PERGUMULAN PEMIKIRAN DAN AGENDA MASA DEPAN
ISLAMISASI ANTROPOLOGI
Oleh
M. Sirozi
Muhammad Sirozi, yang lahir 16 September 1962 di
Curep, Sumatera Selatan, adalah staf pengajar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Raden
Patah, Palembang. Aktivis mahasiswa, di antaranya sebagai ketua Badko HMI
Sumbagsel ini, menyelesaikan pendidikannya di tempat sekarang mengajar, dan
melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas
London (Inggris), dan memperoleh Master of Art (MA) di bidang Antropologi
Sosial, dengan tesis di sekitar Diskursus Islamisasi Antropologi (1991). Banyak
menulis di sejumlah jurnal ilmiah, dan sedang mempersiapkan untuk program S-3,
di universitas yang sama.
Dalam
dua dekade terakhir, tumbuh di kalangan antropolog Muslim yang umumnya aktif di
universitas-universitas Barat, suatu diskursus tentang “Islamisasi
Antropologi,” yang Berawal dari
pandangan yang menganggap “antropologi Barat” tidak mampu memahami sistem
kebudayaan masyarakat non-Barat, termasuk umat Islam. Ini berakar dari tidak
memadainya basis teoritis dan bias perspektif yang inheren dalam antropologi
Barat. Sejumlah antropolog Muslim kemudian mencari alternatifnya sampai pada
tingkat kemungkinan adanya “antropologi Islam”. Tulisan ini merekam diskursus
di sekitar masalah tersebut, dan kemudian mencoba melihat kemungkinannya di
masa depan.
Salah
satu item dalam rencana kerja Islamisasi ilmu-ilmu sosial[1])
yang dikemukakan oleh Ismail al-Faruqi[2]) adalah
menguasai disiplin ilmu pengetahuan modern, lalu menanamkan perspektif Islam ke
dalamnya.[3]) Sebagai
konsekuensi logis dari sentralnya konsep tentang manusia dalam Islam,[4])
maka bersama disiplin ekonomi[5])
dan politik,[6])
antropologi[7])
menjadi wilayah penting dalam kerja-kerja Islamisasi ilmu-ilmu sosial.
Dalam
“Pengantar” untuk buku yang ditulis oleh Akbar S. Ahmed, Toward an Islamic Anthropology: Definition, Dogma and Directions,
Ismail al-Faruqi, perancang rencana kerja (workplan) Islamisasi ilmu-ilmu
sosial menegaskan sebagai berikut:
“Arah
yang positif untuk memperbaiki antropologi harus diturunkan dari visi Islam.
Visi ini ditentukan oleh keesaan dan transendensi Tuhan, rasio, kehidupan dan
kebajikan etik sebagai raison d’etre humanitas… Antropologi…sekali lagi harus mempelajari
kebenaran yang jelas namun asli dari semua pengetahuan yang juga merupakan
kebenaran pertama dari Islam, yakni, kebenaran adalah satu, seperti halnya
Tuhan dan kemanusiaan.”[8])
Sangat
jelas bahwa al-Faruqi menghendaki adanya koreksi terhadap pola kerja, konsepsi
dan metodologi antropologi modern dan ingin mengembangkan suatu disiplin
antropologi yang dilandasi oleh sistem nilai Islam. Dengan kata lain,
diperlukan suatu konstruksi antropologi yang padat dengan etos keislaman,
terutama keesaan dan transendensi Tuhan, rasio, universalisme, komunitarisme
dan moralitas Islam.
Antropologi
telah dipandang oleh para aktivis Islamisasi ilmu-ilmu sosial sebagai disiplin
yang paling strategis dan paling krusial untuk direkayasa. Dipandang strategis karena
disiplin ini telah memainkan peranan penting dalam jaringan aktivitas akademik
internasional. Dipandang krusial karena disiplin ini berkembang dengan
karakteristik yang jauh dari pandangan dunia (world-view) Islam, didominasi oleh pandangan Barat sekuler
imperialistik yang seringkali bias, terutama bila diaplikasikan dalam
masyarakat Islam.[9])
Seperti
dicontohkan oleh seorang antropolog Muslim asal Pakistan, Akbar S. Ahmad, dan
seorang antropolog dari Universitas California, William C. Young, bahwa
antropologi Eropa-Amerika ternyata tidak mampu menjelaskan fenomena perubahan
sosio-kultural, dipadati oleh warisan intelektualisme kolonial dan dilanda bias
etnosentrisme dan orientalisme, sehingga sering melahirkan deskripsi yang tidak
utuh tentang masyarakat non-Eropa. Ada sesuatu yang tidak lengkap bila seorang
antropolog modern mendeskripsikan masyarakat yang ditelitinya (Muslim atau
bukan). Mereka sering luput dari konsep kebenaran atau pandangan hidup
tertentu. Misalnya, deskripsi yang dibuat oleh Barth tentang etiket Suku Baluch[10]) sebagai
“hipokrit” dan mengatakan bahwa keakraban dalam kehidupan sehari-hari mereka
penuh dengan “tipu-daya” dan “kecurigaan”. Ini jelas bias. Barth gagal memahami
dilema yang dihadapi oleh suku Baluch. Sebab tipu-daya dan kecurigaan bisa
terjadi pada semua orang bila mereka dalam keadaan tertekan. Bila kondisi
kehidupan mereka membaik, tentu saja suku Baluch akan memperjuangkan dan
mempertahankan “idealitas” komunitas mereka -keramahtamahan dan persaudaraan.
Barth tidak memperhitungkan dinamika ini, maka pandangannya tersebut jelas
sepihak dan bias.[11])
Masih
banyak contoh serupa yang bisa kita temukan, tapi hal itu bukanlah fokus
tulisan ini. Kita akan memusatkan diskusi kita pada ide-ide dan perdebatan yang
terjadi dalam perkembangan diskursus antropologi Islam dengan mengacu pada
ide-ide yang dikemukakan oleh para antropolog Muslim atau aktivis Islamisasi
ilmu-ilmu sosial berikut: Pertama, Akbar S. Ahmed. Ia seorang antropolog
kelahiran Pukhtuhn, Pakistan; mendapat pendidikan di Universitas London,
Cambridge dan Birmingham, dan saat ini memusatkan aktivitasnya di Universitas
Cambridge. Beberapa publikasinya yang terkait dengan fokus tulisan ini antara
lain adalah Towards an Islamic
Antropologi: Definition, Dogma and Directions (1986), “Toward Islamic
Antropologi: Problems in the Perception of Religions and Cultural Systems”
(1986), dan Discovering Islam: Making
Sense of Muslim History and Society (1988). Kedua. Saibo Mohammed Mauroof.
Ia lahir di Sri Lanka; profesor antropologi di Cheyney State College,
Pensylvinia; tulisannya berjudul “Elements for Islamic Anthropology” (1981).
Ketiga, Merryl Wyn Davies, seorang Muslimah asal Inggris; mendapat pendidikan
antropologi di University College London (UCL) dengan publikasinya: “Towards an
Islamic Alternative to Western Anthropology” (1985); Re-designing a Discipline (1986), dan Knowing One Another: Shaping an Islamic Anthropology (1988).
Tanpa
bermaksud mengucilkan penulis-penulis lain yang terlibat dalam perdebatan
antropologi Islam, tulisan ini akan terfokus pada tawar-tawaran yang diberikan
oleh tiga figur di atas. Pilihan ini diambil sekedar untuk mengemukakan jenis
persepsi yang berkembang dalam arah perkembangan diskursus antropologi Islam.
Dua Arah
Bila
tawaran-tawaran tiga penulis di alas kita telusuri, akan kita temukan dua arah
perspektif yang sangat paradoksal. Walaupun terdapat beberapa kemenduaan dan
inkonsistensi dalam argumentasinya, Ahmed cenderung memandang bahwa gagasan
tentang “antropologi Islam” adalah koreksi teoritis terhadap antropologi Barat.
Tetapi di pihak lain Davies yang didukung oleh Mauroof, menegaskan bahwa
antropologi Islam adalah “alternatif radikal” bagi antropologi Barat.[12]) Perdebatan
antara dua posisi ini cenderung terpusat pada pertanyaan tentang apa yang
dimaksudkan dengan label “Islamic”
dalam kerangka kerja antropologi, atau apa yang membuat antropologi menjadi
Isla.
Bagi
Davies, antropologi Islam adalah suatu disiplin universal yang dapat diterapkan
untuk semua masyarakat manusia. Ditegaskannya,
“Antropologi
Islam mencurahkan perhatiannya pada studi tentang umat manusia secara
keseluruhan, yakni jajaran unit-unit formasi komunitas rakyat, masyarakat,
bangsa, suku, kebudayaan, atau komunitas multi-sosial dan multikultural.”[13])
Sebaliknya,
Ahmed memandang antropologi Islam hanya sebagai pelengkap bagi kekurangan
antropologi Barat dalam studi-studi tentang masyarakat Islam.
Menurutnya,
antropologi Islam adalah
“…
studi mengenai kelompok-kelompok Muslim oleh sarjana-sarjana yang berpegang
teguh terhadap prinsip-prinsip universal Islam -kemanusiaan, pengetahuan,
toleransi- yang menghubungkan studi-studi mikro mengenai suku-suku pedalaman
khususnya dengan kerangka Islam historis dan ideologis yang bersifat makro ….
Dengan demikian batasannya tidak mendahului yang non-Muslim.”[14])
Ahmed
menambahkan bahwa metodologi yang dikembangkan dalam antropologi Islam berlaku
dan absah digunakan untuk studi sistem agama dunia lainnya, dan sistem kultural
Dunia Ketiga umumnya. Seorang antropolog harus melepaskan diri, budaya, dan
alamnya, untuk kemudian menuju posisi dimana ia mampu berbicara pada dan
memahami orang sekitarnya dalam pandangan kemanusiaannya yang khas, tanpa
membedakan warna kulit, kasta atau keimanan.[15]
Puncak
perbedaan antara Ahmed dan Davis terletak pada masalah “eksistensi” antropologi
Islam, “kaidah-kaidah” (term of
reference) dan paradigmanya. Ahmed memandang antropologi sebagai “tambahan”
dan tetap melihat relevansi antara beberapa konsepsi antropologi modern dengan
konsepsi Islam tentang manusia. Sebagaimana ia katakana,
“Ide
di belakang antropologi Islam, dengan demikian, tidak mengecilkan antropologi
Barat dan apa yang telah dicapainya, atau membatalkannya, tapi menciptakan
tubuh pengetahuan tambahan yang didasarkan pada informasi ilmiah dan tidak bias
yang menambah pemahaman kita.”[16])
Tapi,
bagi Davies[17]),
gagasan tentang antropologi Islam adalah program “khas” dan memandang bahwa
paradigma antropologi modern bertentangan secara total dengan konsepsi Islam
tentang manusia, sehingga tidak mampu memahami dinamika internal masyarakat
Islam. Islamisasi di sini adalah program radikal untuk mewujudkan suatu pola
kerja Islami yang “asli” (genuine);
antropologi Islam harus memiliki “kaidah-kaidah” (term of reference) tersendiri dan diarahkan untuk memahami
fenomena masyarakat dengan premis dan orientasi Islam. Pandangan ini didukung
oleh Mauroof[18])
yang menilai bahwa seorang antropolog Muslim yang terus berpikir, menulis dan
mengajar dengan pola kerja Barat adalah melakukan prostitusi terhadap
pikirannya dan menghancurkan tradisinya.
Pada
tingkat ini, Ahmed dan Davies dihadapkan pada pertanyaan, apakah merekonstruksi
pola kerja antropologi modern agar sesuai dengan konsepsi Islam tentang
manusia, lalu mengembangkan suatu disiplin antropologi yang “khas,” atau hanya
sekedar mewarnai pola kerja antropologi modern dengan konsepsi Islam tentang
manusia, lalu cukuplah sekedar menekankan bahwa penting adanya studi-studi
antropologi yang obyektif tentang masyarakat Muslim?
Ahmed[19])
mengambil posisi kedua; menganjurkan agar para antropolog Muslim lebih
memperhatikan segi-segi antropologi ketimbang Islam dan menilai para antropolog
Muslim yang tidak melakukan hal ini sebagai terlalu terfokus pada Islam tetapi
terlalu sedikit pada antropologi. Inilah yang oleh banyak kritikus disebut
sebagai sikap pragmatis.
Dengan
menyanjung karya para antropologi modern -Ernest Gellner (Universitas
Cambridge), Geertz (Universitas Princeton), March Gaborieau (Universitas Paris)
dan Mitsuo Nakamura (Universitas Tokyo)- sebagai karya-karya kontributif bagi
upaya pengembangan antropologi Islam, Ahmed berpendapat bahwa label Islam saja
tidaklah cukup untuk menghasilkan antropologi atau antropologi yang baik.
Menurutnya, “Teori Ayunan Pendulum” (Pendulum
Swing Theory) yang dikemukakan Gellner dalam studinya mengenai umat Islam
Maroko, dan klasifikasi “Priyayi,” “Abangan,” dan “Santri” yang dibuat Geertz
dari studinya tentang Islam Jawa, adalah karya-karya antropologi modern yang
memiliki arti penting bagi studi tentang masyarakat Islam.[20])
Ahmed sangat percaya bahwa satu-satunya cara untuk membangun antropologi Islam
adalah melalui kerja sama dengan antropologi mana pun.[21])
Agama
termasuk Islam, menurut Ahmed, haruslah dipandang dari perspektif sosiologis
sebagaimana dilakukan oleh Weber,[22])
Durkheim,[23])
Evan Pritchard,[24])
dan Freud.[25])
Ide-ide keagamaan para pemikir modern inilah yang banyak diadopsinya secara
tidak kritis. Tapi, ia cenderung mendua dalam gagasannya. Misalnya, ia menulis bahwa
antropologi Islam harus memiliki lahan tersendiri dan bersifat korektif
terhadap bias-etnik yang melanda sebagian besar karya antropologi Barat modern.[26])
Bila pandangannya ini benar-benar teraplikasi dalam tulisan-tulisannya tentang
antropologi Islam, tidak akan banyak perbedaan antara gagasan Ahmed dengan para
aktivitas antropologi Islam radikal seperti Talal Asad,[27])
Davies[28])
dan Mauroof[29]).
Ketiganya berpendapat bahwa metodologi dan konsep antropologi modern tentang
manusia, pikiran dan sains semuanya didasari epistemologi, sistem filsafat dan
ideologi non-Islam. Demikian juga materi, metode, dan terminologi yang
digunakan, sebagian besar hanyalah untuk memenuhi kepentingan kolonialisme.
Talal Asad menegaskan bahwa interpretasi antropologi modern tentang Islam hanya
dapat dimengerti melalui konsep-konsep tentang kekuasaan dan otoritas yang
mengitarinya. Antropologi modern telah menginterpretasikan Islam dengan
kacamata Barat, sehingga tidak mampu menjelaskan Islam secara tepat.
Formulasi
antropologi Islam yang dibuat oleh Ahmed sangat tidak relevan dengan sikap
kritis terhadap antropologi Barat modern yang ia canangkan. Definisi yang ia
berikan sangat mendua dan pola kerja Durkheim, Geertz dan Gellner yang
diadopsinya, telah banyak dikritik, justru oleh para penulis Barat sendiri.
Jadi jelas bahwa antropologi Islam yang ditawarkan Ahmed adalah antropologi
“tambal sulam”.
Berbeda
dengan Ahmed, Davies[30]) memandang
antropologi Islam sebagai program konseptual yang bersifat total untuk
mempertanyakan manfaat disiplin antroplogi bagi masyarakat Muslim. Tata nilai
dan tradisi intelektual yang berkembang melalui pengalaman Eropa-Amerika dipandang
tidak relevan dengan pengalaman intelektual, moral, sosio-politik dan kultural
Islam. Ahmed[31]
secara eksplisit mengadopsi konsepsi other
culture[32]
dari antropologi modern dan mendefinisikan bahwa tugas utama seorang antropolog
adalah untuk memahami diri mereka sendiri melalui pemahaman tentang kultur
lain. Sebaliknya, Davies,[33])
menilai bahwa konsepsi other culture
hanya dapat dipakai dalam kategori dan term
of reference ilmiah Barat; tidak ada artinya dalam konsepsi Islam tentang
manusia.
Bagi
Davies,[34])
pemikiran Islam harus didasarkan pada konsepsi Islam dan bertujuan
menyelesaikan problem dan mengembangkan potensi individual dan komunal melalui
cara yang tepat dalam memahami pola hidup mereka. Sementara Ahmed cenderung
mengadopsi pola dan terminologi Barat, Davies[35]) menilai
semua itu sebagai tidak relevan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan
mengajak para antropolog Muslim untuk mengembangkan pola berpikir Islami dengan
terminologi dan metodologi yang Islami pula.
Walaupun
keduanya memandang perlu adanya dialog antara antropolog Muslim dan non-Muslim,
namun mereka berbeda tentang tujuan dialog tersebut. Bagi Ahmed, dialog
tersebut adalah bagian tak terpisahkan dalam proses membangun pola Islami,
tetapi Davies[36])
berpendapat bahwa dialog tersebut hanya bisa dilakukan bila antropolog
Muslim telah memiliki ide-ide dan perangkat metodologi yang mapan.
Jejak al-Biruni dan Ibn Khaldun
Untuk
memberikan adanya hubungan dialektik antara tradisi dalam ilmu-ilmu sosial
Barat modern dengan tradisi ilmu sosial Islam, khususnya antropologi Islam yang
ditawarkannya, Ahmad[37])
mendasarkan sebagian argumentasinya pada gagasan-gagasan al-Biruni (973-1048)
dan Ibn Khaldun(1332-1406). Dua pemikir abad Pertengahan ini diklaimnya
berturut-turut sebagai bapak antropologi dan sosiologi, yang telah memberikan
kontribusi besar bagi perkembangan antropologi modern.
Al-Biruni
dikatakan sebagai antropolog pertama dan seorang jenius yang menguasai berbagai
bidang ilmu: sains, matematika, dan sejarah. Karya al-Biruni yang berjudul Kitab al-Hind (“Buku tentang India”)
yang aslinya berjudul Tahqiq ma al-Hind,
yang merupakan hasil studi tentang India, dinilai sebagai masterpiece dalam studi antropo- logi. Melalui karya ini al-Biruni memulai
metode “peneliti diam, masyarakat pribumi yang bicara” (silent author but speaking native”) untuk menggambarkan peradaban
India berdasarkan pandangan masyarakat Hindu itu sendiri, bukan pandangan
peneliti. Bagi al-Biruni, seorang peneliti harus menghindari penilaian normatif
tentang adat istiadat dan kultur orang lain dan memahaminya tanpa harus
mengkritik.
Al-Biruni
adalah seorang Muslim yang saleh, demikian tulis Ahmed. Ia selalu memperkuat
setiap analisanya dengan ayat-ayat al-Quran dan percaya bahwa Tuhan adalah
pencipta segala sesuatu dan semua manusia. Pendekatan yang dilakukannya sangat
fundamental dalam diskursus teori dan metodologi ilmu-ilmu sosial. Al-Biruni
adalah antropolog pertama yang melakukan studi kebudayaan dengan pendekatan
keislaman. Ia seribu tahun lebih awal dari ahli Eropa tentang India seperti
Louis Dumont dan Andrian Mayer dalam melakukan studi tentang dinamika kasta
Hindu dan perkawinan di India.[38])
Apakah Ahmed benar-benar mengikuti al-Biruni, mengartikulasikan
konsep-konsepnya, ini belum terlihat dalam formulasi antropolgi Islam yang ditawarkannya.
Ibn
Khaldun juga mendapat tempat yang sangat penting dalam karya-karya antropologi
Ahmed. La setuju dengan Arnold Toynbee yang memandang bahwa karya Ibn Khaldun,
Kitab al-Ibar atau Sejarah Dunia
adalah karya terbesar dari jenisnya yang pernah diciptakan oleh pikiran
siapapun di sepanjang zaman dan seantero jagat[39] Demikian
juga halnya dengan Muqaddima yang
oleh Ahmed dinilai sebagai fondasi disiplin sosiologi modern, karena merupakan
karya pertama tentang ilm al-Umran,
ilmu tentang masyarakat, dengan mana Ibn Khaldun menganalisa perbedaan antara masyarakat
Islam abad ke-10 dan masyarakat Islam eranya, abad ke-l4. Kerja-kerja sosiologi
Ibn Khaldun dapat diabstraksikan dalam satu pola: “prestasi bertahan dalam
keadaan terbaik selama empat generasi dalam satu garis keturunan” (prestige lasts at best four generations in
one lineage”), dan ke dalam satu pertanyaan: “apa yang mengikat masyarakat
menyatu?” (What keeps society together?”
Menurut Ahmed[40])
inilah teori kohesi sosial pertama yang telah banyak mewarnai karya-karya
antropologi modern: Konsepsi Karl Marx tentang fase-fase sejarah manusia
sebagai sumber dinamika konflik dialektis antara berbagai kelompok; gagasan Max
Weber tentang tipologi otoritas legal; konsepsi Vilfredo Pareto tentang
sirkulasi elite; gagasan Ernest Gellner tentang teori “ayunan pendulum” Islam.
Pertanyaan yang sama: Apakah Ahmed mengikuti Ibn Khaldun? Apa konsepsi tentang ilm al-Umran, ilmu tentang masyarakat,
yang dikemukakannya? Satu-satunya yang bisa kita pahami dari ide-ide
antropologi Ahmed adalah suatu perpaduan dari elemen-elemen karya Marx Weber,[41])
Pareto dan Gellner.
Berbeda
dengan Ahmed, Davies menolak, baik karya al-Biruni maupun karya Ibn Khaldun
sebagai karya Islami, dan meragukan kontribusi keduanya dalam perkembangan ilmu
sosial Barat modern. Davies menilai gagasan sosiologis Ibn Khaldun yang
bersifat value free,[42] tidak
cukup Islam. Ia katakan,
“Tidak
ada bukti yang menunjukkan bahwa ide-ide, atau pendekatan-pendekatan lbn
Khaldun untuk studi umat manusia memberikan sumbangan dalam formasi teori
apakah antropologi ataupun sosiologi Barat.
Jika Ibn Khaldun menemukan “sosiologi,” tidak mungkin sosiologi Barat.”[43])
Davies
menyimpulkan bahwa memandang al-Biruni dan Ibn Khaldun masing-masing sebagai
penemu antropologi dan sosiologi hanyalah “praduga”. Para sarjana Muslim yang
secara membabi-buta menilai karya Ibn Khaldun sebagai karya Islami, adalah
sarjana yang tidak memiliki kesungguhan dalam program Islamisasi; mengalami
krisis konseptual, ideal dan maknawi.[44]) Kritik seperti inilah yang telah banyak
diberikan terhadap formulasi antropologi Islam yang ditawarkan oleh Ahmed.[45])
Terlepas
dari berbagai kemenduaan dan inkosistensi ide-ide yang dikemukakannya, analisa
Ahmed tentang karya-karya Ibn Khaldun dan al-Biruni, mengisyaratkan dua hal
penting bagi para ilmuwan sosial Muslim, khususnya dalam mengembangkan
diskursus antropologi Islam. Pertama,
tidak ada kendala rasial, geografis dan religius bagi seorang antropolog untuk
mempelajari masyarakat mana pun. Kedua
upaya mencari pemahaman sosiologis atau empiris tentang fenomena sosial
tidaklah mesti terpisah dari asumsi teologis, dan begitu juga sebaliknya, studi
teologis membutuhkan refleksi sosiologis.
Meski
pun dua hal di atas tidak terimplementasi dengan baik dalam formulasi Ahmed,
al-Biruni dan Ibn Khaldun adalah dua sosok penting yang perlu dipelajari sepak
terjang keilmuan mereka oleh para ilmuwan sosial kontemporer. Semangat, dedikasi
dan keterbukaan mereka dalam melakukan studi tentang berbagai corak kultur,
adalah sikap dasar yang telah mengantarkan mereka pada suatu karya dan reputasi
yang tak tertandingi hingga hari ini.
Terinspirasi
oleh analisa al-Biruni tentang Kasta India, Ahmed[46]) menyusun
apa yang ia sebut sebagai “anatomi masyarakat Islam,” yang bersendi lima: sendi
pertama, adalah “model primordial” yang sangat kontras dengan sendi kedua,
yaitu “model Ottoman” atau “model cantonment”;
sendi ketiga disebutnya “peradaban Islam tepian sungai besar,” meliputi sungai
Hindustan, sungai Tigris dan sungai Nil dengan masyarakat dan dinasti yang kuat
dan birokratis; sendi keempat adalah “model koloni Barat”; dan sendi kelima
adalah “model re-emergent,” yaitu
masyarakat Islam kontemporer. Inilah taksonomi yang menurut Ahmed, mengharuskan
adanya kesadaran akan keberagamaan dengan satu landasan, universalisme Islam.
Dengan kata lain, banyak masyarakat Islam, tetapi hanya satu Islam. Sayangnya,
prinsip ini juga tidak terlihat dalam tulisan-tulisan Ahmed tentang antropologi
Islam dalam tulisan-tulisannya seperti “tribal segmentary Islam,”[47])
“Indian Islam” dan “South Asian Islam”.[48]
Ahmed
menawarkan taksonomi di atas sebagai basis teori dan metodologi bagi
pengembangan antropologi Islam melalui program-program sebagai berikut:
mempersiapkan suatu studi sosiologis tentang kehidupan Nabi, mempersiapkan
suatu teks antropologi untuk jenjang BA, mempersiapkan monograp masyarakat
Islam di wilayah-wilayah utama, melakukan tour
ke negara-negara Muslim untuk mengembangkan proyek bersama dan mengembangkan
suatu proyek jangka panjang tentang perbandingan antara berbagai kategori
sosial yang ada (petani, suku dan kota) dalam rangka menyusun kerangka studi
sosial dan membuat extract karya-karya
antropolog Muslim.
Bila
kita ikuti definisi dan rekomendasi yang dikemukakan oleh Ahmed di atas,
jelaslah bahwa apa yang dimaksudkannya dengan antropologi Islam hanyalah suatu
duplikasi antropologi modern. Tidak ada indikasi bahwa formulasi yang ia tawarkan
bersifat korektif terhadap pola kerja antropologi modern; definisi, tujuan dan
ruang lingkup antropologi Islam yang diformulasikannya, miskin dengan
karakteristik Islami; tidak ada konsepsi dan metodologi Islami yang
ditawarkannya. Mauroof[49])
menilai, formulasi antropologi Islam yang ditawarkan Ahmed, sangat jauh dari
kerangka pikir, metodologi dan sejarah Islam. Ia tambahkan, Ahmed adalah seorang
intelektual yang bingung; berada antara dua dunia, yang satu mati, yang lainnya
tidak memiliki daya untuk tumbuh. Ironisnya Ahmed sendiri melakukan kritik
dengan nada yang serupa terhadap para penulis Muslim lain.[50] Menurut
Mauroof, yang harus dilakukan oleh seorang antropolog Muslim adalah
mengembangkan pemikiran antropologi yang didasari visi Islam tentang manusia
dan Tuhan serta mempelajari hubungan timbal balik antara keduanya. Bagi
Mauroof, merekomendasi suatu studi sosiologis tentang kehidupan Nabi hanya akan
mengulangi kekeliruan yang dibuat oleh para sosiolog modern yang telah banyak
dikritik; tidak mampu memahami fenomena perubahan sosial dan perilaku keislaman
dalam tingkat apa pun, kecuali aspek-aspek empirik yang berkenaan dengan
perkawinan, suku, kasta, ras, bangsa dan kerajaan Islam. Bila tidak ditopang
oleh perangkat metodologi yang Islami, studi sosiologis tentang kehidupan nabi
akan lebih jelek dari “meletakkan kuda di belakang kereta” (putting the horse behind the cart). Dalam konteks inilah Ahmed
bingung antara dua dunia, mendua dan inkonsisten.
Formula Khas?
Pada
bagian ini kita beralih dari kemenduaan dan inkosistensi formulasi yang
ditawarkan oleh Ahmed ke formula “khas,” distinctive,
yang ditawarkan oleh Merryl Wyn Davies dalam bukunya Knowing One Another: Shaping Islamic Anthropology. Buku ini
menyajikan apa yang oleh banyak komentator disebut sebagai basis radikal
konsepsi antropologi Islam. Dengan menghadapkan dua perspektif yang sangat
paradoksal (kemenduaan Ahmed dan radikalisme Davies), kita sedikitnya akan
menemukan apa sebenarnya kesulitan dan tantangan utama dalam mengembangkan
antropologi Islam.
Di
antara para antropolog Muslim yang terlibat dalam perdebatan tentang
antropologi Islam, Davies tergolong yang paling muda, memiliki pengalaman
lapangan terbatas memiliki pengetahuan al-Qur’an yang cukup luas. Bagi Davies,
paradigma empirik antropologi modern bertentangan secara radikal dengan Islam.
karena secara total antropologi modern adalah milik Barat, tumbuh dan
berkembang dalam peradaban Barat, sehingga tidak dapat diadopsi atau
diadaptasikan ke dalam paradigma Islam. Prinsip dasar pengembangan antropologi
Islam menurut Davies adalah “mengembangkan studi tentang masyarakat manusia dari
premis dan sesuai dengan orientasi konsepsi Islam”.[51] Davis
mendefinisikan,
“…
antropologi adalah akumulasi informasi, teori, dan teknik studi yang
berhubungan dengan praktek-praktek dan ide-ide umat manusia yang beragam dalam
masyarakat. Ia merupakan konstruk mental yang bergantung pada sistem
pengetahuan antropolog yang telah mengikuti studi mereka dalam bidang yang
partikular ini.”[52])
Sangat
jelas bahwa definisi di atas sangat menekankan adanya sifat “sarat nilai” (value-laden) dalam kerja-kerja
antropologi; nilai dan sistem moral yang mengitari seorang antropolog sangat
berpengaruh pada carabagaimana ia berhubungan dengan orang-orang yang sedang
dipelajarinya dan bagaimana ia menginterpretasikan atau mengeksplanasikan
mereka. Dapatlah dikatakan bahwa “satu-satunya yang netral dalam antropologi
adalah perkataan itu sendiri”.
Dalam
pandangan Davies,[53]
ilm al-Umran,[54] “ilmu
tentang masyarakat,” dalam perspektif Islam, adalah suatu pandangan dunia (world-view) bahwa manusia adalah sentralitas
pribadi bermoral (moral person), dan
eksposisi din. Selama visi tentang
moral Islam diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus
antropologi Islam harus mulai dengan meneliti originalitas dan logika
konsep-konsep al-Qur’an, sejarah penafsirannya, dan konteks kekiniannya.
Berikut
ini adalah seperangkat terminologi al-Qur’an yang ditransfer oleh Davies untuk
memahami segi-segi kontekstual dari eksistensi sosial Islam;
“Fitrah, sifat dasar manusia; din, jalan agama sebagai pandangan dunia
menyeluruh; adl, yakni keadilan,
kesamaan; adab, yakni kebudayaan dan
keseimbangan; fard, yakni kewajiban; nafs, yakni jiwa individu; halam (sic.), yakni manfaat; haram yakni merusak; akhirat, yakni hari akhir; ibadah; zulm, yakni ketidakadilan.[55])
Menurut
Davies, konsepsi dan nilai-nilai Islam dalam terminologi di atas memuat eternal validity, yaitu basis etika dan
moral bagi konstruksi sistem berpikir dan berperilaku Islam yang hanya dapat
dipahami melalui konsep fitrah, khilafah, dan din. Melaui konsep ini, seorang antropolog akan dapat menjembatani
makna teologis keberadaan manusia dengan konteks sosialnya melalui integrasi
aspek biologis dengan aspek spiritual, aspek material dengan aspek moral, aspek
individual dengan aspek kolektif, aspek kolektif dengan aspek supernatural.[56])
Inilah yang dikatakan oleh Davies[57])
sebagai “antropologi yang didasarkan pada pribadi bermoral” (moral person based anthropology), yang
bertujuan mempelajari consonance,
yaitu suatu kondisi “yang sesuai dengan” (being
agreement with), “yang konsisten dengan” (being consistent to), “yang membuat rukun” (making concord), dan harmoni. Menurutnya, antropologi ini
bertujuan untuk memahami seluk-beluk, kondisi, arti dan implikasi consonance dalam komunitas manusia.
Perhatian dipusatkan pada hubungan sosial komunitas manusia dalam keragaman
kultural masa lalu dan masa kini,[58])
dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip,[59])
yang mengatur, mengorganisir dan memberi makna bagi perilaku manusia, keberagaman
bentuk dan institusinya.
Dengan
landasan konsepsional dan metodologis di atas maka Davies mensintesa bahwa
antropologi Islam adalah ilmu pengetahuan explicatory,
bukan descriptive, yaitu pendekatan
holistik untuk memahami bagaimana consonance
beroperasi, bagaimana prilaku kemanusiaan empirik dalam keragaman komunitas
yang ada, bagaimana hal itu didemonstrasikan, dan dalam kondisi yang bagaimana hal
itu bisa beroperasi. Ini berarti bahwa suatu komunitas tidak bisa dipandang sebagai
batas suatu sistem; antropologi Islam tidak bermaksud memahami bagaimana
komunitas berkembang melalui usaha manusia dalam lingkungan fisik tertentu, tetapi
bagaimana bentuk dan proses operasional suatu komunitas menyatu menuju
tercapainya tujuan moral yang berlaku umum bagi semua manusia.[60])
Dengan
formulasi di atas, Davies hendak mengatakan bahwa yang ia tawarkan adalah
antropologi Qur’ani. Antropologi Islam, tulisnya, adalah perpaduan
rasionalisme-relativisme berdasarkan prinsip-prinsip universal Islam.
Rasionalisme dalam konotasi ini adalah kesadaran tentang prinsip-prinsip universal
yang berlaku dalam semua komunitas, dan relativisme adalah suatu keyakinan
bahwa suatu komunitas bisa dipahami melalui identitasnya sendiri.[61]
Menurut
Davies, perpaduan di atas terkristalisasi dalam konsepsi din dan elemen-elemen
kontekstualnya, syari’ah dan minhaj dengan mana seorang antropolog Muslim memahami
suatu komunitas melalui kajian tentang struktur aturan-aturan normatif yang
mendefinisikan semua sistem kehidupan sosial suatu komunitas. Dengan cara ini, interpretasi
tentang fenomena dalam suatu komunitas harus berkaitan dengan sistem pemikiran
dan kepercayaan yang berlaku dalam komunitas tersebut; ide-ide, pertanyaan dan
evaluasi diinformasikan dalam bentuk dialog dengan anggota-anggota komunitas
yang sedang dipelajari, sehingga mereka berperan sebagai partisipan aktif dalam
kegiatan penelitian yang dilaksanakan.[62] Dalam
konteks ini, maka “observasi terlibat” (participant
observation) menjadi sangat penting dalam formulasi kerja antropologi Islam
yang ditawarkan Davies. Selain itu, penelitian seperti ini juga harus didukung
oleh sumber-sumber tertulis untuk memahami jaringan interaksi sosial dalam
suatu komunitas dalam batasan waktu dan ruang tertentu.Dengan demikian maka
secara metodologis, suatu studi etnografi, harus didukung oleh penguasaan bahasa,
sejarah, sistem klasifikasi dan tipologi yang berlaku dalam suatu komunitas
melalui analisa perbandingan.[63])
Dari
gambaran metodologis di atas, ternyata sangat sukar bagi Davies untuk keluar
dari tradisi British Social Anthropology di mana ia belajar, sama sukarnya bagi
Ahmed untuk terbebas dari pengaruh para favoritnya di Barat. Dengan formulasi
yang ia tawarkan, Davies berusaha menarik pola kerja antropologi modern ke
dalam terminologi al-Qur’an dengan menggabungkan elemen-elemen yang ada dalam
aliran fungsionalisme[64])
strukturalisme[65])
dan fungsionalisme struktural[66] ke
dalam satu pola. Bila kerja keras Ahmed menghasilkan kemenduaan dan inkonsistensi,
kerja keras Davies menghasilkan suatu “antropologi campuran” (mixed anthropology). Ahmed nyata-nyata
belum membuktikan gagasan korektif, corrective
framework, yang dicanangkannya, dan Davies ternyata belum membuktikan
gagasan disinctive Islamic anthropology
yang ditawarkannya.
Agenda dan Prospek
Hasil
kerja dua antropolog Muslim di atas mengingatkan kita pada relevansi label Islamic yang mereka lekatkan pada
formulasi kerja antropologi yang mereka tawarkan. Satu-satunya justifikasi yang
bisa kita berikan terhadap Davies dan Ahmed adalah bahwa keduanya merupakan
antropolog Muslim yang baik. Mereka telah menggugah agar kita mengkaji ulang
pemahaman kita selama ini tentang konsepsi Qur’ani yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan aktivitas ilmiah.
Tidak
ada keraguan bahwa paradigma ilmu-ilmu sosial modern banyak berbenturan dengan
konsepsi agama mana pun, terutama Islam.[67])
Tapi bagi seorang Muslim, ilmu pengetahuan harus dihadapi dengan sikap terbuka.
Selama ada signifikansi bidang ilmu tertentu terhadap tugas-tugas sebagai
seorang Muslim, ilmu pengetahuan tersebut menjadi signifikan bagi dirinya.
Selain memahami al-Qur’an, seorang Muslim perlu menalar fenomena alam, mengenal
satu sama lain dan bahkan dianjurkan untuk datang ke tempat yang jauh, seperti Cina
untuk mencari ilmu. Inilah proses rekayasa ilmu pengetahuan yang menuntut daya
kritis, keterbukaan kultural, rasa percaya diri dan keberanian teologis dalam kerangka
nilai-nilai universal Islam. Selain menuntut kemauan berpikir dan kepekaan
terhadap fenomena alam sekitar, proses ini harus diperkaya dengan dialog-dialog
keilmuan tanpa sikap mendua dan apriori. Kecerahan ilmu pengetahuan dalam masyarakat
Islam abad pertengahan tidaklah dicapai dalam suasana terisolasi dan apriori,
tetapi melalui keterbukaan terhadap berbagai sumber ilmu pengetahuan. The School
of Baghdad, Bait al-Hikmah misalnya,
adalah bukti keterbukaan tersebut.[68] Di
sinilah para ilmuwan Muslim bersama sarjana dan mahasiswa dari berbagai latar
belakang agama, budaya dan negara bekerjasama menterjemahkan, berdiskusi,
menulis, dan melakukan eksperimen.
Antropologi
Islam harus menjadi alternatif bagi antropologi dunia dengan satu prinsip bahwa
“tidaklah mesti orang hitam yang menulis tentang orang hitam, seorang Muslim tentang
Muslim, sebagaimana juga seorang Kristen tentang masyarakat Kristen dan seterusnya”.[69])
Hanya dengan cara ini disiplin antropologi bisa paralel dengan prinsip-prinsip universal
Islam dan memiliki daya diseminasi yang luas. Sebuah alternatif tidak akan
terbangun dalam isolasi dan ketertutupan, tetapi melalui dialog konstruktif yang
terbuka dan berani. Diterimanya suatu teori atau metodologi tersebut bisa menyajikan
suatu gagasan aktual yang bisa dipahami.
Davies
tidak salah mengatakan bahwa harus ada antropologi Islam yang khas, yang
Qur’ani, tetapi. Ahmed juga benar ketika berpendapat bahwa jalan menuju antropologi
Islam harus ditempuh melalui kerjasama terbuka dengan antropolog dari golongan
mana pun. Sikap terbuka inilah yang disitir oleh seorang antropolog Inggris,
Richard Tapper,[70])
bahwa gagasan tentang antropologi Islam harus disambut dengan serius karena
memiliki audien yang luas, memiliki
landasan ideologis dan mengundang diskusi kritis .... ”[71])
Kalau
para kritikus memandang Ahmed terperangkap dalam formulasi antropologi modern
yang dikembangkan oleh para koleganya di Barat sehingga belum menyajikan suatu
antropologi alternatif, saya cenderung mengatakan bahwa Davies berada dalam
kesulitan dengan terminologi Qur’ani yang ditawarkannya. Problem utama dalam
pola kerja Ahmed adalah kesenjangan antara prinsip-prinsip universal Islam
dengan perspektif Orientalisme Barat sekuler yang dicoba dipadukannya. Adapun problem
utama formulasi kerja antropologi Islam yang ditawarkan Davies adalah terlalu
banyak memandang antropologi sebagai milik dunia Barat ketimbang khazanah ilmu
pengetahuan universal dan belum memberikan artikulasi yang cukup jelas tentang
terminologi Qur’ani yang ditawarkannya.
Drama
perkembangan teori-teori sosial Barat dari evolusionisme hingga post-modernisme
adalah indikasi tentang dinamika sekaligus kerapuhan teori-teori dan metodologi
tersebut. Hal ini bukan hanya menjadi tantangan bagi ilmuwan sosial Barat, tapi
bagi setiap ilmuwan sosial, khususnya para antropolog dan sosiolog. Inilah
tantangan bagi terbangunnya sebuah paradigma antropologi alternatif yang lebih
kokoh dan berwawasan universal.
Bagaimanapun
harus diakui bahwa kerja keras Davies telah berhasil memperkenalkan sebuah pola
kerja antropologi yang mengacu pada sistem nilai Islam dan karakteristik
masyarakat Muslim. Dinilai oleh Richard Tapper,[72])
bahwa analisis epistemologi yang diperlihatkannya sungguh mengagumkan dan
gagasan riset lapangan dialogis yang ditawarkannya sungguh cukup memberi harapan.
Tetapi hasil kerja Ahmed dinilai oleh Momin, seorang profesor antropologi
Muslim di Universitas Bombay, sebagai terfragmentasi dan terputus-putus, sehingga
tidak memiliki metodologi dan konsep yang sistematis.[73])
Tidak
akan ada kajian keilmuan Islam dalam disiplin apa pun dapat berjalan tanpa
ditopang oleh premis-premis ontologi dan epistemologi Islam. Para antropologi
perlu menemukan kembali bahwa disiplin yang mereka geluti adalah disiplin
universal, atau secara potensial universal. sehingga mencakup manusia secara
totalitas.
Salah
satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari analisa Ahmed dan Davies adalah
bahwa tantangan program islamisasi ilmu-ilmu sosial bukan terletak hanya pada
aspek metodologi dan teori akademik dan institusional, tetapi juga pada visi keilmuan.
Tidak diragukan bahwa mereka berdua memiliki kapasitas ganda: menguasai
prinsip-prinsip Islam tentang manusia dan menguasai kerangka metodologi dan
teori antropologi modern. Tapi mengapa, seperti ditulis oleh Ahmed, lslamisasi ilmu
pengetahuan tampil tidak terarah, dan menghasilkan karya-karya yang
membingungkan?[74])
Meski pun Ahmed bermaksud mengkritik para kolega Muslimnya, saya cenderung
memasukkannya ke dalam kelompok yang sama. Ketidakmampuan para ilmuwan Islam
dalam membangun suatu kekuatan intelektual adalah bagian integral dari kondisi
dunia Islam pada umumnya yang dilanda berbagai bentuk malaise.[75])
Selama para sarjana Muslim hanya menjadi informan bagi para sarjana lain,
tergantung pada jasa baik ilmuwan non-Islam dan tidak memiliki basis ekonomi
dan institusional dan visi keilmuan yang tunggal, Islamisasi ilmu pengetahuan
hanya akan menjadi utopia, bahkan dapat menyulut disintegrasi di kalangan
intelektual Muslim. Seorang sejarawan Pakistan, Kazi, mengingatkan bahwa “sains
bukanlah hanya suatu ilmu pengetahuan terorganisir, tetapi juga suatu cara
dalam melakukan sesuatu. Ilmu pengetahuan adalah suatu aktivitas, bukan sekedar
fakta, suatu produk dan suatu proses.”
Objektivitas
dalam studi antropologi tidak akan tercipta hanya dengan menolak pola kerja
antropologi Barat modern atau hanya dengan memberi aksesori keislaman ke
dalamnya, tetapi dengan mengaktualisasikan prinsip-prinsip epistemologi yang
benar dalam pola dan mentalitas kerja seorang antropolog, yakni seorang yang berinteraksi
dengan masyarakat yang dipresentasikannya. Seorang antropolog harus
meningkatkan sensitivitas, membebaskan dirinya dari perangkap ideologi
kolonialisme dan orientalisme. Bagi para antropolog Muslim, diperlukan rasa
percaya diri untuk meningkatkan inklusivisme dalam konstelasi perkembangan
disiplin antropologi global melalui dialog-dialog terbuka dan konstruktif
dengan antropolog mana pun. Harus ada landasan ideologis dan institusional
akademik sendiri[76])
sebagai wadah pengembangan gagasan keilmuan Islam. Seperti dipertanyakan oleh
Edward Said,[77]
mengapa Cambridge atau Harvard tidak berada di Islamabad atau di
Teheran? Mari kita bertanya, mengapa kebanyakan ilmuwan Muslim begitu fleksibel
di tengah komunitas ilmuwan Barat, tetapi begitu kaku di tengah-tengah
komunitas mereka sendiri? Akankah berlebihan bila kita katakan bahwa mereka
terlalu pragmatis dan tidak memiliki nyali yang cukup untuk mengembangkan suatu
paradigma keilmuan Islam. Intelektual bukanlah produk suatu sistem, tapi harus
mampu membangunnya.
Program
Islamisasi ilmu pengetahuan harus dipandang sebagai perjuangan menegakkan
kedaulatan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan menyebarkan perspektif
Islami tentang fenomena sosial dan kemanusiaan, bukan sebagai proses
mengisolasi diri dari ilmu pengetahuan Barat modern dan mengembangkan sikap
phobia ilmu pengetahuan. Nilai positif ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh di
mana ia berkembang, tetapi oleh proses yang bagaimana ia dikembangkan dan oleh
siapa dan atas dasar epistemologi apa ia didiseminasikan. Inilah suatu
tantangan teoritis, metodologis, biografis dan epistemologis bagi program
Islamisasi ilmu-ilmu sosial khususnya dan Islamisasi ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dibandingkan
dengan disiplin lainnya, antropologi merupakan wilayah Islamisasi yang relatif
lebih kompleks di samping memiliki paradigma yang rapuh, disiplin ini belum mendapat
perhatian sepenuhnya di kalangan ilmuwan sosial Muslim dan bahkan masih banyak
mereka yang memandang antropologi sebagai disiplin Eropa-Amerika. Inilah sikap keilmuan
sempit yang terlahir dari proses belajar isolatif.
Sangatlah
bijaksana bila para antropolog Musim bersikap ekstra hati-hati dan terbuka
dalam aktivitas Islamisasi. Sikap ini sangar penting agar umat Islam tidak
kehilangan nilai strategis disiplin ini. Pertanyaan dalam program Islamisasi
antropologi bukanlah bagaimana membangun suatu disiplin antropologi yang khas,
tetapi bagaimana memiliki ilm al umran,
ilmu tentang masyarakat yang benar, sehingga bisa menjadi format kerja alternatif
bagi antropologi mana pun. Semua ini hanya bisa dicapai melalui suatu pola
kerja rasional jangka panjang, bukan “program semalaman” (over-ninght programme) dan harus mengacu pada prinsip-prinsip yang
berlaku dalam warisan budaya Islam melalui proses apresiasi dan internalisasi
yang ditopang oleh kematangan intelektual dan kedewasaan kehidupan beragama.
Catatan Kaki
[1] Dalam rumusan The International Institute
of Islamic Thought (IIIT) yang
dipublikasikan tahun 1989, gagasan operasional Islamisasi ilmu
pengetahuan al-Faruqi didapatkan menjadi dua tugas utama, yaitu menggabungkan
dua sistem pendidikan (Barat dan Islam) dan menginstalisasikan visi keislaman
dengan melakukan studi tentang peradaban Islam dan mengislamisasikan ilmu
pengetahuan modern (lihat bab II).
[2] Beliau adalah pemikir Muslim berkaliber
internasional, sebagai pencetus dan penggerak gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan, yang terakhir diarahkan pada Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Semasa
hidupnya, beliau pernah menjadi profesor studi-studi keislaman di Universitas
Temple, Philadelphia. Beliau mengenyam pendidikan di the American University ol Beirut, Indiana, dan Universitas
Harvard, dan melaksanakan program post doctoral dalam ilmu keislaman di
Universitas al-Azhar, Kairo dan dalam ilmu-ilmu Judaisme dan Kristenisme di
Universitas McGill, Montreal sebagai fellow
Yayasan Rockefeller. Aktifltas yang beliau laksanakan dalam mengembangkan
gagasan lslamisasi ilmu-ilmu sosial adalah meliputi: penyelenggaraan seminar,
membangun pusat-pusat studi Islam, menerbitkan berbagai jumal, membangun
universitas Islam dan mengembangkan lembaga publikasi, yang kesemuanya berskala
lnternasional.
[3] Al-Faruqi, loc. cit.
[4] Diskusi mendalam tentang konsepsi Islam
tentang manusia disajikan oleh Ali Shariati dalam bukunya man and Islam, diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Fatollah
Marjani (Houston: Filinc, 1981), Buku ini telah diterjemahkan ke dalam _ bahasa
Indonesia oleh Amin Rais dengan judul Tugas
Cendekiawan Muslim (Iakarta: CV. Rajawali, 1982).
[5] Lihat misalnya “Islamization of Knowledge
and some Methodological Issues in Paradigm Building: The General Case of Social
Science with a Special Focus on Economics,” American
Journal of Islamic Social Science (l987) 4/1, h. 51-72; Khursid Ahmad (ed.),
Islamic Economisc: Annotated Sources in
English and Urdu, (Leiscester: Islamic Foundation, 1983); Studies in Islamic Economics, 1980,
Chapra, Toward a lust Monetary System
(Leicester: Islamic Foundation. 1985); Nejatullah Siddiqui, Banking Without Interest (Leicester: Islamic
Foundation, 1983); S.N.H. Naqpi, Ethics
and Economics: An Islamic Syanthesis (Leicester:
Islamic Foundation, 1981); Asaria, “Banking With Islam," Inquiry (1985) 2/12, h. 26-31.
[6] Lihat misalnya Abdul Hamid A. Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International
Relations: New Directions for Islamic Methodology and Thought (Herndon:
IIIT, 1987).
[7] Perdebatan tentang “Islamisasi Antropologi”
ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan sebagai berikut: S.M. Mauroof,
“Elements for an Islamic Anthropology,” dalam I.R. al-Faruqi dan A.M.Naseef
(eds.), Social and Natural Science: The
Islamic Perspective (Jeddah:Hodder and Stoughton, 1981), selanjutnya
disingkat “Elements ...”; A.B. Elkoly, “Towards an Islamic Anthropology,” Muslim Education Quarterly (1984) 1/2;
A.S. Ahmed, “Al-Biruni: the First Anthropologists,” RAIN (Feb. 1984), 60/9-10;
M. Wyn Davies, “Towards an Islamic alternative to Western Anthropology,” Inquiry (June 1985), h. 45-51.
selanjutnya disingkat “Toward ..,”: I. Ba-Yunus dan F. Ahmad, Islamic Sociology: An Introduction
(London: Hodder and Stoughton, 1985); A. S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society
(London: Routledge & Kegan, 1988), selanjutnya disingkat Discovering; M.
Wyn Davies, Knowing One Another; Shaping Islamic Anthropology
(London:Mansell, 1988), selanjutnya disingkat Knowing; dalam beberapa segi dapat juga dilihat dalam Shariati, On the Sociology of Islam, diedit oleh
H. Algar (Berkley, California; Mizan, 1979).
[8] A. S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology Definition, Dogma, and Direction
(Washington D. C,: International Institute for Islamic Thought, 1986), h. 8-9,
selanjutnya disingkat Toward.
[9] Di antara karya-karya radikal mengenai
irrelevansi paradigma ilmu-ilmu sosial Barat terhadap fenomena masyarakat Islam
adalah S. N. Al-Attas, Islam and
Secularism Kuala Lumpur: Art Printing Works, Sdn.. Bhd.. 1978); T. Asad
(ed.) Anthropologv and Colonial Encounter
(London: Ithaca Press. 1973); E. Said, Orientalism
(London: Penguin. 1978).
[10] Suku ini sebagian besar bermukim di wilayah
perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan.
[11] Lihat A.S.-Ahmed, Toward; W.C. Young, “Review of Ahmed’s Toward Islamic Anthropology:
Definition, Dogma and Direction, “American
Journal of Islamic Social Science” (1988), 5/2, h. 289-91.
[12] Bandingkan dengan klasifikasi yang dibuat oleh
Richard Tapper: ldealis, apologis dan radikalis. Lihat tulisannya, “Islamic Anthropology”
dan “The Anthropology of Islam,” “Makalah Seminar” dipresentasikan di School of
Oriental and African Studies (SOAS). London (3 Desember l991; tidak
diterbitkan) h. 12..
[13] Merryl Wyn Davies, Knowing. h. 128.
[14] A. S. Ahmed,”Toward an lslamic Anthropology:
Problems in Perception of Religion in Cultural System,” dalam Knowledge for What (Islamabad: National
Hijrah Council, 1986), h. 56; selanjutnya disingkat Knowledge.
[15] Ibid, h.
106, 109.
[16] Ibid, h.
216.
[17] M. W. Davies, Knowing h. 82.
[18] S. M. Mauroof, “Elements…” h. 133.
[19] A. S. Ahmed, Knowledge, h. 215.
[20] Ibid,
h. 215-216.
[21] Ibid,
h. 106.
[22] Ada dua karya keagamaannya yang terkenal, Sociology of Religion (1968); Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism (1958).
[23] Lihat karyanya The Elementary Forms of the Religious Life (1912 dalam bahasa
Perancis, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1925).
[24] Lihat karyanya Theories of Primitive Religion, dan Nuer Religion (pertama kali diterbitkan tahun 1956).
[25] Karya-karyanya The Interpretation of Dreams (1900); Totem and Taboo (1913); The
Future of an Illusion (1927); dan Civilization
and Its Discontents (1929).
[26] A. S. Ahmed; Knowledge, h. 24.
[27] Lihat Talal Asad (ed.), loc. cit.; The Idea of
Anthropology of Islam, Uccational Papers Series, (Washington D.C.: Center
for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986).
[28] M. W. Davies, Knowing, h. 168.
[29] S. M. Mauroof, “Elements….”. h. 133.
[30] M. W. Daviws, Knowing, h. 116.
[31] A. S. Ahmed, Knowledge, h. 13.
[32] Lihat karya John Beattie, Other Culture (1964), yang sangat dekat dengan pemikiran para
evolusionis seperti Spencer, Survival of
the fittest (inorganik, organik, superorganik); Montesquieu (masyarakat
berburu” atau savagery; “masyarakat
barbar,” “masyarakat beradab”); Comte (“tahap teologis,” “tahap metafisik” dan
“tahap positif/ilmu pengetahuan”) dan Adam Smith (masyarakat berburu dan
menangkap ikan, pastoralisme, bertani dan dagang).
[33] M. W. Davies, Knowing, h. 5-6.
[34] Ibid, h.
174.
[35] Ibid, h.
77.
[36] Ibid, h.
50.
[37] A. S. Ahmed, Discovering; h. 99-101.
[38] Ibid.
[39] Ibid,
h. 101.
[40] Ibid,
h. 103-4.
[41] Ahmed menggunakan konsep Weber tentang “ideal
type” untuk menjelaskan gagasannya tentang “The Muslim Ideal”. Lihat
“Pendahuluan” bukunya Discovering.
[42] Lihat argumentasi yang sama dengan Ilyas
Ba-Yunus dan Farid Ahmad, op. cit.,
h. 80
[43] M. W. Davies, Knowing, h. 155.
[44] Ibid, h.
155
[45] Untuk pandangan serupa, lihat juga Mauroof,
“Elements ..., ” h. 132; “The Rescuing
of Muslim Anthropological Thought” dalam The American Journal of Islamic Social Science 1987), 4/2, h. 305-20, selanjutnya
disingkat menjadi “The Rescuing ”; dan
Momin A.R. “Islamization of Anthropological Knowledge,” dalarn The American Journal of Islamic Social
Science (1989), 6/2. h. 143-l53.
[46] A. S. Ahmed, Knowledge, h, 99-100.
[47] Ibid,
h. 61.
[48] A. S. Ahmed, Discovering, h. 75, 84, 95.
[49] S. M. Mauroof, “The Rescuing …” h.
145-55.
[50] A. S. Ahmed. Knowledgg, h. 61.
[51] M. W. Davies, Knowing, h. 82.
[52] Ibid,
h. 11.
[53] Ibid,
h. 56.
[54] Terlepas dari penolakannya terhadap formulasi
sosiologi Ibn Khaldun, Davies mengadopsi terminologi yang dipopulerkan oleh Ibn
Khaldun ini.
[55] M. W. Davies, Knowing, h. 57.
[56] Ibid,
h. 107.
[57] Ibid,
h. 113.
[58] Bandingkan ide ini dengan ide Evan-Pritchard
dalam tulisannya “Social Anthropology: Past and Present,” The Marett Lecture
(1950) dan “Anthropo1ogy and History” 1961).
[59] Bandingkan dengan pendapat Claude Levi Strauss
tentang ”the 'underlying principle’dalam bukunya Structural Anthropology 1
& 2 (London: Penguin Books, 1978).
[60] M. W. Davies; Knowing, h. 114, 118, 130
[61] Ibid.
[62] Ibid,
h. 132-34.
[63] Ibid,
h, 137-9. Pendekatan ini sempat ber kembang dalam tradisi “British Social Anthropology”.
Lihat Ladislav Holy (ed.), Comparative
Anthropology (Oxford: Blackwell, 1987).
[64] Aliran ini mengeksplanasi prilaku, pola
hubungan dan institusi sosio-kultural melalui fungsi-fungsi sosialnya.
Diinspirasi oleh pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang “organic
analogy,” Durkheim (1858-1917), di Perancis, mengembangkan idenya tentang
“collective conscience” yang terakhir mempengaruhi Malinowski (1884-1942),
kelahiran Polandia. Yang terakhir ini dikenal sebagai penganut ekstrem aliran
fungsionalisme dan sebagai pionir metode “Participant Observation” yang hingga
saat ini menjadi ciri utama dalam tradisi “British Social Anthropology” Lihat
masterpiece Malinowski, Argonauts of the Western Pacific (1922).
[65] Dalam disiplin antropologi, aliran ini tidak
bisa terlepas dari Claude Levi-Strauss kelahiran Perancis (1908 - ...). Ia
berpendapat bahwa kultur adalah fenomena permukaan yang menandai kecenderungan
universal manusia dalam menata dan mengklasifikasi pengalaman dan fenomena yang
didapatkannya. Sementara fenomena permukaan sangat bervariasi, namun
prinsip-prinsip yang mengendalikannya (the underlying princiles) adalah
sama. Lihat bukunya Struktural Anthropology, 1958 (edisi bahasa Perancis) dan
1968 (edisi bahasa Inggris).
[66] Walaupun Radcliffe-Brown (1881-1955) dianggap
sebagai tokoh sentralnya, dalam beberapa segi
Malinowski (1884-1942), Fortes (1906-83),
Evans-Prichard (1902-73), Firth (1902 - ...) dan
Gluckman (1911-75) juga sering dikelompokkan
sebagai struktural fungsionalis. Dalam
pandangan Radcliffe-Brown, suatu struktur, utamanya adalah struktur sosial atau
jaringan institusi dan hubungan sosial yang menentukan
bentuk permanen suatu masyarakat. Lihat masterpiece-nya, The Andaman Islanders (1948).
[67] Studi kritis tentang irrelevansi paradigma
ilmu pengetahuan Barat modern
dengan masyarakat Islam dapat dilihat dalam karya-karya sebagai berikut: Syed Naquib
al-Attas, Islam and Secularism (1978), Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future (1985); al-Faruqi (ed.), Islamization
of Knowledge (1982); Mutahari, Society
and History, (1985); Nasr, Science
and Civilization in Islam (1968), Knowledge
and the Sacred (1989); Sardar, Explorations
in Islam Science (1989).
[68] Lembaga ini dibangun oleh
Klaifah al-Makmun
(813-33), yang pengelolaannya
diserahkan
pada Yahya Ibn Maskawaih (873). Lihat Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (1988).
[70] Beliau adalah direktur Near and Middle East Studies
pada School of Oriental and African Studies (SOAS),
University of London. Selain banyak melakukan
penelitian antropologi pada masyarakat Islam
di Turki dan Afganistan, beliau juga banyak
menulis tentang Sufisme, Orientalisme dan
termasuk salah satu antropolog Inggris yang cukup responsif
terhadap gagasan Islamisasi ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam
disiplin antropologi.
[72] Ibid.
[73] Lihat A. R. Momin, “Islamization of
Anthropological Knowledge,” dalam The American
Journal of Islamic
Social Science (1989), 6/1, h. 143-53.
[74] A. S. Ahmed, “Review on
Davies: Knowing One Another, Shaping an Islamic Anthropology, The American lournal of Islamic Social Science (1989) 6/2.
[75] Istilah ini sering digunakan oleh almarhum Ismail
Raji al-Faruqi dalam melukiskan berbagai keterbelakangan dan sikap regresif masyarakat
Muslim, khususnya dalam bidang politik, ekonomi dan
intelektualisme.
[76] Selain telah didirikannya
beberapa universitas berlabel Islam di Pakistan,
Malaysia, Saudi Arabia, Sudan yang memiliki landasan politis di
negara-negara tersebut dan telah dibukanya “The
International Institute of Islamic Thought
and
Civilization” (ISTAC) pada hari Jumat, 4
Oktober 1991 lalu di Kuala Lumpur, dan adanya rencana
pihak Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
pusat untuk mendirikan Pusat Studi Keilmuan Islam di Jakarta dalam
waktu dekat, adalah tanda-tanda segar bagi bangkitnya
kedaulatan para ilmuwan Muslim yang harus kita
semarakkan, kita dukung dan kita tunggu follow-up dan produknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar