Minggu, 26 Oktober 2014

SEKOLAH AL-QUR‘AN DAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA



SEKOLAH AL-QUR‘AN DAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh Zamakhsyari Dhofier

Dr Zamakhsyari Dhofier, lahir di Salatiga, pada 25 luli 1941. Mendapat pendidikan sarjana dalam jurnalisme di Jakarta (1971), MA Sosiologi dari di Australian National University (ANU), Canberra (1977), Australia, dan PhD dalam bidang Antropologi Sosial juga di ANU (1980). Tulisan ini adalah tulisannya yang kedua dua UQ. Ia sekarang selain sebagai dosen IAIN Jakarta (1984-), juga menjabat sebagai kepala Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Departemen Agama. Menulis buku Tradisi Pesantren, yang aslinya adalah disertasinya di ANU, Australia.

Hampir setengah abad lembaga pendidikan Islam di tanah air ini mengalami proses transformasi. Sayang, kondisi yang dihadapinya demikian kompleks dan tak bisa diselesaikan dari satu sisi. Menurut penulis, kerumitan pentransformasiannya bukan karena politis, tapi kurangnya sarana pendidikan terutama guru terampil untuk mengajarkan pelajaran umum. Tapi, jika ditengok jauh ke belakang, kompleksitas itu akibat “politik etis” Belanda yang memang sengaja menciptakan “dunia” untuk menenggelamkan Islam dan pemeluknya. Juga, guna mempertahankan kolonialisasinya. Namun demikian, pemerintah Indonesia sadar bahwa lembaga pendidikan Islam harus segera diatasi karena keberadaannya memang ikut menunjang proses pembangunan global.

Cukup unik dan kompleks. Itulah sekolah al-Qur‘an di Indonesia. Sebab, dalam sekolah “khas” itu terdapat gambaran yang memperlihatkan keunikan Islam di Tanah Air ini sekaligus sebuah kompleksitas interaksi antara pendidikan Islam, pendidikan modern model Barat dan sistem Pendidikan Nasional kita.
Dalam beberapa segi, Pendidikan Nasional Indonesia -paling tidak antara tahun 1945 dan 1989- menerapkan sistem ganda. Dalam rangka mengejar ketinggalan di bidang sains dan teknologi, pemerintah kita membangun sistem pendidikan modern yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (DEPDIKBUD). Namun, pemerintah percaya bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah berkembang selama beberapa abad juga telah banyak memberikan kontribusi positif bagi kehidupan spiritual dan intelektual bangsa Indonesia. Karena itu, meski memiliki beberapa kelemahan, tapi lembaga-lembaga pendidikan Islam tak harus dimusnahkan. Sebab, perkembangannya juga dibangun bersama pendidikan “modern”. Kini, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini dikelola Departemen Agama (DEPAG).
Landasan diberlakukannya sistem pendidikan ganda tidak hanya karena keyakinan adanya kontinuitas, tapi juga karena kesabaran para pemimpinnya dalam mencari titik-temu antara tujuan dasar pendidikan modern dan tujuan pendidikan Islam. Meski disepakati pendidikan formal itulah yang menjadi media utama penyampaian pemikiran pemerintah pada generasi muda, tapi terdapat perbedaan pandangan antara para pemimpin nasional berpendidikan Barat dan para ulama tentang tujuan dasar pendidikan.
Di satu pihak, para elite nasional berpendidikan Barat percaya, pendidikan modern didesain untuk mengembangkan sumber daya manusia dan menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat pengembangan masyarakat. Di pihak lain, para ulama masih bertahan pada keyakinan, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional didisain untuk menegakkan dan menyebarkan Islam.
Islam di Indonesia memang sangat unik. Pertama, negara kita menjadi negara Muslim, menggantikan kerajaan Hindu Majapahit baru pada abad 16 dan 17, ketika sebagian besar pusat-pusat pendidikan Islam di dunia Islam mengalami kehancuran. Kedua, negara kita cukup terpencil dan sangat terbatas interaksinya dari Dunia Islam lainnya, khususnya selama pemerintah kolonial Belanda menguasai sepenuhnya wilayah-wilayah pantai antara tahun 1615 dan 1858. Hal ini menyebabkan perkembangan Islam dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia untuk beberapa segi menjadi khas jika dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara Muslim lainnya.
Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional memang berkembang sangat kuat dan cepat melalui hubungan pendidikan intensif dengan Makkah antara tahun 1868 dan 1914. Tapi, model pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda pada akhir abad 19 telah memiliki pengaruh yang lebih kuat pada perkembangan lebih lanjut atas sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Dengan penduduk Muslim berjumlah 155 juta, Indonesia adalah konsentrasi umat Islam terbesar di dunia. Inilah yang menempatkan Islam sebagai warisan keagamaan dan kebudayaan yang kuat, dan ulama sebagai pemimpin informal yang penting dan berpengaruh. Selain itu, ulama-ulama tradisional telah mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar di seluruh tanah air. Tidaklah mengherankan bila pendidikan Islam di negara ini selalu memainkan peranan penting dalam bidang pendidikan.
Pentingnya pendidikan Islam dapat dilihat dari kenyataan. Saat ini terdapat 54.000 lebih lembaga pendidikan Islam di seluruh Indonesia yang memberikan kesempatan belajar pada 8.566.988 murid-murid sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Pada tingkat dasar dan menengah pertama, ada dua jenis lembaga pendidikan Islam. Yang pertama, lembaga pendidikan yang menyajikan 80% mata pelajaran umum dan 20% mata pelajaran agama. Pendidikan tingkat dasar ini disebut Madrasah Ibtidaiyah (MI), tingkat menengah pertama disebut Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan tingkat menengah atas disebut Madrasah ‘Aliyah (MA). Sekolah-sekolah ini dikualifikasikan setara dengan tingkatan sekolah yang dikelola DEPDIKBUD. Untuk semua tingkatan, sekolah atau madrasah jenis ini memiliki 4.457.677 orang siswa.
Jenis kedua, yang menyajikan pelajaran agama 100% dan jenis ini biasa disebut madrasah diniyah. Madrasah jenis ini memiliki sekitar 5.109.311 orang murid. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, ada dua jenis lembaga pendidikan Islam: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan 103.000 orang mahasiswa, dan Institut Agama Islam swasta yang mahasiswanya kurang lebih 80.000 orang.
Pengelolaan MI, MTs, MA dan Madrasah Diniyah berada di bawah Direktorat Pembinaan Kelembagaan Pendidikan Islam, yang mempekerjakan sekitar 120.000 guru dan staf administrasi untuk seluruh Indonesia. Dan pengelolaan Institut Agama Islam Negeri dan swasta berada di bawah Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam. DEPAG juga membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam di sekolah umum yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah yang dikelola DEPDIKBUD, perlu dicatat, usaha pemerintah dalam membangun lembaga-lembaga pengelola pendidikan Islam dimulai pada Januari 1946, atau empat setengah bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dari Belanda pada 17 Agustus 1945.
Latar Belakang Sejarah sekolah-sekolah al-Qur‘an merupakan bagian dari  sistem pendidikan tradisional yang ada di seluruh Indonesia yang telah menarik minat para pelajar Islam. Inilah yang pernah ditulis Brumund pada 1857, sebagai sistem pendidikan orang Jawa. Secara tradisional, sekolah-sekolah al-Qur‘an di Indonesia tidak memiliki sebutan tertentu yang jelas. Tempat berlangsungnya pendidikan ini biasa disebut nggon ngaji, yang berarti tempat murid-murid belajar membaca al-Qur‘an. Kegiatan murid-murid yang mengikuti pendidikan Islam ini disebut “ngaji Qur‘an”. Berarti, belajar membaca al-Qur’an. Secara tradisional, sekolah-sekolah al-Qur‘an ini bagian dari pendidikan pesantren. Untuk memahami seluk beluk sekolah-sekolah al-Qur‘an, perlu digambarkan peta pendidikan Islam tradisional di Indonesia.
Dalam konsep Islam, seseorang yang menyatakan diri sebagai Muslim harus mengucap kalimah shahadah, sebuah keyakinan dasar keesaan Tuhan dan Muhammad Rasul-Nya. Tapi, di Indonesia ini telah bergulir tradisi, keyakinan dasar itu harus dapat dituturkan di muka umum dalam bahasa Arab, seperti upacara sunatan dan pernikahan. Pernyataan ini menandakan seseorang menjadikan dirinya sebagai bagian dari komunitas Muslim karena Islam menghendaki para pemeluknya membentuk komunitas keagamaan yang keanggotaannya didasarkan pada pernyataan kalimah shahadah di muka umum.
Namun, Islam menghendaki ketaatan para pemeluknya lebih dari sekedar pernyataan keyakinan dasar itu. Selain syahadat, setiap Muslim diwajibkan melaksanakan shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban itu dibutuhkan pendidikan.
Sebelum ada sekolah formal sejenis Manbaul Ulum yang dibangun pada 1905 di Surakarta, pendidikan Islam tingkat dasar dilaksanakan secara informal yang disebut nggon ngaji atau pengajian yang mengambil tempat di rumah-rumah penduduk atau masjid. Sejak 1905, pendidikan informal ini dilengkapi dengan sekolah formal, madrasah. Hingga akhir tahun empat puluhan, sebagian besar sekolah-sekolah ini menjadi sekolah-sekolah al-Qur‘an eksklusif, yang jumlahnya sangat besar.
Umumnya nggon ngaji bersifat swadaya, sebagaimana umumnya madrasah pada masa penjajahan Belanda. Dan sekarang, sebagian besar madrasah yang ada di Indonesia disubsidi pemerintah. Sementara, mayoritas Muslim kita hanya mengenyam pendidikan Islam tingkat dasar ini. Karena itu, meski dapat membaca al-Qur‘an, umumnya tak dapat memahaminya dengan baik, juga tidak mampu membaca buku-buku teks berbahasa Arab. Dengan demikian, sulit untuk mengatakan mereka sebagai kelompok terdidik.
Tapi, dalam nggon ngaji memang tidak sama jenjangnya. Jenjang paling dasar diberikan orangtua di rumah pada anak-anaknya sejak usia lima tahun. Biasanya, anak-anak itu disuruh menghafal ayat-ayat pendek. Pada usia tujuh atau delapan tahun, anak-anak mulai diperkenalkan cara membaca huruf Arab sampai mampu membaca al-Qur‘an. Hal ini biasanya diberikan kakak laki-laki atau perempuan. Bagi anak yang orangtuanya, kakak laki-laki atau kakak perempuanya tidak bisa membaca tulisan Arab, pendidikannya diserahkan pada tetangga terdekat yang kebetulan mengajari anak-anak mereka. Biasanya, pengajaran dasar ini diberikan setelah shalat Maghrib atau setelah shalat Subuh.
Menurut pandangan umat Islam Jawa, untuk mencapai kemampuan membaca al-Qur‘an diperlukan latihan terus-menerus dengan bimbingan seorang guru yang ahli. Agar bisa membaca lebih baik, si anak harus mengikuti latihan-latihan lebih lanjut yang biasanya dilaksanakan di masjid atau madrasah. Bagi anak-anak yang cukup mampu, latihan membaca al-Qur‘an hanyalah langkah awal. Karena pendidikan ini dinilai penting, jumlah sekolah al-Qur‘an pun menjadi sangat banyak jumlahnya. Pada 1831, pemerintah Belanda mencatatnya sebanyak 1.853 nggon ngaji dengan jumlah 16.556 murid, tersebar di berbagai kabupaten yang didominasi pemeluk Islam di Jawa. Pada 1885, Van der Berg menemukan 14.929 nggon ngaji dengan jumlah 222.663 murid.
Bagi yang ingin mengenyam pendidikan tinggi tapi tidak ingin menjadi ulama, pendidikan yang diperoleh di nggon ngaji dinilai cukup untuk mengetahui bahasa Arab sekedarnya. Sedangkan yang ingin menjadi ulama, ia harus mempelajari bahasa Arab lebih jauh. Penguasaannya sangat mendukung ketika mempelajari buku-buku fiqh (jurisprudensi Islam), usul fiqh (sumber dan sistem yurisprudensi Islam), hadits (tindakan, ucapan dan takrir Nabi saw), adab (sastra Arab), tafsir al-Qur’an, tawhid (teologi Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawuf (sufisme), dan akhlaq (etika Islam). Semua cabang ilmu tersebut diberikan sesuai dengan level atau jenjang yang berlaku di pesantren. Jenjang yang dimaksud adalah:

Untuk menguasai sejumlah cabang ilmu itu diperlukan guru atau Kyi yang benar-benar ahli dan punya program belajar yang sistematis. Kini, IAIN itulah yang lebih bisa diharapkan. Hal ini bukanlah berarti menegaskan keberadaan pesantren. Sebab, dalam banyak hal, kekuatan pendidikan Islam di Indonesia masih tertumpu pada pola dan sistem pesantren. Di pesantren, para santri dibina moralnya untuk selalu berbuat baik dan sopan santun. Juga, ditempa semangatnya baik dalam mencari ilmu atau latihan sikap hidup mandiri.
Dalam pergumulan sehari-hari di pesantren, secara sekilas terbiarkan sejumlah perbedaan individual santri, yang bisa jadi dapat menimbulkan implikasi negatif, misalnya muncul kelompok atau individu tertentu yang mendominasi lainnya. Tapi, di balik sikap pembiaran itu para kyai atau pengelola pesantren senantiasa mengamati berbagai prilaku, termasuk kemampuan belajar para kyai atau pengelola pesantren mencatat perkembangan intelektual para santrinya, lalu menempatkan mereka sesuai dengan kemampuannya. Bahkan, jika di antara santrinya tampak punya kemampuan berpidato atau berdakwah, biasanya mereka diberi dorongan, meski hanya dalam bentuk penyediaan sarana atau waktu.
Dari pola pembinaan pesantren yang demikian, maka tidaklah aneh jika kita lihat banyak guru madrasah, khatib atau ulama berhasil diciptakan dari pesantren. Namun, ada satu hal yang tampaknya sangat berbeda dengan lembaga pendidikan selain pesantren. Yaitu, hampir semua pesantren menanamkan nilai pada para santrinya bahwa mencari ilmu untuk memenuhi kewajiban selaku Muslim atau Muslimat. Jadi, bukan demi masa depan yang bersifat materi.
Dominasi dan signifikansi peran pendidikan Islam di Indonesia semakin kuat pada akhir abad 19, ketika komunikasi antara Indonesia dan Saudi Arabia meningkat karena Terusan Suez dibuka pada 1869. Hal ini bisa dilihat pada meningkatnya jumlah ulama yang menetap bertahun-tahun di Makkah untuk memperdalam pengetahuan keislamannya. Hal ini memang meningkatkan kemampuan para ulama kita dalam memahami teks-teks Islam klasik. Dengan peningkatan itu kurikulum dan teks-teks yang digunakan di berbagai pesantren pun mulai distandardisasikan.
Pengaruh positif hubungan intensif Indonesia-Saudi ternyata tidak hanya sebatas kemampuan intelektual orang-orang kita yang menimbailmu di Makkah sana. Tapi, setelah mereka kembali ke tanah air, perkembangan pesantren dan jumlah santrinya makin meningkat. Dan peningkatan jumlah itu menimbulkan pemikiran sistem pendidikan berjenjang model Barat. Itulah madrasah yang mulai diperkenalkan pada 1905. Perubahan penting lainnya terjadi pada tahun 1916. Yaitu, beberapa pesantren mulai membangun asrama untuk santri wanita dalam kompleks pesantren. Dan lebih kontras lagi perubahannya adalah sejumlah pesantren mulai mengajarkan mata pelajaran seperti bahasa Indonesia dan Belanda, matematika, geografi dan sejarah. Semua cabang ilmu ini dinilai sekuler menurut para kyai atau ulama pada umumnya.
Dalam beberapa segi, pengenalan awal sistem madrasah, pendidikan bagi santri wanita, dan penyajian mata pelajaran sekuler merupakan respons para ulama terhadap perubahan yang disebabkan kebijakan Belanda di Indonesia. Pada akhir abad 19 pemerintah kolonial itu memperkenalkan pendidikan model Barat bagi golongan Pribumi. Pengembangan sekolah-sekolah “jenis baru” ini didasari nasihat Snouck Hurgronje, yang sejak awal bertujuan memperluas pengaruh kolonialisasinya, sekaligus untuk menghambat pengaruh pesantren yang semakin luas.
Menurut Hurgronje, kelangsungan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tergantung pada kemampuan menciptakan bangsa terjajah yang terasuki kebudayaan negeri penjajah. Berarti, untuk kasus Indonesia, westernisasi harus dimulai dari golongan priyayi. Agar “peracunannya” terwujud, bangsa Indonesia harus “dicekoki” pendidikan ala Barat sebagai upaya mengurangi bahkan mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Hanya dengan konsep kultural seperti itulah Islam pasti kalah.
Implementasi logika Snouck adalah dengan sistem pendidikan Barat, para lulusannya dari sekolah menengah dan perguruan tinggi dapat menggantikan kedudukan ulama sebagai soko guru dan pemimpin masyarakat. Dengan perubahan posisi itu pada akhirnya kaum muda pria dan wanita yang potensial akan tertarik pada pendidikan Barat faktor perubahan motivasi belajar. Dalam hal ini tidak lagi mencari ilmu untuk memenuhi panggilanNya, tapi demi lapangan kerja yang semakin “menantang” dan menjanjikan.
Konsep penaklukan kultural versus Belanda itu ternyata terbatas responsnya, terutama para ulama. Faktornya, konsep tersebut terbentur dengan ideologi pendidikan pesantren yang tujuan utamanya memang menegakkan dan menyebarkan Islam. Di samping itu, karena kekurangan tenaga guru mata pelajaran umum. Dengan melihat dua faktor tersebut, sebenarnya Snouck dapat dikatakan meleset dalammengeluarkan konsep.
Di sisi lain, penerimaan sistem madrasah di kalangan pesantren justru membantu para ulama mengkonsolidasikan posisi pesantrennya dalam menghadapi perkembangan sekolah model Barat. Hasilnya, sebelum 1920, jumlah pesantren besar bisa mencapai 200-400 murid. Dan pada awal 1930, jumlahnya meningkat lagi sekitar 1.500 murid -Sebuah peningkatan yang berlipat ganda. Memang, sekolah-sekolah Barat meningkat juga jumlahnya. Tapi, hingga 1940, sebagian besarpendidikan menengah masih dibatasi untuk orang-orang Eropa saja:
Pada tahun 1940, terdapat 88.223 anak Indonesia yang terdaftar di sekolah-sekolah dasar model Barat, 8.235 anak di sekolah-sekolah Mulo (pendidikan Barat, jenjang 7-9 atau sederajat dengan tingkat atas), dan 1.786 di semua sekolah menengah tingkat atas. Pada 1940, masing-masing jenjang meluluskan 7.790, l.130, dan 240 pelajar Indonesia, Untuk tingkat Mulo, sebagian besar lulusannya orang-orang Eropa: sebanyak 5.688 sedangkan orang kita hanya 1.786 orang.
Sebuah survei yang dilaksanakan Shumubu (Departemen Urusan Agama pemerintah militer Jepang di Jawa) pada tahun 1942 mencatat jumlah madrasah dan pelajar seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Perkembangan Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan
Dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950. Salah satu faktornya lapangan pekerjaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Hal ini mengakibatkan penurunan minat kaum muda pada pendidikan pesantren dibandingkan sekolah-sekolah umum. Sementara, sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah kita mempercepat pembangunan sistem Pendidikan Nasional dengan membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebanyak mungkin, padahal esensinya merupakan adaptasi pendidikan model Barat dengan system budaya Barat. Sedangkan antara 1950-1960, sebagian besar nggon ngaji dan pesantren kecil menghilang. Pesantren besar yang mampu bertahan karena menyajikan mata pelajaran umum atau mengembangkan sekolah-sekolah bercorak modern.
Sangat menarik bahwa pemerintah membentuk DEPAG pada 3 Januari 1946, yang bersama-sama DEPDIKBUD, bertanggung jawab membina nggon ngaji dan madrasah sebagaimana juga terhadap sekolah-sekolah umum mengingat kebutuhan pendidikan masyarakat modern Indonesia. Karena nggon ngaji dan madrasah dinilai sebagai lembaga pendidikan keagamaan, maka pengelolaannya di bawah naungan DEPAG. Inilah keputusan pemerintah kita yang sangat beda dengan kebijakan pemerintah Belanda. Pada masa pemerintah kolonial ini, lembaga-lembaga keagamaan ini dikelola Kementerian Dalam Negeri.
Banyak pengamat pendidikan Indonesia memandang bahwa dalam pengelolaan lembaga pendidikan di Indonesia, DEPDIKBUD dan DEPAG, adalah dua departemen yang bersaing. Masing-masing mengembangkan model dan sistem yang berbeda. Sebenarnya, kurang tepat pandangan tersebut. Sebab, sejak DEPDIKBUD didirikan langsung dihadapkan beban membangun sekolah sebanyak mungkin. Dapat dimaklumi, karena sarana pendidikan ketika itu sangat terbatas, sementara kebutuhan untuk memperluas kesempatan belajar bagi anak-anak usia sekolah demikian besar. Guru, ruang kelas dan sarana pendidikan lainnya tidak cukup tersedia. Jumlah penduduk pribumi lulusan sekolah menengah atas hanya sekitar 1.600 orang, sementara jumlah anak-anak berusia antara 7-13 tahun sekitar 10 juta orang.
Di sisi lain, ketika Belanda meninggalkan kita pada 27 Desember 1949, hanya ada 175 orang Pribumi lulusan perguruan tinggi dan sebagian besar lulusan fakultas hukum. Hampir semuanya menduduki posisi kepemimpinan di kementerian, kabinet, atau posisiposisi penting lainnya. Di sisi lain lagi, pendapatan per kapita kita saat itu kurang dari US$ 50,00. Berarti, tidak tersedia uang cukup untuk membangun ribuan sekolah umum.
Keadaan yang dihadapi DEPDIKBUD yang demikian komplek ini menimbulkan pemikiran agar tetap berupaya memaksimalisasikan peranan sekolah-sekolah al-Qur‘an dalam pemerataan pendidikan dasar. Manifestasinya, pada Juli 1950, DEPDIKBUD dan DEPAG mulai menyelenggarakan pendidikan guru empat tahun secara massal dengan merekrut para lulusan pendidikan dasar dengan cara pemberian ikatan dinas. Ini merupakan program remedial yang baik guna mengatasi kekurangan tenaga guru. Selanjutnya, program empat tahun itu diperpanjang menjadi enam tahun.
Upaya maksimalisasi itu disambut baik para ulama kita. Salah satu wujudnya, kesediaan mereka mengubah nama sekolah al-Qur‘an menjadi madrasah Ibtidaiyah. Sesuatu yang paling penting di balik perubahan nama sekolah adalah tetap mengizinkan “mantan” sekolah al-Qur‘an mengajarkan bacaan Qur‘an dan bahasa Arab. Tapi di sisi lain pemerintah mendorong secara bertahap mengajarkan mata pelajaran umum, seperti matematika, geografi, sejarah, ilmu pengetahuan alam, bahasa nasional, dan membaca-menulis huruf Latin.
Meski sebagian besar ulama menerima perubahan nama sekolah al-Qur‘an, yang jelas mereka tidak banyak yang memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulumnya. Sekolah al-Qur‘an yang masih “tegar” ini diberi nama baru: madrasah diniyah. Dalam perkembangannya, setelah guru mata pelajaran umum cukup tersedia, banyak madrasah diniyah diubah menjadi madrasah Ibtidaiyah. Hal ini menunjukkan adanya kontinuitas dan fluiditas struktural di Indonesia antara madrasah diniyah, madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar.
Maksimalisasi upaya mentransformasikan nggon ngaji menjadi madrasah sebagai bagian dari pendidikan dasar ternyata tidak semudah yang diharapkan, minimal antara 1950-1975. Faktor utamanya, DEPAG tidak dapat menyediakan guru yang mampu mengajarkan mata pelajaran umum yang dibutuhkan madrasah. Sebanyak 75.000 guru yang direkrut DEPAG untuk mengajar di madrasah-madrasah sama sekali tidak memiliki pendidikan keguruan. Hal ini karena jumlah lulusan pendidikan guru agama Islam sejak 1957 hanya sekitar 1.000 orang setiap tahunnya, dan hampir semuanya direkrut DEPDIKBUD sebagai guru agama di sekolah-sekolah umum.
Menyadari lambannya proses transformasi ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama bersepakat untuk mempercepat proses transformasi madrasah Ibtidaiyah sebagai bagian dari upaya pemerataan pendidikan dasar. Ketiga menteri itu menandatangani keputusan bersama pada Maret 1975, yang memuat dua poin penting. Pertama, semua madrasah dari tingkat dasar sampai tingkat menengah atas harus mengubah kurikulum dan jumlah jam mata pelajaran tidak boleh kurang dari yang disediakan sekolah umum. Kedua, DEPDIKBUD bertanggung jawab mempersiapkan guru untuk mata pelajaran umum di madrasah-madrasah.
Ternyata, SKB tiga Menteri itu pun tak dapat berjalan mudah. Sebab, DEPDIKBUD tidak pernah dapat menyediakan tenaga guru bagi madrasah, karena jumlah rekrutmen guru-guru baru sangat terbatas; hanya cukup untuk mensuplai kebutuhan tenaga guru di sekolah-sekolah dasar milik DEPDIKBUD. Lebih parah lagi, sejak 1971, DEPAG belum pernah diberi jatah perekrutan guru-guru untuk madrasah swasta. Dan meskipun pada Mei 1984, pemerintah mulai menerapkan program wajib belajar bagi anak-anak usia sekolah antara 7-13 tahun, dan MI termasuk bagian dari lembaga pendidikan dasar, namun tak ada kemajuan yang dicapai MI. Hal ini terjadi sejak adanya campur tangan pemerintah, dan tak terwujudnya penyediaan guru dan sarana pendidikan.
Tampaknya, yang perlu kita telaah lebih tajam dari persoalan yang paling rumit dan dilematis adalah masalah kedudukan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti MI, MTS, MA, dan IAIN yang sebenarnya ada dalam otoritas DEPAG. Tapi, dengan lahirnya sistem Pendidikan Nasional sebagaimana yang terlansir dalam UU Pendidikan Nasional NO. 2/ 1989, otoritas lembaga pendidikan itu kini ada di tangan DEPDIKBUD. Sedangkan, DEPAG hanya memiliki otoritas penuh terhadap madrasah diniyah. Pernyataan tersebut bukanlah bermaksud mengusik kebijakan yang telah digariskan. Tapi, ketumpangtindihan wewenang itu menimbulkan bias. Kita harus menggarisbawahi, tujuan utama dan pola penyelenggaraan madrasah yang sebelumnya disebut sekolah al-Qur‘an, secara substansial telah paralel dengan sistem pendidikan nasional. Yaitu, untuk mengembangkan sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi dan masyarakat. Memang, kurikulum madrasah masih memuat proporsi pelajaran agama masih cukup besar, tapi tujuan utamanya agar pendidikan agama harus membantu memperkuat keberhasilan pengembangan sumber daya manusia, bukan melemahkannya.
Dan memang benar juga, madrasah diniyah tidak memuat pelajaran “seku1er” dalam kurikulumnya. Tapi, tujuan utamanya telah dirancang untuk melengkapi sekolah-sekolah dasar enam tahun. Karena itu, madrasah diniyah hanya menerima murid yang sedang belajar di sekolah-sekolah dasar, yang lama belajar setiap harinya sekitar dua jam dan sebagian besar pada sore hari.
Proporsi pelajaran agama dalam kurikulum MTs dan MA tidak boleh melampaui 20% dari kurikulum nasional dan hanya merupakan pengganti mata pelajaran tidak wajib (non-compulsory), seperti kesenian atau latihan-latihan kejuruan. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan pengajaran pengetahuan keislaman dan bahasa Arab yang lebih intensif untuk memungkinkan mereka melanjutkan pendidikan di IAIN. Tapi tujuan utama MTs dan MA adalah untuk mendidik para lulusan yang mampu melanjutkan studi di perguruan tinggi umum atau untuk mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja. Sejalan dengan tujuan ini, pemerintah telah menggalakkan pengembangan latihan-latihan teknik dan kejuruan di MA. Untuk mendapatkan bantuan finansial ataupun teknis telah terjadi diskusi yang cukup intensif dengan Islamic Development Bank (IDB) dan pemerintah Jepang untuk menggarap perluasan penyelenggaraan latihan keterampilan di 35 MA.
Bagi mereka yang bercita-cita menjadi ulama, tersedia MA khusus yang mengajarkan 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum. Jumlah MA jenis ini sangat terbatas. Hanya ada 10, yaitu di Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Jember, Ujung Pandang, Aceh, Lampung, Surakarta, Mataram dan Martapura. Jumlah ini secara bertahap akan ditingkatkan dalam sepuluh tahun mendatang, tapi akan dibatasi 10% saja dari seluruh MA yang ada atau kira-kira 50.000 siswa. Jumlah siswa seluruh MA saat ini sekitar 500.000. Penerimaan siswa untuk MA khusus ini sangat selektif dan terbatas.
Demikian juga halnya dengan penerimaan tenaga guru. Sarana belajar utama, seperti laboratorium bahasa, asrama siswa dan perpustakaan disediakan. Bahasa Inggris dan bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa pengantar. Para lulusan MA khusus ini diharapkan melanjutkan studi mereka di IAIN.

Program Modernisasi Madrasah
Walaupun jumlah siswa MI antara 1950-1989 masih tiga juta dan meningkat lagi menjadi 3.030.419 murid pada 1992 ini, namun kualitas inputnya buruk. Dengan ekspansi ke pelosok pedesaan dan dilengkapi sarana dan guru yang lebih baik, sekolah-sekolah dasar negeri dapat menyerap 23.917.669 murid atau 83% dari murid-murid berusia 6 tahun. Sebagian besar mereka berasal dari keluarga yang ekonominya cukup mampu, paling tidak untuk membayar iuran bulanan dan seragam sekolah. Jadi, 11% murid yang terdaftar di madrasah, umumnya berasal dari keluarga miskin.
Gambaran lain madrasah saat ini, 58%, dari murid-muridnya wanita, sedangkan pada sekolah DEPDIKBUD hanya 37% yang wanita. Fenomena ini sungguh menarik, karena para orangtua masih memandang penting pendidikan bagi anak laki-laki ataupun anak perempuan. Tapi, ketika biaya terbatas, anak laki-laki itulah yang diberi prioritas untuk bersekolah di tempat yang lebih baik dan lebih mahal. Meski ada sikap lebih meninggikan anak lelaki, perbandingan prosentase itu juga menunjukkan para orangtua masih percaya pada kemampuan madrasah, terutama dalam memelihara tradisi dan kebudayaan Islam.
Di luar gambaran madrasah yang memprihatinkan dan mengharukan itu masih terdapat gambaran yang menimbulkan senyum. Terutama yang mendambakan keberadaan madrasah. Sebab, peserta didik di madrasah tingkat menengah dan atas telah terjadi kenaikan antara 14% dan 17%, yang sebelumnya berposisi 12%. Kenaikan ini menggambarkan sebagian besar lulusan madrasah tingkat dasar melanjutkan ke tingkat menengah dan perguruan tinggi. Hal ini bisa dilihat dari besarnya jumlah mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi Islam.
Dalam rangka mempercepat program modernisasi madrasah, mulai tahun ini pemerintah menyediakan anggaran untuk perbaikan dan penambahan ruangan kelas setiap MI swasta sebesar US$ 3.000,00 Untuk biaya operasional, pemerintah menyediakan subsidi tahunan sebesar USS 500,00 untuk pembinaan madrasah tingkat menengah pertama relatif lebih besar perhatiannya. Kini, pemerintah telah menyetujui permohonan DEPAG untuk sebesar US$ 20.000.000,00 dari Asian Development Bank (ADB). DEPDIKBUD juga telah mensuplai 200 guru matematika, fisika dan mata pelajaran umum lainnya untuk setiap tahun.
Sedangkan perhatian pemerintah terhadap madrasah tingkat menengah atas, terlihat pada pemberian program latihan ketrampilan yang telah dimulai sejak 1988 dalam bidang automotif, mekanik, elektronik, dan menjahit pakaian. Program ini telah dibangun di tiga madrasah Aliyah negeri, yaitu Garut, Kendal dan Jember. Sejak 1991, latihan keterampilan juga telah diperkenalkan di lima madrasah Aliyah -Medan dan Banjarmasin untuk bidang keterampilan komputer, di Bukit Tinggi untuk bidang mekanik sepeda motor, di Wajo bidang keterampilan mengelas, dan Mataram untuk bidang administrasi bisnis. Program ini telah mendapat bantuan UNDP.
Program latihan keterampilan lainnya adalah dalam bidang agrobisnis yang tahun ini akan diperkenalkan di 23 Madrasah Aliyah swasta dengan dukungan Departemen Pertanian dan perusahaan swasta. Program ini akan menelan biaya sebesar US$ 7.000.000,00.
Pada tingkat pendidikan tinggi, DEPAG telah menyelenggarakan Program Pembibitan Dosen (predeparture training program for overseas post-graduate studies) bagi para lulusan IAIN. Program sembilan bulan ini setiap tahun mempersiapkan 30 orang lulusan terbaik IAIN untuk melanjutkan program MA dan Ph.D di universitas-universitas terkemuka di negara-negara Barat. Untuk mendukung proyek ini, DEPAG mendapat bantuan secara teknis dan finansial dari CIDA, The British Council, AIDAB, pemerintah Belanda, yayasan Fulbright -dan BAPPENNAS. Dalam waktu 15 tahun, diharapkan sekitar 75 lulusan Ph.D, akan kembali ke Indonesia. Mereka akan direkrut sebagai dosen di program pasca sarjana di IAIN Jakarta, Yogyakarta, Aceh, Ujung Pandang dan Surabaya. Dengan tenaga-tenaga terampil dan sarana perpustakaan yang memadai, program pasca sarjana ini diharapkan dapat menghasilkan lulusan Ph.D yang lebih berkualitas, dan pada gilirannya, intelektualisme Islam di Indonesia akan lebih meningkat, tidak terlalu tergantung pada cendekiawan Muslim di Timur Tengah, dan lebih mampu berkomunikasi dengan intelektualisme nasional.
Bidang-bidang yang dipelajari para lulusan IAIN itu sangat beragam. Banyak yang mengambil bidang sosiologi, antropologi, sejarah, politik atau studi Timur Tengah. Mereka yang mengambil program degree dalam bidang-bidang itu dianjurkan mengambil studi keislaman sebagai mata kuliah minor yang nantinya diharapkan menjadi pelopor intelektualisasi studi-studi keislaman.
Interaksi mereka dengan dunia akademik Barat dan pengalaman hidup di tengah masyarakat maju, khususnya untuk menguasai metodologi Barat dalam memahami agama dan peradaban, akan mempengaruhi pola pikir, sikap keagamaan dan kehidupan sehari-hari. Alasan pengiriman para lulusan IAIN ke universitas-universitas di Barat sederhana. Yaitu, untuk mengintegrasikan intelektualisme Islam dengan intelektualisme nasional. Kalau para ekonom, ahli pendidikan, sosiolog, antropolog, budayawan, ilmuwan politik dan ilmuwan dari beberapa disiplin ilmu lainnya hasil didikan universitas Barat, maka langkah efektifnya adalah para intelektual Islam juga harus dididik di sana.
Kebijakan itu, minimal, dapat menjembatani kerenggangan yang ada di antara sesama kalangan intelektual di Indonesia ini, terutama yang berbeda latar studi agama dan umum. Dan meski tampak belum berimbang perbandingannya, tapi pertumbuhan lembaga pendidikan agama relatif meningkat.
Khusus untuk pendidikan dasar, perkembangannya selama dua dekade terakhir sangat pesat. Prosentase jumlah murid berusia 6 dan 12 tahun pada pendidikan dasar ini meningkat dari sekitar 30% pada tahun 1960 menjadi 99% pada tahun 1990. Kini, jumlah secara keseluruhan mencapai 29.000.000 murid. Keberhasilan menaikkan jumlah murid pendidikan dasar enam tahun ini adalah pengaruh langsung dari program wajib belajar yang dicanangkan pada Mei 1984. Dan keberhasilan ini mendorong pemerintah memperluas program Wajib belajar menjadi 9 tahun: 6 tahun sekolah dasar dan 3 tahun sekolah menengah pertama.
Transformasi lembaga pendidikan Islam menjadi lembaga pendidikan modern selama 40 tahun terakhir telah berlangsung sangat kompleks. Hambatannya bukan dalam segi politik tapi karena kurangnya sarana pendidikan, terutama tenaga guru yang terampil untuk mengajarkan pelajaran umum dan kejuruan. Transformasi Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah sebagai bagian dari pendidikan dasar 9 tahun telah dimantapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 28/ 1990. Menyadari besarnya jumlah murid-murid madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, sementara dana yang terhimpun dari masyarakat sangat terbatas, mulai tahun ini pemerintah telah memberikan perhatian yang lebih besar, dengan menyediakan biaya peningkatan kualitas pendidikan madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Peranan dan kontribusi lembaga pendidikan Islam ini dalam pemerataan pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia sangat besar karena 15% anak usia sekolah 6-15 tahun saat ini terdaftar di madrasah.

1 komentar:

  1. Get Free Offers From An Edge Titanium For Sale | Titanium-Arts
    The ceramic vs titanium flat iron Ultimate Guide to the titanium bike frame Edge Titanium Deal. For example, mens titanium wedding rings when I bought an Edge 2 Edge 2-G (with a guy tang titanium toner lighter weight) I still had the same issue. dental implants

    BalasHapus