Minggu, 26 Oktober 2014

PESANTREN DAN KITAB KUNING



PESANTREN DAN KITAB KUNING
Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren
Oleh Martin van Bruinessen

Dr. Martin van Bruinessen , lahir di Schoonhoven, Belanda. Ia belajar fisika teoretis dan matematika di Universitas Utrecht, Belanda (1964-1971). Pada 1978, ia berhasil mempertahankan di-sertasi doktornya yang berjudul “Agha, Shaikh and State,” yang membahas sejarah dan struktur sosial masyarakat Kurd, juga di Universitas Utrecht. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai suvervisor LIPI pada proyek penelitian mengenai ulama Indonesia, sejak 1 Mei 1991, ia ditunjuk INIS sebagai dosen tamu di IAIN Sunan Kalijaga, Yogakarta.

Pesantren, sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang akhir-akhir ini makin banyak peminatnya, ternyata tidak berakar dari budaya Indonesia asli. Penelitian menunjukkan bahwa akar budaya pesantren yang dianggap khas Indonesia itu cukup kompleks. Martin van Bruinessen, Dosen Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, melalui tulisannya yang pernah disampaikan dalam seminar “Tradisi-tradisi Tekstual di Asia Tenggara” di Bern Jerman Barat, Juli 1989, mencoba menelusuri asal-usul tradisi pesantren, kitab-kitab yang dipelajari dan perkembangannya di Indonesia.

Salah satu tradisi luhur di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta semenanjung Malaya. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning, sebuah nama yang memberi gambaran warna kertas edisi pertama terbitan Timur Tengah yang sampai ke Indonesia. Kandungan teks-teks klasik yang ada di pesantren (al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tak bisa ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik, baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis.
Pesantren (atau pondok, surau, dayah dan nama lain sesuai daerah) bukan satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Dan tradisi yang muncul itu hanyalah satu dari beberapa aliran Islam Indonesia. Aliran-aliran modernis, reformis dan fundamentalis yang mulanya muncul sebagai oposan terhadap tradisi ini, malahan sebagian telah berkembang menjadi tradisi lain yang kaku. Perhatian saya dalam tulisan ini adalah pada Islam tradisional, meskipun akhir-akhir ini terjadi konvergensi dengan kelompok lain karena ada interaksi yang terus-menerus dengan lingkungannya. Organisasi kaum reformis Muhammadiyah, misalnya, sekarang mempunyai pesantren, dimana di samping ada ada kurikulum sekolah biasa, juga diajarkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab[1]) (meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya berbeda dengan pesantren tradisional). Di hampir semua pesantren, pada sisi lain, ada pergeseran penekanan pada materi kitab-kitab tradisional, yang tampaknya akibat pengaruh modernisme. Tafsir, Hadits[2]) dan usul al-fiqh mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan seabad lalu - sebuah perkembangan yang paralel dengan semboyan kaum modernis “Kembali kepada Qur’an dan Hadist.”

Menggambarkan tradisi
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantrennya sendiri, karisma dan kepribadian Kyai (ajengan, tuan guru, dan lain sebagainya tergantung daerahnya). Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi terhadap ulama sebelumnya dan ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya. Kepatuhan, bagi pengamat luar, tampak lebih penting dari pada usaha menguasai ilmu; tapi bagi kyai hal itu merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asy’ari, founding father NU, misalnya, sangat mengagumi tafsir Muhammad Abduh, namun ia tak suka santrinya membaca tafsir itu. Kebenciannya bukan terhadap rasionalisme Abduh, tapi terhadap ejekannya yang ditunjukkan kepada ulama tradisional.
Meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks tertulis, namun transmisi lisan (penyampaian dengan mulut) para kyai adalah penting. Kitab dibaca keras-keras oleh kyai di depan sekelompok santri, dan mereka mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun ma’nawi (makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tapi biasanya terbatas pada konteks sempit isi kitab itu. Jarang sekali ada usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkrit, atau dengan situasi kontemporer. Kyai jarang menanyakan – apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab pemula sering dihapalkan. sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil tamatan pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari relevansi kekinian, baik secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang menjalankan sistem madrasah - ada kenaikan kelas, kurikulum tetap dan ijazah – namun banyak pesantren penting masih menerapkan metode tradisional juga. Setelah murid menamatkan kitab yang dipelajarinya, mereka mendapat ijazah (biasanya hanya dengan ucapan), dan setelah itu mereka bisa pindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kyai terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Kyai di samping mengajar kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian umum mingguan untuk masyarakat, dan dalam pengajian itu dibahas kitab-kitab relatif sederhana.
Kandungan intelektual Islam tradisional berkisar pada doktrin Asy’ari (khususnya karya-karya Sanusi), mazhab Syafi’i (dengan sedikit menerima tiga mazhab lain) dan kepatuhan pada etik serta mistik Ghazali dan pengarang kitab sejenis. Sebagian besar kitab yang dipelajari di pesantren[3]) -termasuk karya-karya mutakhir- isinya berkisar pada tiga kategori itu atau pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab tradisional (nahw). Dalam hal terakhir, kaum tradisional masih tetap lebih memilih metode nahw yang tak efisien dibandingkan dengan metode modern (Drewes 1977).
Di sisi lain, Islam modernis tak mau terikat dengan sistem mazhab yang kaku dan kesufian Ghazali. Mereka menyerukan pembukaan kembali pintu ijtihad dan aktivisme sosial dan politik. Sementara dalam tradisi pesantren karya-karya Ghazali dianggap sebagai prestasi keilmuan tertinggi; kaum modernis dan fundamentalis memilih Ibn Taimiyyah sebagai idolanya (yang karya-karyanya dilarang dibaca di pesantren).[4])
Sebagian besar kyai hanya mengajarkan kitab kuning, tapi tak sedikit juga yang telah menambah khazanah Islam tradisional dengan mengarang kitab. Ada perbedaan besar antara karya ulama modernis dan reformis dengan karya ulama tradisional. Ulama modernis menulis karyanya dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin (karya-karya ulama Arab yang reformis pun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia); sementara ulama tradisional menulisnya dengan bahasa Arab, karena dianggap menambah nilai kehormatannya.[5]) Kalau pun karyanya ditulis dalam bahasa setempat, namun tetap memakai huruf Arab. Penulisan dalam huruf Arab inilah yang menjadi ciri penting untuk membedakan antara ulama modern dan tradisional. Sekarang lebih dari 500 judul karya ulama tradisional Indonesia, yang isinya beraneka ragam: dari terjemahan karya sederhana sampai syarah dan hasyiyah canggih terhadap teks klasik.
Tradisi pesantren bernafas sufistik dan ubudiyah. Ibadah yang fardlu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah dan dzikir, wirid atau ratib. Banyak kyai berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya kepatuhan spesifik dan amalan sufistik. Seperempat dari hasil karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan ahlak. Nabi dan ahl al-bait sangat dimulJikan dan menjadi obyek sejumlah salawat. Bahkan orang sangat bejat yang berasal dari keturunannya masih sangat dihormati. Para wali sangat dimulJikan dan pertolongannya sering diminta. Mengunjungi makam para wali dan sejumlah kyai merupakan bagian penting dari acara tahunan. Hampir semua pesantren di Jawa mempunyai perayaan tahunan (khaul, hawl), untuk memperingati ulang tahun kematian kyainya.
Karisma kyai didasarkan kekuatan spiritual dan kemampuan memberi berkah karena hubungannya dengan alam ghaib. Kuburannya pun dipercayai dapat memberikan berkah. Sikap inilah yang paling tajam membedakan antara kaum tradisional dengan kaum modernis dan fundamentalis yang menganggap bahwa setelah orang mati tak ada lagi hubungan, dan setiap usaha untuk berhubungan dengannya adalah syirk (menyekutukan Tuhan). Di sisi lain, kaum tradisionalis menganggapnya sebagai sebuah aspek integral konsep wasilah, keperantaraan spiritual. Rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati, melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai kepada Nabi dan karenanya kepada Tuhan, dianggap penting untuk keselamatan. (Itulah sebabnya, keanggotaan kyai NU tak dianggap habis karena kematiannya, supaya wasilah tak putus).[6])
Konsep rantai kesinambungan kepada Nabi adalah penting bagi Islam tradisional. Hal itu terdapat dalam pelbagai aspek seperti pada silsilah tarekat,[7]) isnad Hadits dan juga isnad kitab-kitab yang dipelajari. Rantai itu merupakan jaminan keotentikan tradisi.[8]) Sejumlah sayyid Hadrami (berasal dari Hadramaut) yang telah punya pengaruh besar pada pembentukan Islam tradisional Indonesia merupakan penjelmaan fisik dari rantai itu; titisan darah Nabi dianggap terdapat dalam dirinya, yang menyebabkan derajatnya lebih tinggi dari orang lain. Dalam bentuk yang agak beda, para kyai suka membanggakan silsilah dan mengaku - benar atau salah - keturunan wali di Jawa atau penguasa setempat.[9]) Kaum modernis, tentu saja, menolak bahwa keturunan dapat mengesahkan ketinggian spiritual seseorang.
Oportunisme politik NU yang sering dikritik kaum Muslim lain, disebabkan banyak kyai menganut paham politik konservatif tradisi Sunni yang menganggap bahwa kekacauan politik (fitnah) selama satu jam lebih buruk dari pada tirani satu abad. Akomodasi politik hampir menjadi sesuatu yang prinsip dalam tradisi Sunni, tak sekedar sebuah upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Semua gerak politik NU masa lalu dilegitimasi keputusan Syuriah dengan mengacu kitab kuning,[10]) yang meski secara teoritis kaku, namun longgar penerapannya.

Tradisi Indonesia atau asing?
Ada paradoks pada tradisi pesantren. Ia berakar kuat di tanah Indonesia; pondok dan pesantren bisa dianggap lembaga yang tipikal Indonesia. Meskipun ia lembaga Ben didikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek, tak mirip dengan sekolah tradisional di dunia Islam mana pun. Ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia.
Tradisi kitab kuning, jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan ditulis sebelum Indonesia terislamisasi. Demikian juga banyak syarah bukan berasal dari Indonesia, meskipun jumlah syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak. Bahkan pergeseran perhatian utama dalam tradisi itu mengikuti pergeseran serupa di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab yang kini dipelajari di pesantren relatif baru, tapi tak ditulis di Indonesia, melainkan di Makkah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri).
Pola khas pesantren sebagai lembaga pendidikan juga mencerminkan pengaruh asing, dan mungkin juga punya akar asing (meski bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua). Ia menyerupai madrasah India dan Timur Tengah. Hampir semua kyai besar menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam prestisius di Arabia. Mereka bisa dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam yang internasional dengan varian tradisi Islam yang masih relatif sederhana di Indonesia.
Tradisi pesantren bukanlah satu-satunya tradisi budaya di Indonesia yang punya akar asing. Namun, tak seperti tradisi-tradisi Indonesia yang berakar dari India dan Cina yang telah terintegrasi dengan budaya setempat dan berkembang lebih lanjut, lepas dari sumber asing mereka,[11]) tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan senantiasa memperbarui kembali melalui sumbernya sendiri. Sumber terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Makkah - pusat orientasi semua Dunia Islam. Dan kedua Madinah, di mana Nabi membangun masjid pertama dan wafat.
Hampir semua pengarang-pengarang Islam Indonesia banyak menghabiskan waktunya di Makkah, Madinah dan pusat-pusat pengajaran Islam di Timur Tengah. Namun bukan hanya para ulama, tapi juga para penguasa Islam masa lalu merujuk ke Makkah untuk mendapatkan legitimasi, atau paling tidak mendapatkan ilmu untuk kekuatan spiritual. Abu’l-Mafakhir Mahmud, raja Banten keempat, mengirim utusan ke Makkah, 1630-an, untuk minta pengakuan sebagai Sultan serta penjelasan berbagai kitab agama dan bahkan minta dikirim ahli fiqh dari Makkah untuk mencerahkan Banten.[12]) Pada 1641, raja Mataram juga minta dianugerahi pangkat “sultan” dari penguasa (syarif) di Makkah, sebagai salah satu usaha untuk memperkuat kembali legitimasi keagamaannya (de Graaf 1958: 264-8). Meskipun pengetahuan kita tentang Islam di Indonesia sebelum abad 17 sangat sedikit, hal itu tampaknya sesuai dengan orientasi Makkah yang telah berkembang jauh sebelum kejadian-kejadian itu tercatat.
Keterangan ini tidak untuk mengingkari bahwa Islam di Indonesia, khususnya dalam abad-abad pertama, terpengaruh perkembangan Islam India. Sebagai contoh besarnya pengaruh tarekat Syattariyyah[13]), popularitas berbagai adaptasi metafisiknya Ibn ’Arabi, wahdat la-wujud[14]) dan pemilihan kitab-kitab yang dipelajari selama abad-abad pertama di Indonesia menunjukkan besarnya pengaruh India. Namun pengaruh India ini juga mencapai Nusantara melalui kota-kota Suci di Hijaz, tempat berbagai ulama besar India (dan pengikutnya yang non-India) mengajar. Seorang Arab kelahiran India, Nuruddin ar-Raniri, merupakan satu dari sedikit tokoh yang menunjukkan hubungan langsung antara India dan Indonesia.
Karena orientasi asing yang terus berlanjut pada tradisi pesantren, ia tak bisa dianggap terisolir. Agar memahami dinamika pesantren, kita harus mempelajari perkembangan Islam di Arabia dan India. Studi yang dilakukan Snouck Hurgronje tentang pendidikan Islam di Makkah (1887 - 1889) masih sangat penting di antara karya-karya penting lain mengenai tradisi pesantren. Sejak abad lalu, perhatian sarjana untuk mengkaji Islam Indonesia hampir semuanya mengabaikan Makkah dan pusat-pusat asing lain, karenanya hasil penelitiannya sangat dangkal.[15])

Permulaan Tradisi Pesantren
Kita hanya tahu sedikit sekali asal usul pesantren, bahkan tak mengetahui kapan lembaga tersebut pertama kali muncul. Banyak yang disebut pesantren di masa awal, sebetulnya hanya merupakan ekstrapolasi dari pengamatan akhir abad 19. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan sejenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid pada periode awal abad 16. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh, di pegunungan, dan berasal dari lembaga sejenis zZaman pra-Islam, Mandala dan Asyrama (Pigeaud 1967: 76ff; de Graaf & Pigeaud 1974: 246-7). Ada indikasi bahwa pertapaan-pertapaan jenis pra-Islam bertahan beberapa waktu setelah Jawa diislamkan, bahkan pertapaan baru terus didirikan.[16]) Namun tak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan di mana pengajaran tekstual berlangsung. Karena itu sebutan “pesantren” (sebuah istilah yang menurut pengetahuan saya tak muncul sampai belakangan ini) patut dipertanyakan.
Beberapa pengarang berminat melihat desa perdikan (Fokkens 1886) sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Perdikan merupakan lembaga berumur cukup tua (Schrieke 1919), dan beberapa kampung perdikan abad 19 telah menikmati statusnya Sejak Zaman pra-Islam. Namun demikian, keberadaan pesantren di kampung perdikan bukan akibat statusnya. Dari 211 kampung perdikan yang tercatat pada survey akhir abad 19 (Anon. 1888), hanya ada 4 kampung yang sebagian penghasilannya secara eksplisit digunakan untuk pemeliharaan pesantren. Ada pesantren di beberapa kampung perdikan lain, namun tak mendapat pembagian penghasilan, dan karena itu, jelas keberadaannya tak ada hubungannya dengan status kampung perdikan itu. Alasan yang paling masuk akal adanya status ini (terpisah dan alasan politik untuk menjadikan perdikan sebagai daerah pinggiran, sebagaimana komentar Schrieke) adalah keberadaan makam-makam penting. Pemeliharaan makam-makam yang punya pengaruh spiritual penting secara- tradisional merupakan suatu jabatan agama yang dihormati, terlepas dari apa agama resminya. Keluarga kepada siapa perdikan dipercayakan, memiliki kewibawaan agama tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa anggota keluarganya ada yang jadi guru agama berpengaruh (terutama mengajar tasawuf dan magi). Ketika itulah, peranan mengajar orang-orang tersebut menjadi terlembaga dalam bentuk pesantren. Proses pembentukan pesantren itu telah digambarkan dengan cermat oleh Guillot (1985) dalam kasus berdiri-nya pesantren Tegalsari. Namun perlu ditekankan bahwa hanya sedikit dari pesantren Jawa yang mempunyai latar belakang seperti itu, dan bahkan pesantren-pesantren ini pun umurnya masih muda. Pesantren Tegalsari, pesantren tertua yang masih berfungsi sampai beberapa tahun lalu, didirikan tahun 1742. Survey Belanda pertama terhadap pendidikan asli, 1819, memberi kesan bahwa pesantren yang “betul” belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid. Madiun dan Ponorogo (dimana Tegalsari terletak) waktu itu memiliki pesantren terbaik. Di sinilah anak-anak dari pesisir utara pergi untuk melanjutkan pelajarannya (van der Chijs 1864: 215-9). Sepanjang yang saya perhatikan, tak ada bukti yang jelas terdapat pesantren (dalam bentuk abad 19) sebelum berdirinya Tegalsari.
Patut diingat bahwa belum ada lembaga bertipe pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad 20. Transmisi pengajaran Islam di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan menghafal Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya. Haji atau pedagang Arab yang sedang melakukan perjalanan (lewat kampung) akan singgah beberapa hari di desa itu untuk mengajar agama. Ulama lokal di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid-murid yang sangat tertarik akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid yang ingin belajar lebih jauh pergi ke Jawa, atau jika mungkin, ke Makkah. Itulah juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatra selama abad-abad pertama islamisasi. Karena itu, saya punya dugaan kuat bahwa lembaga yang layak disebut pesantren tak didirikan sebelum abad 18.

Pesantren Karang
Sebuah pesantren tua terkenal bernama Karang di Banten, yang letaknya mungkin sekitar Gunung Karang sebelah barat Pandeglang, dibicarakan dalam Serat Centini (Drewes 1969: 11). Danadarma, salah seorang tokoh asketis yang terdapat dalam Serat Centini, mengakui bahwa dia belajar tiga tahun di Karang di bawah bimbingan She Kadir Jalena (mungkin maksudnya dia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar ’Abd al-Qadir al-Jaelani).[17]) Juga salah seorang tokoh utama dalam Centini, Jayengresmi atau Among Raga, belajar di paguron Karang, di bawah bimbingan guru Arab Seh Ibrahim bin Abu Bakar, yang dikenal dengan Ki Ageng Karang. Dari Karang, kemudian dia pergi ke peguron besar lain di kampung Jawa Timur, Wanamarta, dibimbing Ki Baji Panurta, di mana dia menunjukkan penguasaannya yang tinggi terhadap kitab-kitab ortodoks.[18])
Seorang guru di Karang juga disebutkan dalam sebuah primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas. Primbon ini merujuk pada Seh Bari Karang yang dikatakan telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. Drewes (1969: 11) menduga bahwa yang dimaksud mungkin Seh Bari yang ajarannya terdapat dalam salah satu dari dua manuskrip Islam Jawa tertua (abad 16). Jika hal ini benar, berarti pada suatu ketika antara tahun 1527 (masuknya Islam di Banten) sampai akhir abad itu, Karang terkenal sebagai pusat pendidikan Islam ortodoks, bukan ajaran sinkretik seperti yang sering dikaitkan dengan para wali Jawa. Kalau pun dugaan Drewes benar bahwa kitab yang diterjemahkannya karya seorang guru dari Karang, itu pun belum terbukti bahwa di situ pernah ada pesantren. Manuskrip Banyumas tak menjelaskan sebuah sekolah, tapi hanya menyebutkan syekh (Centini yang kadang-kadang membicarakan perguruan, tak menyebutnya “pesantren,” tapi “paguron” atau “padepokan”).
Jayengresmi hidup sezaman Sultan Agung Mataram pada paruh pertama abad 17. Namun Centini disusun awal abad 19, dan karenanya tak bisa dianggap sumber yang dipercaya mengenai keadaan abad 17. Kitab Sejarah Banten yang disusun sekitar Zaman ketika Amongraga konon hidup (Djajadiningrat 1913), tak menyebutkan adanya peguron di Karang (atau di mana saja). Diduga tempat itu adalah tempat favorit untuk tapa, sebuah praktek meditasi.[19]) Satu-satunya pengajaran[20]) agama yang disebutkan di kitab ini adalah pendidikan .pribadi putra mahkota di tangan Kyai Dukuh dan kali (maksudnya qadi) kesultanan (ibid: 37). Jadi, pada abad 16 dan 17 yang ada adalah guru yang mengajar agama Islam di masjid atau istana dan ahli mistik dan magi yang berpusat di tempat pertapaan atau kuburan suci. Pesantren mungkin sebagian berkembang dari tempat-tempat ini, namun tak sampai periode belakangan.

Kitab yang Dipelajari Abad 16 – 19
Dugaan saya bahwa lembaga pesantren tak ada sebelum abad 18 tak berarti bahwa kitab kuning tak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab berbahasa Arab klasik jelas dikenal dan dipelajari pada abad 16. Beberapa kitab sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Indonesia telah menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi mirip kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600, sejumlah manuskrip Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab dibawa ke Eropa. Mereka menghargai tradisi penulisan Islam di Nusantara saat itu, meskipun belum sempurna.
Manuskrip-manuskrip Melayu (van Ronkel 1896) berisi tafsir dua bab penting dari Qur’an, dua hikayat dengan tema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antar baris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap Nabi (Qasidat al-Burda oleh al-Busiri, diedit Drewes, 1955). Dua manuskrip Islam Jawa terpenting yang juga diedit ulang Drewes (1954, 1969) menunjukkan sedikit spekulasi metafisis dan sinkretisme – tipe Islam Jawa. Mereka mencerminkan tradisi ortodoks (fiqh Syafi’i, doktrin Asy’ari dan etika Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk pada pelbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan pemikiran lebih jelas – bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.
Dari berbagai karya yang disebutkan dalam “Admonitions of She Bari” (Drewes 1969, sebelumnya dikenal sebagai “The Book of Bonang”), hanya dua judul yang diketahui: magnum opus Ghazali, Ihya ’ulum al-Din dan Kitab Tahmid (yang mungkin al-Tamhid fi Bayan al-Tawhid) karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Karya terakhir ini memang pernah diketahui di Indonesia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antar-baris (Kraemer 1921: 6). Dan menariknya karya ini banyak dibaca di India.[21]) Dua karya yang sama, juga disebutkan kitab Islam Jawa kuno lain (Kraemer 1921, Drewes 1954) bersama-sama dengan Talkhis al-Minhaj (ringkasan Minhaj, mungkin Minhaj al-’Abidin), Syarah fi’l Daqa’iq (mungkin komentar kitab populer tentang kosmologi dan eskatologi, Daqa’iq al-Akhbar).[22]) Dua judul lain, al-Kanz al-Khafi (“Harta Tersembunyi”) dan Ma’rifat al-’Alam (Terbukanya Tabir Dunia)[23]) mengesankan karya mistisisme dan metafisis, meskipun keduanya tak bisa diidentifikasi.
Catatan pendek ini memperlihatkan tekanan ajaran aqidah dan tasawuf. Keberadaan beberapa manuskrip (yang lebih muda) dalam bahasa Arab, begitu juga terjemahan Jawa kitab wahdat al-wujud karya Burhanpuri yang terkenal, al-Tuhfatal-Mursalah (Johns 1965) menunjukkan ada kecenderungan kuat terhadap tasawuf “pantheistis.” Namun di antara beberapa manuskrip yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa dari Jawa sekitar 1600, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja’ al-Isfahani, al-Taqrib fi’l-Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa interlinear) dan sebuah kitab anonim (sekarang benar-benar tak dikenal pengarangnya) al-Idlah fi al-Fiqh. Ini semua jelas membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad 16.
Orang-orang Indonesia yang belajar di Arab mengenal berbagai macam kitab yang lebih, luas, tapi apa yang dipelajari di Indonesia sendiri sangat terbatas dan sedikit dibandingkan dengan tradisi kitab klasik yang kaya. Mahmud Yunus (19791 223-6) memberikan informasi yang agak rinci tentang pesantren di Mataram (abad 18?), meskipun masih tak jelas dari mana sumbernya. Informasinya mungkin dari tradisi lisan. Ia menyebutkan tiga kitab yang dipelajari di tingkat rendah: Taqrib (kitab fiqh) Bidayat al-Hidayah (ringkasan Ihya) dan sebuah kitab berjudul Usul 6 Bis [24]) kitab tentang aqidah karya Abu’l-Laits al-Samarqandi, yang terkenal sebagai Asmarakandi.[25])
Serat Centini, sebagaimana ditunjukkan Soebardi pertama kali (1971) berisi lebih banyak informasi rinci mengenai kitab-kitab yang dipelajari di “pesantren.” Namun gegabah menganggap bahwa keterangannya benar untuk sebuah periode sebelum Centini dibuat. Dalam diskusi mengenai Centini, disebutkan 21 macam kitab, enam di antaranya kitab Fiqh (termasuk Taqrib dan Idlah),[26]) sembilan kitab aqidah (termasuk pendahuluan kitab Samarkandi dan dua karya Sanusi yang terkenal mengenai aqidah dengan berbagai komentar), dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidlawi) dan tiga kitab tasawuf.[27]) Yang terakhir ini termasuk Ihya dan al-Insan al-Kamil karya ’Abd la-Karim al-Jili, satu-satunya karya yang keortodokannya diperdebatkan -sebuah sajian metafisik sistematis dari karya Ibn ’Arabi, metafisika wahdat al-wujud.
Tahun 1819, pemerintah Kabupaten Rembang (Belanda) mencatat kitab yang dipelajari di pesantren (van der Chijs 1864: 217). Santri mempelajari dasar-dasar tatabahasa Arab dengan kitab Amil karya Jurjani (atau Awamil) dan kitab Jurumiyyah (masih digunakan di tiap pesantren), kemudian membaca bagian-bagian terpilih dari Qur’an, kitab-kitab Fiqh elementer (Sittin) dan aqidah (Asmarakandi) dan kitab tipis al-Durrah karya Sanusi yang juga disebutkan dalam sumber-sumber Jawa terdahulu.
Menjelang akhir abad itu, L.W.C. van den Berg mengunjungi sejumlah pesantren penting di Jawa dan Madura, dan mengumpulkan daftar kitab-kitab berbahasa Arab yang dipelajari secara umum yang sumber informasinya dari wawancara dengan kyai (1886). Sebutan “berbahasa Arab” menyiratkan bahwa karya-karya dalam bahasa lain (mungkin Jawa ditulis dalam huruf Arab) juga digunakan, tapi tak dibahas dalam artikel tersebut. Catatan Van den Berg menunjukkan kesinambungan jelas dengan kitab-kitab terdahulu, dalam arti bahwa baik tulisan pendahuluan yang dipakai maupun kitab-kitab prestisius yang disebutkan ternyata sama. Judul-judul tambahan pun pada dasarnya berupa rincian materi yang telah disunting - tak ada orientasi baru. Yang menarik adalah tiadanya beberapa dimensi tradisi klasik: sementara banyak kitab fiqh dipelajari, namun tak ada satu pun kitab usul al-Fiqh yang tercatat. Kitab tafsir, misalnya, hanya ada karya dua Jalaluddin (Jalalain: Suyuti dan Mahalli) serta tafsir Baydlawi. Meskipun kumpulan Hadits Bukhari dibaca beberapa kyai, tak ada kitab Hadits yang benar-benar dipelajari di pesantren. Dalam tiga subyek inilah, sejak 1888-an, kurikulum pesantren diperkaya (van Bruinessen 1990). Dimensi lain tradisi intelektual klasik yang lenyap dari pesantren adalah terutama filsafat dan metafisika.[28]) Van den Berg mencatat tak ada kitab-kitab wahdat al-wujud. Kitab-kitab ini mungkin masih dipelajari di sejumlah pesantren, tapi hanya diajarkan pada santri-santri pilihan, seperti yang ada di beberapa tempat sekarang.
Kitab-kitab yang dipelajari sebelum abad 20 di Jawa wawasannya sempit jika dibandingkan dengan wawasan intelektual pengarang-pengarang Islam dahulu dari daerah lain. Dalam kitab Nuruddin Raniri, Yusuf Makassar dan Abdurrauf Singkel, kita menemukan referensi yang jauh lebih banyak variasinya dan secara intelektual kitab-kitabnya lebih menarik. Daftar karya tasawuf dan filsafat bernilai tinggi yang disebut atau dikutip Raniri, menurut catatan Al-Attas (1986:15-24) sangat mengesankan. Yusuf menghabiskan waktu lama di tanah Arab, belajar pada guru-guru besar dan mendalami banyak tarekat. Ia juga dalam tulisan-tulisannya merujuk khazanah intelektual. Lebih luas dari pada kitab yang dikenal di Jawaa.[29]) Catatan Abdurra’uf dalam ’Umdat al-Muhtajin, menyebutkan lusinan gurunya di Makkah dan Madinah. Sayangnya ia tak merinci apa yang dipelajari dari guru-gurunya itu. Namun dari karya-karyanya, terlihat bahwa dia menguasai sebagian besar ilmu-ilmu Islam. Dengan melihat spesialisasi guru utamanya, Ibrahim al-Kurani, ia barangkali mendalami juga metafisika dan Hadits.

Tradisi Terpelajar Klasik dan Pengaruhnya di Indonesia
Kitab-kitab yang mewakili tradisi terpelajar Islam ditulis dalam abad 10-15 M yang merupakan masa jaya keilmuan Islam. Sejak akhir abad 15, pemikiran Islam di Arab tak mengalami kemajuan yang berarti. Model pemikirannya dalam ilmu-ilmu keislaman tetap sama, namun dalam ilmu lain seperti matematika, fisika, obat-obatan paradigmanya berubah, terpengaruh Eropa.[30]) Dalam tradisi abad pertengahan ini, ilmu pengetahuan dianggap sistem terbatas (finite system). Ide untuk memperluas ilmu pengetahuan, dianggap absurd dan bid’ah. Pandangan ini secara tegas menjegal karya-karya zaman tradisional. Aziz Al-Azmeh, yang dalam karya terbarunya (1986) menganalisis sangat cermat dasar metafisika dari pemikiran Arab abad pertengahan, menyurvei secara singkat jenis karangan para ulama dan ilmuwan zaman itu. Jenis tulisan itu, menurutnya, agak terbatas: Pembahasan setiap subyek terdiri dari tujuh jenis. Yaitu pelengkapan dari teks yang belum lengkap; perbaikan dari teks yang mengandung kesalahan; penjelasan (penafsiran) terhadap teks yang samar; peringkasan (mukhtasar) dari teks yang lebih panjang; pengumpulan dari teks yang terpisah, tapi berkaitan satu dengan lainnya (namun tanpa adanya usaha sintesis) ; penyusunan rapi dari bahan yang kurang tersusun; dan pengambilan kesimpulan (dari premis-premis yang sudah disetujui) (Al-Azmeh 1986:152, menurut Ibn Hazm dan Hajji Khalifa). Ini masih sah sebagai gambaran kitab kuning setelah periode klasik. Jika kita menambahkan terjemahan pada bahasa lokal seperti pada jenis kedelapan, ringkasan ini meliputi semua kitab yang ditulis ulama Indonesia selama abad lalu.
Meskipun pemikirannya dianggap terbatas dan tak bisa diubah, Islam tradisional sangat kaya. Dan ia tetap fleksibel karena tiada usaha untuk membuatnya konsisten. Setiap ilmu merupakan sistem tertutup, yang mana di antara dalil-dalilnya mungkin saja saling kontradiksi. Para filsuf dan teolog, sufi dan metafisikus, sarjana fiqh dan Hadits, masing-masing punya wacana, kadang-kadang bertentangan satu sama lain (meskipun terdapat persamaan dalam pola pemikiran).[31]) Bahkan dalam sebagian besar disiplin Fiqh, empat mazhab (yang pengikutnya paling banyak sampai sekarang) dianggap sebagai sama-sama optodoks meskipun berbeda dalam banyak masalah. Hampir pada tiap masalah ada beberapa beda pendapat satu sama lain. Kalau pun ada, perkembangan –yang kadang terjadi akibat pengaruh politik- itu pun dalam bentuk pergeseran antar disiplin: satu disiplin lebih mendapat perhatian dari pada disiplin lain. Banyak gerakan reformis, misalnya, lebih menekankan Hadits dibandingkan kalam, atau bahkan, dibandingkan mazhab Fiqh yang sudah mapan.
Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti kaum elite di antara pendukung kuat Hadits. Elit ulama sering mengklaim hak-hak istimewa atas dasar penguasaan ilmunya yang canggih. Hadits relatif mudah dan dapat dipahami tanpa latihan khusus, dan selain itu, didukung wewenang Nabi. Karena itu Hadits bisa dipakai untuk menyatakan disiplin-disiplin intelektual yang tak shahih.[32]) Secara keseluruhan ilmu-ilmu rasional (al-‘ulum al-aqliyah) seperti logika, filsafat, metafisika, kalam, obat-obatan, dan lain-lain, semenjak zaman klasik secara gradual harus memberikan lapangan pada ilmu-ilmu agama (’ulum al-naqliyyah) seperti Hadits, tafsir dan ilmu-ilmu Qur’an yang lain dalam pengertian sempit, yang berakibat sangat memiskinkan tradisi itu.
Generasi pertama orang Indonesia yang belajar di tanah Arab hanya mengasimilasi sebagian tradisi keilmuan yang ada, terutama tradisi yang sesuai dengan budayanya (khususnya tasawuf falsafi, kosmologi, tarekat dan ilmu-ilmu gaib terkait, tapi juga ilmu fiqh). Dalam perjalanan waktu, makin lama makin banyak dimensi tradisi itu menjadi bagian dari tradisi Islam Indonesia, yang secara gradual makin kaya, meskipun terjadi pemiskinan tradisi Islam di pusatnya, tanah Arab.[33])

Model asing untuk pesantren
Transmisi pengajaran Islam tak bersifat formal dan terlembagakan di madrasah sampai abad 10. Pada mulanya yang dipelajari di madrasah adalah terutama fiqh (ilmu yang paling penting dari segi tertentu). Ilmu-ilmu lain terus ditransmisikan secara lebih informal di masjid-masjid (Makdisi 1981: 9). Menjelang kontak-kontak intensif antara Indonesia dan daerah pusat Islam, akhir abad 17 dan 18, dua imperium Sunni (Utsmani yang menguasai hampir seluruh tanah Arab dan Moghul di India) telah memiliki jaringan-jaringan madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan kurikulum baku.[34]) Madrasah Utsmani dibangun secara tipikal oleh salah seorang sultan atau pejabat tinggi, dan diberi wakaf (yang menghasilkan income) untuk pemeliharaan madrasah dan beasiswa murid. Kepalanya menerima gaji dari pemerintah. Sementara itu di Moghul India, pengendalian pemerintah menyeluruh, struktur internal golongan ulama kurang teratur dan kurang dekat dengan istana. Subyek-subyek yang dipelajari di dua imperium itu berbeda sedikit. Mereka, termasuk Qur’an dengan tekanan pada tajwid dan qira’ah; tatabahasa Arab dan retorika (surf, nahw, balaghah), Fiqh Hanafi dan usul fiqh, tafsir, kalam, Hadits (kumpulan Hadits selain al-kutub al-sittah, tapi di madrasah Utsmani memakai juga Bukhari), begitu pula logika, ilmu hitung, astronomi, adab (sastra) dan hikmah (filsafat dan metafisika). .
Pengembara Turki, Evliya Celebi yang mengunjungi Makkah dan Madinah, 1671, melaporkan bahwa di Makkah terdapat 40 madrasah dan yang diketahui namanya 22 buah (1935: 771-2); dia juga menyebutkan empat madrasah di Madinah dan dia menyatakan masih banyak lagi madrasah di sana (ibid: 640). Gambarannya tentang madrasah tak lengkap dibandingkan dengan yang digambarkan di tempat lain. Ada kesan, madrasah-madrasah itu tak berkembang. (Dua abad kemudian, Snouck Hurgronje menemukan sebagian besar madrasah di Makkah berubah menjadi rumah pribadi). Elviya jauh lebih banyak bicara tentang tekye dan zawiyah para pengikut tarekat di Makkah, yang beberapa di antaranya banyak penghuninya (ibid: 772-3).
Ketika mencari model Timur Tengah untuk pesantren, kita mungkin perlu memperhatikan - di samping madrasah, juga zawiyah. Bahkan saat itu, tampaknya tak mungkin orang Indonesia yang tinggal di Hijaz banyak berhubungan dengan madrasah di sana yang bermazhab Hanafi, mazhab resmi Utsmani. Tak terdapat banyak persamaan antara kitab yang dikenal di Indonesia pada abad 16 - 18, dan kitab yang menjadi kurikulum madrasah Ustmani[35]) dan Moghul[36]). Kitab-kitab yang dipakai di sini maupun di sana hanya dua karya tafsir, Jalalain dan Baidlawi, dan Tahmid. Yang terakhir dipakai di India, namun tidak di Utsmani. Ulama dan Sufi yang punya pengaruh terbesar di Indonesia yang belajar di Hijaz abad 17 adalah Ibrahim al-Kurani (mazhab Shafi’i), yang tampaknya berhubungan lebih banyak dengan India, dibandingkan dengan ulama Utsmani (kami menemukan lebih banyak referensi terhadapnya di India dibandingkan dengan sumber-sumber Utsmani), dan tampaknya telah berdiri di luar hierarki ulama Utsmani. Dia juga mengajar subyek-subyek yang bukan bagian kurikulum resmi madrasah negeri.[37])
Dalam abad 18 dan 19, pendidikan madrasah di Arabia tampaknya makin mundur. Bentuk dan isi pendidikan yang diterima orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah dan Madinah pada saat itu hanya sedikit diketahui. Bahkan biografi ulama-ulama besar yang belajar di sana, Muhammad Arsyad al-Banjari, ’Abd al-Samad al-Palimbani dan Da’ud bin ’Abdallah al-Patani hanya berisi nama-nama gurunya (hampir semuanya mencatat nama sufi besar Muhammad bin ’Abd al-Karim al-Samman, dan syaikh al-Islam Mesir, Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi) dan judul-judul kitab yang dibaca.[38]) Mereka tak belajar di madrasah, tapi menghadiri lingkaran pengajian tak resmi (halqah) yang diberikan ulama independent di berbagai masjid. Hubungan mereka dengan beberapa guru, kelihatannya tak lebih dari beberapa kali pertemuan pribadi yang dihadirinya.
Snouck Hurgronje dalam bukunya menjelaskan bahwa pada akhir abad 19, pendidikan di Hijaz beRpusat di Masjid al-Haram Makkah yang telah berkembang menjadi semacam universitas yang dipimpin rektor, (syaikh al-’ulama) yang ditunjuk pemerintah, di mana hanya ulama-ulama terpilih yang bisa memberikan halqah di sana (l887; 1889; 235-56). Ulama berstatus lebih rendah mengajar di pelbagai tempat di kota. Sistem pendidikan universitas berbeda dengan madrasah, tak punya kurikulum tetap. Kitab apa yang dipelajari terserah dari keputusan guru dan murid. Murid-murid tak tinggal bersama dalam satu pemondokan. Madrasah-madrasah lama di Makkah, sebagaimana dicatat Snouck Hurgronje, sudah tak berfungsi lagi.
Penelitian historis singkat ini, mengesankan bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di Hijaz tak pernah berhubungan langsung dengan madrasah tipe Utsmani. Karenanya mungkin bukanlah madrasah, itu yang telah menjadi model pesantren di Jawa. Namun, dua pengalaman penting yang menunjukkan tipe pendidikan madrasah tampaknya luput dari penelitian terdahulu. Dalam studi Islam Indonesia, saya tak pernah melihat petunjuk mengenai orang Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Kairo sebelum abad 20. Mestinya cukup banyak orang Indonesia yang belajar di sana pada paruh pertama abad 19, atau mungkin sebelumnya. Pada pertengahan abad 19, Al-Azhar memiliki sekitar 30 colleges (riwaq), di mana murid-murid tinggal. Salah satu riwaq itu diperuntukkan orang Jawa, yaitu orang-orang Islam dari Nusantara. Orang-orang Turki, Kurdi, Irak Arab juga masing-masing punya satu riwaq, di mana hal itu menunjukkan bahwa orang-orang Jawa cukup banyak (Vollers 1913; bdk. Heyworth-Dunne 1938: 25-6).
Kitab yang dipelajari di Al-Azhar (di mana fiqh semua mazhab diajarkan) di abad 18 dan 19 menunjukkan adanya hubungan yang dekat dengan kurikulum pesantren abad 19 dibandingkan kurikulum madrasah Utsmani dan Moghul zaman dahulu. Hampir semua kitab yang dicatat vang den Berg (1888) juga terdapat dalam. silabus Al-Azhar seperti yang diteliti Heyworth Dunne (19381 43-65) dari sumber-sumber Mesir. Penemuan penting ini sebaiknya tak dinilai terlalu tinggi, sebab kitab-kitab yang sama juga dibaca di halqah Makkah. Namun, paling sedikit hal itu menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Al-Azhar pada pesantren dulu. Jumlah murid Indonesia di Al-Azhar, mungkin berkurang pada paruh kedua abad 19 karena relatif berkurangnya status Mesir yang ter-westernisasi dibandingkan Makkah. Namun sampai saat itu Mesir telah lama dikenal sebagai pusat utama keulamaan Syafi‘i” (bdk. Snouck Hurgronje 1889: 255).
Madrasah lain yang perlu ditinjau dalam konteks ini, telah didirikan lebih belakangan di Makkah oleh orang Islam India, satu dasawarsa sebelum mukimnya Snouck di Makkah, tapi tampaknya luput dari pengamatannya. Pada tahun 1874, seorang wanita India bernama Saulat an-Nisa memberikan wakaf untuk mendirikan madrasah (Saulatiyyah). Madrasah yang didirikannya dipimpin ulama India militan dan dihormati, Rahmat Allah bin Khalil al-’Utsmani (’Abd al-Iabbar 1385:121-7). Rahmat Allah telah terkenal di India dan luar negeri karena polemiknya yang hebat dan sukses melawan misionaris German, Pfander, dan menjadi salah seorang pemimpin pemberontakan anti-Inggris, 1857[39]). Setelah pemberontakannya dikalahkan, dia lari ke Makkah, di mana dia menjadi salah seorang ulama terkemuka yang sangat gigih melawan kolonialisme dan westernisasi.
Saulatiyyah adalah bagian dari gerakan reformasi pendidikan Islam di India yang telah membangkitkan madrasah Deoband (Darul ’Ulum, dibangun 1867)[40]) dan banyak madrasah yang berafiliasi dengannya (Metcalf 1982). Mirip Deoband, kurikulum madrasah itu mungkin tradisional, meskipun dengan penekanan besar pada Hadits. Apa yang menjadikannya modern adalah bentuk kelembagaannya - dengan adanya kelas, mata pelajaran tetap dan ujian. Patut dicatat, banyak gurunya kadang-kadang diambil dari ulama-ulama yang mengajar di Masjid al-Haram.[41])
Di awal abad 20, bahkan sebelumnya,[42]) Saulatiyyah mempunyai pengaruh besar di dunia pesantren Indonesia. Banyak orang Indonesia yang belajar di madrasah ini dan mendirikan pesantren atau madrasah setelah mereka kembali, dengan model lebih kurang mirip dengan Saulatiyyah. Masih ada madrasah lain yang mirip di Makkah didirikan orang India, Madrasat al-Falah (disebutkan Gobee 1921: 199-200 dan pada biografi-biografi dalam ’Abd al-Jabbar 1385), tapi madrasah ini tampaknya tak punya murid Indonesia. Di tahun 1934, madrasah ketiga yang berbentuk ini, Dar al-’Ulum ad-Diniyya, dibangun di Makkah oleh orang Indonesia yang keluar dari Saulatiyyah karena konflik pemakaian bahasa Indonesia yang telah menyinggung kebanggaan nasional.[43]) Orang-orang Indonesia di Makkah mengumpulkan uang untuk membangun sekolah sendiri. Lebih dari seratus murid, hampir semuanya dari Saulatiyyah, terdaftar. Muhsin al-Musawwa, seorang sayyid kelahiran Palembang, yang telah jadi guru di Saulatiyyah, menjadi rektor pertamanya.
Ringkasnya, saat itu, saya menduga bahwa riwaq di universitas Al-Azhar mungkin merupakan salah satu model pesantren yang didirikan dalam abad 18 dan 19, begitu pula kurikulumnya. Sekitar pergantian abad itu, pengaruh gerakan reformasi pendidikan India melalui Saulatiyyah mulai terasa. Dengan berdirinya Dar al-’Ulum Indonesia di Makkah yang meniru Saulatiyyah dalam hampir setiap hal, yang mana ia menyuarakan reformasi ala Deoband dan Cairo[44]) maka hampir seluruh madrasah di Nusantara terpengaruh reformasi itu. Dengan demikian, Saulatiyyah dan Dar al-’Ulum-lah yang banyak mempengaruhi pengembangan pendidikan Islam tradisional Indonesia (dibahas luas dalam Steenbrink 1974 dan Yunus 1979).

Ulama Indonesia di Makkah
Keberadaan madrasah-madrasah ini di Makkah kurang diperhatikan karena besarnya pengaruh Masjid al-Haram (dan karena tingginya karya Snouck Hurgronye belakangan ini dalam kesarjanaan Barat). Tambahan lagi, guru-guru besar di Saulatiyyah juga mengajar di masjid. Karena kepentingan atribut isnad, para murid lebih suka merujuk nama gurunya dari pada lembaga di mana mereka belajar. Perubahan dalam wacana intelektual seperti yang terjadi pada permulaan abad itu, karenanya, secara umum lebih dihubungkankan pada guru-guru individual dari pada lembaga dan pengembangan-pengembangan sosio-ekonomis yang lebih luas.
Dalam retrospeksi, dasawarsa-dasawarsa sekitar pergantian akhir abad lalu itu merupakan fase yang menentukan. Tiga ulama Indonesia saat itu yang mengajar di Masjid al-Haram (tak di Saulatiyyah) punya pengaruh besar atas sesama orang Nusantara dan mempengaruhi generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang dipuji Snouck sebagai orang Indonesia yang paling terpelajar dan rendah hati (1889: 362-7) adalah pengarang yang paling produktif. Disamping tafsirnya yang terkenal (Johns 1984, 1988), dia menulis kitab setiap disiplin yang dipelajari di pesantren. Lain dari pengarang Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya adalah syarah kitab yang telah digunakan di pesantren (lihat contoh dalam Steenbrink 1984: 133-4). Syarah ini benar-benar menjadi pengganti kitab aslinya. Tidak kurang dari 22 karyanya (dia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar, dan 11 dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren (van Bruinessen 1990). Nawawi berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan dan mennerjemahkan kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan penyesuaian-penyesuaian dari materi yang terabaikan sampai zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektualnya. Namun demikian, Ahmad Khatib Minangkabau -bapak reformis Islam Indonesia- juga adalah muridnya.
Ahmad Khatib (wafat 1915) terkenal karena polemiknya melawan adat matrilineal di daerah asalnya dan melawan tarekat Naqsabandiyyah (yang punya pengikut paling banyak di Sumatera Barat), tapi peranannya di Makkah lebih luas dari itu. Dia adalah salah seorang dari Indonesia yang pertama kali mendapatkan ijazah mengajar di Masjid al-Haram, dan dijadikan salah seorang imam di sana - sebuah keistimewaan yang biasanya diperuntukkan ulama kelahiran Makkah.[45]) Kedua keistimewaan tersebut memperkuat pengaruhnya terhadap seluruh masyarakat Indonesia di Makkah. Sikap reformisnya tampak dari tulisannya -sebuah komentar terhadap kitab terdahulu mengenai usul al-fiqh, Waraqat, karya Juwayni. Akan tetapi adalah salah menganggap Ahmad Khatib hanya sebagai pemberontak tradisi; ia bahkan pun mendalaminya. Di antara muridnya ada yang reformis dan tradisionalis (beberapa di antara muridnya bahkan menjadi syaikh tarekat): dan dua kitabnya masih dipakai di beberapa pesantren.[46])
Tokoh besar ketiga adalah Kyai Mahfuz Termas (wafat 1919-20), terhadap siapa kyai Jawa lebih menghormatinya ketimbang Kyai Nawawi. Dia adalah guru yang sangat dihormati dari beberapa kyai pendiri NU, yang dengan demikian, menambah reputasinya. Dia menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab terbesar di Masjid al-Haram dan juga menjadi ahli qiraat al-Qur’an (dia menulis banyak kitab tentang itu). Karyanya yang paling besar adalah empat jilid kitab fiqh, yang merupakan komentar (hasyiyah) terhadap kitab yang banyak dipakai di Indonesia,[47]) dan dia tampaknya telah menjadi ulama Indonesia pertama yang mengajar kitab Hadits Shahih Bukhari. Muridnya yang disukai, Hasyim Asy’ari, membawa tradisi ini ke Indonesia, di mana pesantrennya di Tebuireng (Jombang) menjadi terkenal sebagai Pondok Hadits.
Sepanjang penyelidikan saya, perkembangan yang berarti dalam kurikulum pesantren sejak 1880-an adalah tampak pada munculnya usul al-fiqh, Hadits dan pelbagai tafsir yang dipelajari. Reorientasi terhadap subyek-subyek itu merupakan kecenderungan umum di dunia Islam yang telah mulai lebih dulu dan juga tercermin dalam madrasah baru.
Setelah tiga ulama ini, tak ada orang Indonesia yang setara dengannya yang mengajar di Makkah. Karya ’Umar ’Abd al-Jabbar mengenai ulama di Masjid al-Haram di abad 14 Hijrah menyebutkan tiga orang Indonesia lagi (sebenarnya dua orang Indonesia dan satu orang Malaysia yang lahir di Makkah), namun mereka tak pernah mencapai prestasi yang sama. Mereka adalah Muhsin bin ’A1i Musawwa (rektor pertama Dar al-’Ulum, wafat 1935), Muhammad Nur al-Patani (cucu Da’ud bin ’Abdallah, wafat 1944) dan ’A1igBan1ar (wafat 1951). Selain dari yang pertama, mereka tampaknya tak punya banyak murid Indonesia. Orang Indonesia yang belajar di Saulatiyyah dan Dar al-’Ulum, atau di Masjid al-Haram, mempunyai guru-guru Arab yang lebih punya reputasi.
Kedua lembaga pendidikan di Makkah ini (madrasah dan Masjid al-Haram) terwakili dalam dua tokoh yang menonjol sebagai panutan utama kaum Muslim tradisional Indonesia, kyainya para kyai. Salah satunya adalah Syekh Yasin Padang, rektor Dar al-’Ulum (wafat 1990); yang lain Sayyid Muhammad bin ’Alwi al-Maliki, yang ayah dan kakeknya mengajar banyak orang-orang Indonesia di Masjid al-Haram, meskipun mereka bermazhab Maliki. Dua-duanya bukan saja mengajar seluruh subyek yang dipelajari di pesantren, tapi juga adalah syaikh dari pelbagai tarekat.[48])
Makkah tak lagi menjadi tempat terpenting di mana orang-orang Indonesia masa kini yang punya latar belakang pesantren mencari ilmu yang lebih tinggi. Dan mereka yang masih melakukannya, biasanya tinggal sebentar saja di Makkah dibandingkan orang-orang Indonesia dulu. Saya punya kesan, meskipun saya tak bisa mendukungnya dengan data statistik, Al-Azhar menjadi lebih penting kembali[49]); sementara madrasah Nadwat al-’Ulama di Lucknow, India (lihat Metcalf 1982: 335-47) telah menarik murid-murid dari lingkungan “tradisional” di berbagai tempat di Indonesia. Lebih banyak santri sekarang meneruskan belajarnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang mungkin memberikan pendidikan lebih baik dari pada yang diterima di Makkah oleh rata-rata murid generasi dahulu. Namun sebuah ijazah IAIN masih kurang prestisius dan kharismatik dibandingkan ijazah yang dianugerahkan guru-guru terkenal dengan isnad mulia di pusat-pusat Islam luar negeri. Dan dunia pesantren pun tampaknya tak bakal meninggalkan orientasinya pada tanah Arab (serta India).

Catatan Kaki


[1]     Sebelum Muhammadiyah mempunyai pesantren sendiri sudah ada beberapa pesantren yang berorientasi reformis, di antaranya yang paling terkenal, Gontor (Castles 1965). Penelitian ringkas bentuk-bentuk pesantren di Jawa Timur 1970-an diperlihatkan Abdurrahman, 1981.
[2]     Khususnya Hadits-hadits Bukhari dan Muslim. Empat kumpulan Hadits shahih lain jarang dipakai. Kumpulan Hadits bukan standard, Riyad al-Salikhin dan Bulugh al-Maram yang lebih menekankan masalah ibadah dibanding masalah hukum masih populer di lingkungan santri. Namun kedua kitab ini sedikit dipelajari di abad lalu.
[3]     Penelitian rinci terhadap karya-karya ini diperlihatkan van Bruinessen 1990.
[4]     Tentang kedudukan Ibn Taymiyya dalam tradisi abad pertengahan dan serangannya terhadap Asy’arism, filsafat, mistisisme dan teori politik, lihat Al-Azmeh 1986, passim; Hourani 1962: 18-22; tentang akibatnya terhadap fundamentalisme, Sivan 1985. Generasi tua NU masih punya badan sensor. Mereka menempatkan tinggi karya-karya Ibn Taymiyya dalam indeks. Sebenarnya banyak kyai mempunyai kitab-kitab Ibn Taymiyya, terutama Fatawa, tapi disimpan untuk menghindari santri dari pengaruhnya. Namun santri yang punya ilmu tinggi bisa membacanya secara rahasia.
[5]     Dari 500 kitab langka yang ditulis ulama Indonesia (juga Melayu) yang sekarang beredar, hampir seratus ditulis dalam bahasa Arab; lebih dari 200 dalam Melayu dan 150 dalam Jawa. Sisanya dalam bahasa Sunda, Madura dan Aceh.
[6]     Komunikasi personal dengan Abdurrahman Wahid
[7]     Dalam hal ini, ada rantai pendek. Sejumlah ajaran mistik mengaku diajarkan orang-orang dulu yang telah lama mati melalui mimpi, bahkan oleh Nabi sendiri. Yang terakhir ini, misalnyag, pengakuan Ahmad Tjani pendiri Tarekat Tijaniyyah di Afrika Utara. Pengakuan yang pertama lebih umum (juga di antara kyai-kyai ]awa); bahkan silsilah Naqsabandiyya ortodoks meloncat-loncat generasinya karena pengaruh mimpi-mimpi itu.
[8]     Pentingnya isnad ditunjukkan kitab karya Syaikh Yasin Padang, ulama terkenal Indonesia di Makkah, rektor Dar al-’Ulum, yang tak mencatat apa pun kecuali kitab klasik yang boleh diajarkan, disertai nama orang yang telah mempelajarinya - dan seterusnya – hingga isnad-nya sampai ke pengarang (al-Padani 1402). Contoh-contoh yang lebih dulu, lihat Vaida 1983.
[9]     Kyai terkenal asal Madura, As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, telah membuat silsilah keluarga yang rumit, yang menunjukkan hampir setiap kyai Madura keturunan wali Sunan Giri. Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah, dua dari pendiri NU merunut silsilahnya sampai ke Jaka Tingkir, yang dipercayai sebagai putra Brawijaya VI dan menjadi penguasa Islam pertama di Pajang (Aboebakar 1957: 41-2).
[10]   Keputusan-keputusan penting Majlis Syuri’ah terdapat dalam seri kitab berjudul Ahkam al-Fuqaha, biasanya dengan rujukan yang relevan terhadap kitab-kitab fiqih berpengaruh.
[11]   Dengan pengecualian kelompok-kelompok masyarakat Cina dan reformis Hindu Bali. Namun di sini hubungannya dengan sumber asing sedikit.
[12]   Misi ini disebutkan da1am Sejarah Banten, Djajadiningrat l9I3: 49-52, 174-8. Judul-judul kitab yang penguasa Banten ingin menjelaskannya, misalnya Marqum, Muntahi dan Wuju-diyah, tak satu pun bisa diidentifikasi. Djajadiningrat yakin bahwa judul-judul itu fantasi murni. Namun, kita bisa membaca kitab wujudiyah, kitab mengenai wahdat al-wujud, yang mana dalam beberapa hal, doktrin ini sangat berguna untuk legitimasi penguasa sebagai insan kamil, manusia sempurna.
[13]   Shattariyah yang pertama kali dikenal Indonesia pertengahan abad 17 adalah tarekat berasal dari India, yang tak pernah banyak pengikutnya di Timur Tengah. Lihat Rizvi 1983 dan T. Yazici, Sattariye, Islam Ensiklopedi 11, 355-6. Cabang Qadiriyyah dan Naqsabandiyah terdahulu di Indonesia juga berafiliasi ke India, bukan Timur Tengah.
[14]   Konsep emanasi dalam 7 tingkatan (martabat tujuh) -sementara Ibn ‘Arabi lima – sepengetahuan saya hanya ditemukan- dalam risalah mistik India dan Indonesia.
[15]   Perkecualian langka adalah Studi Roff terhadap mahasiswa Indonesia di Mesir (1970); tapi ini hanya relevan sedikit terhadap tradisi pesantren karena hampir semua murid milik lingkungan kultural dan sosial lain.
[16]   Menurut Sejarah Banten, Maulana Hasanuddin, penguasa Banten pertama, membangun pertapa baru di atas gunung Pinang atas anjuran “ayah”nya, wali Sunan Gunung Jati (Djajadiningrat 1913: 34).
[17]   Tradisi populer di Cirebon masih bertahan bahwa wali itu sendiri datang ke Jawa dan berperanan dalam mengislamkan Cirebon. Makamnya bahkan benama Gunung Jati. Syaikh ‘Abd al-Qadir, tidak hanya di Indonesia diyakini telah mengajar pengikut-pengikutnya ilmu kekebalan, sebuah ilmu yang sangat diminati banyak orang Indonesia. Ilmu kekebalan orang-orang Banten, debus, diasosiaikan dengan ‘Abd al-Qadir.
[18]   Soebardi 1971, lihat Hadidjaya & Kamajaya 1272.11 dan 49-53.
[19]   Karang disebutkan sebagai salah satu dari tiga gunung di mana Hasanuddin, penguasa Banten dan pembawa Islam pertama melakukan tapa (Djajadiningrat 1913-38).
[20]   Selain dari pembaiatan Hasanuddin dalam Ilmu Islam oleh dua jin di sebuah petapan yang ditinggalkan (ibid.: 32).
[21]   Al-Salimi hidup di paruh pertama abad 5 sampai 11. Doktrin pencarian Tamhid-nya memberi perhatian khusus pada pandangan Mu'tazila dan filsuf. Ia diketahui telah banyak digunakan dalam pendidikan agama di India selama abad 13 sampai 16 (Mujeeb 1967:406), dan tampak kurang populer di tempat lain, sejak hampir semua mss. yang disebutkan Brockelmann ada dalam koleksi India (GALI:419; S I:744),
[22]   Karya ini sekarang cukup populer di nusantara; bahasa Arab asli, begitu pula terjemahan Melayu, Jawa, Sunda dan Madura-nya masih dicetak secara lokal. Raniri merujuk beberapa kali pada yang lain (?), sejauh ini tak teridentifikasi karya yang berjudul mirip, daqa’iq al-haqa’iq.
[23]   Guru dari Madinah yang disegani, Ibrahim al-Kurani menulis sebuah komentar pada karya ini, khususnya untuk murid Indonesianya. Komentar ini dibuat untuk mengoreksi interpretasi yang heterodoks. Sebagaimana Simuh telah menunjukkan (1982: 295-Wirid Hidayat Jati-nya Ronggowarsito mengungkapkan secara jelas pengaruh karya ini, yang mungkin telah terkenal di pesantren Tegalsari di mana dia belajar.
[24]   I.e., sebuah karya tentang usul al-din (doktrin), terdiri dari enam bab (masing-masing dibuka dengan “bismillah”).
[25]   Di abad 19, ini biasanya kitab doktrin pertama yang dipelajari (van den Berg 1886: 537). Terjemahan Jawa (tak bertanggal) masih ada dalam manuskrip, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transkripsi latin (Jandra 1985-1986). Asmarakandi Jawa ini juga memuat bagian fiqh Syaifi’i elementer yang ditambahkan penerjemah tak dikenal (Abu ’l-Layth sendiri adalah seorang Hanafi). Kitab ini sekarang sangat terkenal melalui sebuah komentar yang ditulis Nawawi Banten, Qatr al-Ghayth, dan terjemahan Jawa Ahmad Subki Pekalongan berjudul Fath al-Mughith, yang mana keduanya banyak digunakan.
[26]   Empat kitab standar prestisius lain dari fiqh Sayfi‘i adalah al-Muharrar-nya Rafi’i dan Tuhfat al-Muhtaj-nya Ibn Hajar Haytami (yang sering lebih terhormat menyebutkannya dari pada menggunakannya), pendahuluan Sittin oleh Abu ’l-‘Abbas Ahmad Misri (sekarang jarang dipakai, tapi masih dapat diperoleh) dan sebuah karya yang identifikasinya tidak memuaskan (Soebardi 1971: 335-6).
[27]   Kitab tasawuf ketiga adalah Hidayat al-Adhkiya’-nya Zayn ad-Din Malibari, karya sederhana yang masih banyak dipakai bersama pelbagai komentar dan terjemahannya. Lihat komentar lebih rinci mengenai ini dan juga karya-karya lain: van Bruinessen 1990.
[28]   Namun dua subyek ini sejak abad 17 telah lenyap dari pendidikan Islam seluruh dunia Sunni. Hanya di Iran dan sedikit di India jadi bagian penting tradisi intelektual (lihat Nasr 1987).
[29]   Dia mengutip, misalnya, sejumlah anekdot sufi, beberapa di antaranya dikaitkan dengan Nahafat al-Un-nya Jami, sedangkan lain-lainnya harus dipisahkan dari karya-karya lain yang tak disebutkan atau mendengar dari sejumlah guru-guru. Ada juga kutipan Ibn‘Arabi, Muhammad Fadlillah Burhanpuri dan sufi wahdat al-wujud lain yang tampaknya berdasarkan pada bacaan yang benar dari karya-karyanya, dll. Dua kopi yang ia buat, ad-Durrat al-Fakhira-nya Jami, yang tampaknya dipelajari di bawah bimbingan Ibrahim al-Kurani di Madinah masih terpelihara (Heer 1979:13, 15; referensi ini disadarkan perhatian saya oleh Profesor Anthony Johns).
[30]   Karya bagus Albert Hourani tentang pemikiran Arab modern (1962) menunjukkan bagaimana pemikiran yang menyimpang dari tradisi masih dipengaruhi olehnya. Ia tak punya perhatian terhadap pemikir yang tetap dalam tradisi dan tak tertarik dialog dengan pemikiran Barat.
[31]   Ditunjukkan dengan baik dalam karya penting A1-Azmeh (1986).
[32]   Ketegangan berlangsung dalam sejarah Islam, dari Ahmad bin Hambal terus Ibn Taymiyyah dan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sampai neo-fundamentalis. Di Indonesia, kaum modernis yang menyerang ulama tradisional dengan seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad, punya pengaruh besar dalam paruh pertama abad ini. Pada abad 18 di Iran, ia mengambil bentuk pertentangan antara pro dan anti-ulama mutakhir, yang dikenal sebagai usuli dan akhbari (mirip disiplin intelektual usul al-fiqh dan akhbun sebuah istilah yang hampir sinonim dengan Hadits). Penelitian yang baik terhadap konflik ini (yang berakhir dengan kemenangan kaum usuli) terdapat dalam Mortahedeh 1985.
[33]   Beberapa dimensi tradisi klasik, rasionalisme Mu‘tazili dan filsafat menjadi hanya dikenal di Indonesia (selain dari penyajian ringkasan dalam Tamhid, lihat note 21) dalam dua dekade lalu melalui kaum Muslim modernis yang belajar di Amerika Utama, khususnya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Yang terakhir menerbitkan kumpulan penting kitab-kitab teologi dan filsafat klasik dalam terjemahan (1984). la Iebih dekat dengan pesantren dari pada generasi modenis sebelumnya. Sekarang ada mahasiswa-mahasiswa berlatarbelakang pesantren mengerjakan tesis yang sebelumnya terabaikan dalam arus intelektual Islam.
[34]   Pada madrasah Utsmani dan kurikulumnya: Uzuncarsili 1965; Baltaci 1976; Atay 1983. Karya-karya ini kaya sumbernya, tapi sedikit ahistoris dalam pendekatannya; Repp 1972 memberikan laporan lebih sistematis pada pengembangan hierarki madrasah dan karier keilmuan pada ulama Utsmani. Pada madrasah Mughal (yang kurikulumnya masih masih terus berkembang dan mencapai bentuk yang sangat komprehensif, Dars-i Nizami, hanya pada awal abad 18); Mujeeb 1967: 389-414; Ahmad 1985; Metcalf 1982: 16-45.
[35]   Mazhab Hanafi adalah mazhab resmi di kedua imperium. Fiqh Syafi’i agaknya dipelajari di hampir semua masjid, di distrik yang penduduknya bermazhab Syafi’i seperti Kurdistan dan beberapa daerah Mesir. Masjid dan Universitas Azhar yang relatif independen mungkin merupakan pusat pengajaran mazhab Syafi‘i.
[36]   Di India Mughal, filsafat dan metafisika, dan secara umum ilmu-ilmu rasional lebih menonjol dalam tradisi intelektual dibandingkan dengan di Utsmani. Dars-i Nizami bahkan memasukkan sebuah karya Mulla Sadra Shirazi, yang tampaknya belum dikenal di lain tempat di luar Iran (Mujeeb 1967: 407).
[37]   Pada Ibrahim, lihat Johns 1978 dan artikel “al-Kurani” dari pengarang yang sama dalam Encyclopedia of Islam (edisi Il); juga Rizvi 1983, passim. Yang menarik adalah biografi intelektualnya, al-Amam li-Iqaz al-Himam, yang dicetak di India (Haidarabad di Deccan) pada pertengahan abad ini (1328/ 1910).
[38]   Daftar paling lengkap guru-guru dalam Abdullah 1987 (Da’ud yang merupakan sarjana paling luas ilmunya di antara tiga tokoh itu). Terhadap lain-lainnya, lihat Abu Daudi 1980, Zamzam 1979 dan Quzwain 1985. Arshad, terutama belajar Fiqh dan karyanya sendiri Sabil al-Muhtadin berdasarkan pada dua kitab klasik besar, Fath al-Mu’in-nya Malibari dan Manhaj al-Tullab-nya Ansari; topik utamanya ‘Abd al-Samad adalah sufisme, dan karya-karya utamanya adalah penyesuaian-penyesuaian Ihya‘Ulum al-Din dan Bidayat al-Hidayah-nya Ghazali.
[39]   Lihat Powell 1976. Penolakan Rahmat Allah terhadap Kristen berdasarkan pengertiannya yang sangat mendalam ketimbang hampir semua polemik lain; dan atas dasar pengetahuannya terhadap kritik-kritik Injil. Argumentasinya dikumpulkan dalam beberapa buku dan dia secara meyakinkan mengalahkan Pfander dalam debat umum. Dia adalah salah satu di antara para penandatangan fatwa yang mengumandangkan jihad melawan lnggris, 1857 (ibid.: 59-60), dan memimpin gerakan itu di Muzaffarpur, Bihar (Ahmad 1957: 328).
[40]   Sekolah Deoband mengajarkan secara mendasar dars-i nizami (...). Namun orang-orang Deoband justru lebih menekankah Hadits, kebalikan dari studi-studi rasional yang merupakan dasar dari pengajaran populernya (...). Guru yang paling berpengaruh di sekolah itu adalah syaikhu ’l-Hadits; dan murid-murid yang baik tertarik untuk belajar subyek itu. (Metcalf 1982: 100-1).
[41]   Ini jelas dari biografi-biografi para ulama dalam ‘Abd al-Jabbar 1385.
[42]   Sekolah itu terdapat dalam biografi-biografi ulama yang belajar di Makkah tahun 1920 dan 1930. Biografi murid-murid terdahulu yang ada tidak lengkap sejak ada orang-orang Indonesia di Sawlatiyya.
[43]   Konflik (Aboebakar 1957: 88-90) muncul karena salah seorang guru merobek surat kabar berbahasa Indonesia yang sedang dibaca para murid; bacaan lain selain teksbook berbahasa Arab dilarang di sekolah. Seorang partisipan (syaikh Yasin al-Padani, yang sekarang jadi rektor Dar al-‘Ulm, diinterview 6-3-1988) menambahkan bahwa guru itu mencaci aspirasi kaum nasionalis Indonesia dengan mengatakan bahwa orang-orang bodoh seperti itu tak akan pernah bisa meraih kemerdekaan. (sikap radikal yang diturunkan pendirinya, menyebabkan guru-guru Saulatiyyah mungkin telah mencemooh keinginan orang-orang Indonesia yang kurang berani berhadapan dengan penjajah Belanda). Dugaan lain yang menimbulkan konflik adalah karena orang Indonesia ingin bicara dengan bahasa Indonesia, dari pada bahasa Arab, kepada guru-gurunya.
[44]   Dar al-‘Ulum di Cairo didirikan tahun 1872 sebagai sekolah latihan guru yang murid- muridnya diambil dari Al-Azhar. Kurikulumnya meliputi ilmu-ilmu Islam dan juga ilmu-ilmu modern Barat. Salah seorang gurunya adalah Muhammad ‘Abduh (Heyworth-Dunne 1938: 377-9).
[45]   Snouck Hurgronje yang sangat membenci Ahmad Khatib menyatakan bahwa ia mendapatkan posisi-posisi ini tidak karena pengetahuannya, tapi karena mertuanya, pedagang buku dan lintah darat Salih al-Kurdi campur tangan untuk menantunya beserta Sharif ‘Awn yang berhutang budi kepadanya (Adviezen Ill, 1846, 1853, 1914, 1928). Namun Snouck harus mengakui bahwa Ahmad Khatib adalah orang yang sangat terpelajar untuk ukuran Melayu (ibid., 1846).
[46]   Ini karya usul al-fiqh yang dikatakan, al-Nafahat ‘ala Sharh al-Waraqat, dan sebuah karya pendek berbahasa Melayu mengenai doktrin, Fath al-Mubin. Dia menulis lebih banyak lagi ('Abd al-Jabbar 3851 37-44 mencatat tak kurang dari 46 karya), namun hanya dua inilah yang masih ada di Indonesia.
[47]   Mawhaba Dhawi ‘l-Fadl adalah sebuah sharh pada al-Muqaddimat al-Hadramiyyah-nya ‘Abdallah Ba-Fadl, dikenal sebagai “Bapadal” di pesantren. Ia dicetak di Mesir, 1315/1897-8, tapi tak ditemukan lagi. Karyanya yang masih ada hanyalah sebuah kitab yang sulit tentang tata bahasa Arab, Minhaj dhawi ’n-Nazar (komentar terhadap Alfiyyah-nya Ibn Malik). ‘Abd al-Iabar mencatat 12 karya lain.
[48]   Syaikh Yasin waktu muda belajar di Saulatiyyah, yang ia tinggalkan bersama orang-orang Indonesia lain, untuk Dar al-‘Ulum yang mana akhirnya dia menjadi guru paling terkemuka. Dalam otobiografi intelektualnya (al-Padani 1402), dia mencatat guru dan kitabnya yang dia sendiri berwenang mengajarnya, Tentang Sayyid Muhammad bin ‘Alwi lihat Tempo 2-1- 1988, tentang kakeknya ‘Abbas al-Maliki, ‘Abd al-Jabbar l385:l63-5. Saya dengar bahwa Muhammad bin ‘Alwi tidak lagi diijinkan mengajar di Maasjid al-Haram karena dukungan terbukanya, dan instruksinya dalam pelbagai orde Sufi, termasuk Tijaniyyah dan Naqsabandiyyah.
[49]   Al-Azhar sering, tidak benar, menganggap sebagai sebuah persinggahan modernisme Islam (terutama karena ‘Abduh pernah diasosiasikan dengannya). Orang-orang Indonesia yang belajar di sana sekarang hampir semuanya selalu berlatarbelakang “tradisional,” dan bahkan di antaranya saya telah mendengar keluhan tentang metode pendidikannya yang usang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar