Minggu, 26 Oktober 2014

TAFSIR DAN MODERNISASI



TAFSIR DAN MODERNISASI
Oleh: Moh. Quraish Shihab
Dr. Quraish Shihab adalah dosen di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta, dan salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, sejak tahun 1984. Beliau menyelesaikan studinya dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsir dari Universitas al-Azhar Cairo, Mesir, pada tahun 1983, dengan yudisium Summa cum laude. Disertasinya berjudul “Korelasi antara Ayat-ayat dan SUrat-surat al-Qur’an”. Lahir pada 16 Februari 1944, penggemar berat lagu-lagu Ummi Kultsum ini pernah menjabat sebagai Wakil Rektor IAIN Alauddin, Ujung Pandang (1973-1980). Karya tulisnya, antara lain, adalah: Tafsir Surat Al-Hujurat, Korelasi antara Ilmu Pengetahuan dan al-Qur’an, Mahkota Tuntunan Ilahi, dan Pesona al-Fatihah. Beliau juga adalah anggota dewa redaksi Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an.

Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai “Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang” (Q. 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kaum kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus Nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka – melalui Kitab Suci tersebut - dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problema-problema mereka (Q. 2:213).

Agar al-Qur’an berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan di atas, al-Qur’an memerintah umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain Q. 38:29), sehingga mereka dapat menemukan – melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat – apa yang dapat mengantar mereka menuju terang benderang.
Di sisi lain, al-Qur’an menggambarkan masyarakat ideal (masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad) sebagai “tatanan yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia da tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya…” (Q. 48:29).
Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan hakekat kemodernan yang – antara lain – bercirikan dinamika dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat berkesimpulan bahwa al-Qur’an menganjurkan pembaharuan atau – alam bahasa hadits Rasulullah saw. – tajdid, atau istilah lainnya “modernisasi” atau “reaktualisasi”.

Arti Tajdid atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya tajdid, terlepas apakah mereka menilai shahih atau tidak hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah, namun – dalam pengertiannya serta pengalamannya – telah terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.
Busthami Muhammad Said  misalnya menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan Sahel al-Sha’luki (w. 387 H.) sebagai “Mengembalikan ajaran agama sebagaimanan keadaannya pada masa salaf pertama” (i’ adah al-din ila ma kana alayhi ‘ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu, Ahmad Ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai “penyebarluasan ilmu”. Dengan menggabungkan keduanya, sementara ulama menyatakan bahwa tajdid tidak lain kecuali “menyebarkan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal.”
Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai “usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan menakwilkan atau menafsirkannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan al-Qur’an sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena al-Qur’an harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya – sedang hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor antara lain pengalaman, pengetahuan kecenderungan serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakekat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakekatnya menghilangkan al-Qur’an yang dinilai “selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat.” Selain itu, menafsirkan dan menakwilkan sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat obyektif dan telah mapan dan ada pula sebaliknya.
Atas dasar ini diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan, di pihak lain, ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya.
Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan al-Maududi:
Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakekat-hakekat ilmiah, bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna al-Qur’an. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia telah memeahami al-Qur’an melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw.
Pendapat al-Maududi di atas walaupun kelihatannya berbeda dengan pendapat al-Syathibi (1143-1194), namun hakekatnya sama. Menurut a-Syathibi, “Syariat bersifat ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw.”
Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah “murid-murid” Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat al-Qur’an. ‘Adi Ibn Hatim, misalnya memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith as-aswad (Q. 2:187) dengan arti hakiki (benang).
Kalau pendapat al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami al-Qur’an adalah ayat ketujuh surah Ali ‘Imran, “Huwa alladzji anzala ‘alaika al-kitab minhu ayatun muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat.” Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah al-Qur’an mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna simbolis. al-Qur’an – katanya lebih jauh – memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan memahami jiwa ajaran al-Qur’an.
Tetapi apakah benar dalam al-Qur’an terdapat “banyak” ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat ditakwilkan sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah suprarasioalitas dalam ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat ditakwilkan menjadi “hukum alam” atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)? Tidak ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat terbatas, yang kita  pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.

Pandangan tentang Modernisasi Tafsir
Berikut ini beberapa pook pandangan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.
1.      Hadits-hadits dan Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufassir tidak dapat mengabaikan hadits-hadits Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi al ma’tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadits dan pendapat sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-‘aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta’rif atau irsyad atau tashshih dan sebagainya,maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk:
a.       Hubungan padanan (tathabuq), seperti penafsiran al-shalat al-wutha dengan “shalat Ashar”;
b.      Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran ud’uni (dalam Q. 40:60) dengan “beribadat”;
c.       Hubungan cakupan (tadhamun), eperti pnafsiran al-akhirat (dalam Q. 14:27) dengan “kubur”;
d.      Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran al-akhirat (dalam surat al-Fatihah) dengan “orang-orang Yahudi”, dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberi penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadits-hadits Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.
Al-Qarafi membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.
Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majala li al-‘aql fihi maka fi hukm al-murfu’ (bersumber dari Nabi saw) sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilih dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.

2.      Pembedaan Antara yang Qath’iy dan yang Zanniy
Menurut al-Syathibi tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath’iy dalam dalil-dalil syariat bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafaz pada saat ia berdiri sendiri.
Betapa pun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath’iy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tepat bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulam dam pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan syariat dan fiqih.
Ahmad Abu al-Majed menulis “Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara syariat dan fiqih: syariat adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath’iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash.” Selanjutnya ia menekankan:
Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuat apapun… Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi mereka suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka… Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya.
Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain:
a.       Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia Indonesia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
b.      Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetic engineering (rekayasa genetis).
Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada al-Qur’an terpaksa meninjau ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al-ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhz bi al-jadid al-ashlah (berpegang kepada yang lama yang baik dan kepada yang baru yang lebih baik).

3.      Penggunaan Takwil dan Metafora
Pada masa ­al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan takwil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M.), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata “langit menurunkan hujan.” Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah swt. Keengganan menggunakan takwil ini menjadikan sementara ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam Q. 2:74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah berdasarkan Q. 16:68.
Setelah masa al-salaf al awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya takwil dalam berbagai bentuknya. Al-Sayuthi, misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.
Kini, sementara orang yang mengangap dirinya sebagai pembaharu dalam bidang tafsir, menggunakan penakwilan semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, menakwilkan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa “mendekati pohon” sebagai larangan melakukan hubungan seksual. Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun sangat menggelikan pakar bahasa.
Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsana (dual), yakni “Jangan kamu berdua mendekati pohon ini” Q. 2:35). Tetapi setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan seksual), maka redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni “Turunlah kamu semua dari surga … Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lainnya” (Q. 2:36). Hal ini menurutnya adalah bahwa, tadinya Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah istrinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jamak.
Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan yang tidak mengangap wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung – berapa pun bayi yang dikandungnya – ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.
Contoh di atas membuktikan kekeliruan penakwilan yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa pertimbangan kaidah kebahasaan.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap penakwilan:
a.       Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
b.      Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.

Sementara pembaharu dinilai sangat memperluas penggunaan takwil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi sebagian mereka – seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini dituruti tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat suprarasional, sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaharu. Sebab, menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang Mutlak itu).
Tetapi tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya sudah bertentangan dengan akal – walaupun belum dipahami hakekatnya – maka redaksi tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
 Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya menggunakan takwil pada ayat-ayat yang telah pernah ditakwilkan oleh para pendahulu. Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh penakwilan. Hal demikian tentunya lebih baik dari pengabaian teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan al-Qur’an dan ulama. Karena, bukanlah al-Qur’an mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah sepakat untuk menggunakannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar