SEKOLAH AL-QUR‘AN DAN PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
Oleh
Zamakhsyari Dhofier
Dr
Zamakhsyari Dhofier, lahir di Salatiga, pada 25 luli 1941. Mendapat pendidikan
sarjana dalam jurnalisme di Jakarta (1971), MA Sosiologi dari di Australian
National University (ANU), Canberra (1977), Australia, dan PhD dalam bidang
Antropologi Sosial juga di ANU (1980). Tulisan ini adalah tulisannya yang kedua
dua UQ. Ia sekarang selain sebagai dosen IAIN Jakarta (1984-), juga menjabat
sebagai kepala Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Departemen Agama. Menulis
buku Tradisi Pesantren, yang aslinya adalah disertasinya di ANU, Australia.
Hampir setengah abad
lembaga pendidikan Islam di tanah air ini mengalami proses transformasi.
Sayang, kondisi yang dihadapinya demikian kompleks dan tak bisa diselesaikan
dari satu sisi. Menurut penulis, kerumitan pentransformasiannya bukan karena
politis, tapi kurangnya sarana pendidikan terutama guru terampil untuk
mengajarkan pelajaran umum. Tapi, jika ditengok jauh ke belakang, kompleksitas
itu akibat “politik etis” Belanda yang memang sengaja menciptakan “dunia” untuk
menenggelamkan Islam dan pemeluknya. Juga, guna mempertahankan
kolonialisasinya. Namun demikian, pemerintah Indonesia sadar bahwa lembaga
pendidikan Islam harus segera diatasi karena keberadaannya memang ikut
menunjang proses pembangunan global.
Cukup unik dan
kompleks. Itulah sekolah al-Qur‘an di Indonesia. Sebab, dalam sekolah “khas”
itu terdapat gambaran yang memperlihatkan keunikan Islam di Tanah Air ini
sekaligus sebuah kompleksitas interaksi antara pendidikan Islam, pendidikan
modern model Barat dan sistem Pendidikan Nasional kita.
Dalam beberapa segi,
Pendidikan Nasional Indonesia -paling tidak antara tahun 1945 dan 1989-
menerapkan sistem ganda. Dalam rangka mengejar ketinggalan di bidang sains dan
teknologi, pemerintah kita membangun sistem pendidikan modern yang dikelola
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (DEPDIKBUD). Namun, pemerintah
percaya bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah berkembang
selama beberapa abad juga telah banyak memberikan kontribusi positif bagi
kehidupan spiritual dan intelektual bangsa Indonesia. Karena itu, meski
memiliki beberapa kelemahan, tapi lembaga-lembaga pendidikan Islam tak harus
dimusnahkan. Sebab, perkembangannya juga dibangun bersama pendidikan “modern”.
Kini, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini dikelola Departemen Agama (DEPAG).
Landasan
diberlakukannya sistem pendidikan ganda tidak hanya karena keyakinan adanya
kontinuitas, tapi juga karena kesabaran para pemimpinnya dalam mencari
titik-temu antara tujuan dasar pendidikan modern dan tujuan pendidikan Islam.
Meski disepakati pendidikan formal itulah yang menjadi media utama penyampaian
pemikiran pemerintah pada generasi muda, tapi terdapat perbedaan pandangan
antara para pemimpin nasional berpendidikan Barat dan para ulama tentang tujuan
dasar pendidikan.
Di satu pihak, para
elite nasional berpendidikan Barat percaya, pendidikan modern didesain untuk
mengembangkan sumber daya manusia dan menekankan pentingnya pendidikan sebagai
alat pengembangan masyarakat. Di pihak lain, para ulama masih bertahan pada
keyakinan, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional didisain untuk
menegakkan dan menyebarkan Islam.
Islam di Indonesia
memang sangat unik. Pertama, negara kita menjadi negara Muslim, menggantikan
kerajaan Hindu Majapahit baru pada abad 16 dan 17, ketika sebagian besar
pusat-pusat pendidikan Islam di dunia Islam mengalami kehancuran. Kedua, negara
kita cukup terpencil dan sangat terbatas interaksinya dari Dunia Islam lainnya,
khususnya selama pemerintah kolonial Belanda menguasai sepenuhnya
wilayah-wilayah pantai antara tahun 1615 dan 1858. Hal ini menyebabkan
perkembangan Islam dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia untuk
beberapa segi menjadi khas jika dibandingkan dengan yang terjadi di
negara-negara Muslim lainnya.
Ketiga, lembaga-lembaga
pendidikan Islam tradisional memang berkembang sangat kuat dan cepat melalui
hubungan pendidikan intensif dengan Makkah antara tahun 1868 dan 1914. Tapi,
model pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda pada akhir abad 19 telah
memiliki pengaruh yang lebih kuat pada perkembangan lebih lanjut atas sistem
Pendidikan Nasional Indonesia.
Dengan penduduk Muslim berjumlah 155 juta, Indonesia adalah konsentrasi umat Islam
terbesar di dunia. Inilah yang menempatkan Islam sebagai warisan keagamaan dan
kebudayaan yang kuat, dan ulama sebagai pemimpin informal yang penting dan
berpengaruh. Selain itu, ulama-ulama tradisional telah mampu membangun
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar di seluruh tanah air. Tidaklah mengherankan
bila pendidikan Islam di negara ini selalu memainkan peranan penting dalam
bidang pendidikan.
Pentingnya pendidikan
Islam dapat dilihat dari kenyataan. Saat ini terdapat 54.000 lebih lembaga pendidikan
Islam di seluruh Indonesia yang memberikan kesempatan belajar pada 8.566.988
murid-murid sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Pada tingkat dasar dan
menengah pertama, ada dua jenis lembaga pendidikan Islam. Yang pertama, lembaga
pendidikan yang menyajikan 80% mata pelajaran umum dan 20% mata pelajaran
agama. Pendidikan tingkat dasar ini disebut Madrasah Ibtidaiyah (MI), tingkat
menengah pertama disebut Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan tingkat menengah atas
disebut Madrasah ‘Aliyah (MA). Sekolah-sekolah ini dikualifikasikan setara
dengan tingkatan sekolah yang dikelola DEPDIKBUD. Untuk semua tingkatan,
sekolah atau madrasah jenis ini memiliki 4.457.677 orang siswa.
Jenis kedua, yang
menyajikan pelajaran agama 100% dan jenis ini biasa disebut madrasah diniyah.
Madrasah jenis ini memiliki sekitar 5.109.311 orang murid. Sedangkan pada
tingkat perguruan tinggi, ada dua jenis lembaga pendidikan Islam: Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) dengan 103.000 orang mahasiswa, dan Institut Agama
Islam swasta yang mahasiswanya kurang lebih 80.000 orang.
Pengelolaan MI, MTs, MA
dan Madrasah Diniyah berada di bawah Direktorat Pembinaan Kelembagaan
Pendidikan Islam, yang mempekerjakan sekitar 120.000 guru dan staf administrasi
untuk seluruh Indonesia. Dan pengelolaan Institut Agama Islam Negeri dan swasta
berada di bawah Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam. DEPAG juga
membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam di sekolah umum yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah yang
dikelola DEPDIKBUD, perlu dicatat, usaha pemerintah dalam membangun
lembaga-lembaga pengelola pendidikan Islam dimulai pada Januari 1946, atau
empat setengah bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dari
Belanda pada 17 Agustus 1945.
Latar Belakang Sejarah
sekolah-sekolah al-Qur‘an merupakan bagian dari
sistem pendidikan tradisional yang ada di seluruh Indonesia yang telah
menarik minat para pelajar Islam. Inilah yang pernah ditulis Brumund pada 1857,
sebagai sistem pendidikan orang Jawa. Secara tradisional, sekolah-sekolah
al-Qur‘an di Indonesia tidak memiliki sebutan tertentu yang jelas. Tempat
berlangsungnya pendidikan ini biasa disebut nggon
ngaji, yang berarti tempat murid-murid belajar membaca al-Qur‘an. Kegiatan
murid-murid yang mengikuti pendidikan Islam ini disebut “ngaji Qur‘an”.
Berarti, belajar membaca al-Qur’an. Secara tradisional, sekolah-sekolah
al-Qur‘an ini bagian dari pendidikan pesantren. Untuk memahami seluk beluk
sekolah-sekolah al-Qur‘an, perlu digambarkan peta pendidikan Islam tradisional
di Indonesia.
Dalam konsep Islam,
seseorang yang menyatakan diri sebagai Muslim harus mengucap kalimah shahadah, sebuah keyakinan dasar
keesaan Tuhan dan Muhammad Rasul-Nya. Tapi, di Indonesia ini telah bergulir
tradisi, keyakinan dasar itu harus dapat dituturkan di muka umum dalam bahasa
Arab, seperti upacara sunatan dan pernikahan. Pernyataan ini menandakan
seseorang menjadikan dirinya sebagai bagian dari komunitas Muslim karena Islam
menghendaki para pemeluknya membentuk komunitas keagamaan yang keanggotaannya
didasarkan pada pernyataan kalimah
shahadah di muka umum.
Namun, Islam
menghendaki ketaatan para pemeluknya lebih dari sekedar pernyataan keyakinan
dasar itu. Selain syahadat, setiap Muslim diwajibkan melaksanakan shalat, puasa
Ramadhan, membayar zakat dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban itu dibutuhkan pendidikan.
Sebelum ada sekolah
formal sejenis Manbaul Ulum yang dibangun pada 1905 di Surakarta, pendidikan
Islam tingkat dasar dilaksanakan secara informal yang disebut nggon ngaji atau pengajian yang
mengambil tempat di rumah-rumah penduduk atau masjid. Sejak 1905, pendidikan
informal ini dilengkapi dengan sekolah formal, madrasah. Hingga akhir tahun
empat puluhan, sebagian besar sekolah-sekolah ini menjadi sekolah-sekolah
al-Qur‘an eksklusif, yang jumlahnya sangat besar.
Umumnya nggon ngaji bersifat swadaya,
sebagaimana umumnya madrasah pada masa penjajahan Belanda. Dan sekarang,
sebagian besar madrasah yang ada di Indonesia disubsidi pemerintah. Sementara,
mayoritas Muslim kita hanya mengenyam pendidikan Islam tingkat dasar ini.
Karena itu, meski dapat membaca al-Qur‘an, umumnya tak dapat memahaminya dengan
baik, juga tidak mampu membaca buku-buku teks berbahasa Arab. Dengan demikian,
sulit untuk mengatakan mereka sebagai kelompok terdidik.
Tapi, dalam nggon ngaji memang tidak sama jenjangnya.
Jenjang paling dasar diberikan orangtua di rumah pada anak-anaknya sejak usia
lima tahun. Biasanya, anak-anak itu disuruh menghafal ayat-ayat pendek. Pada
usia tujuh atau delapan tahun, anak-anak mulai diperkenalkan cara membaca huruf
Arab sampai mampu membaca al-Qur‘an. Hal ini biasanya diberikan kakak laki-laki
atau perempuan. Bagi anak yang orangtuanya, kakak laki-laki atau kakak
perempuanya tidak bisa membaca tulisan Arab, pendidikannya diserahkan pada
tetangga terdekat yang kebetulan mengajari anak-anak mereka. Biasanya,
pengajaran dasar ini diberikan setelah shalat Maghrib atau setelah shalat
Subuh.
Menurut pandangan umat
Islam Jawa, untuk mencapai kemampuan membaca al-Qur‘an diperlukan latihan
terus-menerus dengan bimbingan seorang guru yang ahli. Agar bisa membaca lebih
baik, si anak harus mengikuti latihan-latihan lebih lanjut yang biasanya
dilaksanakan di masjid atau madrasah. Bagi anak-anak yang cukup mampu, latihan
membaca al-Qur‘an hanyalah langkah awal. Karena pendidikan ini dinilai penting,
jumlah sekolah al-Qur‘an pun menjadi sangat banyak jumlahnya. Pada 1831, pemerintah
Belanda mencatatnya sebanyak 1.853 nggon
ngaji dengan jumlah 16.556 murid, tersebar di berbagai kabupaten yang
didominasi pemeluk Islam di Jawa. Pada 1885, Van der Berg menemukan 14.929 nggon ngaji dengan jumlah 222.663 murid.
Bagi yang ingin
mengenyam pendidikan tinggi tapi tidak ingin menjadi ulama, pendidikan yang
diperoleh di nggon ngaji dinilai
cukup untuk mengetahui bahasa Arab sekedarnya. Sedangkan yang ingin menjadi ulama,
ia harus mempelajari bahasa Arab lebih jauh. Penguasaannya sangat mendukung
ketika mempelajari buku-buku fiqh
(jurisprudensi Islam), usul fiqh (sumber
dan sistem yurisprudensi Islam), hadits
(tindakan, ucapan dan takrir Nabi saw), adab
(sastra Arab), tafsir al-Qur’an, tawhid (teologi Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawuf (sufisme), dan akhlaq (etika Islam). Semua cabang ilmu
tersebut diberikan sesuai dengan level atau jenjang yang berlaku di pesantren.
Jenjang yang dimaksud adalah:
Untuk menguasai
sejumlah cabang ilmu itu diperlukan guru atau Kyi yang benar-benar ahli dan
punya program belajar yang sistematis. Kini, IAIN itulah yang lebih bisa
diharapkan. Hal ini bukanlah berarti menegaskan keberadaan pesantren. Sebab,
dalam banyak hal, kekuatan pendidikan Islam di Indonesia masih tertumpu pada
pola dan sistem pesantren. Di pesantren, para santri dibina moralnya untuk
selalu berbuat baik dan sopan santun. Juga, ditempa semangatnya baik dalam
mencari ilmu atau latihan sikap hidup mandiri.
Dalam pergumulan
sehari-hari di pesantren, secara sekilas terbiarkan sejumlah perbedaan
individual santri, yang bisa jadi dapat menimbulkan implikasi negatif, misalnya
muncul kelompok atau individu tertentu yang mendominasi lainnya. Tapi, di balik
sikap pembiaran itu para kyai atau pengelola pesantren senantiasa mengamati
berbagai prilaku, termasuk kemampuan belajar para kyai atau pengelola pesantren
mencatat perkembangan intelektual para santrinya, lalu menempatkan mereka
sesuai dengan kemampuannya. Bahkan, jika di antara santrinya tampak punya
kemampuan berpidato atau berdakwah, biasanya mereka diberi dorongan, meski
hanya dalam bentuk penyediaan sarana atau waktu.
Dari pola pembinaan
pesantren yang demikian, maka tidaklah aneh jika kita lihat banyak guru
madrasah, khatib atau ulama berhasil diciptakan dari pesantren. Namun, ada satu
hal yang tampaknya sangat berbeda dengan lembaga pendidikan selain pesantren.
Yaitu, hampir semua pesantren menanamkan nilai pada para santrinya bahwa
mencari ilmu untuk memenuhi kewajiban selaku Muslim atau Muslimat. Jadi, bukan
demi masa depan yang bersifat materi.
Dominasi dan
signifikansi peran pendidikan Islam di Indonesia semakin kuat pada akhir abad
19, ketika komunikasi antara Indonesia dan Saudi Arabia meningkat karena
Terusan Suez dibuka pada 1869. Hal ini bisa dilihat pada meningkatnya jumlah
ulama yang menetap bertahun-tahun di Makkah untuk memperdalam pengetahuan
keislamannya. Hal ini memang meningkatkan kemampuan para ulama kita dalam
memahami teks-teks Islam klasik. Dengan peningkatan itu kurikulum dan teks-teks
yang digunakan di berbagai pesantren pun mulai distandardisasikan.
Pengaruh positif
hubungan intensif Indonesia-Saudi ternyata tidak hanya sebatas kemampuan
intelektual orang-orang kita yang menimbailmu di Makkah sana. Tapi, setelah
mereka kembali ke tanah air, perkembangan pesantren dan jumlah santrinya makin
meningkat. Dan peningkatan jumlah itu menimbulkan pemikiran sistem pendidikan
berjenjang model Barat. Itulah madrasah yang mulai diperkenalkan pada 1905. Perubahan
penting lainnya terjadi pada tahun 1916. Yaitu, beberapa pesantren mulai
membangun asrama untuk santri wanita dalam kompleks pesantren. Dan lebih
kontras lagi perubahannya adalah sejumlah pesantren mulai mengajarkan mata
pelajaran seperti bahasa Indonesia dan Belanda, matematika, geografi dan
sejarah. Semua cabang ilmu ini dinilai sekuler menurut para kyai atau ulama
pada umumnya.
Dalam beberapa segi,
pengenalan awal sistem madrasah, pendidikan bagi santri wanita, dan penyajian
mata pelajaran sekuler merupakan respons para ulama terhadap perubahan yang
disebabkan kebijakan Belanda di Indonesia. Pada akhir abad 19 pemerintah
kolonial itu memperkenalkan pendidikan model Barat bagi golongan Pribumi.
Pengembangan sekolah-sekolah “jenis baru” ini didasari nasihat Snouck
Hurgronje, yang sejak awal bertujuan memperluas pengaruh kolonialisasinya,
sekaligus untuk menghambat pengaruh pesantren yang semakin luas.
Menurut Hurgronje,
kelangsungan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tergantung pada
kemampuan menciptakan bangsa terjajah yang terasuki kebudayaan negeri penjajah.
Berarti, untuk kasus Indonesia, westernisasi harus dimulai dari golongan
priyayi. Agar “peracunannya” terwujud, bangsa Indonesia harus “dicekoki”
pendidikan ala Barat sebagai upaya mengurangi bahkan mengalahkan pengaruh Islam
di Indonesia. Hanya dengan konsep kultural seperti itulah Islam pasti kalah.
Implementasi logika
Snouck adalah dengan sistem pendidikan Barat, para lulusannya dari sekolah
menengah dan perguruan tinggi dapat menggantikan kedudukan ulama sebagai soko
guru dan pemimpin masyarakat. Dengan perubahan posisi itu pada akhirnya kaum
muda pria dan wanita yang potensial akan tertarik pada pendidikan Barat faktor
perubahan motivasi belajar. Dalam hal ini tidak lagi mencari ilmu untuk
memenuhi panggilanNya, tapi demi lapangan kerja yang semakin “menantang” dan
menjanjikan.
Konsep penaklukan
kultural versus Belanda itu ternyata terbatas responsnya, terutama para ulama.
Faktornya, konsep tersebut terbentur dengan ideologi pendidikan pesantren yang
tujuan utamanya memang menegakkan dan menyebarkan Islam. Di samping itu, karena
kekurangan tenaga guru mata pelajaran umum. Dengan melihat dua faktor tersebut,
sebenarnya Snouck dapat dikatakan meleset dalammengeluarkan konsep.
Di sisi lain, penerimaan
sistem madrasah di kalangan pesantren justru membantu para ulama
mengkonsolidasikan posisi pesantrennya dalam menghadapi perkembangan sekolah
model Barat. Hasilnya, sebelum 1920, jumlah pesantren besar bisa mencapai
200-400 murid. Dan pada awal 1930, jumlahnya meningkat lagi sekitar 1.500 murid
-Sebuah peningkatan yang berlipat ganda. Memang, sekolah-sekolah Barat
meningkat juga jumlahnya. Tapi, hingga 1940, sebagian besarpendidikan menengah
masih dibatasi untuk orang-orang Eropa saja:
Pada tahun 1940,
terdapat 88.223 anak Indonesia yang terdaftar di sekolah-sekolah dasar model
Barat, 8.235 anak di sekolah-sekolah Mulo
(pendidikan Barat, jenjang 7-9 atau sederajat dengan tingkat atas), dan 1.786
di semua sekolah menengah tingkat atas. Pada 1940, masing-masing jenjang
meluluskan 7.790, l.130, dan 240 pelajar Indonesia, Untuk tingkat Mulo,
sebagian besar lulusannya orang-orang Eropa: sebanyak 5.688 sedangkan orang
kita hanya 1.786 orang.
Sebuah survei yang
dilaksanakan Shumubu (Departemen Urusan Agama pemerintah militer Jepang di
Jawa) pada tahun 1942 mencatat jumlah madrasah dan pelajar seperti terlihat
pada tabel berikut ini:
Perkembangan Pendidikan
Islam Pasca Kemerdekaan
Dominasi pesantren di
dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950. Salah satu
faktornya lapangan pekerjaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang
mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Hal ini mengakibatkan penurunan minat
kaum muda pada pendidikan pesantren dibandingkan sekolah-sekolah umum.
Sementara, sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah kita mempercepat
pembangunan sistem Pendidikan Nasional dengan membangun sekolah-sekolah umum
dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebanyak mungkin, padahal esensinya
merupakan adaptasi pendidikan model Barat dengan system budaya Barat. Sedangkan
antara 1950-1960, sebagian besar nggon
ngaji dan pesantren kecil menghilang. Pesantren besar yang mampu bertahan
karena menyajikan mata pelajaran umum atau mengembangkan sekolah-sekolah
bercorak modern.
Sangat menarik bahwa
pemerintah membentuk DEPAG pada 3 Januari 1946, yang bersama-sama DEPDIKBUD,
bertanggung jawab membina nggon ngaji
dan madrasah sebagaimana juga terhadap sekolah-sekolah umum mengingat kebutuhan
pendidikan masyarakat modern Indonesia. Karena nggon ngaji dan madrasah dinilai sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, maka pengelolaannya di bawah naungan DEPAG. Inilah keputusan pemerintah
kita yang sangat beda dengan kebijakan pemerintah Belanda. Pada masa pemerintah
kolonial ini, lembaga-lembaga keagamaan ini dikelola Kementerian Dalam Negeri.
Banyak pengamat
pendidikan Indonesia memandang bahwa dalam pengelolaan lembaga pendidikan di Indonesia,
DEPDIKBUD dan DEPAG, adalah dua departemen yang bersaing. Masing-masing mengembangkan
model dan sistem yang berbeda. Sebenarnya, kurang tepat pandangan tersebut.
Sebab, sejak DEPDIKBUD didirikan langsung dihadapkan beban membangun sekolah
sebanyak mungkin. Dapat dimaklumi, karena sarana pendidikan ketika itu sangat
terbatas, sementara kebutuhan untuk memperluas kesempatan belajar bagi
anak-anak usia sekolah demikian besar. Guru, ruang kelas dan sarana pendidikan
lainnya tidak cukup tersedia. Jumlah penduduk pribumi lulusan sekolah menengah
atas hanya sekitar 1.600 orang, sementara jumlah anak-anak berusia antara 7-13
tahun sekitar 10 juta orang.
Di sisi lain, ketika
Belanda meninggalkan kita pada 27 Desember 1949, hanya ada 175 orang Pribumi
lulusan perguruan tinggi dan sebagian besar lulusan fakultas hukum. Hampir
semuanya menduduki posisi kepemimpinan di kementerian, kabinet, atau
posisiposisi penting lainnya. Di sisi lain lagi, pendapatan per kapita kita
saat itu kurang dari US$ 50,00. Berarti, tidak tersedia uang cukup untuk
membangun ribuan sekolah umum.
Keadaan yang dihadapi
DEPDIKBUD yang demikian komplek ini menimbulkan pemikiran agar tetap berupaya
memaksimalisasikan peranan sekolah-sekolah al-Qur‘an dalam pemerataan
pendidikan dasar. Manifestasinya, pada Juli 1950, DEPDIKBUD dan DEPAG mulai
menyelenggarakan pendidikan guru empat tahun secara massal dengan merekrut para
lulusan pendidikan dasar dengan cara pemberian ikatan dinas. Ini merupakan
program remedial yang baik guna mengatasi kekurangan tenaga guru. Selanjutnya,
program empat tahun itu diperpanjang menjadi enam tahun.
Upaya maksimalisasi itu
disambut baik para ulama kita. Salah satu wujudnya, kesediaan mereka mengubah
nama sekolah al-Qur‘an menjadi madrasah Ibtidaiyah. Sesuatu yang paling penting
di balik perubahan nama sekolah adalah tetap mengizinkan “mantan” sekolah
al-Qur‘an mengajarkan bacaan Qur‘an dan bahasa Arab. Tapi di sisi lain
pemerintah mendorong secara bertahap mengajarkan mata pelajaran umum, seperti
matematika, geografi, sejarah, ilmu pengetahuan alam, bahasa nasional, dan
membaca-menulis huruf Latin.
Meski sebagian besar
ulama menerima perubahan nama sekolah al-Qur‘an, yang jelas mereka tidak banyak
yang memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulumnya. Sekolah al-Qur‘an yang
masih “tegar” ini diberi nama baru: madrasah diniyah. Dalam perkembangannya,
setelah guru mata pelajaran umum cukup tersedia, banyak madrasah diniyah diubah
menjadi madrasah Ibtidaiyah. Hal ini menunjukkan adanya kontinuitas dan
fluiditas struktural di Indonesia antara madrasah diniyah, madrasah Ibtidaiyah
dan Sekolah Dasar.
Maksimalisasi upaya
mentransformasikan nggon ngaji
menjadi madrasah sebagai bagian dari pendidikan dasar ternyata tidak semudah
yang diharapkan, minimal antara 1950-1975. Faktor utamanya, DEPAG tidak dapat
menyediakan guru yang mampu mengajarkan mata pelajaran umum yang dibutuhkan
madrasah. Sebanyak 75.000 guru yang direkrut DEPAG untuk mengajar di madrasah-madrasah
sama sekali tidak memiliki pendidikan keguruan. Hal ini karena jumlah lulusan
pendidikan guru agama Islam sejak 1957 hanya sekitar 1.000 orang setiap
tahunnya, dan hampir semuanya direkrut DEPDIKBUD sebagai guru agama di
sekolah-sekolah umum.
Menyadari lambannya
proses transformasi ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Agama bersepakat untuk mempercepat proses transformasi madrasah Ibtidaiyah
sebagai bagian dari upaya pemerataan pendidikan dasar. Ketiga menteri itu
menandatangani keputusan bersama pada Maret 1975, yang memuat dua poin penting.
Pertama, semua madrasah dari tingkat dasar sampai tingkat menengah atas harus
mengubah kurikulum dan jumlah jam mata pelajaran tidak boleh kurang dari yang
disediakan sekolah umum. Kedua, DEPDIKBUD bertanggung jawab mempersiapkan guru
untuk mata pelajaran umum di madrasah-madrasah.
Ternyata, SKB tiga
Menteri itu pun tak dapat berjalan mudah. Sebab, DEPDIKBUD tidak pernah dapat
menyediakan tenaga guru bagi madrasah, karena jumlah rekrutmen guru-guru baru
sangat terbatas; hanya cukup untuk mensuplai kebutuhan tenaga guru di
sekolah-sekolah dasar milik DEPDIKBUD. Lebih parah lagi, sejak 1971, DEPAG
belum pernah diberi jatah perekrutan guru-guru untuk madrasah swasta. Dan meskipun
pada Mei 1984, pemerintah mulai menerapkan program wajib belajar bagi anak-anak
usia sekolah antara 7-13 tahun, dan MI termasuk bagian dari lembaga pendidikan
dasar, namun tak ada kemajuan yang dicapai MI. Hal ini terjadi sejak adanya
campur tangan pemerintah, dan tak terwujudnya penyediaan guru dan sarana
pendidikan.
Tampaknya, yang perlu
kita telaah lebih tajam dari persoalan yang paling rumit dan dilematis adalah
masalah kedudukan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti MI, MTS, MA, dan
IAIN yang sebenarnya ada dalam otoritas DEPAG. Tapi, dengan lahirnya sistem
Pendidikan Nasional sebagaimana yang terlansir dalam UU Pendidikan Nasional NO.
2/ 1989, otoritas lembaga pendidikan itu kini ada di tangan DEPDIKBUD.
Sedangkan, DEPAG hanya memiliki otoritas penuh terhadap madrasah diniyah.
Pernyataan tersebut bukanlah bermaksud mengusik kebijakan yang telah
digariskan. Tapi, ketumpangtindihan wewenang itu menimbulkan bias. Kita harus
menggarisbawahi, tujuan utama dan pola penyelenggaraan madrasah yang sebelumnya
disebut sekolah al-Qur‘an, secara substansial telah paralel dengan sistem
pendidikan nasional. Yaitu, untuk mengembangkan sumber daya manusia bagi
pembangunan ekonomi dan masyarakat. Memang, kurikulum madrasah masih memuat
proporsi pelajaran agama masih cukup besar, tapi tujuan utamanya agar
pendidikan agama harus membantu memperkuat keberhasilan pengembangan sumber
daya manusia, bukan melemahkannya.
Dan memang benar juga,
madrasah diniyah tidak memuat pelajaran “seku1er” dalam kurikulumnya. Tapi,
tujuan utamanya telah dirancang untuk melengkapi sekolah-sekolah dasar enam
tahun. Karena itu, madrasah diniyah hanya menerima murid yang sedang belajar di
sekolah-sekolah dasar, yang lama belajar setiap harinya sekitar dua jam dan
sebagian besar pada sore hari.
Proporsi pelajaran
agama dalam kurikulum MTs dan MA tidak boleh melampaui 20% dari kurikulum
nasional dan hanya merupakan pengganti mata pelajaran tidak wajib (non-compulsory), seperti kesenian atau
latihan-latihan kejuruan. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan pengajaran
pengetahuan keislaman dan bahasa Arab yang lebih intensif untuk memungkinkan
mereka melanjutkan pendidikan di IAIN. Tapi tujuan utama MTs dan MA adalah
untuk mendidik para lulusan yang mampu melanjutkan studi di perguruan tinggi umum
atau untuk mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja. Sejalan dengan tujuan ini,
pemerintah telah menggalakkan pengembangan latihan-latihan teknik dan kejuruan
di MA. Untuk mendapatkan bantuan finansial ataupun teknis telah terjadi diskusi
yang cukup intensif dengan Islamic Development Bank (IDB) dan pemerintah Jepang
untuk menggarap perluasan penyelenggaraan latihan keterampilan di 35 MA.
Bagi mereka yang
bercita-cita menjadi ulama, tersedia MA khusus yang mengajarkan 70% pelajaran
agama dan 30% pelajaran umum. Jumlah MA jenis ini sangat terbatas. Hanya ada
10, yaitu di Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Jember, Ujung Pandang, Aceh,
Lampung, Surakarta, Mataram dan Martapura. Jumlah ini secara bertahap akan
ditingkatkan dalam sepuluh tahun mendatang, tapi akan dibatasi 10% saja dari
seluruh MA yang ada atau kira-kira 50.000 siswa. Jumlah siswa seluruh MA saat
ini sekitar 500.000. Penerimaan siswa untuk MA khusus ini sangat selektif dan
terbatas.
Demikian juga halnya
dengan penerimaan tenaga guru. Sarana belajar utama, seperti laboratorium
bahasa, asrama siswa dan perpustakaan disediakan. Bahasa Inggris dan bahasa
Arab dijadikan sebagai bahasa pengantar. Para lulusan MA khusus ini diharapkan
melanjutkan studi mereka di IAIN.
Program
Modernisasi Madrasah
Walaupun jumlah siswa
MI antara 1950-1989 masih tiga juta dan meningkat lagi menjadi 3.030.419 murid
pada 1992 ini, namun kualitas inputnya buruk. Dengan ekspansi ke pelosok
pedesaan dan dilengkapi sarana dan guru yang lebih baik, sekolah-sekolah dasar
negeri dapat menyerap 23.917.669 murid atau 83% dari murid-murid berusia 6
tahun. Sebagian besar mereka berasal dari keluarga yang ekonominya cukup mampu,
paling tidak untuk membayar iuran bulanan dan seragam sekolah. Jadi, 11% murid
yang terdaftar di madrasah, umumnya berasal dari keluarga miskin.
Gambaran lain madrasah
saat ini, 58%, dari murid-muridnya wanita, sedangkan pada sekolah DEPDIKBUD
hanya 37% yang wanita. Fenomena ini sungguh menarik, karena para orangtua masih
memandang penting pendidikan bagi anak laki-laki ataupun anak perempuan. Tapi,
ketika biaya terbatas, anak laki-laki itulah yang diberi prioritas untuk
bersekolah di tempat yang lebih baik dan lebih mahal. Meski ada sikap lebih meninggikan
anak lelaki, perbandingan prosentase itu juga menunjukkan para orangtua masih
percaya pada kemampuan madrasah, terutama dalam memelihara tradisi dan kebudayaan
Islam.
Di luar gambaran
madrasah yang memprihatinkan dan mengharukan itu masih terdapat gambaran yang menimbulkan
senyum. Terutama yang mendambakan keberadaan madrasah. Sebab, peserta didik di madrasah
tingkat menengah dan atas telah terjadi kenaikan antara 14% dan 17%, yang
sebelumnya berposisi 12%. Kenaikan ini menggambarkan sebagian besar lulusan madrasah
tingkat dasar melanjutkan ke tingkat menengah dan perguruan tinggi. Hal ini
bisa dilihat dari besarnya jumlah mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi Islam.
Dalam rangka mempercepat
program modernisasi madrasah, mulai tahun ini pemerintah menyediakan anggaran
untuk perbaikan dan penambahan ruangan kelas setiap MI swasta sebesar US$
3.000,00 Untuk biaya operasional, pemerintah menyediakan subsidi tahunan
sebesar USS 500,00 untuk pembinaan madrasah tingkat menengah pertama relatif lebih
besar perhatiannya. Kini, pemerintah telah menyetujui permohonan DEPAG untuk
sebesar US$ 20.000.000,00 dari Asian Development Bank (ADB). DEPDIKBUD juga
telah mensuplai 200 guru matematika, fisika dan mata pelajaran umum lainnya
untuk setiap tahun.
Sedangkan perhatian
pemerintah terhadap madrasah tingkat menengah atas, terlihat pada pemberian
program latihan ketrampilan yang telah dimulai sejak 1988 dalam bidang
automotif, mekanik, elektronik, dan menjahit pakaian. Program ini telah
dibangun di tiga madrasah Aliyah negeri, yaitu Garut, Kendal dan Jember. Sejak
1991, latihan keterampilan juga telah diperkenalkan di lima madrasah Aliyah
-Medan dan Banjarmasin untuk bidang keterampilan komputer, di Bukit Tinggi
untuk bidang mekanik sepeda motor, di Wajo bidang keterampilan mengelas, dan
Mataram untuk bidang administrasi bisnis. Program ini telah mendapat bantuan
UNDP.
Program latihan
keterampilan lainnya adalah dalam bidang agrobisnis yang tahun ini akan
diperkenalkan di 23 Madrasah Aliyah swasta dengan dukungan Departemen Pertanian
dan perusahaan swasta. Program ini akan menelan biaya sebesar US$ 7.000.000,00.
Pada tingkat pendidikan
tinggi, DEPAG telah menyelenggarakan Program Pembibitan Dosen (predeparture training program for overseas
post-graduate studies) bagi para lulusan IAIN. Program sembilan bulan ini
setiap tahun mempersiapkan 30 orang lulusan terbaik IAIN untuk melanjutkan
program MA dan Ph.D di universitas-universitas terkemuka di negara-negara
Barat. Untuk mendukung proyek ini, DEPAG mendapat bantuan secara teknis dan
finansial dari CIDA, The British Council, AIDAB, pemerintah Belanda, yayasan
Fulbright -dan BAPPENNAS. Dalam waktu 15 tahun, diharapkan sekitar 75 lulusan
Ph.D, akan kembali ke Indonesia. Mereka akan direkrut sebagai dosen di program
pasca sarjana di IAIN Jakarta, Yogyakarta, Aceh, Ujung Pandang dan Surabaya.
Dengan tenaga-tenaga terampil dan sarana perpustakaan yang memadai, program
pasca sarjana ini diharapkan dapat menghasilkan lulusan Ph.D yang lebih
berkualitas, dan pada gilirannya, intelektualisme Islam di Indonesia akan lebih
meningkat, tidak terlalu tergantung pada cendekiawan Muslim di Timur Tengah,
dan lebih mampu berkomunikasi dengan intelektualisme nasional.
Bidang-bidang yang
dipelajari para lulusan IAIN itu sangat beragam. Banyak yang mengambil bidang
sosiologi, antropologi, sejarah, politik atau studi Timur Tengah. Mereka yang
mengambil program degree dalam
bidang-bidang itu dianjurkan mengambil studi keislaman sebagai mata kuliah
minor yang nantinya diharapkan menjadi pelopor intelektualisasi studi-studi
keislaman.
Interaksi mereka dengan
dunia akademik Barat dan pengalaman hidup di tengah masyarakat maju, khususnya
untuk menguasai metodologi Barat dalam memahami agama dan peradaban, akan
mempengaruhi pola pikir, sikap keagamaan dan kehidupan sehari-hari. Alasan
pengiriman para lulusan IAIN ke universitas-universitas di Barat sederhana.
Yaitu, untuk mengintegrasikan intelektualisme Islam dengan intelektualisme
nasional. Kalau para ekonom, ahli pendidikan, sosiolog, antropolog, budayawan,
ilmuwan politik dan ilmuwan dari beberapa disiplin ilmu lainnya hasil didikan
universitas Barat, maka langkah efektifnya adalah para intelektual Islam juga
harus dididik di sana.
Kebijakan itu, minimal,
dapat menjembatani kerenggangan yang ada di antara sesama kalangan intelektual
di Indonesia ini, terutama yang berbeda latar studi agama dan umum. Dan meski
tampak belum berimbang perbandingannya, tapi pertumbuhan lembaga pendidikan
agama relatif meningkat.
Khusus untuk pendidikan
dasar, perkembangannya selama dua dekade terakhir sangat pesat. Prosentase jumlah
murid berusia 6 dan 12 tahun pada pendidikan dasar ini meningkat dari sekitar
30% pada tahun 1960 menjadi 99% pada tahun 1990. Kini, jumlah secara
keseluruhan mencapai 29.000.000 murid. Keberhasilan menaikkan jumlah murid
pendidikan dasar enam tahun ini adalah pengaruh langsung dari program wajib
belajar yang dicanangkan pada Mei 1984. Dan keberhasilan ini mendorong
pemerintah memperluas program Wajib belajar menjadi 9 tahun: 6 tahun sekolah
dasar dan 3 tahun sekolah menengah pertama.
Transformasi lembaga
pendidikan Islam menjadi lembaga pendidikan modern selama 40 tahun terakhir telah
berlangsung sangat kompleks. Hambatannya bukan dalam segi politik tapi karena
kurangnya sarana pendidikan, terutama tenaga guru yang terampil untuk
mengajarkan pelajaran umum dan kejuruan. Transformasi Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah
sebagai bagian dari pendidikan dasar 9 tahun telah dimantapkan dengan Peraturan
Pemerintah No. 28/ 1990. Menyadari besarnya jumlah murid-murid madrasah Ibtidaiyah
dan Tsanawiyah, sementara dana yang terhimpun dari masyarakat sangat terbatas,
mulai tahun ini pemerintah telah memberikan perhatian yang lebih besar, dengan
menyediakan biaya peningkatan kualitas pendidikan madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.
Peranan dan kontribusi lembaga pendidikan Islam ini dalam pemerataan pendidikan
dasar 9 tahun di Indonesia sangat besar karena 15% anak usia sekolah 6-15 tahun
saat ini terdaftar di madrasah.
Get Free Offers From An Edge Titanium For Sale | Titanium-Arts
BalasHapusThe ceramic vs titanium flat iron Ultimate Guide to the titanium bike frame Edge Titanium Deal. For example, mens titanium wedding rings when I bought an Edge 2 Edge 2-G (with a guy tang titanium toner lighter weight) I still had the same issue. dental implants