PESANTREN
DAN KITAB KUNING
Pemeliharaan
dan Kesinambungan Tradisi Pesantren
Oleh Martin van Bruinessen
Dr.
Martin van Bruinessen ,
lahir di Schoonhoven, Belanda. Ia belajar fisika teoretis dan
matematika di Universitas Utrecht, Belanda (1964-1971). Pada 1978, ia berhasil
mempertahankan di-sertasi doktornya yang berjudul “Agha, Shaikh and State,”
yang membahas sejarah dan struktur sosial masyarakat Kurd, juga di Universitas
Utrecht. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai suvervisor LIPI pada proyek
penelitian mengenai ulama Indonesia, sejak 1 Mei 1991, ia ditunjuk INIS sebagai
dosen tamu di IAIN Sunan Kalijaga, Yogakarta.
Pesantren, sebuah lembaga pendidikan
Islam tradisional yang akhir-akhir ini makin banyak peminatnya, ternyata tidak
berakar dari budaya Indonesia asli. Penelitian menunjukkan bahwa akar budaya
pesantren yang dianggap khas Indonesia itu cukup kompleks. Martin van
Bruinessen, Dosen Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, melalui
tulisannya yang pernah disampaikan dalam seminar “Tradisi-tradisi Tekstual di
Asia Tenggara” di Bern Jerman Barat, Juli 1989, mencoba menelusuri asal-usul
tradisi pesantren, kitab-kitab yang dipelajari dan perkembangannya di
Indonesia.
Salah satu tradisi luhur di Indonesia
adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan
lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta semenanjung Malaya. Alasan pokok
munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional
sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu.
Kitab-kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning, sebuah nama yang memberi gambaran warna kertas edisi
pertama terbitan Timur Tengah yang sampai ke Indonesia. Kandungan teks-teks
klasik yang ada di pesantren (al-kutub
al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap
sesuatu yang sudah bulat dan tak bisa ditambah; hanya bisa diperjelas dan
dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tak
berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik, baik oleh
peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis.
Pesantren (atau pondok, surau, dayah
dan nama lain sesuai daerah) bukan satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Dan
tradisi yang muncul itu hanyalah satu dari beberapa aliran Islam Indonesia.
Aliran-aliran modernis, reformis dan fundamentalis yang mulanya muncul sebagai
oposan terhadap tradisi ini, malahan sebagian telah berkembang menjadi tradisi
lain yang kaku. Perhatian saya dalam tulisan ini adalah pada Islam tradisional,
meskipun akhir-akhir ini terjadi konvergensi dengan kelompok lain karena ada
interaksi yang terus-menerus dengan lingkungannya. Organisasi kaum reformis
Muhammadiyah, misalnya, sekarang mempunyai pesantren, dimana di samping ada ada
kurikulum sekolah biasa, juga diajarkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab[1])
(meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya berbeda dengan pesantren tradisional).
Di hampir semua pesantren, pada sisi lain, ada pergeseran penekanan pada materi
kitab-kitab tradisional, yang tampaknya akibat pengaruh modernisme. Tafsir,
Hadits[2])
dan usul al-fiqh mendapatkan
perhatian lebih besar dibandingkan seabad lalu - sebuah perkembangan yang paralel
dengan semboyan kaum modernis “Kembali kepada Qur’an dan Hadist.”
Menggambarkan
tradisi
Unsur-unsur kunci Islam tradisional
adalah lembaga pesantrennya sendiri, karisma dan kepribadian Kyai (ajengan,
tuan guru, dan lain sebagainya tergantung daerahnya). Sikap hormat, takzim dan
kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan
pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi terhadap ulama sebelumnya dan
ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya. Kepatuhan, bagi pengamat
luar, tampak lebih penting dari pada usaha menguasai ilmu; tapi bagi kyai hal
itu merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asy’ari, founding father NU, misalnya, sangat
mengagumi tafsir Muhammad Abduh, namun ia tak suka santrinya membaca tafsir
itu. Kebenciannya bukan terhadap rasionalisme Abduh, tapi terhadap ejekannya
yang ditunjukkan kepada ulama tradisional.
Meskipun materi yang dipelajari terdiri
dari teks tertulis, namun transmisi lisan (penyampaian dengan mulut) para kyai
adalah penting. Kitab dibaca keras-keras oleh kyai di depan sekelompok santri,
dan mereka mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun ma’nawi
(makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tapi biasanya terbatas pada
konteks sempit isi kitab itu. Jarang sekali ada usaha menghubungkan uraian-uraian
kitab dengan hal-hal konkrit, atau dengan situasi kontemporer. Kyai jarang
menanyakan – apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya,
kecuali pada tingkat pemahaman lughawi.
Kitab-kitab pemula sering dihapalkan. sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja dari awal
sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil tamatan pesantren, ada diskusi kitab
untuk mencari relevansi kekinian, baik secara historis maupun kultural).
Barangkali, mayoritas pesantren sekarang menjalankan sistem madrasah - ada
kenaikan kelas, kurikulum tetap dan ijazah – namun banyak pesantren penting masih
menerapkan metode tradisional juga. Setelah murid menamatkan kitab yang
dipelajarinya, mereka mendapat ijazah (biasanya hanya dengan ucapan), dan
setelah itu mereka bisa pindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain.
Banyak kyai terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Kyai di samping
mengajar kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian umum
mingguan untuk masyarakat, dan dalam pengajian itu dibahas kitab-kitab relatif
sederhana.
Kandungan intelektual Islam tradisional
berkisar pada doktrin Asy’ari (khususnya karya-karya Sanusi), mazhab Syafi’i
(dengan sedikit menerima tiga mazhab lain) dan kepatuhan pada etik serta mistik
Ghazali dan pengarang kitab sejenis. Sebagian besar kitab yang dipelajari di
pesantren[3])
-termasuk karya-karya mutakhir- isinya berkisar pada tiga kategori itu atau
pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab tradisional (nahw). Dalam hal terakhir, kaum
tradisional masih tetap lebih memilih metode nahw yang tak efisien dibandingkan dengan metode modern (Drewes
1977).
Di sisi lain, Islam modernis tak mau
terikat dengan sistem mazhab yang kaku dan kesufian Ghazali. Mereka menyerukan
pembukaan kembali pintu ijtihad dan aktivisme sosial dan politik. Sementara
dalam tradisi pesantren karya-karya Ghazali dianggap sebagai prestasi keilmuan
tertinggi; kaum modernis dan fundamentalis memilih Ibn Taimiyyah sebagai
idolanya (yang karya-karyanya dilarang dibaca di pesantren).[4])
Sebagian besar kyai hanya mengajarkan
kitab kuning, tapi tak sedikit juga yang telah menambah khazanah Islam
tradisional dengan mengarang kitab. Ada perbedaan besar antara karya ulama
modernis dan reformis dengan karya ulama tradisional. Ulama modernis menulis karyanya
dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin (karya-karya ulama Arab yang reformis
pun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia); sementara ulama tradisional menulisnya
dengan bahasa Arab, karena dianggap menambah nilai kehormatannya.[5])
Kalau pun karyanya ditulis dalam bahasa setempat, namun tetap memakai huruf Arab.
Penulisan dalam huruf Arab inilah yang menjadi ciri penting untuk membedakan
antara ulama modern dan tradisional. Sekarang lebih dari 500 judul karya ulama
tradisional Indonesia, yang isinya beraneka ragam: dari terjemahan karya sederhana
sampai syarah dan hasyiyah canggih terhadap teks klasik.
Tradisi pesantren bernafas sufistik dan
ubudiyah. Ibadah yang fardlu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah dan dzikir,
wirid atau ratib. Banyak kyai berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan kepada
pengikutnya kepatuhan spesifik dan amalan sufistik. Seperempat dari hasil
karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan ahlak. Nabi dan
ahl al-bait sangat dimulJikan dan
menjadi obyek sejumlah salawat. Bahkan orang sangat bejat yang berasal dari
keturunannya masih sangat dihormati. Para wali sangat dimulJikan dan
pertolongannya sering diminta. Mengunjungi makam para wali dan sejumlah kyai
merupakan bagian penting dari acara tahunan. Hampir semua pesantren di Jawa
mempunyai perayaan tahunan (khaul, hawl),
untuk memperingati ulang tahun kematian kyainya.
Karisma kyai didasarkan kekuatan
spiritual dan kemampuan memberi berkah karena hubungannya dengan alam ghaib.
Kuburannya pun dipercayai dapat memberikan berkah. Sikap inilah yang paling
tajam membedakan antara kaum tradisional dengan kaum modernis dan fundamentalis
yang menganggap bahwa setelah orang mati tak ada lagi hubungan, dan setiap
usaha untuk berhubungan dengannya adalah syirk
(menyekutukan Tuhan). Di sisi lain, kaum tradisionalis menganggapnya sebagai
sebuah aspek integral konsep wasilah, keperantaraan spiritual. Rantai yang
terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati, melalui guru-guru
terdahulu dan wali sampai kepada Nabi dan karenanya kepada Tuhan, dianggap
penting untuk keselamatan. (Itulah sebabnya, keanggotaan kyai NU tak dianggap
habis karena kematiannya, supaya wasilah
tak putus).[6])
Konsep rantai kesinambungan kepada Nabi
adalah penting bagi Islam tradisional. Hal itu terdapat dalam pelbagai aspek
seperti pada silsilah tarekat,[7])
isnad Hadits dan juga isnad kitab-kitab yang dipelajari. Rantai itu merupakan
jaminan keotentikan tradisi.[8])
Sejumlah sayyid Hadrami
(berasal dari Hadramaut) yang telah punya pengaruh besar pada pembentukan Islam
tradisional Indonesia merupakan penjelmaan fisik dari rantai itu; titisan darah
Nabi dianggap terdapat dalam dirinya, yang menyebabkan derajatnya lebih tinggi
dari orang lain. Dalam bentuk yang agak beda, para kyai suka membanggakan
silsilah dan mengaku - benar atau salah - keturunan wali di Jawa atau penguasa
setempat.[9])
Kaum modernis, tentu saja, menolak bahwa keturunan dapat mengesahkan
ketinggian spiritual seseorang.
Oportunisme politik NU yang sering
dikritik kaum Muslim lain, disebabkan banyak kyai menganut paham politik
konservatif tradisi Sunni yang menganggap bahwa kekacauan politik (fitnah)
selama satu jam lebih buruk dari pada tirani satu abad. Akomodasi politik
hampir menjadi sesuatu yang prinsip dalam tradisi Sunni, tak sekedar sebuah
upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Semua gerak politik NU masa lalu
dilegitimasi keputusan Syuriah dengan mengacu kitab kuning,[10])
yang meski secara teoritis kaku, namun longgar penerapannya.
Tradisi Indonesia
atau asing?
Ada paradoks pada tradisi pesantren. Ia
berakar kuat di tanah Indonesia; pondok dan pesantren bisa dianggap lembaga
yang tipikal Indonesia. Meskipun ia lembaga Ben didikan Islam tradisional,
namun dalam beberapa aspek, tak mirip dengan sekolah tradisional di dunia Islam
mana pun. Ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat
orientasinya, bukan Indonesia.
Tradisi kitab kuning, jelas bukan
berasal dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia
berbahasa Arab, dan ditulis sebelum Indonesia terislamisasi. Demikian juga
banyak syarah bukan berasal dari Indonesia, meskipun jumlah syarah yang ditulis
ulama Indonesia makin banyak. Bahkan pergeseran perhatian utama dalam tradisi
itu mengikuti pergeseran serupa di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah
kitab yang kini dipelajari di pesantren relatif baru, tapi tak ditulis di
Indonesia, melainkan di Makkah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi
orang Indonesia sendiri).
Pola khas pesantren sebagai lembaga
pendidikan juga mencerminkan pengaruh asing, dan mungkin juga punya akar asing
(meski bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua). Ia menyerupai madrasah
India dan Timur Tengah. Hampir semua kyai besar menyelesaikan tahap akhir
pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam prestisius di Arabia. Mereka bisa
dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam yang
internasional dengan varian tradisi Islam yang masih relatif sederhana di
Indonesia.
Tradisi pesantren bukanlah satu-satunya
tradisi budaya di Indonesia yang punya akar asing. Namun, tak seperti
tradisi-tradisi Indonesia yang berakar dari India dan Cina yang telah
terintegrasi dengan budaya setempat dan berkembang lebih lanjut, lepas dari
sumber asing mereka,[11])
tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan senantiasa
memperbarui kembali melalui sumbernya sendiri. Sumber terpenting bagi Islam
tradisional Indonesia adalah kota suci Makkah - pusat orientasi semua Dunia
Islam. Dan kedua Madinah, di mana Nabi membangun masjid pertama dan wafat.
Hampir semua pengarang-pengarang Islam
Indonesia banyak menghabiskan waktunya di Makkah, Madinah dan pusat-pusat
pengajaran Islam di Timur Tengah. Namun bukan hanya para ulama, tapi juga para
penguasa Islam masa lalu merujuk ke Makkah untuk mendapatkan legitimasi, atau
paling tidak mendapatkan ilmu untuk kekuatan spiritual. Abu’l-Mafakhir Mahmud,
raja Banten keempat, mengirim utusan ke Makkah, 1630-an, untuk minta pengakuan
sebagai Sultan serta penjelasan berbagai kitab agama dan bahkan minta dikirim
ahli fiqh dari Makkah untuk mencerahkan Banten.[12])
Pada 1641, raja Mataram juga minta dianugerahi pangkat “sultan” dari penguasa (syarif) di Makkah, sebagai salah satu
usaha untuk memperkuat kembali legitimasi keagamaannya (de Graaf 1958: 264-8).
Meskipun pengetahuan kita tentang Islam di Indonesia sebelum abad 17 sangat sedikit,
hal itu tampaknya sesuai dengan orientasi Makkah yang telah berkembang jauh
sebelum kejadian-kejadian itu tercatat.
Keterangan ini tidak untuk mengingkari
bahwa Islam di Indonesia, khususnya dalam abad-abad pertama, terpengaruh
perkembangan Islam India. Sebagai contoh besarnya pengaruh tarekat Syattariyyah[13]),
popularitas berbagai adaptasi metafisiknya Ibn ’Arabi, wahdat la-wujud[14])
dan pemilihan kitab-kitab yang dipelajari selama abad-abad pertama di Indonesia
menunjukkan besarnya pengaruh India. Namun pengaruh India ini juga mencapai
Nusantara melalui kota-kota Suci di Hijaz, tempat berbagai ulama besar India
(dan pengikutnya yang non-India) mengajar. Seorang Arab kelahiran India,
Nuruddin ar-Raniri, merupakan satu dari sedikit tokoh yang menunjukkan hubungan
langsung antara India dan Indonesia.
Karena orientasi asing yang terus berlanjut
pada tradisi pesantren, ia tak bisa dianggap terisolir. Agar memahami dinamika
pesantren, kita harus mempelajari perkembangan Islam di Arabia dan India. Studi
yang dilakukan Snouck Hurgronje tentang pendidikan Islam di Makkah (1887 -
1889) masih sangat penting di antara karya-karya penting lain mengenai tradisi
pesantren. Sejak abad lalu, perhatian sarjana untuk mengkaji Islam Indonesia
hampir semuanya mengabaikan Makkah dan pusat-pusat asing lain, karenanya hasil
penelitiannya sangat dangkal.[15])
Permulaan Tradisi
Pesantren
Kita hanya tahu sedikit sekali asal usul
pesantren, bahkan tak mengetahui kapan lembaga tersebut pertama kali muncul.
Banyak yang disebut pesantren di masa awal, sebetulnya hanya merupakan ekstrapolasi
dari pengamatan akhir abad 19. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren
merupakan sejenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid pada periode
awal abad 16. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah sebuah komunitas independen
yang tempatnya jauh, di pegunungan, dan berasal dari lembaga sejenis zZaman
pra-Islam, Mandala dan Asyrama (Pigeaud 1967: 76ff; de Graaf & Pigeaud 1974:
246-7). Ada indikasi bahwa pertapaan-pertapaan jenis pra-Islam bertahan beberapa
waktu setelah Jawa diislamkan, bahkan pertapaan baru terus didirikan.[16])
Namun tak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan di mana pengajaran
tekstual berlangsung. Karena itu sebutan “pesantren” (sebuah istilah yang
menurut pengetahuan saya tak muncul sampai belakangan ini) patut dipertanyakan.
Beberapa pengarang berminat melihat desa perdikan (Fokkens 1886) sebagai
sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Perdikan merupakan lembaga berumur cukup
tua (Schrieke 1919), dan beberapa kampung perdikan
abad 19 telah menikmati statusnya Sejak Zaman pra-Islam. Namun demikian, keberadaan
pesantren di kampung perdikan bukan
akibat statusnya. Dari 211 kampung perdikan
yang tercatat pada survey akhir abad 19 (Anon. 1888), hanya ada 4 kampung yang
sebagian penghasilannya secara eksplisit digunakan untuk pemeliharaan
pesantren. Ada pesantren di beberapa kampung perdikan lain, namun tak mendapat pembagian penghasilan, dan karena
itu, jelas keberadaannya tak ada hubungannya dengan status kampung perdikan itu. Alasan yang paling masuk
akal adanya status ini (terpisah dan alasan politik untuk menjadikan perdikan sebagai daerah pinggiran,
sebagaimana komentar Schrieke) adalah keberadaan makam-makam penting. Pemeliharaan
makam-makam yang punya pengaruh spiritual penting secara- tradisional merupakan
suatu jabatan agama yang dihormati, terlepas dari apa agama resminya. Keluarga
kepada siapa perdikan dipercayakan,
memiliki kewibawaan agama tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa
anggota keluarganya ada yang jadi guru agama berpengaruh (terutama mengajar
tasawuf dan magi). Ketika itulah, peranan mengajar orang-orang tersebut menjadi
terlembaga dalam bentuk pesantren. Proses pembentukan pesantren itu telah digambarkan
dengan cermat oleh Guillot (1985) dalam kasus berdiri-nya pesantren Tegalsari.
Namun perlu ditekankan bahwa hanya sedikit dari pesantren Jawa yang mempunyai
latar belakang seperti itu, dan bahkan pesantren-pesantren ini pun umurnya
masih muda. Pesantren Tegalsari, pesantren tertua yang masih berfungsi sampai
beberapa tahun lalu, didirikan tahun 1742. Survey Belanda pertama terhadap
pendidikan asli, 1819, memberi kesan bahwa pesantren yang “betul” belum ada di
seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan
terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun dan Ponorogo.
Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan
informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid. Madiun dan Ponorogo
(dimana Tegalsari terletak) waktu itu memiliki pesantren terbaik. Di sinilah
anak-anak dari pesisir utara pergi untuk melanjutkan pelajarannya (van der
Chijs 1864: 215-9). Sepanjang yang saya perhatikan, tak ada bukti yang jelas
terdapat pesantren (dalam bentuk abad 19) sebelum berdirinya Tegalsari.
Patut diingat bahwa belum ada lembaga
bertipe pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad 20. Transmisi
pengajaran Islam di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang dewasa
belajar membaca dan menghafal Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih
dulu menguasainya. Haji atau pedagang Arab yang sedang melakukan perjalanan
(lewat kampung) akan singgah beberapa hari di desa itu untuk mengajar agama.
Ulama lokal di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat
di masjid. Murid-murid yang sangat tertarik akan mendatangi ulama itu di rumahnya
dan bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid yang ingin belajar lebih
jauh pergi ke Jawa, atau jika mungkin, ke Makkah. Itulah juga kiranya situasi
yang ada di Jawa dan Sumatra selama abad-abad pertama islamisasi. Karena itu, saya
punya dugaan kuat bahwa lembaga yang layak disebut pesantren tak didirikan
sebelum abad 18.
Pesantren Karang
Sebuah pesantren tua terkenal bernama
Karang di Banten, yang letaknya mungkin sekitar Gunung Karang sebelah barat
Pandeglang, dibicarakan dalam Serat Centini (Drewes 1969: 11). Danadarma, salah
seorang tokoh asketis yang terdapat dalam Serat Centini, mengakui bahwa dia
belajar tiga tahun di Karang di bawah bimbingan She Kadir Jalena (mungkin
maksudnya dia belajar ilmu atau ngelmu
yang dikaitkan dengan sufi besar ’Abd al-Qadir al-Jaelani).[17])
Juga salah seorang tokoh utama dalam Centini, Jayengresmi atau Among Raga, belajar
di paguron Karang, di bawah bimbingan guru Arab Seh Ibrahim bin Abu Bakar, yang
dikenal dengan Ki Ageng Karang. Dari Karang, kemudian dia pergi ke peguron besar
lain di kampung Jawa Timur, Wanamarta, dibimbing Ki Baji Panurta, di mana dia
menunjukkan penguasaannya yang tinggi terhadap kitab-kitab ortodoks.[18])
Seorang guru di Karang juga disebutkan
dalam sebuah primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas. Primbon ini merujuk pada Seh
Bari Karang yang dikatakan telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. Drewes
(1969: 11) menduga bahwa yang dimaksud mungkin Seh Bari yang ajarannya terdapat
dalam salah satu dari dua manuskrip Islam Jawa tertua (abad 16). Jika hal ini
benar, berarti pada suatu ketika antara tahun 1527 (masuknya Islam di Banten)
sampai akhir abad itu, Karang terkenal sebagai pusat pendidikan Islam ortodoks,
bukan ajaran sinkretik seperti yang sering dikaitkan dengan para wali Jawa.
Kalau pun dugaan Drewes benar bahwa kitab yang diterjemahkannya karya seorang
guru dari Karang, itu pun belum terbukti bahwa di situ pernah ada pesantren.
Manuskrip Banyumas tak menjelaskan sebuah sekolah, tapi hanya menyebutkan syekh
(Centini yang kadang-kadang membicarakan perguruan, tak menyebutnya “pesantren,” tapi “paguron” atau “padepokan”).
Jayengresmi hidup sezaman Sultan Agung
Mataram pada paruh pertama abad 17. Namun Centini disusun awal abad 19, dan
karenanya tak bisa dianggap sumber yang dipercaya mengenai keadaan abad 17.
Kitab Sejarah Banten yang disusun sekitar Zaman ketika Amongraga konon hidup
(Djajadiningrat 1913), tak menyebutkan adanya peguron di Karang (atau di mana saja). Diduga tempat itu adalah
tempat favorit untuk tapa, sebuah praktek meditasi.[19])
Satu-satunya pengajaran[20])
agama yang disebutkan di kitab ini adalah pendidikan .pribadi putra mahkota di
tangan Kyai Dukuh dan kali (maksudnya
qadi) kesultanan (ibid: 37). Jadi, pada abad 16 dan 17
yang ada adalah guru yang mengajar agama Islam di masjid atau istana dan ahli
mistik dan magi yang berpusat di tempat pertapaan atau kuburan suci. Pesantren
mungkin sebagian berkembang dari tempat-tempat ini, namun tak sampai periode
belakangan.
Kitab yang
Dipelajari Abad 16 – 19
Dugaan saya bahwa lembaga pesantren tak
ada sebelum abad 18 tak berarti bahwa kitab kuning tak dipelajari sebelumnya.
Kitab-kitab berbahasa Arab klasik jelas dikenal dan dipelajari pada abad 16. Beberapa
kitab sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa
pengarang Indonesia telah menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan gaya
dan isi mirip kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600, sejumlah manuskrip Indonesia
berbahasa Melayu, Jawa dan Arab dibawa ke Eropa. Mereka menghargai tradisi
penulisan Islam di Nusantara saat itu, meskipun belum sempurna.
Manuskrip-manuskrip Melayu (van Ronkel
1896) berisi tafsir dua bab penting dari Qur’an, dua hikayat dengan tema Islam,
sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antar
baris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap Nabi (Qasidat al-Burda oleh al-Busiri, diedit
Drewes, 1955). Dua manuskrip Islam Jawa terpenting yang juga diedit ulang
Drewes (1954, 1969) menunjukkan sedikit spekulasi metafisis dan sinkretisme –
tipe Islam Jawa. Mereka mencerminkan tradisi ortodoks (fiqh Syafi’i, doktrin
Asy’ari dan etika Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk pada pelbagai
macam kitab berbahasa Arab yang memberikan pemikiran lebih jelas – bagaimana pengarang-pengarang
itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.
Dari berbagai karya yang disebutkan
dalam “Admonitions of She Bari”
(Drewes 1969, sebelumnya dikenal sebagai “The
Book of Bonang”), hanya dua judul yang diketahui: magnum opus Ghazali, Ihya
’ulum al-Din dan Kitab Tahmid (yang
mungkin al-Tamhid fi Bayan al-Tawhid)
karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Karya terakhir ini memang pernah diketahui
di Indonesia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antar-baris
(Kraemer 1921: 6). Dan menariknya karya ini banyak dibaca di India.[21])
Dua karya yang sama, juga disebutkan kitab Islam Jawa kuno lain (Kraemer
1921, Drewes 1954) bersama-sama dengan Talkhis
al-Minhaj (ringkasan Minhaj, mungkin Minhaj
al-’Abidin), Syarah fi’l Daqa’iq
(mungkin komentar kitab populer tentang kosmologi dan eskatologi, Daqa’iq al-Akhbar).[22])
Dua judul lain, al-Kanz al-Khafi (“Harta
Tersembunyi”) dan Ma’rifat al-’Alam
(Terbukanya Tabir Dunia)[23])
mengesankan karya mistisisme dan metafisis, meskipun keduanya tak bisa
diidentifikasi.
Catatan pendek ini memperlihatkan
tekanan ajaran aqidah dan tasawuf. Keberadaan beberapa manuskrip (yang lebih
muda) dalam bahasa Arab, begitu juga terjemahan Jawa kitab wahdat al-wujud karya Burhanpuri yang terkenal, al-Tuhfatal-Mursalah (Johns 1965) menunjukkan ada kecenderungan
kuat terhadap tasawuf “pantheistis.” Namun di antara beberapa manuskrip yang
disebutkan, yang dibawa ke Eropa dari Jawa sekitar 1600, terdapat pula kitab
berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja’ al-Isfahani, al-Taqrib fi’l-Fiqh yang masih digunakan
secara luas (dengan terjemahan Jawa interlinear) dan sebuah kitab anonim (sekarang
benar-benar tak dikenal pengarangnya) al-Idlah
fi al-Fiqh. Ini semua jelas membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa
akhir abad 16.
Orang-orang Indonesia yang belajar di
Arab mengenal berbagai macam kitab yang lebih, luas, tapi apa yang dipelajari
di Indonesia sendiri sangat terbatas dan sedikit dibandingkan dengan tradisi
kitab klasik yang kaya. Mahmud Yunus (19791 223-6) memberikan informasi yang
agak rinci tentang pesantren di Mataram (abad 18?), meskipun masih tak jelas
dari mana sumbernya. Informasinya mungkin dari tradisi lisan. Ia menyebutkan
tiga kitab yang dipelajari di tingkat rendah: Taqrib (kitab fiqh) Bidayat
al-Hidayah (ringkasan Ihya) dan sebuah kitab berjudul Usul 6 Bis [24])
kitab tentang aqidah karya Abu’l-Laits al-Samarqandi, yang terkenal
sebagai Asmarakandi.[25])
Serat Centini, sebagaimana ditunjukkan
Soebardi pertama kali (1971) berisi lebih banyak informasi rinci mengenai
kitab-kitab yang dipelajari di “pesantren.” Namun gegabah menganggap bahwa
keterangannya benar untuk sebuah periode sebelum Centini dibuat. Dalam diskusi
mengenai Centini, disebutkan 21 macam kitab, enam di antaranya kitab Fiqh
(termasuk Taqrib dan Idlah),[26])
sembilan kitab aqidah (termasuk pendahuluan kitab Samarkandi dan dua karya
Sanusi yang terkenal mengenai aqidah dengan berbagai komentar), dua kitab
tafsir (Jalalain dan Baidlawi) dan tiga kitab tasawuf.[27]) Yang terakhir ini termasuk Ihya dan al-Insan al-Kamil
karya ’Abd la-Karim al-Jili, satu-satunya karya yang keortodokannya
diperdebatkan -sebuah sajian metafisik sistematis dari karya Ibn ’Arabi,
metafisika wahdat al-wujud.
Tahun 1819, pemerintah Kabupaten
Rembang (Belanda) mencatat kitab yang dipelajari di pesantren (van der Chijs
1864: 217). Santri mempelajari dasar-dasar tatabahasa Arab dengan kitab Amil karya Jurjani (atau Awamil) dan kitab Jurumiyyah (masih digunakan di tiap pesantren), kemudian membaca
bagian-bagian terpilih dari Qur’an, kitab-kitab Fiqh elementer (Sittin) dan aqidah (Asmarakandi) dan kitab tipis al-Durrah
karya Sanusi yang juga disebutkan dalam sumber-sumber Jawa terdahulu.
Menjelang akhir abad itu, L.W.C. van
den Berg mengunjungi sejumlah pesantren penting di Jawa dan Madura, dan
mengumpulkan daftar kitab-kitab berbahasa Arab yang dipelajari secara umum yang
sumber informasinya dari wawancara dengan kyai (1886). Sebutan “berbahasa Arab”
menyiratkan bahwa karya-karya dalam bahasa lain (mungkin Jawa ditulis dalam
huruf Arab) juga digunakan, tapi tak dibahas dalam artikel tersebut. Catatan Van den Berg menunjukkan kesinambungan jelas dengan kitab-kitab
terdahulu, dalam arti bahwa baik
tulisan pendahuluan yang dipakai maupun kitab-kitab prestisius yang disebutkan ternyata sama. Judul-judul
tambahan pun pada dasarnya berupa
rincian materi yang telah disunting -
tak ada orientasi baru. Yang menarik
adalah tiadanya beberapa dimensi
tradisi klasik: sementara banyak
kitab fiqh dipelajari, namun tak ada satu pun
kitab usul al-Fiqh yang tercatat. Kitab tafsir, misalnya, hanya ada karya dua Jalaluddin
(Jalalain: Suyuti
dan Mahalli) serta tafsir Baydlawi. Meskipun kumpulan Hadits Bukhari dibaca beberapa kyai, tak ada kitab Hadits yang benar-benar dipelajari di pesantren. Dalam tiga subyek inilah,
sejak 1888-an, kurikulum pesantren
diperkaya (van Bruinessen 1990).
Dimensi lain tradisi intelektual klasik yang lenyap dari pesantren adalah
terutama filsafat dan metafisika.[28]) Van den Berg mencatat tak ada kitab-kitab wahdat al-wujud. Kitab-kitab ini mungkin masih dipelajari di sejumlah pesantren,
tapi hanya diajarkan pada santri-santri
pilihan, seperti yang ada di beberapa
tempat sekarang.
Kitab-kitab yang dipelajari sebelum
abad 20 di Jawa wawasannya sempit jika dibandingkan dengan wawasan intelektual
pengarang-pengarang Islam dahulu dari daerah lain.
Dalam kitab Nuruddin Raniri, Yusuf Makassar dan Abdurrauf Singkel,
kita menemukan referensi yang
jauh lebih banyak variasinya dan secara intelektual kitab-kitabnya lebih
menarik. Daftar karya tasawuf dan filsafat
bernilai tinggi yang disebut atau
dikutip Raniri, menurut catatan
Al-Attas (1986:15-24) sangat mengesankan. Yusuf menghabiskan
waktu lama di tanah Arab,
belajar pada guru-guru besar dan
mendalami banyak tarekat. Ia juga
dalam tulisan-tulisannya merujuk khazanah intelektual. Lebih luas dari pada kitab yang dikenal di Jawaa.[29]) Catatan Abdurra’uf dalam ’Umdat al-Muhtajin,
menyebutkan lusinan gurunya di
Makkah dan Madinah. Sayangnya ia tak merinci apa yang dipelajari dari guru-gurunya
itu. Namun dari karya-karyanya, terlihat
bahwa dia menguasai sebagian besar ilmu-ilmu Islam. Dengan
melihat spesialisasi guru utamanya,
Ibrahim al-Kurani, ia barangkali mendalami
juga metafisika dan Hadits.
Tradisi Terpelajar
Klasik dan Pengaruhnya di
Indonesia
Kitab-kitab yang mewakili tradisi terpelajar Islam ditulis dalam abad 10-15 M yang merupakan masa jaya keilmuan Islam. Sejak akhir abad 15, pemikiran Islam di Arab tak mengalami kemajuan yang berarti. Model pemikirannya dalam ilmu-ilmu
keislaman tetap sama, namun dalam
ilmu lain seperti matematika, fisika, obat-obatan
paradigmanya berubah, terpengaruh Eropa.[30])
Dalam tradisi abad pertengahan ini, ilmu pengetahuan dianggap sistem terbatas (finite system). Ide untuk memperluas
ilmu pengetahuan, dianggap absurd dan
bid’ah. Pandangan ini secara tegas menjegal karya-karya zaman
tradisional. Aziz Al-Azmeh, yang dalam
karya terbarunya (1986) menganalisis sangat cermat dasar metafisika dari pemikiran
Arab abad pertengahan, menyurvei secara singkat jenis karangan para ulama dan
ilmuwan zaman itu. Jenis tulisan itu, menurutnya,
agak terbatas: Pembahasan setiap subyek terdiri dari tujuh jenis.
Yaitu pelengkapan dari teks yang
belum lengkap; perbaikan dari teks yang mengandung kesalahan; penjelasan (penafsiran) terhadap teks yang samar; peringkasan (mukhtasar) dari
teks yang lebih panjang; pengumpulan
dari teks yang terpisah, tapi berkaitan satu dengan lainnya (namun tanpa adanya
usaha sintesis) ; penyusunan rapi dari
bahan yang kurang tersusun; dan
pengambilan kesimpulan (dari premis-premis
yang sudah disetujui) (Al-Azmeh
1986:152, menurut Ibn Hazm dan Hajji
Khalifa). Ini masih sah sebagai gambaran
kitab kuning setelah periode
klasik. Jika kita menambahkan
terjemahan pada bahasa lokal
seperti pada jenis kedelapan, ringkasan ini meliputi semua
kitab yang ditulis ulama Indonesia
selama abad lalu.
Meskipun pemikirannya dianggap terbatas dan tak bisa diubah, Islam tradisional sangat kaya. Dan ia tetap fleksibel karena tiada usaha untuk membuatnya konsisten. Setiap ilmu merupakan sistem tertutup, yang mana di antara dalil-dalilnya mungkin
saja saling kontradiksi. Para filsuf dan teolog,
sufi dan metafisikus, sarjana fiqh dan Hadits, masing-masing punya wacana, kadang-kadang bertentangan satu sama lain
(meskipun terdapat persamaan dalam pola pemikiran).[31]) Bahkan dalam sebagian besar disiplin Fiqh, empat mazhab
(yang pengikutnya
paling banyak sampai sekarang) dianggap
sebagai sama-sama optodoks meskipun berbeda dalam
banyak masalah.
Hampir pada
tiap masalah ada beberapa beda
pendapat satu sama lain. Kalau pun ada, perkembangan –yang kadang terjadi akibat pengaruh politik-
itu pun dalam bentuk pergeseran antar disiplin: satu disiplin lebih mendapat perhatian dari pada disiplin
lain. Banyak gerakan reformis, misalnya,
lebih menekankan Hadits dibandingkan kalam,
atau bahkan, dibandingkan mazhab Fiqh
yang sudah mapan.
Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti kaum elite di antara pendukung kuat Hadits. Elit ulama sering mengklaim hak-hak
istimewa atas dasar penguasaan ilmunya yang canggih. Hadits relatif mudah dan dapat dipahami tanpa latihan khusus, dan selain itu, didukung
wewenang Nabi. Karena itu Hadits
bisa dipakai untuk menyatakan disiplin-disiplin
intelektual yang tak shahih.[32]) Secara keseluruhan ilmu-ilmu rasional (al-‘ulum al-aqliyah) seperti logika, filsafat,
metafisika, kalam, obat-obatan, dan lain-lain, semenjak zaman
klasik secara gradual harus memberikan
lapangan pada ilmu-ilmu agama (’ulum al-naqliyyah) seperti
Hadits, tafsir dan ilmu-ilmu Qur’an
yang lain dalam pengertian sempit,
yang berakibat sangat memiskinkan tradisi itu.
Generasi pertama orang Indonesia yang belajar di tanah Arab hanya mengasimilasi sebagian tradisi keilmuan
yang ada, terutama tradisi yang
sesuai dengan budayanya (khususnya tasawuf falsafi,
kosmologi, tarekat dan ilmu-ilmu gaib terkait, tapi juga ilmu fiqh). Dalam perjalanan
waktu, makin lama makin banyak dimensi tradisi
itu menjadi bagian dari tradisi
Islam Indonesia, yang secara gradual
makin kaya, meskipun terjadi
pemiskinan tradisi Islam di pusatnya,
tanah Arab.[33])
Model asing untuk
pesantren
Transmisi pengajaran Islam tak bersifat formal dan terlembagakan di madrasah sampai abad 10. Pada mulanya yang dipelajari di madrasah adalah terutama fiqh
(ilmu yang paling penting dari segi tertentu). Ilmu-ilmu lain terus ditransmisikan secara lebih informal di masjid-masjid
(Makdisi 1981: 9). Menjelang kontak-kontak intensif antara Indonesia
dan daerah pusat Islam, akhir abad 17 dan
18, dua imperium Sunni (Utsmani yang
menguasai hampir seluruh tanah Arab dan Moghul di India) telah memiliki jaringan-jaringan madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan kurikulum
baku.[34])
Madrasah Utsmani dibangun secara
tipikal oleh salah seorang sultan atau
pejabat tinggi, dan diberi wakaf
(yang menghasilkan income) untuk
pemeliharaan madrasah dan
beasiswa murid. Kepalanya menerima
gaji dari pemerintah. Sementara itu di Moghul India, pengendalian pemerintah
menyeluruh, struktur internal golongan
ulama kurang teratur dan kurang
dekat dengan istana. Subyek-subyek yang
dipelajari di dua imperium
itu berbeda sedikit. Mereka, termasuk
Qur’an dengan tekanan pada tajwid
dan qira’ah; tatabahasa Arab dan
retorika (surf, nahw,
balaghah), Fiqh Hanafi dan usul fiqh,
tafsir, kalam, Hadits (kumpulan Hadits
selain al-kutub al-sittah, tapi di
madrasah Utsmani memakai juga
Bukhari), begitu pula logika, ilmu hitung,
astronomi, adab (sastra) dan hikmah
(filsafat dan metafisika). .
Pengembara Turki, Evliya Celebi yang
mengunjungi Makkah dan Madinah, 1671, melaporkan bahwa di Makkah terdapat 40
madrasah dan yang diketahui namanya 22 buah (1935: 771-2); dia juga menyebutkan
empat madrasah di Madinah dan dia menyatakan masih banyak lagi madrasah di sana
(ibid: 640). Gambarannya tentang
madrasah tak lengkap dibandingkan dengan yang digambarkan di tempat lain. Ada
kesan, madrasah-madrasah itu tak berkembang. (Dua abad kemudian,
Snouck Hurgronje menemukan sebagian besar madrasah di
Makkah berubah menjadi rumah pribadi).
Elviya jauh lebih banyak bicara
tentang tekye dan zawiyah para pengikut tarekat di Makkah, yang beberapa di antaranya banyak penghuninya (ibid: 772-3).
Ketika mencari model Timur Tengah untuk pesantren, kita mungkin
perlu memperhatikan - di samping madrasah, juga zawiyah. Bahkan saat itu,
tampaknya tak mungkin orang
Indonesia yang tinggal di Hijaz banyak berhubungan dengan
madrasah di sana yang bermazhab Hanafi,
mazhab resmi Utsmani. Tak
terdapat banyak persamaan antara kitab yang dikenal di Indonesia
pada abad 16 - 18, dan kitab yang menjadi
kurikulum madrasah Ustmani[35]) dan Moghul[36]). Kitab-kitab yang
dipakai di sini maupun di sana hanya
dua karya tafsir, Jalalain
dan Baidlawi, dan Tahmid. Yang
terakhir dipakai di India, namun tidak
di Utsmani. Ulama dan Sufi yang
punya pengaruh terbesar di Indonesia yang belajar
di Hijaz abad 17 adalah Ibrahim al-Kurani
(mazhab Shafi’i), yang tampaknya
berhubungan lebih banyak dengan India,
dibandingkan dengan ulama Utsmani
(kami menemukan lebih banyak referensi terhadapnya di India dibandingkan dengan sumber-sumber Utsmani), dan tampaknya telah berdiri di luar hierarki ulama Utsmani. Dia juga mengajar subyek-subyek yang bukan bagian kurikulum resmi madrasah negeri.[37])
Dalam abad 18 dan 19, pendidikan
madrasah di Arabia tampaknya makin
mundur. Bentuk dan isi pendidikan yang diterima orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah dan Madinah pada saat itu hanya sedikit diketahui. Bahkan biografi ulama-ulama besar yang belajar di sana, Muhammad Arsyad al-Banjari, ’Abd al-Samad al-Palimbani dan Da’ud
bin ’Abdallah al-Patani hanya berisi nama-nama gurunya (hampir semuanya
mencatat nama sufi besar Muhammad
bin ’Abd al-Karim al-Samman, dan syaikh
al-Islam Mesir, Muhammad ibn
Sulaiman al-Kurdi) dan judul-judul
kitab yang dibaca.[38]) Mereka tak belajar di madrasah, tapi menghadiri lingkaran pengajian tak resmi (halqah) yang diberikan ulama independent di berbagai masjid. Hubungan mereka dengan beberapa guru, kelihatannya tak lebih dari beberapa kali pertemuan pribadi yang dihadirinya.
Snouck Hurgronje dalam bukunya menjelaskan bahwa pada akhir abad 19, pendidikan di Hijaz beRpusat
di Masjid al-Haram Makkah yang telah berkembang menjadi semacam universitas
yang dipimpin rektor, (syaikh
al-’ulama) yang ditunjuk pemerintah,
di mana hanya ulama-ulama terpilih yang bisa memberikan halqah di sana (l887; 1889; 235-56).
Ulama berstatus lebih rendah mengajar di
pelbagai tempat di kota. Sistem
pendidikan universitas berbeda dengan madrasah, tak punya
kurikulum tetap. Kitab apa yang
dipelajari terserah dari keputusan guru dan murid. Murid-murid tak tinggal
bersama dalam satu pemondokan. Madrasah-madrasah lama di Makkah, sebagaimana
dicatat Snouck Hurgronje, sudah
tak berfungsi lagi.
Penelitian historis singkat ini, mengesankan bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di Hijaz tak pernah berhubungan langsung dengan madrasah tipe Utsmani. Karenanya mungkin bukanlah madrasah, itu yang telah menjadi model pesantren di Jawa.
Namun, dua pengalaman penting yang menunjukkan tipe pendidikan madrasah tampaknya luput dari penelitian terdahulu. Dalam studi Islam Indonesia, saya tak pernah melihat petunjuk mengenai orang Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar
Kairo sebelum abad 20. Mestinya cukup
banyak orang Indonesia yang
belajar di sana pada paruh pertama abad
19, atau mungkin sebelumnya. Pada pertengahan abad
19, Al-Azhar memiliki sekitar 30 colleges (riwaq), di mana murid-murid
tinggal. Salah satu riwaq itu diperuntukkan orang Jawa, yaitu orang-orang Islam dari Nusantara. Orang-orang Turki, Kurdi, Irak Arab juga masing-masing punya satu riwaq, di mana hal itu menunjukkan bahwa orang-orang Jawa cukup banyak (Vollers 1913; bdk. Heyworth-Dunne 1938: 25-6).
Kitab yang dipelajari di Al-Azhar (di mana fiqh semua mazhab diajarkan)
di abad 18 dan 19 menunjukkan adanya hubungan yang dekat dengan
kurikulum pesantren abad 19
dibandingkan kurikulum madrasah
Utsmani dan Moghul zaman dahulu. Hampir semua kitab yang dicatat vang den Berg (1888) juga terdapat dalam. silabus Al-Azhar
seperti yang diteliti Heyworth Dunne
(19381 43-65) dari sumber-sumber Mesir. Penemuan penting ini
sebaiknya tak dinilai terlalu tinggi, sebab kitab-kitab yang sama juga dibaca di halqah Makkah. Namun, paling sedikit hal itu menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Al-Azhar
pada pesantren dulu. Jumlah murid Indonesia di Al-Azhar, mungkin
berkurang pada paruh kedua abad 19 karena relatif berkurangnya status Mesir yang ter-westernisasi dibandingkan Makkah. Namun sampai saat
itu Mesir telah lama dikenal sebagai “pusat
utama keulamaan Syafi‘i” (bdk.
Snouck Hurgronje 1889: 255).
Madrasah lain yang perlu ditinjau dalam konteks ini, telah didirikan lebih belakangan di Makkah oleh orang Islam India, satu dasawarsa sebelum mukimnya Snouck di Makkah, tapi
tampaknya luput dari pengamatannya. Pada
tahun 1874, seorang wanita India
bernama Saulat an-Nisa memberikan wakaf untuk
mendirikan madrasah (Saulatiyyah). Madrasah yang didirikannya dipimpin ulama India militan dan dihormati,
Rahmat Allah bin Khalil al-’Utsmani (’Abd
al-Iabbar 1385:121-7). Rahmat Allah telah terkenal di
India dan luar negeri karena polemiknya yang hebat dan sukses melawan
misionaris German, Pfander, dan
menjadi salah seorang pemimpin pemberontakan anti-Inggris, 1857[39]). Setelah pemberontakannya dikalahkan,
dia lari ke Makkah, di mana dia menjadi
salah seorang ulama terkemuka yang
sangat gigih melawan kolonialisme
dan westernisasi.
Saulatiyyah adalah bagian dari gerakan reformasi pendidikan Islam di India yang telah membangkitkan madrasah Deoband (Darul ’Ulum, dibangun
1867)[40]) dan banyak madrasah yang berafiliasi dengannya (Metcalf
1982). Mirip Deoband, kurikulum madrasah itu mungkin tradisional, meskipun
dengan penekanan besar pada Hadits.
Apa yang menjadikannya modern adalah bentuk kelembagaannya
- dengan adanya kelas, mata
pelajaran tetap dan ujian. Patut dicatat, banyak gurunya kadang-kadang
diambil dari ulama-ulama yang mengajar di Masjid al-Haram.[41])
Di awal abad 20, bahkan sebelumnya,[42])
Saulatiyyah mempunyai pengaruh besar di
dunia pesantren Indonesia. Banyak
orang Indonesia yang belajar di
madrasah ini dan mendirikan pesantren
atau madrasah setelah mereka kembali, dengan model
lebih kurang mirip dengan Saulatiyyah.
Masih ada madrasah lain yang mirip di
Makkah didirikan orang India, Madrasat al-Falah (disebutkan Gobee
1921: 199-200 dan pada
biografi-biografi dalam ’Abd al-Jabbar
1385), tapi madrasah ini tampaknya
tak punya murid Indonesia. Di tahun 1934, madrasah ketiga yang
berbentuk ini, Dar al-’Ulum ad-Diniyya, dibangun di Makkah oleh orang Indonesia yang keluar dari Saulatiyyah karena konflik pemakaian bahasa Indonesia yang telah menyinggung kebanggaan nasional.[43]) Orang-orang Indonesia di
Makkah mengumpulkan uang untuk
membangun sekolah sendiri. Lebih
dari seratus murid, hampir semuanya
dari Saulatiyyah, terdaftar. Muhsin al-Musawwa, seorang sayyid kelahiran
Palembang, yang telah jadi guru di Saulatiyyah, menjadi rektor pertamanya.
Ringkasnya, saat itu, saya menduga bahwa
riwaq di universitas Al-Azhar mungkin
merupakan salah satu model pesantren yang didirikan dalam abad 18 dan 19,
begitu pula kurikulumnya. Sekitar pergantian abad itu, pengaruh gerakan
reformasi pendidikan India melalui Saulatiyyah mulai terasa. Dengan berdirinya Dar al-’Ulum Indonesia di Makkah yang
meniru Saulatiyyah dalam hampir setiap hal, yang mana ia
menyuarakan reformasi ala Deoband dan Cairo[44]) maka hampir seluruh
madrasah di Nusantara terpengaruh reformasi itu. Dengan demikian,
Saulatiyyah dan Dar al-’Ulum-lah yang banyak mempengaruhi pengembangan
pendidikan Islam tradisional Indonesia (dibahas luas dalam Steenbrink 1974 dan Yunus 1979).
Ulama Indonesia di
Makkah
Keberadaan madrasah-madrasah ini di Makkah kurang diperhatikan karena besarnya pengaruh Masjid al-Haram (dan karena tingginya karya Snouck Hurgronye belakangan ini
dalam kesarjanaan Barat). Tambahan
lagi, guru-guru besar di Saulatiyyah
juga mengajar di masjid. Karena
kepentingan atribut isnad, para murid lebih suka merujuk nama gurunya dari pada lembaga di mana mereka belajar. Perubahan dalam wacana
intelektual seperti yang terjadi pada
permulaan abad itu, karenanya,
secara umum lebih dihubungkankan pada
guru-guru individual dari pada lembaga dan pengembangan-pengembangan sosio-ekonomis
yang lebih luas.
Dalam retrospeksi, dasawarsa-dasawarsa
sekitar pergantian akhir abad
lalu itu merupakan fase yang menentukan.
Tiga ulama Indonesia saat itu yang
mengajar di Masjid al-Haram (tak di
Saulatiyyah) punya pengaruh besar atas
sesama orang Nusantara dan mempengaruhi
generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang dipuji Snouck sebagai orang Indonesia yang paling terpelajar dan rendah hati (1889: 362-7) adalah pengarang yang paling produktif. Disamping
tafsirnya yang terkenal (Johns
1984, 1988), dia menulis kitab
setiap disiplin yang dipelajari di
pesantren. Lain dari pengarang Indonesia
sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya adalah syarah
kitab yang telah digunakan di pesantren (lihat contoh dalam Steenbrink 1984:
133-4). Syarah ini benar-benar menjadi pengganti
kitab aslinya. Tidak kurang dari 22
karyanya (dia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu)
masih beredar, dan 11 dari kitab-kitabnya
termasuk 100 kitab yang paling banyak
digunakan di pesantren (van
Bruinessen 1990). Nawawi berdiri pada
titik peralihan antara dua periode
dalam tradisi pesantren. Dia
memperkenalkan dan mennerjemahkan
kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan penyesuaian-penyesuaian
dari materi yang terabaikan sampai zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang
intelektualnya. Namun demikian,
Ahmad Khatib Minangkabau -bapak
reformis Islam Indonesia- juga adalah muridnya.
Ahmad Khatib (wafat 1915) terkenal
karena polemiknya melawan adat matrilineal di daerah asalnya dan melawan tarekat Naqsabandiyyah
(yang punya pengikut paling banyak
di Sumatera Barat), tapi peranannya di Makkah lebih
luas dari itu. Dia adalah salah seorang dari Indonesia yang pertama kali mendapatkan
ijazah mengajar di Masjid al-Haram,
dan dijadikan salah seorang imam di sana - sebuah keistimewaan yang biasanya
diperuntukkan ulama kelahiran Makkah.[45]) Kedua keistimewaan tersebut memperkuat
pengaruhnya terhadap seluruh masyarakat Indonesia di Makkah.
Sikap reformisnya tampak dari
tulisannya -sebuah komentar terhadap
kitab terdahulu mengenai usul
al-fiqh, Waraqat, karya Juwayni.
Akan tetapi adalah salah menganggap
Ahmad Khatib hanya sebagai pemberontak
tradisi; ia bahkan pun
mendalaminya. Di antara muridnya ada
yang reformis dan tradisionalis
(beberapa di antara muridnya
bahkan menjadi syaikh tarekat): dan dua kitabnya masih
dipakai di beberapa pesantren.[46])
Tokoh besar ketiga adalah Kyai Mahfuz Termas (wafat 1919-20), terhadap siapa kyai Jawa
lebih menghormatinya
ketimbang Kyai Nawawi. Dia adalah
guru yang sangat dihormati dari beberapa kyai pendiri NU, yang dengan demikian, menambah reputasinya. Dia menyelesaikan
pendidikannya di bawah bimbingan
guru-guru Arab terbesar di Masjid al-Haram
dan juga menjadi ahli qiraat al-Qur’an
(dia menulis banyak kitab tentang itu). Karyanya
yang paling besar adalah empat
jilid kitab fiqh, yang merupakan komentar (hasyiyah) terhadap kitab
yang banyak dipakai di Indonesia,[47]) dan dia tampaknya telah menjadi
ulama Indonesia pertama yang
mengajar kitab Hadits Shahih Bukhari.
Muridnya yang disukai, Hasyim Asy’ari,
membawa tradisi ini ke Indonesia, di
mana pesantrennya di Tebuireng (Jombang)
menjadi terkenal sebagai Pondok Hadits.
Sepanjang penyelidikan saya, perkembangan
yang berarti dalam kurikulum pesantren sejak 1880-an adalah tampak pada
munculnya usul al-fiqh, Hadits dan
pelbagai tafsir yang dipelajari.
Reorientasi terhadap subyek-subyek itu merupakan kecenderungan
umum di dunia Islam yang telah
mulai lebih dulu dan juga tercermin
dalam madrasah baru.
Setelah tiga ulama ini, tak ada orang Indonesia yang setara dengannya
yang mengajar di Makkah. Karya
’Umar ’Abd al-Jabbar mengenai ulama di Masjid al-Haram
di abad 14 Hijrah menyebutkan tiga orang Indonesia lagi (sebenarnya dua orang Indonesia dan satu orang Malaysia yang lahir di Makkah), namun mereka tak pernah mencapai prestasi yang sama. Mereka adalah Muhsin bin ’A1i Musawwa (rektor pertama Dar al-’Ulum, wafat 1935), Muhammad Nur al-Patani (cucu Da’ud bin ’Abdallah, wafat 1944) dan ’A1igBan1ar (wafat 1951). Selain dari yang pertama, mereka tampaknya tak
punya banyak murid Indonesia. Orang Indonesia yang belajar di
Saulatiyyah dan Dar al-’Ulum, atau di
Masjid al-Haram, mempunyai guru-guru Arab yang lebih punya reputasi.
Kedua lembaga pendidikan di Makkah ini (madrasah dan Masjid al-Haram) terwakili dalam dua tokoh yang menonjol sebagai panutan utama kaum Muslim tradisional
Indonesia, kyainya para kyai. Salah
satunya adalah Syekh Yasin Padang, rektor Dar al-’Ulum (wafat 1990);
yang lain Sayyid Muhammad bin ’Alwi
al-Maliki, yang ayah dan kakeknya
mengajar banyak orang-orang Indonesia di Masjid al-Haram, meskipun
mereka bermazhab Maliki. Dua-duanya bukan saja mengajar seluruh
subyek yang dipelajari di pesantren,
tapi juga adalah syaikh dari pelbagai
tarekat.[48])
Makkah tak lagi menjadi tempat terpenting di mana orang-orang Indonesia masa kini yang punya latar belakang pesantren mencari ilmu yang lebih tinggi. Dan mereka yang masih melakukannya, biasanya tinggal sebentar saja di Makkah dibandingkan orang-orang Indonesia
dulu. Saya punya kesan, meskipun saya tak bisa mendukungnya dengan data statistik, Al-Azhar menjadi
lebih penting kembali[49]);
sementara madrasah Nadwat al-’Ulama di Lucknow,
India (lihat Metcalf 1982: 335-47)
telah menarik murid-murid dari
lingkungan “tradisional” di berbagai tempat di Indonesia. Lebih banyak santri sekarang meneruskan belajarnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang mungkin memberikan
pendidikan lebih baik dari pada
yang diterima di Makkah oleh rata-rata murid generasi dahulu. Namun sebuah ijazah IAIN masih kurang prestisius dan kharismatik dibandingkan ijazah yang dianugerahkan
guru-guru terkenal dengan isnad
mulia di pusat-pusat Islam luar
negeri. Dan dunia pesantren pun
tampaknya tak bakal meninggalkan orientasinya pada tanah Arab (serta India).
Catatan Kaki
[1] Sebelum
Muhammadiyah mempunyai pesantren sendiri sudah ada beberapa pesantren yang
berorientasi reformis, di antaranya yang paling terkenal, Gontor (Castles
1965). Penelitian ringkas bentuk-bentuk pesantren di Jawa Timur 1970-an
diperlihatkan Abdurrahman, 1981.
[2] Khususnya
Hadits-hadits Bukhari dan Muslim. Empat kumpulan Hadits shahih lain jarang
dipakai. Kumpulan Hadits bukan standard, Riyad al-Salikhin dan Bulugh al-Maram
yang lebih menekankan masalah ibadah dibanding masalah hukum masih populer di
lingkungan santri. Namun kedua kitab ini sedikit dipelajari di abad lalu.
[3] Penelitian
rinci terhadap karya-karya ini diperlihatkan van Bruinessen 1990.
[4] Tentang
kedudukan Ibn Taymiyya dalam tradisi abad pertengahan dan serangannya terhadap
Asy’arism, filsafat, mistisisme dan teori politik, lihat Al-Azmeh 1986, passim;
Hourani 1962: 18-22; tentang akibatnya terhadap fundamentalisme, Sivan 1985.
Generasi tua NU masih punya badan sensor. Mereka menempatkan tinggi karya-karya
Ibn Taymiyya dalam indeks. Sebenarnya banyak kyai mempunyai kitab-kitab Ibn
Taymiyya, terutama Fatawa, tapi disimpan untuk menghindari santri dari
pengaruhnya. Namun santri yang punya ilmu tinggi bisa membacanya secara
rahasia.
[5] Dari
500 kitab langka yang ditulis ulama Indonesia (juga Melayu) yang sekarang
beredar, hampir seratus ditulis dalam bahasa Arab; lebih dari 200 dalam Melayu
dan 150 dalam Jawa. Sisanya dalam bahasa Sunda, Madura dan Aceh.
[6] Komunikasi
personal dengan Abdurrahman Wahid
[7] Dalam
hal ini, ada rantai pendek. Sejumlah ajaran mistik mengaku diajarkan
orang-orang dulu yang telah lama mati melalui mimpi, bahkan oleh Nabi sendiri.
Yang terakhir ini, misalnyag, pengakuan Ahmad Tjani pendiri Tarekat Tijaniyyah
di Afrika Utara. Pengakuan yang pertama lebih umum (juga di antara kyai-kyai
]awa); bahkan silsilah Naqsabandiyya ortodoks meloncat-loncat generasinya
karena pengaruh mimpi-mimpi itu.
[8] Pentingnya
isnad ditunjukkan kitab karya Syaikh Yasin Padang, ulama terkenal Indonesia di
Makkah, rektor Dar al-’Ulum, yang tak mencatat apa pun kecuali kitab klasik
yang boleh diajarkan, disertai nama orang yang telah mempelajarinya - dan
seterusnya – hingga isnad-nya sampai ke pengarang (al-Padani 1402).
Contoh-contoh yang lebih dulu, lihat Vaida 1983.
[9] Kyai
terkenal asal Madura, As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, telah membuat
silsilah keluarga yang rumit, yang menunjukkan hampir setiap kyai Madura
keturunan wali Sunan Giri. Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah, dua dari pendiri
NU merunut silsilahnya sampai ke Jaka Tingkir, yang dipercayai sebagai putra
Brawijaya VI dan menjadi penguasa Islam pertama di Pajang (Aboebakar 1957: 41-2).
[10] Keputusan-keputusan
penting Majlis Syuri’ah terdapat dalam seri kitab berjudul Ahkam al-Fuqaha,
biasanya dengan rujukan yang relevan terhadap kitab-kitab fiqih berpengaruh.
[11] Dengan
pengecualian kelompok-kelompok masyarakat Cina dan reformis Hindu Bali. Namun
di sini hubungannya dengan sumber asing sedikit.
[12] Misi
ini disebutkan da1am Sejarah Banten,
Djajadiningrat l9I3: 49-52, 174-8. Judul-judul kitab yang penguasa Banten ingin
menjelaskannya, misalnya Marqum, Muntahi dan Wuju-diyah, tak satu pun bisa diidentifikasi. Djajadiningrat yakin
bahwa judul-judul itu fantasi murni. Namun, kita bisa membaca kitab wujudiyah,
kitab mengenai wahdat al-wujud, yang mana dalam beberapa hal, doktrin ini
sangat berguna untuk legitimasi penguasa sebagai insan kamil, manusia sempurna.
[13] Shattariyah
yang pertama kali dikenal Indonesia pertengahan abad 17 adalah tarekat berasal
dari India, yang tak pernah banyak pengikutnya di Timur Tengah. Lihat Rizvi
1983 dan T. Yazici, Sattariye, Islam Ensiklopedi 11, 355-6. Cabang Qadiriyyah
dan Naqsabandiyah terdahulu di Indonesia juga berafiliasi ke India, bukan Timur
Tengah.
[14] Konsep
emanasi dalam 7 tingkatan (martabat tujuh) -sementara Ibn ‘Arabi lima –
sepengetahuan saya hanya ditemukan- dalam risalah mistik India dan Indonesia.
[15] Perkecualian
langka adalah Studi Roff terhadap mahasiswa Indonesia di Mesir (1970); tapi ini
hanya relevan sedikit terhadap tradisi pesantren karena hampir semua murid
milik lingkungan kultural dan sosial lain.
[16] Menurut
Sejarah Banten, Maulana Hasanuddin, penguasa Banten pertama, membangun pertapa
baru di atas gunung Pinang atas anjuran “ayah”nya, wali Sunan Gunung Jati
(Djajadiningrat 1913: 34).
[17] Tradisi
populer di Cirebon masih bertahan bahwa wali itu sendiri datang ke Jawa dan
berperanan dalam mengislamkan Cirebon. Makamnya bahkan benama Gunung Jati.
Syaikh ‘Abd al-Qadir, tidak hanya di Indonesia diyakini telah mengajar
pengikut-pengikutnya ilmu kekebalan, sebuah ilmu yang sangat diminati banyak
orang Indonesia. Ilmu kekebalan orang-orang Banten, debus, diasosiaikan dengan
‘Abd al-Qadir.
[18] Soebardi
1971, lihat Hadidjaya & Kamajaya 1272.11 dan 49-53.
[19] Karang
disebutkan sebagai salah satu dari tiga gunung di mana Hasanuddin, penguasa
Banten dan pembawa Islam pertama melakukan tapa (Djajadiningrat 1913-38).
[20] Selain
dari pembaiatan Hasanuddin dalam Ilmu Islam oleh dua jin di sebuah petapan yang
ditinggalkan (ibid.: 32).
[21] Al-Salimi
hidup di paruh pertama abad 5 sampai 11. Doktrin pencarian Tamhid-nya memberi perhatian khusus pada pandangan Mu'tazila dan
filsuf. Ia diketahui telah banyak digunakan dalam pendidikan agama di India
selama abad 13 sampai 16 (Mujeeb 1967:406), dan tampak kurang populer di tempat
lain, sejak hampir semua mss. yang disebutkan Brockelmann ada dalam koleksi India
(GALI:419; S I:744),
[22] Karya
ini sekarang cukup populer di nusantara; bahasa Arab asli, begitu pula
terjemahan Melayu, Jawa, Sunda dan Madura-nya masih dicetak secara lokal.
Raniri merujuk beberapa kali pada yang lain (?), sejauh ini tak teridentifikasi
karya yang berjudul mirip, daqa’iq
al-haqa’iq.
[23] Guru
dari Madinah yang disegani, Ibrahim al-Kurani menulis sebuah komentar pada
karya ini, khususnya untuk murid Indonesianya. Komentar ini dibuat untuk
mengoreksi interpretasi yang heterodoks. Sebagaimana Simuh telah menunjukkan
(1982: 295-Wirid Hidayat Jati-nya Ronggowarsito mengungkapkan secara jelas
pengaruh karya ini, yang mungkin telah terkenal di pesantren Tegalsari di mana
dia belajar.
[24] I.e.,
sebuah karya tentang usul al-din
(doktrin), terdiri dari enam bab (masing-masing dibuka dengan “bismillah”).
[25] Di
abad 19, ini biasanya kitab doktrin pertama yang dipelajari (van den Berg 1886:
537). Terjemahan Jawa (tak bertanggal) masih ada dalam manuskrip, dan salah
satunya baru-baru ini diedit dalam transkripsi latin (Jandra 1985-1986).
Asmarakandi Jawa ini juga memuat bagian fiqh Syaifi’i elementer yang
ditambahkan penerjemah tak dikenal (Abu ’l-Layth sendiri adalah seorang
Hanafi). Kitab ini sekarang sangat terkenal melalui sebuah komentar yang ditulis
Nawawi Banten, Qatr al-Ghayth, dan
terjemahan Jawa Ahmad Subki Pekalongan berjudul Fath al-Mughith, yang mana keduanya banyak digunakan.
[26] Empat
kitab standar prestisius lain dari fiqh Sayfi‘i adalah al-Muharrar-nya Rafi’i dan Tuhfat
al-Muhtaj-nya Ibn Hajar Haytami (yang sering lebih terhormat menyebutkannya
dari pada menggunakannya), pendahuluan Sittin
oleh Abu ’l-‘Abbas Ahmad Misri (sekarang jarang dipakai, tapi masih dapat
diperoleh) dan sebuah karya yang identifikasinya tidak memuaskan (Soebardi 1971:
335-6).
[27] Kitab
tasawuf ketiga adalah Hidayat al-Adhkiya’-nya
Zayn ad-Din Malibari, karya sederhana yang masih banyak dipakai bersama
pelbagai komentar dan terjemahannya. Lihat komentar lebih rinci mengenai ini
dan juga karya-karya lain: van Bruinessen 1990.
[28] Namun
dua subyek ini sejak abad 17 telah lenyap dari pendidikan Islam seluruh dunia
Sunni. Hanya di Iran dan sedikit di India jadi bagian penting tradisi
intelektual (lihat Nasr 1987).
[29] Dia
mengutip, misalnya, sejumlah anekdot sufi, beberapa di antaranya dikaitkan
dengan Nahafat al-Un-nya Jami,
sedangkan lain-lainnya harus dipisahkan dari karya-karya lain yang tak
disebutkan atau mendengar dari sejumlah guru-guru. Ada juga kutipan Ibn‘Arabi,
Muhammad Fadlillah Burhanpuri dan sufi wahdat al-wujud lain yang tampaknya
berdasarkan pada bacaan yang benar dari karya-karyanya, dll. Dua kopi yang ia
buat, ad-Durrat al-Fakhira-nya Jami,
yang tampaknya dipelajari di bawah bimbingan Ibrahim al-Kurani di Madinah masih
terpelihara (Heer 1979:13, 15; referensi ini disadarkan perhatian saya oleh
Profesor Anthony Johns).
[30] Karya
bagus Albert Hourani tentang pemikiran Arab modern (1962) menunjukkan bagaimana
pemikiran yang menyimpang dari tradisi masih dipengaruhi olehnya. Ia tak punya
perhatian terhadap pemikir yang tetap dalam tradisi dan tak tertarik dialog
dengan pemikiran Barat.
[31] Ditunjukkan
dengan baik dalam karya penting A1-Azmeh (1986).
[32] Ketegangan
berlangsung dalam sejarah Islam, dari Ahmad bin Hambal terus Ibn Taymiyyah dan
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sampai neo-fundamentalis. Di Indonesia, kaum
modernis yang menyerang ulama tradisional dengan seruan untuk membuka kembali
pintu ijtihad, punya pengaruh besar dalam paruh pertama abad ini. Pada abad 18
di Iran, ia mengambil bentuk pertentangan antara pro dan anti-ulama mutakhir,
yang dikenal sebagai usuli dan akhbari (mirip disiplin intelektual usul al-fiqh
dan akhbun sebuah istilah yang hampir sinonim dengan Hadits). Penelitian yang
baik terhadap konflik ini (yang berakhir dengan kemenangan kaum usuli) terdapat
dalam Mortahedeh 1985.
[33] Beberapa
dimensi tradisi klasik, rasionalisme Mu‘tazili dan filsafat menjadi hanya
dikenal di Indonesia (selain dari penyajian ringkasan dalam Tamhid, lihat note
21) dalam dua dekade lalu melalui kaum Muslim modernis yang belajar di Amerika
Utama, khususnya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Yang terakhir
menerbitkan kumpulan penting kitab-kitab teologi dan filsafat klasik dalam
terjemahan (1984). la Iebih dekat dengan pesantren dari pada generasi modenis sebelumnya.
Sekarang ada mahasiswa-mahasiswa berlatarbelakang pesantren mengerjakan tesis
yang sebelumnya terabaikan dalam arus intelektual Islam.
[34] Pada
madrasah Utsmani dan kurikulumnya: Uzuncarsili 1965; Baltaci 1976; Atay 1983.
Karya-karya ini kaya sumbernya, tapi sedikit ahistoris dalam pendekatannya;
Repp 1972 memberikan laporan lebih sistematis pada pengembangan hierarki
madrasah dan karier keilmuan pada ulama Utsmani. Pada madrasah Mughal (yang
kurikulumnya masih masih terus berkembang dan mencapai bentuk yang sangat
komprehensif, Dars-i Nizami, hanya pada awal abad 18); Mujeeb 1967: 389-414;
Ahmad 1985; Metcalf 1982: 16-45.
[35] Mazhab
Hanafi adalah mazhab resmi di kedua imperium. Fiqh Syafi’i agaknya dipelajari
di hampir semua masjid, di distrik yang penduduknya bermazhab Syafi’i seperti
Kurdistan dan beberapa daerah Mesir. Masjid dan Universitas Azhar yang relatif
independen mungkin merupakan pusat pengajaran mazhab Syafi‘i.
[36] Di
India Mughal, filsafat dan metafisika, dan secara umum ilmu-ilmu rasional lebih
menonjol dalam tradisi intelektual dibandingkan dengan di Utsmani. Dars-i
Nizami bahkan memasukkan sebuah karya Mulla Sadra Shirazi, yang tampaknya belum
dikenal di lain tempat di luar Iran (Mujeeb 1967: 407).
[37] Pada
Ibrahim, lihat Johns 1978 dan artikel “al-Kurani” dari pengarang yang sama
dalam Encyclopedia of Islam (edisi Il); juga Rizvi 1983, passim. Yang menarik
adalah biografi intelektualnya, al-Amam li-Iqaz al-Himam, yang dicetak di India
(Haidarabad di Deccan) pada pertengahan abad ini (1328/ 1910).
[38] Daftar
paling lengkap guru-guru dalam Abdullah 1987 (Da’ud yang merupakan sarjana
paling luas ilmunya di antara tiga tokoh itu). Terhadap lain-lainnya, lihat Abu
Daudi 1980, Zamzam 1979 dan Quzwain 1985. Arshad, terutama belajar Fiqh dan karyanya
sendiri Sabil al-Muhtadin berdasarkan
pada dua kitab klasik besar, Fath al-Mu’in-nya
Malibari dan Manhaj al-Tullab-nya
Ansari; topik utamanya ‘Abd al-Samad adalah sufisme, dan karya-karya utamanya
adalah penyesuaian-penyesuaian Ihya‘Ulum
al-Din dan Bidayat al-Hidayah-nya
Ghazali.
[39] Lihat
Powell 1976. Penolakan Rahmat Allah terhadap Kristen berdasarkan pengertiannya
yang sangat mendalam ketimbang hampir semua polemik lain; dan atas dasar
pengetahuannya terhadap kritik-kritik Injil. Argumentasinya dikumpulkan dalam
beberapa buku dan dia secara meyakinkan mengalahkan Pfander dalam debat umum.
Dia adalah salah satu di antara para penandatangan fatwa yang mengumandangkan
jihad melawan lnggris, 1857 (ibid.:
59-60), dan memimpin gerakan itu di Muzaffarpur, Bihar (Ahmad 1957: 328).
[40] Sekolah
Deoband mengajarkan secara mendasar dars-i
nizami (...). Namun orang-orang Deoband justru lebih menekankah Hadits,
kebalikan dari studi-studi rasional yang merupakan dasar dari pengajaran
populernya (...). Guru yang paling berpengaruh di sekolah itu adalah syaikhu ’l-Hadits; dan murid-murid yang
baik tertarik untuk belajar subyek itu. (Metcalf 1982: 100-1).
[41] Ini
jelas dari biografi-biografi para ulama dalam ‘Abd al-Jabbar 1385.
[42] Sekolah
itu terdapat dalam biografi-biografi ulama yang belajar di Makkah tahun 1920
dan 1930. Biografi murid-murid terdahulu yang ada tidak lengkap sejak ada
orang-orang Indonesia di Sawlatiyya.
[43] Konflik
(Aboebakar 1957: 88-90) muncul karena salah seorang guru merobek surat kabar
berbahasa Indonesia yang sedang dibaca para murid; bacaan lain selain teksbook
berbahasa Arab dilarang di sekolah. Seorang partisipan (syaikh Yasin al-Padani,
yang sekarang jadi rektor Dar al-‘Ulm, diinterview 6-3-1988) menambahkan bahwa
guru itu mencaci aspirasi kaum nasionalis Indonesia dengan mengatakan bahwa
orang-orang bodoh seperti itu tak akan pernah bisa meraih kemerdekaan. (sikap
radikal yang diturunkan pendirinya, menyebabkan guru-guru Saulatiyyah mungkin
telah mencemooh keinginan orang-orang Indonesia yang kurang berani berhadapan
dengan penjajah Belanda). Dugaan lain yang menimbulkan konflik adalah karena
orang Indonesia ingin bicara dengan bahasa Indonesia, dari pada bahasa Arab,
kepada guru-gurunya.
[44] Dar
al-‘Ulum di Cairo didirikan tahun 1872 sebagai sekolah latihan guru yang murid- muridnya
diambil dari Al-Azhar. Kurikulumnya meliputi ilmu-ilmu Islam dan juga ilmu-ilmu
modern Barat. Salah seorang gurunya adalah Muhammad ‘Abduh (Heyworth-Dunne
1938: 377-9).
[45] Snouck
Hurgronje yang sangat membenci Ahmad Khatib menyatakan bahwa ia mendapatkan
posisi-posisi ini tidak karena pengetahuannya, tapi karena mertuanya, pedagang
buku dan lintah darat Salih al-Kurdi campur tangan untuk menantunya beserta
Sharif ‘Awn yang berhutang budi kepadanya (Adviezen
Ill, 1846, 1853, 1914, 1928). Namun Snouck harus mengakui bahwa Ahmad Khatib
adalah orang yang sangat terpelajar untuk ukuran Melayu (ibid., 1846).
[46] Ini
karya usul al-fiqh yang dikatakan,
al-Nafahat ‘ala Sharh al-Waraqat, dan sebuah karya pendek berbahasa Melayu
mengenai doktrin, Fath al-Mubin. Dia menulis lebih banyak lagi ('Abd al-Jabbar
3851 37-44 mencatat tak kurang dari 46 karya), namun hanya dua inilah yang
masih ada di Indonesia.
[47] Mawhaba
Dhawi ‘l-Fadl adalah sebuah sharh pada al-Muqaddimat
al-Hadramiyyah-nya ‘Abdallah Ba-Fadl, dikenal sebagai “Bapadal” di
pesantren. Ia dicetak di Mesir, 1315/1897-8, tapi tak ditemukan lagi. Karyanya
yang masih ada hanyalah sebuah kitab yang sulit tentang tata bahasa Arab, Minhaj dhawi ’n-Nazar (komentar terhadap
Alfiyyah-nya Ibn Malik). ‘Abd
al-Iabar mencatat 12 karya lain.
[48] Syaikh
Yasin waktu muda belajar di Saulatiyyah, yang ia tinggalkan bersama orang-orang
Indonesia lain, untuk Dar al-‘Ulum yang mana akhirnya dia menjadi guru paling
terkemuka. Dalam otobiografi intelektualnya (al-Padani 1402), dia mencatat guru
dan kitabnya yang dia sendiri berwenang mengajarnya, Tentang Sayyid Muhammad
bin ‘Alwi lihat Tempo 2-1- 1988, tentang kakeknya ‘Abbas al-Maliki, ‘Abd
al-Jabbar l385:l63-5. Saya dengar bahwa Muhammad bin ‘Alwi tidak lagi diijinkan
mengajar di Maasjid al-Haram karena dukungan terbukanya, dan instruksinya dalam
pelbagai orde Sufi, termasuk Tijaniyyah dan Naqsabandiyyah.
[49] Al-Azhar
sering, tidak benar, menganggap sebagai sebuah persinggahan modernisme Islam
(terutama karena ‘Abduh pernah diasosiasikan dengannya). Orang-orang Indonesia
yang belajar di sana sekarang hampir semuanya selalu berlatarbelakang
“tradisional,” dan bahkan di antaranya saya telah mendengar keluhan tentang
metode pendidikannya yang usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar