FILSAFAT ISLAM DAN AL-QUR’AN
Oleh
A. Rahman Djay
Dr.
A. Rahman Djay memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia cabang
Bandung (kini ITB ), M. Sc dalam bidang fisika dari Mc Master University,
Kanada, dan gelar Doktor dari Uppsala Universitet, Swedia. Tak lama setelah
pulang dari Swedia, setelah lebih dari sepuluh tahun bekerja pada sebuah
lembaga atom di Sana, pria kelahiran Makasar 54 tahun lalu itu bekerja sebagai
Direktur Pengkajian dan Penerapan Ilmu Dasar pada Deputi Bidang Pengkajian Ilmu
Dasar dan Terapan BPPT, hingga saat ini. Keahliannya memang dalam ilmu dasar,
khususnya fisika nuklir. Banyak penelitian tentang fisika nuklir dan rekayasa
nuklir yang pernah dilakukannya, diantaranya di Brook-Haven National
Laboratory, Upton, Long Island, USA; di Cavendish Laboratory, Cambridge;
di Institut fur Angewandte Physik, Universitet Bonn; dan di
laboratorium-laboratorium di Swedia, tempat ia meniti karier akademisnya. Kini,
selain banyak melakukan penelitian untuk BPPT, Bapak seorang putri bernama
Iqriah (yang
menurutnya
diambil dari wahyu pertama al-Qur’an, iqra’) ini juga mengajar di berbagai negara, antara lain di
Kenya dan Swedia, Pada semester lalu, ia juga sempat memberi kursus filsafat
sains di LSAF, sebagai dosen utama.
Dalam perkembangan
Filsafat Islam, ada dua gaya berfilsafat, yaitu gaya al-Kindi dan Ibn Sina, dan
gaya al-Farabi dan Ibn Rusyd. Yang pertama lebih bercorak teologis-falsafi, dan
yang kedua betul-betul memisahkan keduanya dalam analisis dan mencoba membangun
suatu Filsafat yang tidak “dibayang-bayangi” oleh teologi. Inilah awal mula
berkembangnya tradisi analitik, yang kelak akan menumbuhkan tradisi berpikir
sains. Sayangnya, menurut A. Rahman Djay, perkembangan ini berlangsung hanya
dalam tiga abad. Setelah itu, dunia Islam mengalami kemunduran yang ditandai
dengan berkembangnya sufisme. Sementara itu tradisi analitik berkembang dalam
skolastisisme Kristen, dan kemudian memisahkan diri dalam bentuk sains modern.
Tujuan
utama misi kerasulan Muhammad saw. ialah menyempurnakan moralitas (akhlaq) umat manusia, sebagaimana
hadits, “Sesunggahnyalah, aku diutus oleh
Allah untuk menyempurnakan kualitas sifat-sifat mulia umat manusia.” Penyempurnaan
itu bukan saja dalam ruang lingkup moral, tetapi juga dalam aspek sosial,
budaya, politik dan ruang lingkup kehidupan lainnya. Beberapa kutipan dari
ucapan Nabi di bawah ini mencerminkan hal tersebut.
Tentang
keluarga Allah, ”Seluruh makhluk Allah
ada dalam suatu keluarga dan yang paling disayangi-Nya ialah yang paling banyak
memberikan kebaikan kepada makhluk Allah lainnya.” Tentang bermoral baik, “Sesungguhnya, yang terbaik diantara kalian
ialah yang memiliki karakter moral terbaik.” Tentang tingkah laku, “Takut kepada Allah dan bertingkah laku baik
akan mengantarkan seseorang ke dalam surga.” Tentang orang terbaik, ”Yang terbaik
di antara kamu ialah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya kepada
orang lain.” Tentang pendapatan hasil kerja, “Tiada makanan yang terbaik untuk dimakan kecuali hasil upah pekerjaan
sendiri.” Tentang sogok, “Allah
mengutuk penerima dan pemberi sogok.” Tentang orang munafik, “Orang yang terbiasa memiliki empat
kebiasaan berikut adalah munafik: (1) bilamana sesuatu dipercayakan kepadanya
maka dia mengkhianatinya; (2) bilamana dia berbicara, kebanyakan yang diucapkan
adalah kebohongan, (3) bilamana dia berjanji, tidak ditepatinya; dan (4) bila
dia bertengkar menggunakan kata-kata kotor.” Tentang kecemburuan, “Lindungilah dirimu dari sifat cemburu,
karena cemburu memakan tindak kebaikan seperti halnya api membakar kayu-kayuan”
Tentang tuntunan kebaikan, “Barangsiapa
menuntun orang melakukan kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahalanya pula,” Tentang
kesamaan manusia, “Tidak lebih baik
scorang Arab itu daripada bukan Arab dan sebaliknya, tidak pula orang kulit
putih daripada orang kulit hitam dan sebaliknya; kelebihan seseorang dinilai
dari ukuran kesalehannya.”
Demikian
beberapa butir etika praktis yang diangkat dari hadits Bukhari, Muslim, Ibn
Majah dan Tirmidzi. Selain doktrin yang mendasari iman dan ibadah, al-Qur’an
juga mengandung banyak ajaran religius, etis (wijdaniyyat) dan perintah legalistis. Kewajiban religius (ibadah)
membentuk dasar Islam. Tetapi bukan itu saja yang dilembagakan
ketentuan-ketentuannya. Dalam soal keimanan, dalam mempercayai keputusan Allah
mengenai kebaikan dan kejahatan (Q. 9:51; 3:139; 35:2), terdapat faktor dominan
dalam pikiran dan perbuatan kaum Muslimin sepanjang masa. Tindakan benar (ihsan) memiliki dukungan otoritas yang
sama. Sanksi atas moralitas pribadi dan masyarakat dalam dunia Islam seluruhnya
bersifat religius. Pada dasarnya kehendak Allah, seperti yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad, menetapkan mana yang benar (halal, diizinkan, dilegitimasi) dan
mana yang salah (haram, dilarang).
Dalam
evolusi historisnya, Islam menekankan keimanan Serta moralitas perorangan (Q.
53:39-42; 3I:32). Dalam hal kebajikan, manusia dituntut kemurahan hati dalam
bentuk zakat (Q. 2:I'72; 4:40; 7:3I).
Sebagai
bagian dari Hlsafat maka bidang moralitas dicakup oleh filsafat moral yang
merupakan suatu ilmu (science) karena
memiliki struktur kebenaran yang terorganisasi serta asas-asas yang jelas dengan
sendirinya (self-evident). Filsafat
moral meliputi refleksi atas persoalan yang ditimbulkan oleh moralitas'
manusia. Persoalan itu, misalnya, bagaimana manusia harus berperilaku, apa itu
hidup dan kehidupan yang baik. Di sini filsafat moral mencari penjelasan dan menilai
pendapat moral manusia. Dalam terminologi agama, usaha mencari penjelasan dan
menilai pendapat moral manusia merupakan bidang teologi moral yang secara umum
adalah Studi tingkah laku manusia dalam relasinya dengan suatu kepercayaan teologis.
Kalau kita menyebut teologi moral Islam, dongan demikian, itu adalah studi
tentang tingkah laku Islam. Dan sebagai ilmu, etika yang mempelajari arti “karakter
kebajikan”, dan pada pertanyaan tentang “apa yang baik bagi manusia”, teologi
moral tersebut juga mendiskusikan
tingkah laku manusia sejauh mana menuju atau menjauhi kebaikan. Pada akhirnya
teologi moral adalah etika juga yang mempunyai dimensi filsafat.
Filsafat Yunani dan Pengaruhnya kepada Islam
Aristoteles
(384-322 SMI memulai risalahnya tentang etika dengan kata-kata yang terkenal: “Every art and every scientific enquiry,as
well as every action and deliberate choice is held to aim at a good,” di
mana “good” dia maksudkan sebagai suatu obyek nilai, sesuatu yang mulia untuk
dicapai.
Kita
merujuk kepada Aristoteles, karena: (a) dialah yang pertama menulis suatu
risalah mengenai etika, di dalamnya dia telah mengetahui lebih dahulu banyak
problema modern; dan (b) di samping itu, selain Plato (427-347 SM),
Aristoteleslah yang paling dalam pengaruhnya atas fisafat Islam.
Dalam
menguji filsafat Arab selalu timbul pertanyaan: seberapa jauh pikiran dan
gagasan Yunani yang diislamisasi, atau gagasan Islam yang dihelenisasi?
Ternyata alam pikiran Yunani, yang menekankan kekuasaan pemikiran manusia untuk
memecahkan persoalan misteri alam semesta, tidak selalu cocok dengan struktur
agama yang berdasarkan wahyu. Maka diperdebatkanlah apakah akal pikiran manusia
yang diukur dengan wahyu, ataukah wahyu yang harus dijelaskan dengan akal
pikiran manusia.
Warisan
filsafat Yunani yang masuk ke dunia Islam, muncul dalam bentuk Neo-Platonisme.
Tokoh-tokoh filsafat Islam yang terkemuka antara lain adalah al-Kindi (801-873
M), al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198 M).
Dalam sejarah terlihat bahwa pemikiran filsafat Islam inilah yang menjadi awal
perjalanan dan penemuan intelektual Islam yang akan mempengaruhi pemikiran Eropa
abad pertengahan.
Neo-Platonisme
adalah aliran filsafat yang dimulai oleh Ammonius Saccus (175-224 M) di
Alexandria, kemudian diperluas dan diperdalam oleh Plotinus (205-270 M), murid
Ammonius Saccus, yang kemudian berkembang hingga masa Proclus (411-485 M).
Dasar Neo-Plastonismenya adalah adanya supremasi serta prioritas Yang Tunggal (the One) terhadap Yang Banyak. Plotinus
meletakkan ontologi dan epistemologi berdasarkan penafsirannya atas dialog
Plato. Yang Tunggal atau Yang Luhur (the
Good), adalah Yang Sempurna, yang menurunkan (emanasi) citranya sendiri,
yaitu Nous (pikiran atau
inteligensia). Nous kemudian
menurunkan, sebagai hasil renungannya pada Yang Tunggal itu, suatu entitas yang
disebut psyche (dunia-jiwa). Jiwa (soul) adalah penyebab efisien sisa alam
semesta, begitu juga sub-jiwa (jiwa-jiwa yang lebih rendah), benda-benda langit
dan materi (yang terletak di pinggir alam semesta). Manusia adalah sebagian
dari jiwa dan sebagian dari materi. Penyebab akhir dari segalanya datang dari
Yang Tunggal dan kembali melalui konversi dalam pengetahuan dan keinginan
menjadi psyche dan nous.
Jadi
alam semesta dibangun atas dua ecstatis
(gerakan melingkar) dimana makhluk keluar atau ber-emanasi dari Yang Tunggal
dan kembali kepada-Nya melalui konversi. Hampir seluruh pemikiran para filsuf
Islam sebelum Ibn Rusyd dipengaruhi oleh Plotinus – khususnya, tidak disangsikan lagi, Ibn Sina.
Dua Garis Gaya dalam Filsafat Islam
Filsafat
intelektual Islam dari awalnya berakar pada Cara berpikir filsafat Plato,
Aristoteles dan beberapa dari sekolah Neo-Platonisme. Korpus pemikiran ini
mengandung komponen atau substansi sesuatu yang bersifat teologis, kosmologis,
etis dan politis. Penerimaan filsafat dalam dunia Islam bukan tidak tanpa
masalah. Pendapat kebanyakan intelektual Islam pada awal abad ketiga hijrah,
menganggap tidak dibutuhkan lagi korpus aturan kehidupan sejak munculnya Nabi.
Mengapa? Karena al-Qur’an telah rnengandung segalanya yang dibutuhkan sebagai
jaminan atas keselamatan hidup dunia dan akhirat, termasuk di dalamnya
dasar-dasar dalam bidang iman dan aturan berperilaku. Di samping itu ada pula
praktek, malah teori, mengenai organisasi sosial, masalah perorangan dan
pemilikan harta. Semua itu telah ada korpus hukumnya (dalam fiqih) yang
didasari oleh al-Qur’an, tradisi Nabi dan sahabat-sahabatnya (sunnah) dan
ketentuan serta pendapat dari khalifah generasi awal. Termasuk di antaranya
mengenai spekulasi tentang Allah, kebebasan dan kekuasaan. Soal ini telah ada
secara sistematis dalam kalam (teologi).
Walaupun
demikian, akhirnya fllsafat pun dapat masuk ke dalam lingkungan Islam. Ini
karena pengaruh Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), yang pernah bermimpi bertemu
dengan Aristoteles yang mengatakan kepadanya bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar
antara hukum agama (syari‘ah) dengan filsafat Yunani.
Jika
kita analisa lebih lanjut isi filsafat Aristoteles, memang dalam beberapa hal
ada kecocokannya dengan agama Islam. Tetapi, di samping itu, keduanya juga mengandung
banyak pertentangan dan kontradiksi. Misalnya. Aristoteles mengajarkan bahwa
dunia ini abadi. Soal ini bagi Islam, yang mempunyai konsepsi dasar mengenai
penciptaan, sulit untuk diterima. Tuhan dalam konsep filsafat Yunani tidak sama
dengan Allah yang dilukiskan dalam al-Qur’an. Karena para filsuf, terutama dari
kalangan Neo-Platonis, khususnya Proclus dan Iamblichus, mengembangkan secara
eksplisit teologi politeistik.
Demikian
pula, pendekatannya terhadap masalah hidup sesudah kehidupan duniawi, ajaran
sosial dan etikanya pun tidak memuaskan para intelektual Islam. Sekalipun
ajaran Neo-Platonisme ini telah mengusahakan penggabungan alam pikiran Plato,
Aristoteles dan Stoicisme, sehingga sangat kuat diwarnai oleh agama, tetapi dasar
agamanya tetap politeistik. Akibatnya pemikir serta intelektual yang mengaku filsuf
yang tetap mau menjadi Muslim menghadapi macam-macam kesulitan.
Garis
turunan para filsuf – baik dalam tradisi filsafat Yunani mau pun tradisi Islam- dimulai
dengan al-Kindi dan diteruskan sampai kepada Ibn Sina. Al-Kindi menetapkan
beberapa prinsip filsafatnya, antara lain mengenai kekuasaan dan keesaan Tuhan,
juga pengertian mengenai kebajikan apa yang harus dilakukan dan kejahatan apa
yang harus dihindari.
Mengenai
Allah, al-Kindi pertama-tama melihat
hanya satu: yaitu penyebab ciptaan seluruh materi dan anti materi yang
merupakan kesatuan. Semua eksistensi adalah satu atau dipersatukan. Kedua adalah kenaikan tingkat dari roh
manusia, melalui usaha kebaikan, beralih menempatkan diri dari dunia nyata ke
dalam dunia intelek, melampaui ruang planet-planet dan bintang-bintang, ke
dalam dunia di mana diri berfusi dengan cahaya Allah.
Yang ketiga, yang ada kaitannya dengan etika kosmologis
atau intenerari astronomis (rencana perjalanan dan akhir alam semesta), adalah
pandangannya mengenai alam sejagat yang tunduk kepada Allah. Hal ini menarik
terutama karena al-Kindi membangun alam pikirannya dari penafsiran atau
komentarnya atas ayat al-Qur’an yang melukiskan bagaimana bintang-bintang itu
sujud (sajada) di hadapan Allah, “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada
Allah bersujud apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung,
pohon-pohom, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar daripada
manusia” (Q. 22:l8).
Pertanyaan
yang bisa diajukan di sini adalah apa itu yang dimaksud dengan sujud? Al-Kindi berpendapat bahwa
bintang-bintang itu taat kepada Allah. Karena bagaimana pun, alam semesta ini
diperintah oleh Allah.
Di
sini, dalam melihat komentar ayat al-Qur’an, al-Kindi dibantu oleh kosmologi
Yunani. Dasar kosmologi Yunani adalah metafisika (kosmologi metafisika). Pandangan
kosmologis yang metafisis inilah yang mendasari doktrin kosmologis Islam. Hal
ini bisa diamati kalau kita mengkaji metode dan gaya analisa Ikhwan al-Shafa,
al-Biruni dan Ibn Sina (lihat, Sayyed Hossein Nasr, An Introductionto Islamic Cosmological Doctrine, Thames and Hudson,
London,1978); dan pada umumnya para filsuf Islam masih menggeluti jalur
metafisika pada komentarnya atas ayat-ayat kosmos dan ilmu pengetahuan alam
yang tersebar dalam al-Qur’an (penulis menaksir sekitar 10% dari korpus).
Selanjutnya
al-Kindi, dalam komentarnya mengenai masalah hidup dan mati pada ayat al-Qur’an,
menunjukkan bahwa apa yang dicari dan dikembangkan oleh para filsuf sepanjang
masa melalui usaha keras, para nabi menyebarkannya dalam waktu singkat masa
hidupnya, karena Allah memberi mereka inspirasi. Allah juga memberi kepada para
nabi anugerah kekuatan imajinasi yang luar biasa yang berproyeksi ke luar
-sebagai teori “vision” (penglihatan)
dalam bentuk pancaran sinar- yang kandungannya bervisi profetis. Di sini tampak
bahwa al-Kindi memakai dan memperluas alam pikiran Yunani, sementara itu dia
tetap dalam kerangka pikiran Islam, dengan menangani butir-butir teologi secara
khusus.
Aristoteles
mengajarkan dunia abadi, di mana al-Kindi mendemonstrasikan sebaliknya: dunia
tidak infinit atau abadi tetapi mempunyai suatu permulaan. Al-Kindi tampaknya
tidak pernah jauh dari titik pandang religius.
Al-Farabi
menelusuri filsafat yang lebih tidak tergantung pada agama. Secara tegas dia
adalah seorang Neo-Platonis yang monoteis. Sudut pandangnya bernada agak
sekuler dengan mengembangkan metafisika emanasi (keasal-usulan) tentang
bagaimana alam semesta ini berasal dari Yang
Satu. Pada al-Kindi dasar filsafat metafisikanya adalah penciptaan: keluar
dengan konsep transisi dari ide unifikasi ke ide ekstensiasi, dan sebaliknya
dari ide ekstensiasi kembali ke ide unifikasi. Sedangkan al-Farabi berbicara
tentang emanasi, di mana suatu flux
(aliran) memancar keluar dari Yang Pertama. Kalau Yang Pertama diafinitaskan
dengan- “singularitas matematik”, maka konsep al-Farabi dekat dengan kosmologi
fisika. Jelaslah bahwa pandangan al-Farabi adalah murni Neo-Platonistis dan
cukup jauh dari ide agama mengenai penciptaan - yaitu suatu pandangan yang
secara ortodoks esensial.
Sekarang
bisa diperhatikan, bahwa jika menganalisa istilah yang dipakai oleh kedua filsuf
ini, maka terungkap detil berikut: al-Kindi menyebut Allah sebagai Satu Sejati,
al-Farabi menyebut-Nya dengan Yang Pertama. Dan kedua istilah filsafat tersebut
(Satu Sejati dan Yang Pertarna) dapat ditemukandalam al-Qur’an.
Bolehlah
dikatakan, kedua istilah filsafat tersebut berafinitas dengan prinsip keesaan
Tuhan dan merupakan konsekuensi ide tauhid (unicity),
yang merupakan dasar Islam. Dalam doktrin Islam, ada konsep la ilaha illa Allah, yang biasa dipahami
sebagai tiada Tuhan selain Allah. Tetapi dalam pengertian filosofis al-Kindi
dan al-Farabi diartikan tidak ada realiaas di luar, kecuali Realitas Mutlak
(yaitu Satu Sejati dan Yang Pertama). Dengan demikian mereka menegasikan kesatuan
totalitas yang bukan Allah.
Perumusan
inilah yang nantinya menjadi basis al-Qur’an kaum sufi tentang “Kesatuan Yang
Ada dan Terjadi” (wahdah al-wujud).
Tentu saja hal ini tidak diartikan bahwa ada satu kontinuitas substansial
antara Tuhan dengan alam semesta, atau suatu panteisme atau monisme, melainkan
suatu pengertian yang menegaskan bahwa tidak boleh ada suatu pasangan tingkat
realitas yang saling bebas satu dengan yang lain.
Al-Farabi
menyampaikan kepada kita bahwa agama dan filsafat memiliki suatu sumber
tunggal, yaitu cahaya intelektual yang datangnya dari Allah (tetapi tidak
secara langsung) dan karena itu mengandung isi yang sama. Bagian spekulatif dan
praktis dari agama koresponden dengan bagian teoretis dan praktis dari
filsafat. Selanjutnya, karena tidak semua orang mampu berspekulasi secara
falsafi, maka yang tak mampu itu membutuhkan representasi visual dari
kebenaran. Representasi visual ini berubah menurut masing-masing nabi dan
lingkungan tempat di mana representasi itu disebarkan, dan inilah penjelasan
dari adanya keanekaragaman agama di dunia.Jadi tampaknya al-Farabi mengantarkan
dirinya memasuki garis filsafat kedua, yaitu suatu filsafat yang sedapat
mungkin tidak memasuki bidang agarna berdasarkan wahyu. Kegunaan wahyu bagi
al-Farabi adalah untuk memperoleh kebajikan, sebagai fungsi sosial dari agama.
Aspek lain dari filsafat Islam yang akan disinggung sedikit dalam tulisan ini
ialah filsafat yang diturunkan oleh Ibn Sina yang pada umumnya menampilkan diri
sebagai seorang fllsuf agama. Dia menganjurkan paham yang bersifat mistik,
namun demikian dia diserang oleh para
ahli agama terutama dalam masalah fundamental seperti pengetahuan Allah
terhadap sesuatu yang tertentu (juz’iyyat)
dan pembangkitan di hari kiamat.
Ibn
Sina terutama dikenal sebagai filsuf secara teknis. Karya agungnya, al-Syifa’, adalah suatu ensiklopedia
yang meliputi ilmu-ilrnu yang dikenal pada masanya, di mana dia secara
sistematis melanjutkan jalan pikirannya dengan memakai konsep-konsep
Aristoteles secara baik, tetapi juga dipengaruhi oleh Neo-Platonisme, dengan
mengganti ide politeistik dengan ide Islam. Teori inteleknya meliputi
pengetahuan penyatuan diri (bila kita ingin dan mampu rnelakukannya) dengan
agen intelek yang memberi bentuk yang dapat dipahami oleh jiwa manusia.Dia
selalu berpikir untuk rnengharmoniskan antara agama dengan filsafat.
Dalam
teori wahyu Islam, hanya ada satu perantara yaitu malaikat. padahal menurut Ibn
Sina ada sejumlah hirarki intelek. Perbedaan yang esensial adalah karena pandangan
prophetology Ibn Sina dalam kodratnya
terlalu intelektualistis. Segalanya dimulai dan berakhir dengan intelek. Prophetism bisa dipandang menduduki
tempat dalam kosmologi rnetafisika. Di sini pun Ibn Sina mengajukan konsep
struktur hierarki alam semesta, suatu hierarki ‘ruang anti materi dan hierarki
ruang materi. Rasul ialah seseorang yang berkomunikasi dengan ruang langit (kerajaan
langit), komponen totalitasnya -akal, rohani dan jasmani- lebih dekat kepada
Allah dibandingkan dengan makhluk lainnya. Nampaknya Ibn Sina rnenjadi precursor dari trialist interactionist Sir Karl Popper dengan konsepsinya tentang
tiga dunia, yang didukung oleh ahli penyelidik otak manusia, Sir ]ohn Eccles (Nobel laureate Kedokteran 1963).
Dunia
1 adalah dunia obyek fisikalis dan segala fenomena yang ada di dalamnya. Dunia
itu terdiri dari seluruh kosmos materi dan energi, semua biologi termasuk otak
manusia, dan seluruh artifacts yang telah dilakukan manusia untuk rnengkode
informasi. Dunia 1 adalah dunia totalitas bagi kaum materialis, di luar
daripada itu hanyalah fantasi.
Dunia
2 adalah dunia kesadaran dan tingkat pengetahuan subyektif atas segalanya.
Totalitas persepsi ada dalam Dunia 2 ini, yang mempunyai Liga tingkatan atau
spektrum. Tingkat pertama, outer sense,
merupakan persepsi biasa yang ditimbulkan oleh panca indera. Tingkat kedua, inner sense, dunia dengan persepsi
halus, seperti emosi, perasaan, akal, intuisi, ingatan, mimpi dan imajinasi.
Tingkat ketiga, yang merupakan teras Dunia 2 adalah “ego murni”, atau “ego
diri”, yang menjadi basis kesadaran diri manusia yang mengalami hidup. Dunia 2
ini adalah realitas primer.
Dan
Dunia 3 adalah dunia budaya. Dunia 3 ini adalah dunia yang diciptakan oleh
manusia sendiri dan -sebaliknya- kembali mempengaruhi manusia. Dalam seluruh
kehidupan manusia. dalam setiap tindakan yang dilakukannya. tidak putus-putusnya
manusia diayunkan antara Dunia l dan Dunia 2. Pada diri kita secara kontinu
terjadi interaksi sangat kuat antara ketiga Dunia tdr Dunia 1 – Dunia 2; dan Dunia3-Dunia1-
Dunia 2. Trjansmisi dari Dunia 3 ke Dunia l dan ke Dunia 2 terjadi melalui proses
tanggapan pancaindera, dengan coded
transmission ke otak yang kernudian di-decoding
dalam otak. Kalau ada transrnisi langsung dari Dunia 3 ke Dunia 2, maka
itulah clairvoyance.
Tema
sentral dalam perhubungan otak-akal pikiran (brain
- mind ), adalah soal ego yang memberikan kita rasa kontinuitas terhadap waktu
dan unit diri, yang dalam arti religius disebut roh. Kembali ke Ibn Sina, roh (soul) menurutnya berafinitas dengan
interaksi antara otak - jiwa (brain -
mind).
Dalam
beberapa hal, Ibn Sina berbeda pendapat dengan para filsuf Islam lainnya.
Pendapat Ibn Sina cukup unik dan orisinal. Pertama, dia membedakan antara wujud
yang harus ada (wajib al-wujud, necessary
being) dan wujud yang mungkin ada
(mumkin al-wujud, contingent being). Yang pertama diasosiasikan dengan
Allah, dan merupakan suatu terminologi filsafat. Kedua, penciptaan itu
merupakan suatu hal yang perlu, dan paling kurang substansi sempurna langit
adalah abadi dan berlanjut terus dalam emanasi. Dengan mengatakan bahwa
penciptaan alam semesta adalah suatu keharusan dan abadi sifatnya, ia berarti
agak menjauhi doktrin agama, di mana penciptaan dipandang sebagai hasil aksi
kemauan Allah dan tidak boleh dilukiskan sebagai suatu keharusan. Ketiga, jika
ciptaan itu dianalisa secara ontologis, maka dapat dibedakan -dalam ciptaan
itu- adanya esensi dan eksistensi. Di sini Ibn Sina dapat dicatat sebagai orang
yang pertama menggunakan metode analisis dan mencatat kesuksesan dalam sejarah
filsafat. Dunia Barat kelak akan memperpanjang dan memperluas jalan pemikiran
dari metode analisis Ibn Sina ini. Realitas kontemporer duniawi rnemperlihatkan
kepada kita kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Kaumnya sendiri,
antara lain al-Ghazali, menuduhnya terlalu mengagungkan filsafat. Ibn Rusyd
menganggapnya terlalu religius, karena mencampuradukkan agamanya dengan
filsafat. Yang jelas, dengan segala kesulitan, Ibn Sina telah berusaha keras
mengaitkan agama dengan filsafat, melebihi usaha al-Farabi dan Ibn Rusyd.
Dari
tinjauan historis di atas, dapatlah disimpulkan bahwa dalam filsafat Islam ada
dua garis gaya, yaitu gaya al-Kindi dan Ibn Sina, dan gaya al-Farabi dan Ibn
Rusyd. Keduanya harus dianggap tumbuh sebagai fungsi dari Islam. Islam memang
memberikan ruang berkembangnya berbagai macam gaya, begitu pula pilihan sumber
inspirasi serta masalah yang harus dipecahkan.
Masalah Exegesis
al-Qur’an
Suatu
subyek penting dalam kaitan prinsip yang benar atas penafsiran Kitab-kitab Suci
ialah masalah exegesis (di sini yang
dimaksud dengan exegesis adalah suatu
kata yang kadang dipakai untuk efek kontras, yaitu membacakan arti ke dalam
teks yang dibaca selain membaca arti dariteks). Dalam kebiasaan tradisional apa
yang disebut hermeneutik adalah ilmu dan seni menafsir, terutama terhadap
tulisan-tulisan kuno yang dianggap memiliki kebenaran abadi.
Pada
puncak zaman pertengahan, diterapkan empat macam metode interpretasi yaitu
literal, figuratif (atau alegorikal), moral, dan analogikal (yaitu spiritual
atau supernatural). Kemudian, pada zaman reformasi, muncul prinsip bahwa
Kitab-kitab Suci harus ditafsir sendiri oleh konsep skriptual, tetapi hal ini
telah menimbulkan keraguan karena hanya merupakan penggantian dari satu rangkap
prinsip interpretasi dogmatik dengan yang lainnya. Exegesis kontemporer belum berhasil menemukan suatu proses exegesis
yang obyektif atau ilmiah. Akal (reason,
yaitu metode analisis kritis yang historis) dan tradisi (yaitu konsensus para
ulama), masih memainkan peran penting dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Dalam
hal ini, pengetahuan individual yang meluas serta mendalam dari, penafsir dalam
mengaitkan atau menghubungkan kata dan atau ungkapan ayat-ayat atau sumber
pikiran historis dengan kebutuhan dan realitas kebenaran pada kurun waktu
hidupnya sendiri masih sangat diperlukan. al-Qur’an, dalam Surah 3:7, memberi
petunjuk penting dalam rangka menafsirkan al-Qur’an. Disebut ada dua
pengertian, yaitu ada ayat yang bersifat muhkamat
(sudah mapan maknanya atau jelas artinya) dan ada ayat yang bersifat mutasyabihat (figuratif, allegorik atau
metaforik maknanya). Ayat itu lengkapnya berbunyi:
Dia yang menurunkan Kitab kepadamu. Di antara ayat-ayatnya
ada yang muhkamat, ini mempakan inti atau fondasi Kitab Suci; dan yang lain
mutasyabihat. Tetapi mereka yang sesat jalan pikirannya mengikuti yang
mutasyabihat dan menuju ke pendurhakaan, mencari-cari makna yang terselubung,
Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui arti terselubungnya kecuali Allah. Dan
orang yang dalam serta luas ilmunya akan berkata, Kami mempercayai ayat-ayat
ini, semuanya berasal dari sisi Tuhan kami; tetapi tidak akan dipahami kecuali
orang-orang yang berpengetahuan.
Ayat-ayat
yang muhkamat membentuk korpus
syariat yang jelas maknanya bagi pikiran umum; tetapi mungkin pula merupakan
induk Kitab. Harus diperhatikan bahwa pembagiduaan arti tersebut, jangan
diartikan sebagai pembagian atau pemecahan ayat-ayat, tetapi hanyalah arti yang
dikaitkan. Arti yang dikaitkan itu bisa pluralistik maknanya. Di sini paling
kurang ada empat hal yang penting: (a) kehendak atau tujuannya, (b)
referensinya, (C) definisi atau terjemahannya, (d) causal antecedent-nya atau konsekuensinya. Dalam rnenentukan mana
ayat yang mutasyabihat, timbul
perbedaan pendapat di antara para intelektual Islam. Tetapi, Nabi bersabda, “Perbedaan pendapat diantara para ulama akan
merupakan suatu hikmah.” Tampaknya, yang dimaksud dengan hadits tersebut
adalah bahwa perbedaan pendapat itu bisa menyediakan wahana bagi dinamika untuk
eksistensi Islam sebagai salah satu agama besar di dunia dalam menangani
seluruh permasalahan kehidupan kontemporer dan kelanjutan kehidupan umat
manusia.
Perbedaan
antara struktur realitas dengan struktur spekulatif adalah dasar fundamental di
mana di atasnya ditentukan derajat atau nilai keilmiahan dari hasil pemikiran
manusia. Dengan dasar demikian itu, al-Qur’an menghadapi akal pikiran manusia
yang matang serta waras. Dasar ini menuntut cendekiawan Islam agar tidak
menerima sesuatu yang dianggap kebenaran ilmiah melalui dugaan semata-mata,
tetapi dengan jalan alasan bukti yang diverifikasi oleh eksperimen yang jujur.
Pandangan
kebanyakan intelektual Islam terhadap pengetahuan alam mengarah pada teori
tentang penciptaan dan kelanjutan eksistensi alam semesta oleh Tuhan. Padanya
ada hierarki, yakni suatu ketergantungan ontologis kepada Penciptanya, suatu
keteraturan dalam pengaturan dan menuju satu tujuan yang diusahakan. Mereka
memandang ruang alam. yang mengandung manifestasi hukum-hukum alam formal,
menjadi hierarki pokok ialah pencipta dan ruang-waktu ciptaan-Nya yang
berkodrat, berhingga atau berlimit. Mereka percaya akan adanya keteraturan
dalam alam yang ditimbulkan karena penciptanya, tetapi secara terus menerus
pencipta melakukan intervensi atau pun yang dilakukan oleh perantara-Nya
(malaikat), atau dari kemampuan unit dunia rohani, sehingga mengakibatkan
seluruh kandungan alam semesta saling berkaitan satu dengan lainnya dan
demikian pula antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Intervensi
Tuhan atas ciptaan-Nya, merupakan pendapat yang
mendominasi dan memberi ciri khusus pada jiwa kefilsafatan serta
keilmuan cendekiawan Islam sejak dari abad pertengahan hingga sekarang. Dengan
secara kokoh berpegang pada doktrin yang sangat dogmatis ini, mereka telah
menyurutkan -malah menghentikan- sumbangan ilmu pengetahuan alam dari intelektual
Islam sejak meredupnya aktivitas rasionalistik Islam sejak abad ke-13. Pegangan
pokok pikiran Islam tidak membedakan derajat atau tingkat pengintervensian
Allah dalam ciptaan-Nya. Juga memandang bahwa Allah melakukan intervensi atas
segala domain ciptaan-Nya secara homogen dan isotropik. Ilmuwan dan cendekiawan
Islam memandang bahwa mempelajari alam bukanlah tujuan terakhir dari misi hidup
dan kehidupannya. Ia hanyalah merupakan perangkat lunak untuk mencapai tujuan
hidup dan kehidupan yang sudah terdapat di dalam korpus ayat-ayat al-Qur’an
secara muhkamat.
Dalam
beberapa aspek norma norma pengetahuan, sering disebutkan bahwa perbedaan antara
sains masa kuno dan sains klasik utamanya terletak pada pemakaian eksperimen.
Dan sudah menjadi fakta yang dipercaya umum dari kebanyakan para filsuf,
sejarawan ilmu pengetahuan dan ilmuwan pengetahuan alam, bahwa pengintroduksian
norma eksperimental adalah ciri khas dari pemutakhiran ilmu-ilmu zaman kuno
yang disebut modernitas klasik; tetapi juga mereka beranggapan bahwa seluruh
upaya itu adalah hasil karya intelektual Eropa.
Namun
demikian, pada awal abad ke-19, beberapa sejarawan sains dan filosof
meninggalkan pendapat yang dominan ini dan menegaskan bahwa permulaan
eksperimentasi secara ilmiah diletakkan oleh ilmuwan Islam -pendapat seperti
itu antara lain datang dari Alexander von Humboldt dan Cournot. Bapak dari
alkemi Arab, yaitu Jabir Ibn Hayyan (Geber), yang muncul pada tahun 776 M di
Kufah, menekankan pentingnya eksperimen obyektif dalam ilmu kimia. Demikian pula
dengan al-Razi (Rhazez, 865-925 M), yang memakai metode kimiawi dalam klinis
kedokteran. Dari sumbangan penelitian empiris, mereka telah memberi kemungkinan
atau membukakan jalan bagi proses di mana art
mendapatkan status science. Ibn
al-Haytsam (Alhazen, 965-1039 M) telah menunjukkan bahwa ada beberapa jenis
hubungan antara matematika dengan fisika, dan ini menjadi pedoman bagi fungsi
korespondensi dalam paham eksperimentasi. Selanjutnya, eksperimentasi adalah
satu kategori pembuktian.
Karya
kreatif tersebut, dalam bidang sains, yang mendapatkan momentumnya pada abad
ke-3 H, tampak mulai meredup pada abad ke-6 H. Hal itu terutama disebabkan
bertambahnya komentar ajaran teologi dan filsafat yang mendebatnya.
Skolastisisme juga telah mendesak dan kemudian mengambil tempat filsafat
analitik dan pemikiran ilmu eksakta. Kerangka dasar teologi skolastik yang
dibangun oleh al-Asy‘ari (w. 935 M) dan al-Ghazali masih sangat kuat
mempengaruhi alam pikiran Islam sampai dewasa ini. Sebaliknya, Kristianitas berhasil
melakukan penerobosan dari skolastisismenya.
Sejak
itulah Barat meluncur dengan pesatnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan
kemudian turunannya dalam bidang teknologi. Sementara itu para intelektual
Islam melakukan pemberhentian yang lama pada teologi skolastik. Pemberhentian
ini menciptakan sufisme sebagai bentuk mistisisme dalam Islam. Sufisme secara
umum bukan merupakan suatu perangkat doktrin, tetapi lebih mirip sebagai cara
atau wawasan berpikiran dan berperasaan dalam domain keagamaan. Sufisme muncul
sebagai reaksi terhadap intelektualisme dan formalisme dalam Islam.
Dalam
sufisme diajarkan kebajikan dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Seperti yang
dikatakan oleh al-Ghazali, kebajikan terdapat dalam kesempurnaan realisasi diri
(jasmani dan rohani), yang tujuannya tergantung pada keselarasan serta hubungan
yang mantap antara intelek, kepentingan diri dan gairah hidup yang dikendalikan
oleh nilai-nilai keagamaan. Setiap Muslim harus memikul dengan penuh ketabahan
segala kesulitan dan ujian-ujian kehidupan dan menaruh kepercayaan penuh kepada
Allah. Setiap Muslim tidak boleh memiliki rasa takut kepada kematian, karena
kematian membuka pintu ke dalam surga. Kesabaran dan kepercayaan diri harus
dimilikinya.
Inilah,
dalam arti sepintas serta praktis, yang menjadi basis moral Muslim, yang telah
melahirkan dan masih akan melahirkan manusia-manusia berkarakter dan
berintegritas tinggi. Memang masih harus diakui, seperti terjadi pada agama
lainnya, bahwa ajaran ini belum menuntun manusia untuk setia pada kewajiban
-seperti yang dicita-citakan seperti hadits Nabi yang sudah ditulis di muka, “Sesungguhnya Aku diutus oleh Allah untuk
menyempumakan kualitas sifat-sifat mulia umat manusia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar