TAFSIR DAN MODERNISASI
Oleh: Moh. Quraish Shihab
Dr. Quraish Shihab adalah dosen di Fakultas
Pasca Sarjana IAIN Jakarta, dan salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat, sejak tahun 1984. Beliau menyelesaikan studinya dalam ilmu-ilmu
al-Qur’an dan tafsir dari Universitas al-Azhar Cairo, Mesir, pada tahun 1983,
dengan yudisium Summa cum laude. Disertasinya berjudul “Korelasi antara
Ayat-ayat dan SUrat-surat al-Qur’an”. Lahir pada 16 Februari 1944, penggemar
berat lagu-lagu Ummi Kultsum ini pernah menjabat sebagai Wakil Rektor IAIN
Alauddin, Ujung Pandang (1973-1980). Karya tulisnya, antara lain, adalah: Tafsir Surat Al-Hujurat, Korelasi antara
Ilmu Pengetahuan dan al-Qur’an, Mahkota Tuntunan Ilahi, dan Pesona al-Fatihah. Beliau juga adalah anggota dewa redaksi
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul
Qur’an.
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai “Kitab yang diturunkan agar manusia keluar
dari kegelapan menuju terang benderang” (Q. 14:1). Salah satu ayatnya
menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kaum kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat
lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka
timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang
pendapat. Sejak itu, Allah mengutus Nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar
mereka – melalui Kitab Suci tersebut - dapat menyelesaikan perselisihan mereka
serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problema-problema mereka (Q.
2:213).
Agar al-Qur’an berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang
digambarkan di atas, al-Qur’an memerintah umat manusia untuk mempelajari dan
memahaminya (baca antara lain Q. 38:29), sehingga mereka dapat menemukan –
melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat – apa yang dapat
mengantar mereka menuju terang benderang.
Di sisi lain, al-Qur’an menggambarkan masyarakat ideal
(masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad) sebagai “tatanan yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia da tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya…” (Q. 48:29).
Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal
tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau
gambaran di atas dikaitkan dengan hakekat kemodernan yang – antara lain –
bercirikan dinamika dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi
Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat berkesimpulan
bahwa al-Qur’an menganjurkan pembaharuan atau – alam bahasa hadits Rasulullah
saw. – tajdid, atau istilah lainnya
“modernisasi” atau “reaktualisasi”.
Arti Tajdid atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya
tajdid, terlepas apakah mereka menilai shahih atau tidak hadits yang
diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah, namun – dalam pengertiannya
serta pengalamannya – telah terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.
Busthami Muhammad Said
misalnya menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan Sahel
al-Sha’luki (w. 387 H.) sebagai “Mengembalikan ajaran agama sebagaimanan
keadaannya pada masa salaf pertama” (i’
adah al-din ila ma kana alayhi ‘ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu,
Ahmad Ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai “penyebarluasan ilmu”.
Dengan menggabungkan keduanya, sementara ulama menyatakan bahwa tajdid tidak
lain kecuali “menyebarkan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang
dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf
al-awwal.”
Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai “usaha
untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
menakwilkan atau menafsirkannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta
kondisi sosial masyarakat.
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan
al-Qur’an sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena al-Qur’an
harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka
untuk mempelajari dan memikirkannya – sedang hasil pemikiran pasti dipengaruhi
oleh sekian faktor antara lain pengalaman, pengetahuan kecenderungan serta
latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya,
bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena
memaksa satu generasi untuk mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi
masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri
agama serta tidak sejalan pula dengan hakekat masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau
membatalkan ajarannya, pada hakekatnya menghilangkan al-Qur’an yang dinilai
“selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat.” Selain itu, menafsirkan dan
menakwilkan sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa
seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat
dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian
pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat obyektif dan telah mapan dan ada
pula sebaliknya.
Atas dasar ini diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide
sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara
tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di
satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan,
di pihak lain, ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya.
Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan
al-Maududi:
Tidak
dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan
hakekat-hakekat ilmiah, bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna
al-Qur’an. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia telah memeahami al-Qur’an melebihi pemahaman Nabi dan
murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw.
Pendapat al-Maududi di atas walaupun kelihatannya berbeda
dengan pendapat al-Syathibi (1143-1194), namun hakekatnya sama. Menurut
a-Syathibi, “Syariat bersifat ummiyah,
tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw.”
Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah “murid-murid”
Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti
dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada
yang keliru memahami arti ayat-ayat al-Qur’an. ‘Adi Ibn Hatim, misalnya
memahami arti al-khaith al-abyadh min
al-khaith as-aswad (Q. 2:187) dengan arti hakiki (benang).
Kalau pendapat al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka
demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut
Asad, kunci utama memahami al-Qur’an adalah ayat ketujuh surah Ali ‘Imran, “Huwa alladzji anzala ‘alaika al-kitab minhu
ayatun muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat.” Menurut Asad,
ayat inilah yang menjadikan risalah al-Qur’an mudah dicerna bagi mereka yang
menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih
adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna simbolis. al-Qur’an – katanya lebih jauh –
memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara
metaforis, maka akan terjadi kekeliruan memahami jiwa ajaran al-Qur’an.
Tetapi apakah benar dalam al-Qur’an terdapat “banyak” ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat ditakwilkan sebagaimana
cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah suprarasioalitas dalam
ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat ditakwilkan menjadi
“hukum alam” atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)? Tidak ini yang melampaui
batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam
bidang tafsir.
Pandangan tentang Modernisasi
Tafsir
Berikut ini beberapa pook pandangan yang dapat dijadikan
pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.
1. Hadits-hadits dan Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufassir tidak
dapat mengabaikan hadits-hadits Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran
yang paling ideal adalah tafsir bi al
ma’tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadits dan pendapat sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an.
Hanya saja, ini bukan
berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran
Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-‘aql fihi (masalah yang
diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika,
perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi
majal al-‘aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah
kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila
nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena
sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus
diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya, namun penafsiran
tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat
penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang
dapat berbentuk ta’rif atau irsyad atau tashshih dan sebagainya,maupun hubungan antara ayat yang
ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang
berbentuk:
a.
Hubungan padanan (tathabuq),
seperti penafsiran al-shalat al-wutha
dengan “shalat Ashar”;
b.
Hubungan kelaziman (talazum)
seperti penafsiran ud’uni (dalam Q.
40:60) dengan “beribadat”;
c.
Hubungan cakupan (tadhamun),
eperti pnafsiran al-akhirat (dalam Q.
14:27) dengan “kubur”;
d.
Hubungan percontohan (tamtsil),
seperti penafsiran al-akhirat (dalam
surat al-Fatihah) dengan “orang-orang Yahudi”, dalam arti bahwa beliau
menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari
masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberi
penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam
masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman
penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadits-hadits Nabi pun dapat
ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan
atau memperagakannya.
Al-Qarafi membagi sikap
atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu kedudukan beliau sebagai: (1)
Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat).
Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.
Hadits-hadits yang
berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya
berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus
dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.
Adapun
pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya
termasuk fi ma la majala li al-‘aql fihi
maka fi hukm al-murfu’ (bersumber
dari Nabi saw) sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya
tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilih dan dipilih mana yang
sesuai dan mana yang tidak.
2. Pembedaan Antara yang Qath’iy dan yang Zanniy
Menurut al-Syathibi
tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath’iy
dalam dalil-dalil syariat bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya
kemungkinan arti lain bagi satu lafaz pada saat ia berdiri sendiri.
Betapa pun terdapat
perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang
bersifat qath’iy al-dalalah, namun
yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tepat
bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulam dam pemikir
hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan syariat dan
fiqih.
Ahmad Abu al-Majed
menulis “Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara syariat dan fiqih:
syariat adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath’iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun
dari segi dilalah-nya
(pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash.”
Selanjutnya ia menekankan:
Kelirulah mereka yang berkata bahwa
generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuat apapun… Sesungguhnya
mereka telah menyisihkan bagi mereka suatu alam/dunia yang berbeda dengan
alam/dunia mereka… Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan
alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya.
Nah, dalam
pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru,
bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman
masa kini menunjukkan antara lain:
a.
Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia
Indonesia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
b.
Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia
telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetic engineering (rekayasa genetis).
Dua contoh di atas
menjadikan seseorang yang percaya kepada al-Qur’an terpaksa meninjau ayat-ayat
yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al-ghayb yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah.
Tentunya bukan yang
dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para
pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhz bi al-jadid al-ashlah
(berpegang kepada yang lama yang baik dan kepada yang baru yang lebih baik).
3. Penggunaan Takwil dan Metafora
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan
menggunakan takwil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam
Malik (w. 795 M.), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata “langit
menurunkan hujan.” Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah
Allah swt. Keengganan menggunakan takwil ini menjadikan sementara ulama salaf
menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah
dalam Q. 2:74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada
lebah berdasarkan Q. 16:68.
Setelah masa al-salaf al awwal, keadaan telah
berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya takwil dalam berbagai
bentuknya. Al-Sayuthi, misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk
keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan
pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.
Kini, sementara orang
yang mengangap dirinya sebagai pembaharu dalam bidang tafsir, menggunakan
penakwilan semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah
kebahasaan. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, menakwilkan larangan Tuhan kepada
Adam dan Hawa “mendekati pohon” sebagai larangan melakukan hubungan seksual.
Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun sangat
menggelikan pakar bahasa.
Menurut Mustafa,
redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsana (dual), yakni “Jangan kamu berdua mendekati pohon ini”
Q. 2:35). Tetapi setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan
seksual), maka redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni “Turunlah kamu semua dari surga … Sebagian kamu menjadi musuh bagi
sebagian yang lainnya” (Q. 2:36). Hal ini menurutnya adalah bahwa, tadinya
Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah istrinya mengandung janin maka
mereka menjadi bertiga sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk
jamak.
Apa yang dikemukakan
ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaidah
kebahasaan yang tidak mengangap wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang
mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung – berapa pun bayi
yang dikandungnya – ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.
Contoh di atas
membuktikan kekeliruan penakwilan yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan
nalar tanpa pertimbangan kaidah kebahasaan.
Al-Syathibi
mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap penakwilan:
a.
Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang
diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
b.
Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Sementara pembaharu dinilai sangat memperluas penggunaan
takwil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi
sebagian mereka – seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal
seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat
mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini dituruti tanpa batas, maka ia dapat
mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat suprarasional, sebagaimana
ditemukan dalam pemikiran sementara pembaharu. Sebab, menggunakan akal sebagai
tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang
peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti
menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang
Mutlak itu).
Tetapi tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja
penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti
apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya sudah bertentangan
dengan akal – walaupun belum dipahami hakekatnya – maka redaksi tersebut tidak
perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
Apa yang dikemukakan
di atas juga bukan berarti hanya menggunakan takwil pada ayat-ayat yang telah
pernah ditakwilkan oleh para pendahulu. Perkembangan masyarakat yang dihasilkan
oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami
atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga, bila pada lahirnya teks
bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain
kecuali menempuh penakwilan. Hal demikian tentunya lebih baik dari pengabaian
teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan al-Qur’an
dan ulama. Karena, bukanlah al-Qur’an mengenal redaksi yang demikian itu dan
ulama pun telah sepakat untuk menggunakannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar