dalam rangka menafsirkan al-Qur’an. Disebut ada dua pengertian, yaitu ada ayat yang bersifat muhkamat (sudah mapan maknanya atau jelas artinya) dan ada ayat yang bersifat mutasyabihat (figuratif, allegorik atau metaforik maknanya). Ayat itu lengkapnya berbunyi:
Dia yang menurunkan Kitab kepadamu. Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, ini mempakan inti atau fondasi Kitab Suci; dan yang lain mutasyabihat. Tetapi mereka yang sesat jalan pikirannya mengikuti yang mutasyabihat dan menuju ke pendurhakaan, mencari-cari makna yang terselubung, Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui arti terselubungnya kecuali Allah. Dan orang yang dalam serta luas ilmunya akan berkata, Kami mempercayai ayat-ayat ini, semuanya berasal dari sisi Tuhan kami; tetapi tidak akan dipahami kecuali orang-orang yang berpengetahuan.

Ayat-ayat yang muhkamat membentuk korpus syariat yang jelas maknanya bagi pikiran umum; tetapi mungkin pula merupakan induk Kitab. Harus diperhatikan bahwa pembagiduaan arti tersebut, jangan diartikan sebagai pembagian atau pemecahan ayat-ayat, tetapi hanyalah arti yang dikaitkan. Arti yang dikaitkan itu bisa pluralistik maknanya. Di sini paling kurang ada empat hal yang penting: (a) kehendak atau tujuannya, (b) referensinya, (C) definisi atau terjemahannya, (d) causal antecedent-nya atau konsekuensinya. Dalam rnenentukan mana ayat yang mutasyabihat, timbul perbedaan pendapat di antara para intelektual Islam. Tetapi, Nabi bersabda, “Perbedaan pendapat diantara para ulama akan merupakan suatu hikmah.” Tampaknya, yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah bahwa perbedaan pendapat itu bisa menyediakan wahana bagi dinamika untuk eksistensi Islam sebagai salah satu agama besar di dunia dalam menangani seluruh permasalahan kehidupan kontemporer dan kelanjutan kehidupan umat manusia.
Perbedaan antara struktur realitas dengan struktur spekulatif adalah dasar fundamental di mana di atasnya ditentukan derajat atau nilai keilmiahan dari hasil pemikiran manusia. Dengan dasar demikian itu, al-Qur’an menghadapi akal pikiran manusia yang matang serta waras. Dasar ini menuntut cendekiawan Islam agar tidak menerima sesuatu yang dianggap kebenaran ilmiah melalui dugaan semata-mata, tetapi dengan jalan alasan bukti yang diverifikasi oleh eksperimen yang jujur.
Pandangan kebanyakan intelektual Islam terhadap pengetahuan alam mengarah pada teori tentang penciptaan dan kelanjutan eksistensi alam semesta oleh Tuhan. Padanya ada hierarki, yakni suatu ketergantungan ontologis kepada Penciptanya, suatu keteraturan dalam pengaturan dan menuju satu tujuan yang diusahakan. Mereka memandang ruang alam. yang mengandung manifestasi hukum-hukum alam formal, menjadi hierarki pokok ialah pencipta dan ruang-waktu ciptaan-Nya yang berkodrat, berhingga atau berlimit. Mereka percaya akan adanya keteraturan dalam alam yang ditimbulkan karena penciptanya, tetapi secara terus menerus pencipta melakukan intervensi atau pun yang dilakukan oleh perantara-Nya (malaikat), atau dari kemampuan unit dunia rohani, sehingga mengakibatkan seluruh kandungan alam semesta saling berkaitan satu dengan lainnya dan demikian pula antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Intervensi Tuhan atas ciptaan-Nya, merupakan pendapat yang  mendominasi dan memberi ciri khusus pada jiwa kefilsafatan serta keilmuan cendekiawan Islam sejak dari abad pertengahan hingga sekarang. Dengan secara kokoh berpegang pada doktrin yang sangat dogmatis ini, mereka telah menyurutkan -malah menghentikan- sumbangan ilmu pengetahuan alam dari intelektual Islam sejak meredupnya aktivitas rasionalistik Islam sejak abad ke-13. Pegangan pokok pikiran Islam tidak membedakan derajat atau tingkat pengintervensian Allah dalam ciptaan-Nya. Juga memandang bahwa Allah melakukan intervensi atas segala domain ciptaan-Nya secara homogen dan isotropik. Ilmuwan dan cendekiawan Islam memandang bahwa mempelajari alam bukanlah tujuan terakhir dari misi hidup dan kehidupannya. Ia hanyalah merupakan perangkat lunak untuk mencapai tujuan hidup dan kehidupan yang sudah terdapat di dalam korpus ayat-ayat al-Qur’an secara muhkamat.
Dalam beberapa aspek norma norma pengetahuan, sering disebutkan bahwa perbedaan antara sains masa kuno dan sains klasik utamanya terletak pada pemakaian eksperimen. Dan sudah menjadi fakta yang dipercaya umum dari kebanyakan para filsuf, sejarawan ilmu pengetahuan dan ilmuwan pengetahuan alam, bahwa pengintroduksian norma eksperimental adalah ciri khas dari pemutakhiran ilmu-ilmu zaman kuno yang disebut modernitas klasik; tetapi juga mereka beranggapan bahwa seluruh upaya itu adalah hasil karya intelektual Eropa.
Namun demikian, pada awal abad ke-19, beberapa sejarawan sains dan filosof meninggalkan pendapat yang dominan ini dan menegaskan bahwa permulaan eksperimentasi secara ilmiah diletakkan oleh ilmuwan Islam -pendapat seperti itu antara lain datang dari Alexander von Humboldt dan Cournot. Bapak dari alkemi Arab, yaitu Jabir Ibn Hayyan (Geber), yang muncul pada tahun 776 M di Kufah, menekankan pentingnya eksperimen obyektif dalam ilmu kimia. Demikian pula dengan al-Razi (Rhazez, 865-925 M), yang memakai metode kimiawi dalam klinis kedokteran. Dari sumbangan penelitian empiris, mereka telah memberi kemungkinan atau membukakan jalan bagi proses di mana art mendapatkan status science. Ibn al-Haytsam (Alhazen, 965-1039 M) telah menunjukkan bahwa ada beberapa jenis hubungan antara matematika dengan fisika, dan ini menjadi pedoman bagi fungsi korespondensi dalam paham eksperimentasi. Selanjutnya, eksperimentasi adalah satu kategori pembuktian.
Karya kreatif tersebut, dalam bidang sains, yang mendapatkan momentumnya pada abad ke-3 H, tampak mulai meredup pada abad ke-6 H. Hal itu terutama disebabkan bertambahnya komentar ajaran teologi dan filsafat yang mendebatnya. Skolastisisme juga telah mendesak dan kemudian mengambil tempat filsafat analitik dan pemikiran ilmu eksakta. Kerangka dasar teologi skolastik yang dibangun oleh al-Asy‘ari (w. 935 M) dan al-Ghazali masih sangat kuat mempengaruhi alam pikiran Islam sampai dewasa ini. Sebaliknya, Kristianitas berhasil melakukan penerobosan dari skolastisismenya.
Sejak itulah Barat meluncur dengan pesatnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan kemudian turunannya dalam bidang teknologi. Sementara itu para intelektual Islam melakukan pemberhentian yang lama pada teologi skolastik. Pemberhentian ini menciptakan sufisme sebagai bentuk mistisisme dalam Islam. Sufisme secara umum bukan merupakan suatu perangkat doktrin, tetapi lebih mirip sebagai cara atau wawasan berpikiran dan berperasaan dalam domain keagamaan. Sufisme muncul sebagai reaksi terhadap intelektualisme dan formalisme dalam Islam.
Dalam sufisme diajarkan kebajikan dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali, kebajikan terdapat dalam kesempurnaan realisasi diri (jasmani dan rohani), yang tujuannya tergantung pada keselarasan serta hubungan yang mantap antara intelek, kepentingan diri dan gairah hidup yang dikendalikan oleh nilai-nilai keagamaan. Setiap Muslim harus memikul dengan penuh ketabahan segala kesulitan dan ujian-ujian kehidupan dan menaruh kepercayaan penuh kepada Allah. Setiap Muslim tidak boleh memiliki rasa takut kepada kematian, karena kematian membuka pintu ke dalam surga. Kesabaran dan kepercayaan diri harus dimilikinya.
Inilah, dalam arti sepintas serta praktis, yang menjadi basis moral Muslim, yang telah melahirkan dan masih akan melahirkan manusia-manusia berkarakter dan berintegritas tinggi. Memang masih harus diakui, seperti terjadi pada agama lainnya, bahwa ajaran ini belum menuntun manusia untuk setia pada kewajiban -seperti yang dicita-citakan seperti hadits Nabi yang sudah ditulis di muka, “Sesungguhnya Aku diutus oleh Allah untuk menyempumakan kualitas sifat-sifat mulia umat manusia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar