Minggu, 26 Oktober 2014

PERGUMULAN PEMIKIRAN DAN AGENDA MASA DEPAN ISLAMISASI ANTROPOLOGI



PERGUMULAN PEMIKIRAN DAN AGENDA MASA DEPAN
ISLAMISASI ANTROPOLOGI

Oleh M. Sirozi

Muhammad Sirozi, yang lahir 16 September 1962 di Curep, Sumatera Selatan, adalah staf pengajar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Patah, Palembang. Aktivis mahasiswa, di antaranya sebagai ketua Badko HMI Sumbagsel ini, menyelesaikan pendidikannya di tempat sekarang mengajar, dan melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London (Inggris), dan memperoleh Master of Art (MA) di bidang Antropologi Sosial, dengan tesis di sekitar Diskursus Islamisasi Antropologi (1991). Banyak menulis di sejumlah jurnal ilmiah, dan sedang mempersiapkan untuk program S-3, di universitas yang sama.

Dalam dua dekade terakhir, tumbuh di kalangan antropolog Muslim yang umumnya aktif di universitas-universitas Barat, suatu diskursus tentang “Islamisasi Antropologi,” yang  Berawal dari pandangan yang menganggap “antropologi Barat” tidak mampu memahami sistem kebudayaan masyarakat non-Barat, termasuk umat Islam. Ini berakar dari tidak memadainya basis teoritis dan bias perspektif yang inheren dalam antropologi Barat. Sejumlah antropolog Muslim kemudian mencari alternatifnya sampai pada tingkat kemungkinan adanya “antropologi Islam”. Tulisan ini merekam diskursus di sekitar masalah tersebut, dan kemudian mencoba melihat kemungkinannya di masa depan.
Salah satu item dalam rencana kerja Islamisasi ilmu-ilmu sosial[1]) yang dikemukakan oleh Ismail al-Faruqi[2]) adalah menguasai disiplin ilmu pengetahuan modern, lalu menanamkan perspektif Islam ke dalamnya.[3]) Sebagai konsekuensi logis dari sentralnya konsep tentang manusia dalam Islam,[4]) maka bersama disiplin ekonomi[5]) dan politik,[6]) antropologi[7]) menjadi wilayah penting dalam kerja-kerja Islamisasi ilmu-ilmu sosial.

Dalam “Pengantar” untuk buku yang ditulis oleh Akbar S. Ahmed, Toward an Islamic Anthropology: Definition, Dogma and Directions, Ismail al-Faruqi, perancang rencana kerja (workplan) Islamisasi ilmu-ilmu sosial menegaskan sebagai berikut:

“Arah yang positif untuk memperbaiki antropologi harus diturunkan dari visi Islam. Visi ini ditentukan oleh keesaan dan transendensi Tuhan, rasio, kehidupan dan kebajikan etik sebagai raison d’etre humanitas… Antropologi…sekali lagi harus mempelajari kebenaran yang jelas namun asli dari semua pengetahuan yang juga merupakan kebenaran pertama dari Islam, yakni, kebenaran adalah satu, seperti halnya Tuhan dan kemanusiaan.”[8])
Sangat jelas bahwa al-Faruqi menghendaki adanya koreksi terhadap pola kerja, konsepsi dan metodologi antropologi modern dan ingin mengembangkan suatu disiplin antropologi yang dilandasi oleh sistem nilai Islam. Dengan kata lain, diperlukan suatu konstruksi antropologi yang padat dengan etos keislaman, terutama keesaan dan transendensi Tuhan, rasio, universalisme, komunitarisme dan moralitas Islam.
Antropologi telah dipandang oleh para aktivis Islamisasi ilmu-ilmu sosial sebagai disiplin yang paling strategis dan paling krusial untuk direkayasa. Dipandang strategis karena disiplin ini telah memainkan peranan penting dalam jaringan aktivitas akademik internasional. Dipandang krusial karena disiplin ini berkembang dengan karakteristik yang jauh dari pandangan dunia (world-view) Islam, didominasi oleh pandangan Barat sekuler imperialistik yang seringkali bias, terutama bila diaplikasikan dalam masyarakat Islam.[9])
Seperti dicontohkan oleh seorang antropolog Muslim asal Pakistan, Akbar S. Ahmad, dan seorang antropolog dari Universitas California, William C. Young, bahwa antropologi Eropa-Amerika ternyata tidak mampu menjelaskan fenomena perubahan sosio-kultural, dipadati oleh warisan intelektualisme kolonial dan dilanda bias etnosentrisme dan orientalisme, sehingga sering melahirkan deskripsi yang tidak utuh tentang masyarakat non-Eropa. Ada sesuatu yang tidak lengkap bila seorang antropolog modern mendeskripsikan masyarakat yang ditelitinya (Muslim atau bukan). Mereka sering luput dari konsep kebenaran atau pandangan hidup tertentu. Misalnya, deskripsi yang dibuat oleh Barth tentang etiket Suku Baluch[10]) sebagai “hipokrit” dan mengatakan bahwa keakraban dalam kehidupan sehari-hari mereka penuh dengan “tipu-daya” dan “kecurigaan”. Ini jelas bias. Barth gagal memahami dilema yang dihadapi oleh suku Baluch. Sebab tipu-daya dan kecurigaan bisa terjadi pada semua orang bila mereka dalam keadaan tertekan. Bila kondisi kehidupan mereka membaik, tentu saja suku Baluch akan memperjuangkan dan mempertahankan “idealitas” komunitas mereka -keramahtamahan dan persaudaraan. Barth tidak memperhitungkan dinamika ini, maka pandangannya tersebut jelas sepihak dan bias.[11])
Masih banyak contoh serupa yang bisa kita temukan, tapi hal itu bukanlah fokus tulisan ini. Kita akan memusatkan diskusi kita pada ide-ide dan perdebatan yang terjadi dalam perkembangan diskursus antropologi Islam dengan mengacu pada ide-ide yang dikemukakan oleh para antropolog Muslim atau aktivis Islamisasi ilmu-ilmu sosial berikut: Pertama, Akbar S. Ahmed. Ia seorang antropolog kelahiran Pukhtuhn, Pakistan; mendapat pendidikan di Universitas London, Cambridge dan Birmingham, dan saat ini memusatkan aktivitasnya di Universitas Cambridge. Beberapa publikasinya yang terkait dengan fokus tulisan ini antara lain adalah Towards an Islamic Antropologi: Definition, Dogma and Directions (1986), “Toward Islamic Antropologi: Problems in the Perception of Religions and Cultural Systems” (1986), dan Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society (1988). Kedua. Saibo Mohammed Mauroof. Ia lahir di Sri Lanka; profesor antropologi di Cheyney State College, Pensylvinia; tulisannya berjudul “Elements for Islamic Anthropology” (1981). Ketiga, Merryl Wyn Davies, seorang Muslimah asal Inggris; mendapat pendidikan antropologi di University College London (UCL) dengan publikasinya: “Towards an Islamic Alternative to Western Anthropology” (1985); Re-designing a Discipline (1986), dan Knowing One Another: Shaping an Islamic Anthropology (1988).
Tanpa bermaksud mengucilkan penulis-penulis lain yang terlibat dalam perdebatan antropologi Islam, tulisan ini akan terfokus pada tawar-tawaran yang diberikan oleh tiga figur di atas. Pilihan ini diambil sekedar untuk mengemukakan jenis persepsi yang berkembang dalam arah perkembangan diskursus antropologi Islam.

Dua Arah
Bila tawaran-tawaran tiga penulis di alas kita telusuri, akan kita temukan dua arah perspektif yang sangat paradoksal. Walaupun terdapat beberapa kemenduaan dan inkonsistensi dalam argumentasinya, Ahmed cenderung memandang bahwa gagasan tentang “antropologi Islam” adalah koreksi teoritis terhadap antropologi Barat. Tetapi di pihak lain Davies yang didukung oleh Mauroof, menegaskan bahwa antropologi Islam adalah “alternatif radikal” bagi antropologi Barat.[12]) Perdebatan antara dua posisi ini cenderung terpusat pada pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan dengan label “Islamic” dalam kerangka kerja antropologi, atau apa yang membuat antropologi menjadi Isla.
Bagi Davies, antropologi Islam adalah suatu disiplin universal yang dapat diterapkan untuk semua masyarakat manusia. Ditegaskannya,
“Antropologi Islam mencurahkan perhatiannya pada studi tentang umat manusia secara keseluruhan, yakni jajaran unit-unit formasi komunitas rakyat, masyarakat, bangsa, suku, kebudayaan, atau komunitas multi-sosial dan multikultural.”[13])
Sebaliknya, Ahmed memandang antropologi Islam hanya sebagai pelengkap bagi kekurangan antropologi Barat dalam studi-studi tentang masyarakat Islam.
Menurutnya, antropologi Islam adalah
“… studi mengenai kelompok-kelompok Muslim oleh sarjana-sarjana yang berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip universal Islam -kemanusiaan, pengetahuan, toleransi- yang menghubungkan studi-studi mikro mengenai suku-suku pedalaman khususnya dengan kerangka Islam historis dan ideologis yang bersifat makro …. Dengan demikian batasannya tidak mendahului yang non-Muslim.”[14])
Ahmed menambahkan bahwa metodologi yang dikembangkan dalam antropologi Islam berlaku dan absah digunakan untuk studi sistem agama dunia lainnya, dan sistem kultural Dunia Ketiga umumnya. Seorang antropolog harus melepaskan diri, budaya, dan alamnya, untuk kemudian menuju posisi dimana ia mampu berbicara pada dan memahami orang sekitarnya dalam pandangan kemanusiaannya yang khas, tanpa membedakan warna kulit, kasta atau keimanan.[15]
Puncak perbedaan antara Ahmed dan Davis terletak pada masalah “eksistensi” antropologi Islam, “kaidah-kaidah” (term of reference) dan paradigmanya. Ahmed memandang antropologi sebagai “tambahan” dan tetap melihat relevansi antara beberapa konsepsi antropologi modern dengan konsepsi Islam tentang manusia. Sebagaimana ia katakana,
“Ide di belakang antropologi Islam, dengan demikian, tidak mengecilkan antropologi Barat dan apa yang telah dicapainya, atau membatalkannya, tapi menciptakan tubuh pengetahuan tambahan yang didasarkan pada informasi ilmiah dan tidak bias yang menambah pemahaman kita.”[16])
Tapi, bagi Davies[17]), gagasan tentang antropologi Islam adalah program “khas” dan memandang bahwa paradigma antropologi modern bertentangan secara total dengan konsepsi Islam tentang manusia, sehingga tidak mampu memahami dinamika internal masyarakat Islam. Islamisasi di sini adalah program radikal untuk mewujudkan suatu pola kerja Islami yang “asli” (genuine); antropologi Islam harus memiliki “kaidah-kaidah” (term of reference) tersendiri dan diarahkan untuk memahami fenomena masyarakat dengan premis dan orientasi Islam. Pandangan ini didukung oleh Mauroof[18]) yang menilai bahwa seorang antropolog Muslim yang terus berpikir, menulis dan mengajar dengan pola kerja Barat adalah melakukan prostitusi terhadap pikirannya dan menghancurkan tradisinya.
Pada tingkat ini, Ahmed dan Davies dihadapkan pada pertanyaan, apakah merekonstruksi pola kerja antropologi modern agar sesuai dengan konsepsi Islam tentang manusia, lalu mengembangkan suatu disiplin antropologi yang “khas,” atau hanya sekedar mewarnai pola kerja antropologi modern dengan konsepsi Islam tentang manusia, lalu cukuplah sekedar menekankan bahwa penting adanya studi-studi antropologi yang obyektif tentang masyarakat Muslim?
Ahmed[19]) mengambil posisi kedua; menganjurkan agar para antropolog Muslim lebih memperhatikan segi-segi antropologi ketimbang Islam dan menilai para antropolog Muslim yang tidak melakukan hal ini sebagai terlalu terfokus pada Islam tetapi terlalu sedikit pada antropologi. Inilah yang oleh banyak kritikus disebut sebagai sikap pragmatis.
Dengan menyanjung karya para antropologi modern -Ernest Gellner (Universitas Cambridge), Geertz (Universitas Princeton), March Gaborieau (Universitas Paris) dan Mitsuo Nakamura (Universitas Tokyo)- sebagai karya-karya kontributif bagi upaya pengembangan antropologi Islam, Ahmed berpendapat bahwa label Islam saja tidaklah cukup untuk menghasilkan antropologi atau antropologi yang baik. Menurutnya, “Teori Ayunan Pendulum” (Pendulum Swing Theory) yang dikemukakan Gellner dalam studinya mengenai umat Islam Maroko, dan klasifikasi “Priyayi,” “Abangan,” dan “Santri” yang dibuat Geertz dari studinya tentang Islam Jawa, adalah karya-karya antropologi modern yang memiliki arti penting bagi studi tentang masyarakat Islam.[20]) Ahmed sangat percaya bahwa satu-satunya cara untuk membangun antropologi Islam adalah melalui kerja sama dengan antropologi mana pun.[21])
Agama termasuk Islam, menurut Ahmed, haruslah dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana dilakukan oleh Weber,[22]) Durkheim,[23]) Evan Pritchard,[24]) dan Freud.[25]) Ide-ide keagamaan para pemikir modern inilah yang banyak diadopsinya secara tidak kritis. Tapi, ia cenderung mendua dalam gagasannya. Misalnya, ia menulis bahwa antropologi Islam harus memiliki lahan tersendiri dan bersifat korektif terhadap bias-etnik yang melanda sebagian besar karya antropologi Barat modern.[26]) Bila pandangannya ini benar-benar teraplikasi dalam tulisan-tulisannya tentang antropologi Islam, tidak akan banyak perbedaan antara gagasan Ahmed dengan para aktivitas antropologi Islam radikal seperti Talal Asad,[27]) Davies[28]) dan Mauroof[29]). Ketiganya berpendapat bahwa metodologi dan konsep antropologi modern tentang manusia, pikiran dan sains semuanya didasari epistemologi, sistem filsafat dan ideologi non-Islam. Demikian juga materi, metode, dan terminologi yang digunakan, sebagian besar hanyalah untuk memenuhi kepentingan kolonialisme. Talal Asad menegaskan bahwa interpretasi antropologi modern tentang Islam hanya dapat dimengerti melalui konsep-konsep tentang kekuasaan dan otoritas yang mengitarinya. Antropologi modern telah menginterpretasikan Islam dengan kacamata Barat, sehingga tidak mampu menjelaskan Islam secara tepat.
Formulasi antropologi Islam yang dibuat oleh Ahmed sangat tidak relevan dengan sikap kritis terhadap antropologi Barat modern yang ia canangkan. Definisi yang ia berikan sangat mendua dan pola kerja Durkheim, Geertz dan Gellner yang diadopsinya, telah banyak dikritik, justru oleh para penulis Barat sendiri. Jadi jelas bahwa antropologi Islam yang ditawarkan Ahmed adalah antropologi “tambal sulam”.
Berbeda dengan Ahmed, Davies[30]) memandang antropologi Islam sebagai program konseptual yang bersifat total untuk mempertanyakan manfaat disiplin antroplogi bagi masyarakat Muslim. Tata nilai dan tradisi intelektual yang berkembang melalui pengalaman Eropa-Amerika dipandang tidak relevan dengan pengalaman intelektual, moral, sosio-politik dan kultural Islam. Ahmed[31] secara eksplisit mengadopsi konsepsi other culture[32] dari antropologi modern dan mendefinisikan bahwa tugas utama seorang antropolog adalah untuk memahami diri mereka sendiri melalui pemahaman tentang kultur lain. Sebaliknya, Davies,[33]) menilai bahwa konsepsi other culture hanya dapat dipakai dalam kategori dan term of reference ilmiah Barat; tidak ada artinya dalam konsepsi Islam tentang manusia.
Bagi Davies,[34]) pemikiran Islam harus didasarkan pada konsepsi Islam dan bertujuan menyelesaikan problem dan mengembangkan potensi individual dan komunal melalui cara yang tepat dalam memahami pola hidup mereka. Sementara Ahmed cenderung mengadopsi pola dan terminologi Barat, Davies[35]) menilai semua itu sebagai tidak relevan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan mengajak para antropolog Muslim untuk mengembangkan pola berpikir Islami dengan terminologi dan metodologi yang Islami pula.
Walaupun keduanya memandang perlu adanya dialog antara antropolog Muslim dan non-Muslim, namun mereka berbeda tentang tujuan dialog tersebut. Bagi Ahmed, dialog tersebut adalah bagian tak terpisahkan dalam proses membangun pola Islami, tetapi Davies[36]) berpendapat bahwa dialog tersebut hanya bisa dilakukan bila antropolog Muslim telah memiliki ide-ide dan perangkat metodologi yang mapan.

Jejak al-Biruni dan Ibn Khaldun
Untuk memberikan adanya hubungan dialektik antara tradisi dalam ilmu-ilmu sosial Barat modern dengan tradisi ilmu sosial Islam, khususnya antropologi Islam yang ditawarkannya, Ahmad[37]) mendasarkan sebagian argumentasinya pada gagasan-gagasan al-Biruni (973-1048) dan Ibn Khaldun(1332-1406). Dua pemikir abad Pertengahan ini diklaimnya berturut-turut sebagai bapak antropologi dan sosiologi, yang telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan antropologi modern.
Al-Biruni dikatakan sebagai antropolog pertama dan seorang jenius yang menguasai berbagai bidang ilmu: sains, matematika, dan sejarah. Karya al-Biruni yang berjudul Kitab al-Hind (“Buku tentang India”) yang aslinya berjudul Tahqiq ma al-Hind, yang merupakan hasil studi tentang India, dinilai sebagai masterpiece dalam studi antropo- logi. Melalui karya ini al-Biruni memulai metode “peneliti diam, masyarakat pribumi yang bicara” (silent author but speaking native”) untuk menggambarkan peradaban India berdasarkan pandangan masyarakat Hindu itu sendiri, bukan pandangan peneliti. Bagi al-Biruni, seorang peneliti harus menghindari penilaian normatif tentang adat istiadat dan kultur orang lain dan memahaminya tanpa harus mengkritik.
Al-Biruni adalah seorang Muslim yang saleh, demikian tulis Ahmed. Ia selalu memperkuat setiap analisanya dengan ayat-ayat al-Quran dan percaya bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu dan semua manusia. Pendekatan yang dilakukannya sangat fundamental dalam diskursus teori dan metodologi ilmu-ilmu sosial. Al-Biruni adalah antropolog pertama yang melakukan studi kebudayaan dengan pendekatan keislaman. Ia seribu tahun lebih awal dari ahli Eropa tentang India seperti Louis Dumont dan Andrian Mayer dalam melakukan studi tentang dinamika kasta Hindu dan perkawinan di India.[38]) Apakah Ahmed benar-benar mengikuti al-Biruni, mengartikulasikan konsep-konsepnya, ini belum terlihat dalam formulasi antropolgi Islam yang ditawarkannya.
Ibn Khaldun juga mendapat tempat yang sangat penting dalam karya-karya antropologi Ahmed. La setuju dengan Arnold Toynbee yang memandang bahwa karya Ibn Khaldun, Kitab al-Ibar atau Sejarah Dunia adalah karya terbesar dari jenisnya yang pernah diciptakan oleh pikiran siapapun di sepanjang zaman dan seantero jagat[39] Demikian juga halnya dengan Muqaddima yang oleh Ahmed dinilai sebagai fondasi disiplin sosiologi modern, karena merupakan karya pertama tentang ilm al-Umran, ilmu tentang masyarakat, dengan mana Ibn Khaldun menganalisa perbedaan antara masyarakat Islam abad ke-10 dan masyarakat Islam eranya, abad ke-l4. Kerja-kerja sosiologi Ibn Khaldun dapat diabstraksikan dalam satu pola: “prestasi bertahan dalam keadaan terbaik selama empat generasi dalam satu garis keturunan” (prestige lasts at best four generations in one lineage”), dan ke dalam satu pertanyaan: “apa yang mengikat masyarakat menyatu?” (What keeps society together?” Menurut Ahmed[40]) inilah teori kohesi sosial pertama yang telah banyak mewarnai karya-karya antropologi modern: Konsepsi Karl Marx tentang fase-fase sejarah manusia sebagai sumber dinamika konflik dialektis antara berbagai kelompok; gagasan Max Weber tentang tipologi otoritas legal; konsepsi Vilfredo Pareto tentang sirkulasi elite; gagasan Ernest Gellner tentang teori “ayunan pendulum” Islam. Pertanyaan yang sama: Apakah Ahmed mengikuti Ibn Khaldun? Apa konsepsi tentang ilm al-Umran, ilmu tentang masyarakat, yang dikemukakannya? Satu-satunya yang bisa kita pahami dari ide-ide antropologi Ahmed adalah suatu perpaduan dari elemen-elemen karya Marx Weber,[41]) Pareto dan Gellner.
Berbeda dengan Ahmed, Davies menolak, baik karya al-Biruni maupun karya Ibn Khaldun sebagai karya Islami, dan meragukan kontribusi keduanya dalam perkembangan ilmu sosial Barat modern. Davies menilai gagasan sosiologis Ibn Khaldun yang bersifat value free,[42] tidak cukup Islam. Ia katakan,
“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ide-ide, atau pendekatan-pendekatan lbn Khaldun untuk studi umat manusia memberikan sumbangan dalam formasi teori apakah antropologi ataupun sosiologi Barat.   Jika Ibn Khaldun menemukan “sosiologi,” tidak mungkin sosiologi Barat.”[43])
Davies menyimpulkan bahwa memandang al-Biruni dan Ibn Khaldun masing-masing sebagai penemu antropologi dan sosiologi hanyalah “praduga”. Para sarjana Muslim yang secara membabi-buta menilai karya Ibn Khaldun sebagai karya Islami, adalah sarjana yang tidak memiliki kesungguhan dalam program Islamisasi; mengalami krisis konseptual, ideal dan maknawi.[44])  Kritik seperti inilah yang telah banyak diberikan terhadap formulasi antropologi Islam yang ditawarkan oleh Ahmed.[45])
Terlepas dari berbagai kemenduaan dan inkosistensi ide-ide yang dikemukakannya, analisa Ahmed tentang karya-karya Ibn Khaldun dan al-Biruni, mengisyaratkan dua hal penting bagi para ilmuwan sosial Muslim, khususnya dalam mengembangkan diskursus antropologi Islam. Pertama, tidak ada kendala rasial, geografis dan religius bagi seorang antropolog untuk mempelajari masyarakat mana pun. Kedua upaya mencari pemahaman sosiologis atau empiris tentang fenomena sosial tidaklah mesti terpisah dari asumsi teologis, dan begitu juga sebaliknya, studi teologis membutuhkan refleksi sosiologis.
Meski pun dua hal di atas tidak terimplementasi dengan baik dalam formulasi Ahmed, al-Biruni dan Ibn Khaldun adalah dua sosok penting yang perlu dipelajari sepak terjang keilmuan mereka oleh para ilmuwan sosial kontemporer. Semangat, dedikasi dan keterbukaan mereka dalam melakukan studi tentang berbagai corak kultur, adalah sikap dasar yang telah mengantarkan mereka pada suatu karya dan reputasi yang tak tertandingi hingga hari ini.
Terinspirasi oleh analisa al-Biruni tentang Kasta India, Ahmed[46]) menyusun apa yang ia sebut sebagai “anatomi masyarakat Islam,” yang bersendi lima: sendi pertama, adalah “model primordial” yang sangat kontras dengan sendi kedua, yaitu “model Ottoman” atau “model cantonment”; sendi ketiga disebutnya “peradaban Islam tepian sungai besar,” meliputi sungai Hindustan, sungai Tigris dan sungai Nil dengan masyarakat dan dinasti yang kuat dan birokratis; sendi keempat adalah “model koloni Barat”; dan sendi kelima adalah “model re-emergent,” yaitu masyarakat Islam kontemporer. Inilah taksonomi yang menurut Ahmed, mengharuskan adanya kesadaran akan keberagamaan dengan satu landasan, universalisme Islam. Dengan kata lain, banyak masyarakat Islam, tetapi hanya satu Islam. Sayangnya, prinsip ini juga tidak terlihat dalam tulisan-tulisan Ahmed tentang antropologi Islam dalam tulisan-tulisannya seperti “tribal segmentary Islam,”[47]) “Indian Islam” dan “South Asian Islam”.[48]
Ahmed menawarkan taksonomi di atas sebagai basis teori dan metodologi bagi pengembangan antropologi Islam melalui program-program sebagai berikut: mempersiapkan suatu studi sosiologis tentang kehidupan Nabi, mempersiapkan suatu teks antropologi untuk jenjang BA, mempersiapkan monograp masyarakat Islam di wilayah-wilayah utama, melakukan tour ke negara-negara Muslim untuk mengembangkan proyek bersama dan mengembangkan suatu proyek jangka panjang tentang perbandingan antara berbagai kategori sosial yang ada (petani, suku dan kota) dalam rangka menyusun kerangka studi sosial dan membuat extract karya-karya antropolog Muslim.
Bila kita ikuti definisi dan rekomendasi yang dikemukakan oleh Ahmed di atas, jelaslah bahwa apa yang dimaksudkannya dengan antropologi Islam hanyalah suatu duplikasi antropologi modern. Tidak ada indikasi bahwa formulasi yang ia tawarkan bersifat korektif terhadap pola kerja antropologi modern; definisi, tujuan dan ruang lingkup antropologi Islam yang diformulasikannya, miskin dengan karakteristik Islami; tidak ada konsepsi dan metodologi Islami yang ditawarkannya. Mauroof[49]) menilai, formulasi antropologi Islam yang ditawarkan Ahmed, sangat jauh dari kerangka pikir, metodologi dan sejarah Islam. Ia tambahkan, Ahmed adalah seorang intelektual yang bingung; berada antara dua dunia, yang satu mati, yang lainnya tidak memiliki daya untuk tumbuh. Ironisnya Ahmed sendiri melakukan kritik dengan nada yang serupa terhadap para penulis Muslim lain.[50] Menurut Mauroof, yang harus dilakukan oleh seorang antropolog Muslim adalah mengembangkan pemikiran antropologi yang didasari visi Islam tentang manusia dan Tuhan serta mempelajari hubungan timbal balik antara keduanya. Bagi Mauroof, merekomendasi suatu studi sosiologis tentang kehidupan Nabi hanya akan mengulangi kekeliruan yang dibuat oleh para sosiolog modern yang telah banyak dikritik; tidak mampu memahami fenomena perubahan sosial dan perilaku keislaman dalam tingkat apa pun, kecuali aspek-aspek empirik yang berkenaan dengan perkawinan, suku, kasta, ras, bangsa dan kerajaan Islam. Bila tidak ditopang oleh perangkat metodologi yang Islami, studi sosiologis tentang kehidupan nabi akan lebih jelek dari “meletakkan kuda di belakang kereta” (putting the horse behind the cart). Dalam konteks inilah Ahmed bingung antara dua dunia, mendua dan inkonsisten.

Formula Khas?
Pada bagian ini kita beralih dari kemenduaan dan inkosistensi formulasi yang ditawarkan oleh Ahmed ke formula “khas,” distinctive, yang ditawarkan oleh Merryl Wyn Davies dalam bukunya Knowing One Another: Shaping Islamic Anthropology. Buku ini menyajikan apa yang oleh banyak komentator disebut sebagai basis radikal konsepsi antropologi Islam. Dengan menghadapkan dua perspektif yang sangat paradoksal (kemenduaan Ahmed dan radikalisme Davies), kita sedikitnya akan menemukan apa sebenarnya kesulitan dan tantangan utama dalam mengembangkan antropologi Islam.
Di antara para antropolog Muslim yang terlibat dalam perdebatan tentang antropologi Islam, Davies tergolong yang paling muda, memiliki pengalaman lapangan terbatas memiliki pengetahuan al-Qur’an yang cukup luas. Bagi Davies, paradigma empirik antropologi modern bertentangan secara radikal dengan Islam. karena secara total antropologi modern adalah milik Barat, tumbuh dan berkembang dalam peradaban Barat, sehingga tidak dapat diadopsi atau diadaptasikan ke dalam paradigma Islam. Prinsip dasar pengembangan antropologi Islam menurut Davies adalah “mengembangkan studi tentang masyarakat manusia dari premis dan sesuai dengan orientasi konsepsi Islam”.[51] Davis mendefinisikan,
“… antropologi adalah akumulasi informasi, teori, dan teknik studi yang berhubungan dengan praktek-praktek dan ide-ide umat manusia yang beragam dalam masyarakat. Ia merupakan konstruk mental yang bergantung pada sistem pengetahuan antropolog yang telah mengikuti studi mereka dalam bidang yang partikular ini.”[52])
Sangat jelas bahwa definisi di atas sangat menekankan adanya sifat “sarat nilai” (value-laden) dalam kerja-kerja antropologi; nilai dan sistem moral yang mengitari seorang antropolog sangat berpengaruh pada carabagaimana ia berhubungan dengan orang-orang yang sedang dipelajarinya dan bagaimana ia menginterpretasikan atau mengeksplanasikan mereka. Dapatlah dikatakan bahwa “satu-satunya yang netral dalam antropologi adalah perkataan itu sendiri”.
Dalam pandangan Davies,[53] ilm al-Umran,[54] “ilmu tentang masyarakat,” dalam perspektif Islam, adalah suatu pandangan dunia (world-view) bahwa manusia adalah sentralitas pribadi bermoral (moral person), dan eksposisi din. Selama visi tentang moral Islam diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologi Islam harus mulai dengan meneliti originalitas dan logika konsep-konsep al-Qur’an, sejarah penafsirannya, dan konteks kekiniannya.
Berikut ini adalah seperangkat terminologi al-Qur’an yang ditransfer oleh Davies untuk memahami segi-segi kontekstual dari eksistensi sosial Islam;
Fitrah, sifat dasar manusia; din, jalan agama sebagai pandangan dunia menyeluruh; adl, yakni keadilan, kesamaan; adab, yakni kebudayaan dan keseimbangan; fard, yakni kewajiban; nafs, yakni jiwa individu; halam (sic.), yakni manfaat; haram yakni merusak; akhirat, yakni hari akhir; ibadah; zulm, yakni ketidakadilan.[55])
Menurut Davies, konsepsi dan nilai-nilai Islam dalam terminologi di atas memuat eternal validity, yaitu basis etika dan moral bagi konstruksi sistem berpikir dan berperilaku Islam yang hanya dapat dipahami melalui konsep fitrah, khilafah, dan din. Melaui konsep ini, seorang antropolog akan dapat menjembatani makna teologis keberadaan manusia dengan konteks sosialnya melalui integrasi aspek biologis dengan aspek spiritual, aspek material dengan aspek moral, aspek individual dengan aspek kolektif, aspek kolektif dengan aspek supernatural.[56]) Inilah yang dikatakan oleh Davies[57]) sebagai “antropologi yang didasarkan pada pribadi bermoral” (moral person based anthropology), yang bertujuan mempelajari consonance, yaitu suatu kondisi “yang sesuai dengan” (being agreement with), “yang konsisten dengan” (being consistent to), “yang membuat rukun” (making concord), dan harmoni. Menurutnya, antropologi ini bertujuan untuk memahami seluk-beluk, kondisi, arti dan implikasi consonance dalam komunitas manusia. Perhatian dipusatkan pada hubungan sosial komunitas manusia dalam keragaman kultural masa lalu dan masa kini,[58]) dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip,[59]) yang mengatur, mengorganisir dan memberi makna bagi perilaku manusia, keberagaman bentuk dan institusinya.
Dengan landasan konsepsional dan metodologis di atas maka Davies mensintesa bahwa antropologi Islam adalah ilmu pengetahuan explicatory, bukan descriptive, yaitu pendekatan holistik untuk memahami bagaimana consonance beroperasi, bagaimana prilaku kemanusiaan empirik dalam keragaman komunitas yang ada, bagaimana hal itu didemonstrasikan, dan dalam kondisi yang bagaimana hal itu bisa beroperasi. Ini berarti bahwa suatu komunitas tidak bisa dipandang sebagai batas suatu sistem; antropologi Islam tidak bermaksud memahami bagaimana komunitas berkembang melalui usaha manusia dalam lingkungan fisik tertentu, tetapi bagaimana bentuk dan proses operasional suatu komunitas menyatu menuju tercapainya tujuan moral yang berlaku umum bagi semua manusia.[60])
Dengan formulasi di atas, Davies hendak mengatakan bahwa yang ia tawarkan adalah antropologi Qur’ani. Antropologi Islam, tulisnya, adalah perpaduan rasionalisme-relativisme berdasarkan prinsip-prinsip universal Islam. Rasionalisme dalam konotasi ini adalah kesadaran tentang prinsip-prinsip universal yang berlaku dalam semua komunitas, dan relativisme adalah suatu keyakinan bahwa suatu komunitas bisa dipahami melalui identitasnya sendiri.[61]
Menurut Davies, perpaduan di atas terkristalisasi dalam konsepsi din dan elemen-elemen kontekstualnya, syari’ah dan minhaj dengan mana seorang antropolog Muslim memahami suatu komunitas melalui kajian tentang struktur aturan-aturan normatif yang mendefinisikan semua sistem kehidupan sosial suatu komunitas. Dengan cara ini, interpretasi tentang fenomena dalam suatu komunitas harus berkaitan dengan sistem pemikiran dan kepercayaan yang berlaku dalam komunitas tersebut; ide-ide, pertanyaan dan evaluasi diinformasikan dalam bentuk dialog dengan anggota-anggota komunitas yang sedang dipelajari, sehingga mereka berperan sebagai partisipan aktif dalam kegiatan penelitian yang dilaksanakan.[62] Dalam konteks ini, maka “observasi terlibat” (participant observation) menjadi sangat penting dalam formulasi kerja antropologi Islam yang ditawarkan Davies. Selain itu, penelitian seperti ini juga harus didukung oleh sumber-sumber tertulis untuk memahami jaringan interaksi sosial dalam suatu komunitas dalam batasan waktu dan ruang tertentu.Dengan demikian maka secara metodologis, suatu studi etnografi, harus didukung oleh penguasaan bahasa, sejarah, sistem klasifikasi dan tipologi yang berlaku dalam suatu komunitas melalui analisa perbandingan.[63])
Dari gambaran metodologis di atas, ternyata sangat sukar bagi Davies untuk keluar dari tradisi British Social Anthropology di mana ia belajar, sama sukarnya bagi Ahmed untuk terbebas dari pengaruh para favoritnya di Barat. Dengan formulasi yang ia tawarkan, Davies berusaha menarik pola kerja antropologi modern ke dalam terminologi al-Qur’an dengan menggabungkan elemen-elemen yang ada dalam aliran fungsionalisme[64]) strukturalisme[65]) dan fungsionalisme struktural[66] ke dalam satu pola. Bila kerja keras Ahmed menghasilkan kemenduaan dan inkonsistensi, kerja keras Davies menghasilkan suatu “antropologi campuran” (mixed anthropology). Ahmed nyata-nyata belum membuktikan gagasan korektif, corrective framework, yang dicanangkannya, dan Davies ternyata belum membuktikan gagasan disinctive Islamic anthropology yang ditawarkannya.

Agenda dan Prospek
Hasil kerja dua antropolog Muslim di atas mengingatkan kita pada relevansi label Islamic yang mereka lekatkan pada formulasi kerja antropologi yang mereka tawarkan. Satu-satunya justifikasi yang bisa kita berikan terhadap Davies dan Ahmed adalah bahwa keduanya merupakan antropolog Muslim yang baik. Mereka telah menggugah agar kita mengkaji ulang pemahaman kita selama ini tentang konsepsi Qur’ani yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan aktivitas ilmiah.
Tidak ada keraguan bahwa paradigma ilmu-ilmu sosial modern banyak berbenturan dengan konsepsi agama mana pun, terutama Islam.[67]) Tapi bagi seorang Muslim, ilmu pengetahuan harus dihadapi dengan sikap terbuka. Selama ada signifikansi bidang ilmu tertentu terhadap tugas-tugas sebagai seorang Muslim, ilmu pengetahuan tersebut menjadi signifikan bagi dirinya. Selain memahami al-Qur’an, seorang Muslim perlu menalar fenomena alam, mengenal satu sama lain dan bahkan dianjurkan untuk datang ke tempat yang jauh, seperti Cina untuk mencari ilmu. Inilah proses rekayasa ilmu pengetahuan yang menuntut daya kritis, keterbukaan kultural, rasa percaya diri dan keberanian teologis dalam kerangka nilai-nilai universal Islam. Selain menuntut kemauan berpikir dan kepekaan terhadap fenomena alam sekitar, proses ini harus diperkaya dengan dialog-dialog keilmuan tanpa sikap mendua dan apriori. Kecerahan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Islam abad pertengahan tidaklah dicapai dalam suasana terisolasi dan apriori, tetapi melalui keterbukaan terhadap berbagai sumber ilmu pengetahuan. The School of Baghdad, Bait al-Hikmah misalnya, adalah bukti keterbukaan tersebut.[68] Di sinilah para ilmuwan Muslim bersama sarjana dan mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, budaya dan negara bekerjasama menterjemahkan, berdiskusi, menulis, dan melakukan eksperimen.
Antropologi Islam harus menjadi alternatif bagi antropologi dunia dengan satu prinsip bahwa “tidaklah mesti orang hitam yang menulis tentang orang hitam, seorang Muslim tentang Muslim, sebagaimana juga seorang Kristen tentang masyarakat Kristen dan seterusnya”.[69]) Hanya dengan cara ini disiplin antropologi bisa paralel dengan prinsip-prinsip universal Islam dan memiliki daya diseminasi yang luas. Sebuah alternatif tidak akan terbangun dalam isolasi dan ketertutupan, tetapi melalui dialog konstruktif yang terbuka dan berani. Diterimanya suatu teori atau metodologi tersebut bisa menyajikan suatu gagasan aktual yang bisa dipahami.
Davies tidak salah mengatakan bahwa harus ada antropologi Islam yang khas, yang Qur’ani, tetapi. Ahmed juga benar ketika berpendapat bahwa jalan menuju antropologi Islam harus ditempuh melalui kerjasama terbuka dengan antropolog dari golongan mana pun. Sikap terbuka inilah yang disitir oleh seorang antropolog Inggris, Richard Tapper,[70]) bahwa gagasan tentang antropologi Islam harus disambut dengan serius karena memiliki audien yang luas, memiliki landasan ideologis dan mengundang diskusi kritis .... ”[71])
Kalau para kritikus memandang Ahmed terperangkap dalam formulasi antropologi modern yang dikembangkan oleh para koleganya di Barat sehingga belum menyajikan suatu antropologi alternatif, saya cenderung mengatakan bahwa Davies berada dalam kesulitan dengan terminologi Qur’ani yang ditawarkannya. Problem utama dalam pola kerja Ahmed adalah kesenjangan antara prinsip-prinsip universal Islam dengan perspektif Orientalisme Barat sekuler yang dicoba dipadukannya. Adapun problem utama formulasi kerja antropologi Islam yang ditawarkan Davies adalah terlalu banyak memandang antropologi sebagai milik dunia Barat ketimbang khazanah ilmu pengetahuan universal dan belum memberikan artikulasi yang cukup jelas tentang terminologi Qur’ani yang ditawarkannya.
Drama perkembangan teori-teori sosial Barat dari evolusionisme hingga post-modernisme adalah indikasi tentang dinamika sekaligus kerapuhan teori-teori dan metodologi tersebut. Hal ini bukan hanya menjadi tantangan bagi ilmuwan sosial Barat, tapi bagi setiap ilmuwan sosial, khususnya para antropolog dan sosiolog. Inilah tantangan bagi terbangunnya sebuah paradigma antropologi alternatif yang lebih kokoh dan berwawasan universal.
Bagaimanapun harus diakui bahwa kerja keras Davies telah berhasil memperkenalkan sebuah pola kerja antropologi yang mengacu pada sistem nilai Islam dan karakteristik masyarakat Muslim. Dinilai oleh Richard Tapper,[72]) bahwa analisis epistemologi yang diperlihatkannya sungguh mengagumkan dan gagasan riset lapangan dialogis yang ditawarkannya sungguh cukup memberi harapan. Tetapi hasil kerja Ahmed dinilai oleh Momin, seorang profesor antropologi Muslim di Universitas Bombay, sebagai terfragmentasi dan terputus-putus, sehingga tidak memiliki metodologi dan konsep yang sistematis.[73])
Tidak akan ada kajian keilmuan Islam dalam disiplin apa pun dapat berjalan tanpa ditopang oleh premis-premis ontologi dan epistemologi Islam. Para antropologi perlu menemukan kembali bahwa disiplin yang mereka geluti adalah disiplin universal, atau secara potensial universal. sehingga mencakup manusia secara totalitas.
Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari analisa Ahmed dan Davies adalah bahwa tantangan program islamisasi ilmu-ilmu sosial bukan terletak hanya pada aspek metodologi dan teori akademik dan institusional, tetapi juga pada visi keilmuan. Tidak diragukan bahwa mereka berdua memiliki kapasitas ganda: menguasai prinsip-prinsip Islam tentang manusia dan menguasai kerangka metodologi dan teori antropologi modern. Tapi mengapa, seperti ditulis oleh Ahmed, lslamisasi ilmu pengetahuan tampil tidak terarah, dan menghasilkan karya-karya yang membingungkan?[74]) Meski pun Ahmed bermaksud mengkritik para kolega Muslimnya, saya cenderung memasukkannya ke dalam kelompok yang sama. Ketidakmampuan para ilmuwan Islam dalam membangun suatu kekuatan intelektual adalah bagian integral dari kondisi dunia Islam pada umumnya yang dilanda berbagai bentuk malaise.[75]) Selama para sarjana Muslim hanya menjadi informan bagi para sarjana lain, tergantung pada jasa baik ilmuwan non-Islam dan tidak memiliki basis ekonomi dan institusional dan visi keilmuan yang tunggal, Islamisasi ilmu pengetahuan hanya akan menjadi utopia, bahkan dapat menyulut disintegrasi di kalangan intelektual Muslim. Seorang sejarawan Pakistan, Kazi, mengingatkan bahwa “sains bukanlah hanya suatu ilmu pengetahuan terorganisir, tetapi juga suatu cara dalam melakukan sesuatu. Ilmu pengetahuan adalah suatu aktivitas, bukan sekedar fakta, suatu produk dan suatu proses.”
Objektivitas dalam studi antropologi tidak akan tercipta hanya dengan menolak pola kerja antropologi Barat modern atau hanya dengan memberi aksesori keislaman ke dalamnya, tetapi dengan mengaktualisasikan prinsip-prinsip epistemologi yang benar dalam pola dan mentalitas kerja seorang antropolog, yakni seorang yang berinteraksi dengan masyarakat yang dipresentasikannya. Seorang antropolog harus meningkatkan sensitivitas, membebaskan dirinya dari perangkap ideologi kolonialisme dan orientalisme. Bagi para antropolog Muslim, diperlukan rasa percaya diri untuk meningkatkan inklusivisme dalam konstelasi perkembangan disiplin antropologi global melalui dialog-dialog terbuka dan konstruktif dengan antropolog mana pun. Harus ada landasan ideologis dan institusional akademik sendiri[76]) sebagai wadah pengembangan gagasan keilmuan Islam. Seperti dipertanyakan oleh Edward Said,[77] mengapa Cambridge atau Harvard tidak berada di Islamabad atau di Teheran? Mari kita bertanya, mengapa kebanyakan ilmuwan Muslim begitu fleksibel di tengah komunitas ilmuwan Barat, tetapi begitu kaku di tengah-tengah komunitas mereka sendiri? Akankah berlebihan bila kita katakan bahwa mereka terlalu pragmatis dan tidak memiliki nyali yang cukup untuk mengembangkan suatu paradigma keilmuan Islam. Intelektual bukanlah produk suatu sistem, tapi harus mampu membangunnya.
Program Islamisasi ilmu pengetahuan harus dipandang sebagai perjuangan menegakkan kedaulatan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan menyebarkan perspektif Islami tentang fenomena sosial dan kemanusiaan, bukan sebagai proses mengisolasi diri dari ilmu pengetahuan Barat modern dan mengembangkan sikap phobia ilmu pengetahuan. Nilai positif ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh di mana ia berkembang, tetapi oleh proses yang bagaimana ia dikembangkan dan oleh siapa dan atas dasar epistemologi apa ia didiseminasikan. Inilah suatu tantangan teoritis, metodologis, biografis dan epistemologis bagi program Islamisasi ilmu-ilmu sosial khususnya dan Islamisasi ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dibandingkan dengan disiplin lainnya, antropologi merupakan wilayah Islamisasi yang relatif lebih kompleks di samping memiliki paradigma yang rapuh, disiplin ini belum mendapat perhatian sepenuhnya di kalangan ilmuwan sosial Muslim dan bahkan masih banyak mereka yang memandang antropologi sebagai disiplin Eropa-Amerika. Inilah sikap keilmuan sempit yang terlahir dari proses belajar isolatif.
Sangatlah bijaksana bila para antropolog Musim bersikap ekstra hati-hati dan terbuka dalam aktivitas Islamisasi. Sikap ini sangar penting agar umat Islam tidak kehilangan nilai strategis disiplin ini. Pertanyaan dalam program Islamisasi antropologi bukanlah bagaimana membangun suatu disiplin antropologi yang khas, tetapi bagaimana memiliki ilm al umran, ilmu tentang masyarakat yang benar, sehingga bisa menjadi format kerja alternatif bagi antropologi mana pun. Semua ini hanya bisa dicapai melalui suatu pola kerja rasional jangka panjang, bukan “program semalaman” (over-ninght programme) dan harus mengacu pada prinsip-prinsip yang berlaku dalam warisan budaya Islam melalui proses apresiasi dan internalisasi yang ditopang oleh kematangan intelektual dan kedewasaan kehidupan beragama.


Catatan Kaki


[1]     Dalam rumusan The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang  dipublikasikan tahun 1989, gagasan operasional Islamisasi ilmu pengetahuan al-Faruqi didapatkan menjadi dua tugas utama, yaitu menggabungkan dua sistem pendidikan (Barat dan Islam) dan menginstalisasikan visi keislaman dengan melakukan studi tentang peradaban Islam dan mengislamisasikan ilmu pengetahuan modern (lihat bab II).
[2]     Beliau adalah pemikir Muslim berkaliber internasional, sebagai pencetus dan penggerak gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang terakhir diarahkan pada Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Semasa hidupnya, beliau pernah menjadi profesor studi-studi keislaman di Universitas Temple, Philadelphia. Beliau mengenyam pendidikan di the American  University ol Beirut, Indiana, dan Universitas Harvard, dan melaksanakan program post doctoral dalam ilmu keislaman di Universitas al-Azhar, Kairo dan dalam ilmu-ilmu Judaisme dan Kristenisme di Universitas McGill, Montreal sebagai fellow Yayasan Rockefeller. Aktifltas yang beliau laksanakan dalam mengembangkan gagasan lslamisasi ilmu-ilmu sosial adalah meliputi: penyelenggaraan seminar, membangun pusat-pusat studi Islam, menerbitkan berbagai jumal, membangun universitas Islam dan mengembangkan lembaga publikasi, yang kesemuanya berskala lnternasional.
[3]     Al-Faruqi, loc. cit.
[4]     Diskusi mendalam tentang konsepsi Islam tentang manusia disajikan oleh Ali Shariati dalam bukunya man and Islam, diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Fatollah Marjani (Houston: Filinc, 1981), Buku ini telah diterjemahkan ke dalam _ bahasa Indonesia oleh Amin Rais dengan judul Tugas Cendekiawan Muslim (Iakarta: CV. Rajawali, 1982).
[5]     Lihat misalnya “Islamization of Knowledge and some Methodological Issues in Paradigm Building: The General Case of Social Science with a Special Focus on Economics,” American Journal of Islamic Social Science (l987) 4/1, h. 51-72; Khursid Ahmad (ed.), Islamic Economisc: Annotated Sources in English and Urdu, (Leiscester: Islamic Foundation, 1983); Studies in Islamic Economics, 1980, Chapra, Toward a lust Monetary System (Leicester: Islamic Foundation. 1985); Nejatullah Siddiqui, Banking Without Interest (Leicester: Islamic Foundation, 1983); S.N.H. Naqpi, Ethics and Economics: An Islamic Syanthesis (Leicester: Islamic Foundation, 1981); Asaria, “Banking With Islam," Inquiry (1985) 2/12, h. 26-31.
[6]     Lihat misalnya Abdul Hamid A. Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International Relations: New Directions for Islamic Methodology and Thought (Herndon: IIIT, 1987).
[7]     Perdebatan tentang “Islamisasi Antropologi” ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan sebagai berikut: S.M. Mauroof, “Elements for an Islamic Anthropology,” dalam I.R. al-Faruqi dan A.M.Naseef (eds.), Social and Natural Science: The Islamic Perspective (Jeddah:Hodder and Stoughton, 1981), selanjutnya disingkat “Elements ...”; A.B. Elkoly, “Towards an Islamic Anthropology,” Muslim Education Quarterly (1984) 1/2; A.S. Ahmed, “Al-Biruni: the First Anthropologists,” RAIN (Feb. 1984), 60/9-10; M. Wyn Davies, “Towards an Islamic alternative to Western Anthropology,” Inquiry (June 1985), h. 45-51. selanjutnya disingkat “Toward ..,”: I. Ba-Yunus dan F. Ahmad, Islamic Sociology: An Introduction (London: Hodder and Stoughton, 1985); A. S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society (London: Routledge & Kegan, 1988), selanjutnya disingkat Discovering; M. Wyn Davies, Knowing One Another; Shaping Islamic Anthropology (London:Mansell, 1988), selanjutnya disingkat Knowing; dalam beberapa segi dapat juga dilihat dalam Shariati, On the Sociology of Islam, diedit oleh H. Algar (Berkley, California; Mizan, 1979).
[8]     A. S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology Definition, Dogma, and Direction (Washington D. C,: International Institute for Islamic Thought, 1986), h. 8-9, selanjutnya disingkat Toward.
[9]     Di antara karya-karya radikal mengenai irrelevansi paradigma ilmu-ilmu sosial Barat terhadap fenomena masyarakat Islam adalah S. N. Al-Attas, Islam and Secularism Kuala Lumpur: Art Printing Works, Sdn.. Bhd.. 1978); T. Asad (ed.) Anthropologv and Colonial Encounter (London: Ithaca Press. 1973); E. Said, Orientalism (London: Penguin. 1978).
[10]   Suku ini sebagian besar bermukim di wilayah perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan.
[11]   Lihat A.S.-Ahmed, Toward; W.C. Young, “Review of Ahmed’s Toward Islamic Anthropology: Definition, Dogma and Direction, “American Journal of Islamic Social Science” (1988), 5/2, h. 289-91.
[12]   Bandingkan dengan klasifikasi yang dibuat oleh Richard Tapper: ldealis, apologis dan radikalis. Lihat tulisannya, “Islamic Anthropology” dan “The Anthropology of Islam,” “Makalah Seminar” dipresentasikan di School of Oriental and African Studies (SOAS). London (3 Desember l991; tidak diterbitkan) h. 12..
[13]   Merryl Wyn Davies, Knowing. h. 128.
[14]   A. S. Ahmed,”Toward an lslamic Anthropology: Problems in Perception of Religion in Cultural System,” dalam Knowledge for What (Islamabad: National Hijrah Council, 1986), h. 56; selanjutnya disingkat Knowledge.
[15]   Ibid, h. 106, 109.
[16]   Ibid, h. 216.
[17]   M. W. Davies, Knowing h. 82.
[18]   S. M. Mauroof, “Elements…” h. 133.
[19]   A. S. Ahmed, Knowledge, h. 215.
[20]   Ibid, h. 215-216.
[21]   Ibid, h. 106.
[22]   Ada dua karya keagamaannya yang terkenal, Sociology of Religion (1968); Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958).
[23]   Lihat karyanya The Elementary Forms of the Religious Life (1912 dalam bahasa Perancis, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1925).
[24]   Lihat karyanya Theories of Primitive Religion, dan Nuer Religion (pertama kali diterbitkan tahun 1956).
[25]   Karya-karyanya The Interpretation of Dreams (1900); Totem and Taboo (1913); The Future of an Illusion (1927); dan Civilization and Its Discontents (1929).
[26]   A. S. Ahmed; Knowledge, h. 24.
[27]   Lihat Talal Asad (ed.), loc. cit.; The Idea of Anthropology of Islam, Uccational Papers Series, (Washington D.C.: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986).
[28]   M. W. Davies, Knowing, h. 168.
[29]   S. M. Mauroof, “Elements….”. h. 133.
[30]   M. W. Daviws, Knowing, h. 116.
[31]   A. S. Ahmed, Knowledge, h. 13.
[32]   Lihat karya John Beattie, Other Culture (1964), yang sangat dekat dengan pemikiran para evolusionis seperti Spencer, Survival of the fittest (inorganik, organik, superorganik); Montesquieu (masyarakat berburu” atau savagery; “masyarakat barbar,” “masyarakat beradab”); Comte (“tahap teologis,” “tahap metafisik” dan “tahap positif/ilmu pengetahuan”) dan Adam Smith (masyarakat berburu dan menangkap ikan, pastoralisme, bertani dan dagang).
[33]   M. W. Davies, Knowing, h. 5-6.
[34]   Ibid, h. 174.
[35]   Ibid, h. 77.
[36]   Ibid, h. 50.
[37]   A. S. Ahmed, Discovering; h. 99-101.
[38]   Ibid.
[39]   Ibid, h. 101.
[40]   Ibid, h. 103-4.
[41]   Ahmed menggunakan konsep Weber tentang “ideal type” untuk menjelaskan gagasannya tentang “The Muslim Ideal”. Lihat “Pendahuluan” bukunya Discovering.
[42]   Lihat argumentasi yang sama dengan Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, op. cit., h. 80
[43]   M. W. Davies, Knowing,  h. 155.
[44]   Ibid, h. 155
[45]   Untuk pandangan serupa, lihat juga Mauroof, “Elements ..., ” h. 132; “The Rescuing  of Muslim Anthropological Thought” dalam The American Journal of Islamic Social Science  1987), 4/2, h. 305-20, selanjutnya disingkat menjadi “The Rescuing   ”; dan Momin A.R. “Islamization of Anthropological Knowledge,” dalarn The American Journal of Islamic Social Science (1989), 6/2. h. 143-l53.
[46]   A. S. Ahmed, Knowledge, h, 99-100.
[47]   Ibid, h. 61.
[48]   A. S. Ahmed, Discovering, h. 75, 84, 95.
[49]   S. M. Mauroof, “The Rescuing …”    h. 145-55.
[50]   A. S. Ahmed. Knowledgg, h. 61.
[51]   M. W. Davies, Knowing, h. 82.
[52]   Ibid, h. 11.
[53]   Ibid, h. 56.
[54]   Terlepas dari penolakannya terhadap formulasi sosiologi Ibn Khaldun, Davies mengadopsi terminologi yang dipopulerkan oleh Ibn Khaldun ini.
[55]   M. W. Davies, Knowing, h. 57.
[56]   Ibid, h. 107.
[57]   Ibid, h. 113.
[58]   Bandingkan ide ini dengan ide Evan-Pritchard dalam tulisannya “Social Anthropology: Past and Present,” The Marett Lecture (1950) dan “Anthropo1ogy and History” 1961).
[59]   Bandingkan dengan pendapat Claude Levi Strauss tentang ”the 'underlying principle’dalam bukunya Structural Anthropology 1 & 2 (London: Penguin Books, 1978).
[60]   M. W. Davies; Knowing, h. 114, 118, 130
[61]   Ibid.
[62]   Ibid, h. 132-34.
[63]   Ibid, h, 137-9. Pendekatan ini sempat ber kembang dalam tradisi “British Social Anthropology”. Lihat Ladislav Holy (ed.), Comparative Anthropology (Oxford: Blackwell, 1987).
[64]   Aliran ini mengeksplanasi prilaku, pola hubungan dan institusi sosio-kultural melalui fungsi-fungsi sosialnya. Diinspirasi oleh pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang “organic analogy,” Durkheim (1858-1917), di Perancis, mengembangkan idenya tentang “collective conscience” yang terakhir mempengaruhi Malinowski (1884-1942), kelahiran Polandia. Yang terakhir ini dikenal sebagai penganut ekstrem aliran fungsionalisme dan sebagai pionir metode “Participant Observation” yang hingga saat ini menjadi ciri utama dalam tradisi “British Social Anthropology” Lihat masterpiece Malinowski, Argonauts of the Western Pacific (1922).
[65]   Dalam disiplin antropologi, aliran ini tidak bisa terlepas dari Claude Levi-Strauss kelahiran Perancis (1908 - ...). Ia berpendapat bahwa kultur adalah fenomena permukaan yang menandai kecenderungan universal manusia dalam menata dan mengklasifikasi pengalaman dan fenomena yang didapatkannya. Sementara fenomena permukaan sangat bervariasi, namun prinsip-prinsip yang mengendalikannya (the underlying princiles) adalah sama. Lihat bukunya Struktural Anthropology, 1958 (edisi bahasa Perancis) dan 1968 (edisi bahasa Inggris).
[66]   Walaupun Radcliffe-Brown (1881-1955) dianggap sebagai tokoh sentralnya, dalam beberapa segi Malinowski (1884-1942), Fortes (1906-83), Evans-Prichard (1902-73), Firth (1902 - ...) dan Gluckman (1911-75) juga sering dikelompokkan sebagai struktural fungsionalis. Dalam pandangan Radcliffe-Brown, suatu struktur, utamanya adalah struktur sosial atau jaringan institusi dan hubungan sosial yang menentukan bentuk permanen suatu masyarakat. Lihat masterpiece-nya, The Andaman Islanders (1948).
[67]   Studi kritis tentang irrelevansi paradigma ilmu pengetahuan Barat modern dengan masyarakat Islam dapat dilihat dalam karya-karya sebagai berikut: Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism (1978), Islam, Secularism and the Philosophy of the Future (1985); al-Faruqi (ed.), Islamization of Knowledge (1982); Mutahari, Society and History, (1985); Nasr, Science and Civilization in Islam (1968), Knowledge and the Sacred (1989); Sardar, Explorations in Islam Science (1989).
[68]   Lembaga ini dibangun oleh Klaifah al-Makmun (813-33), yang pengelolaannya  diserahkan pada Yahya Ibn Maskawaih (873). Lihat Qadir, Philosophy and Science in the Islamic  World (1988).
[69]   E. Said, op. cit., h. 322.
[70]   Beliau adalah direktur Near and Middle East Studies pada School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Selain banyak melakukan penelitian antropologi pada masyarakat Islam di Turki dan Afganistan, beliau juga banyak menulis tentang Sufisme, Orientalisme dan termasuk salah satu antropolog Inggris yang cukup responsif terhadap gagasan Islamisasi ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam disiplin antropologi.
[71]   R. Tapper; op. cit., h. 11 dan 14.
[72]   Ibid.
[73]   Lihat A. R. Momin, “Islamization of Anthropological Knowledge,” dalam The American Journal of Islamic Social Science (1989), 6/1, h. 143-53.
[74]   A. S. Ahmed, Review on Davies: Knowing One Another, Shaping an Islamic Anthropology, The American lournal of Islamic Social Science (1989) 6/2.
[75]   Istilah ini sering digunakan oleh almarhum Ismail Raji al-Faruqi dalam melukiskan berbagai keterbelakangan dan sikap regresif masyarakat Muslim, khususnya dalam bidang politik, ekonomi dan intelektualisme.
[76]   Selain telah didirikannya beberapa universitas berlabel Islam di Pakistan, Malaysia, Saudi Arabia, Sudan yang memiliki landasan politis di negara-negara tersebut dan telah dibukanya “The International Institute of Islamic Thought and Civilization” (ISTAC) pada hari Jumat, 4 Oktober 1991 lalu di Kuala Lumpur, dan adanya rencana pihak Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pusat untuk mendirikan Pusat Studi Keilmuan Islam di Jakarta dalam waktu dekat, adalah tanda-tanda segar bagi bangkitnya kedaulatan para ilmuwan Muslim yang harus kita semarakkan, kita dukung dan kita tunggu follow-up dan produknya.
[77]   E. Said, op. cit., h. 325.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar