Minggu, 26 Oktober 2014

TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI: TINJAUAN FILOSOFIS



TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI: TINJAUAN FILOSOFIS
Oleh: Abdul Aziz Dahlan
Abdul Aziz Dahlan yang lahir di Padang 17 Desember 1945, adalah pengajar pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Setelah menyelesaikan program sarjana mudanya pada jurusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah, IAIN Padang, dan program doktoralnya pada jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta, ia kemudian mengikuti studi purnasarjana dosen-dosen IAIN se-Indonesia di Yogyakarta (1978). Tahun 1984, ia mengikuti post-graduate Islamic Course di University Leiden, Belanda. Sekarang ia sedang menyelesaikan disertasi doktor di bidang tasawuf. Selain banyak menulis paper ilmiah, ia telah menulis beberapa buku, yaitu: Studi Agama Islam, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Bagian Pemikiran Teologis), Akidah Akhlak, serta beberapa artikel dalam Ensiklopedia Indonesia dan Ensiklopedia Islam.

Bagi para filosof Muslim, nabi/rasul Tuhan adalah lebih dari filosof. Rasul Tuhan, bagi al-Kindi (w. 260/801), adalah manusia paling istimewa karena Tuhan telah menyucikan jiwanya, meluruskan, menyinari, dan mengilhaminya serta mewahyukan risalah (pengetahuan Ilahi) kepadanya, dan pengetahuan Ilahi itu hanya khusus bagi rasul/nabi Tuhan. Tidak ada jalan bagi bukan rasul untuk mendapatkan pengetahuan penting. Nabi/rasul Tuhan, kata al-Amiri (w.381/992), adalah hakim/filosof, tapi tidak setiap hakim/filosof adalah nabi/rasul. Menurut Ibnu Sina (w.428/1036), ada manusia yang akalnya menjadi aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa melalui latihan/studi yang keras) dan ada pula manusia yang akalnya menjadi aktual tidak secara langsung. Yang pertama lebih unggul/utama dan itulah nabi/rasul, yang berada pada puncak keunggulan/keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk material. Karena yang unggul harus memimpin yang diungguli, maka Nabi/Rasulullah yang harus memimpin/membimbing segenap makhluk manusia yang diunggulinya.
Bagi para sufi, nabi/rasul Tuhan adalah lebih dari sufi atau sufi yang paling arif, paling suci dan paling unggul dalam memanifestasikan sifat-sifat atau asma Tuhan. Nabi/rasullah yang paling unggul dalam berakhlak (bertakhalluq) dengan akhlak Tuhan. Apa yan diperoleh/dibawa oleh para sufi/wali jika dibandingkan dengan apa yang diperoleh/dibawa oleh para nabi, kata Abu Yazid al-Bistami (w. 261/875), hanyalah seperti satu tetes madu yang merembes dari kantong kulit yang penuh berisi madu. Yang paling utama di muka bumi ini, kata Ibn Arabi (w. 638/1240), adalah para rasul, kemudian para nabi, kemudian para wali/sufi, dan selanjutnya baru manusia mukmin. Manusia yang paling sempurna pendakian dan kesucian pribadinya, kata al-Burhanpuri (w. 1029/1620), adalah Nabi kita Muhammad, khatam al-nabiyyin.

Demikianlah beberapa pernyataan dari sejumlah filosof Muslim tentang nabi/rasul Tuhan. Sejauh yang saya ketahui, tidak ulama, sufi, pemikir, atau filosof Muslim, yang ingin menganut suatu ide/ajaran, bila ia menilai ajaran itu cukup jelas bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh nabi/rasul Tuhan.
Perjalanan Tasawuf
Tasawuf, yang menurut para ahli pada umumnya baru mengambil bentuk mistisisme dalam Islam pada abad III H./IX M., sebenarnya dari abad ke abad tidak pernah lepas dari upaya keras (mujahadah) ini: mengosongkan atau membersihkan batin (hati/jiwa/roh) dari segala sifat tercela/rendah (ini disebut upaya takhali atau takhliyah) dan selanjutnya mengisinya, atau berhias diri dengan sifat-sifat yang terpuji (ini disebut upaya tahalli atau tahliyah), semaksimal mungkin agar dapat diaktualkan kesucian batin mendekati kesucian batin nabi/rasul Tuhan. Para penempuh jalan tasawuf berusaha keras mengembangkan satu demi satu atau tahap demi tahap sikap-sikap batin yang positif, seperti: banyak/tekun/khusyuk mengerjakan shalat, banyak menjalankan puasa, banyak membaca firman-firman Tuhan dan merenungkan maksud/pesan yang terkandung di dalamnya, bersikap zuhud (tidak cinta/tertarik) pada dunia dan kesenangan materi, terus menerus meningkatkan ketakwaan (sikap mawas diri), tawakkal (mempercayakan diri) pada Allah, qana’ah (merasa lebih dari cukup terhadap miliknya yang sedikit), wara’ (menjaga harga diri/kesucian diri, dengan menjauhi apa saja yang haram dan apa saha yang syubhat – tidak jelas halal-haram-nya), sadar (tangguh/tahan bergumul mengatasi kesukaran apa pun), ridha (tetap senang pada Allah, kendati ditimpa musibah), cinta dan rindu pada-Nya, dan lain-lain. Pendek kata, mereka berupaya semaksimal mungkin meniru sikap-sikap batiniah itu mereka memperoleh karunia-karunia Ilahi lainnya, sesuai dengan taraf kesucian batin yang dapat mereka usahakan.
Pada dua abad pertama hijrah, orang dapat menyaksikan munculnya di berbagai kawasan Islam (seperti Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Khurasan, Mesir, dan lain-lain) sejumlah zahid-zahid besar, seperti Hasan Basri (w. 110/729), Ibrahim ibn Adham (w. 161/778), Sufyan Tsauri (w. 110/729), Rabiah Adawiah (w. 185/801), Syaqiq Balkhi (w. 194/810), dan lain-lain. Para zahid besar itu pada umumnya amat kecewa dengan cara hidup yang diperlihatkan oleh kebanyakan penguasa dan mereka yang ikut menjadi kaya raya: tidak mampu mengendalikan nafsu dan tenggelam dalam foya-foya atau berbagai kemaksiatan. Mereka yakin bahwa corak kehidupan yang dipertontonkan oleh pihak penguasa dan kebanyakan orang-orang kaya di masa mereka itu, karena bergelimang dengan dosa-dosa, adalah corak kehidupan yang dimurkai Tuhan, penyebab utama kehancuran di bumi ini, dan amat merugikan para pelakunya kelak di hari akhirat. Mereka juga yakin bahwa pangkal dari berbagai kemaksiatan dan kelalaian pengabdian kepada Tuhan adalah sikap tamak dan cinta kepada kesenangan duniawi. Itulah sebabnya mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh sikap zuhud terhadap kesenangan dunia dan bertekun dalam beribadah. Mereka yakin bahwa itulah bentuk kehidupan yang sejalan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, serta para tabi’in yang saleh. Mereka yakin bahwa zuhud dan tekun beribadah itulah corak kehidupan yang diridhai Tuhan dan tidak dimurkai-Nya, dan dengan kehidupan demikian mereka berharap: insya Allah, selamat dari neraka atau murka Tuhan di akhirat serta beroleh kesenangan yang abadi. Ridha Tuhan, tidak terhukum dalam neraka, hidup dalam surga dengan segala karunia yang disediakan Tuhan, merupakan tujuan atau harapan para zahid besar.
Sementara itu, kepada Rabiah Adawiah, orang menisbahkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan bahwa ia adalah zahidah yang amat dipenuhi gelora cinta membara kepada Tuhan. Disebutkan bahwa hatinya begitu penuh dengan rasa cinta kepada Tuhan sehingga tiada ruang kosong sedikit pun untuk rasa benci kepada siapa pun. Ia juga antara lain berucap:
Ya habibi, hanya Engkaulah kekasihku
Berilah ampun pembuat dosa ini, yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapan, kebahagiaan, dan kesenanganku;
Hatiku telah enggan mencintai selain diri-Mu.
Bila benar bahwa ungkapan cinta di atas dan sejumlah ungkapan cita lainnya berasal dari Rabiah Adawiah, maka para ahli cenderung mengatakan bahwa tasawuf yang sejak awal baru dalam taraf zuhud/asketisme, berkembang maju pada diri Rabiah Adawiah ke arah mistisisme.
Sejak abad III H./IX m., tidak diragukan oleh sejarah bahwa tasawuf telah berkembang menjadi mistisisme dalam Islam, yakni mistisisme yang berada dalam landasan Islam. Para  zahid Muslim sejak abad itu telah menyadari bahwa ketekunan beribadat, zuhud terhadap dunia, tawakkaul,  ridha, cinta pada Tuhan dan lain sebagainya, yang dilaksanakan sedemikian rupa, atau – dengan pendek kata – upaya sungguh-sungguh meningkatkan kesucian batin, dapat mengantarkan para pelakunya atau para zahid kepada taraf “siap” untuk menerima karunia Tuhan di dunia ini, berupa terbukanya hijab (tirai) yang menutup mata batin yang mengarah ke alam gaib. Dengan terbukanya tirai itu berarti terbukalah karunia menyaksikan keindahan rahasia Tuhan dan alam gaib lainnya dengan mata batin. Itulah karunia makrifah (gnosis) dari Tuhan. Para ahli melihat bahwa kesadaran tentang makrifah ini telah dimiliki antara lain oleh sufi terkemuka Zunnun al-Mishri (w. 245/860). Ia banyak berbicara tentang ahwal (berbagai rasa/keadaan batin yang menyelinap masuk ke dalam batin penempuh jalan tasawuf; rasa/keadaan itu datang dan pergi), tentang maqamat (sikap-sikap yang harus dimantapkan/dikukuhkan keberadaannya dalam batin, tahap-tahap yang harus didaki dalam pendakian menuju puncak perjalanan tasawuf), dan banyak berbicara tentang makrifah. Di antara ucapan atau pandangannya tentang makrifah adalah:
Makrifah yang hakiki bukanlah pengetahuan tauhid yang dimiliki oleh semua orang yang mukmin dan bukan pula pengetahuan yang berdasarkan argumentasi dan penjelasan seperti dimiliki oleh para filosof, pujangga, dan ulama, tapi adalah pengetahuan tentang sifat-sifat keesaan Tuhan, yang dimiliki oleh para wali Allah, yang memandang Tuhan dengan hati. …. hakiki makrifat itu ialah memandang Tuhan dengan sinar makrifah yang memancar dalam hati.

Sejak muncul atau disadarinya ide makrifat hakiki itu oleh para zahid Muslim di abad III/IX itu, maka para makrifah menjadi maqam (tahap/station) penting yang ingin dicapai oleh umumnya para zahid Muslim. Maqam makrifah kemudian menjadi kriteria apakah seseorang itu arif/sufi/wali atau bukan. Dengan memakai kriteria makrifah itu, maka dikatakan bahwa setiap arif/sufi/wali adalah zahid, tapi tidaklah setiap zahid berhasil menjadi arif/sufi/wali. Arif/sufi/wali, karena mencapai kedekatan enggan Tuhan, yakni kedekatan tanpa tirai, dipandang lebih tinggi/unggul dari zahid yang belum mencapai makrifah atau kedekatan tanpa tirai dengan Tuhan. Ide makrifah kemudian juga mempengaruhi kaum sufi dalam memahami mengapa rasul/nabi memperoleh makrifat yang paling tinggi atau wahyu tingkat tertinggi, di samping juga memperoleh wahyu tingkat yang lebih rendah. Di sini juga berlaku hukum alam: yang paling tinggi/sempurna maqam-nya, makin tinggi/sempurna pula makrifat yang diperolehnya dari Tuhan. Itulah sebabnya Abu Yazid al-Bustami menegaskan bahwa apa yang diterima/dibawa para wali/sufi hanyalah bagaikan setetes madu dari sekantong penuh madu yang diterima dan dibawa nabi/rasul Tuhan.

Ketegangan
Sejarah juga mencatat bahwa sejak abad III/IX ada ketegangan-ketegangan yang serius antara para zahid/sufi, yan lazim juga disebut ulama batin, dengan para ulama yang tidak menjalani tasawuf, terutama dengan para fuqaha’ dan mutakallimin (dua yang akhir ini lazim juga disebut ulama zahir). Ketegangan-ketegangan ini, tampaknya disebabkan oleh antara lain:
1.      Adanya unsur-unsur mutashwif (orang-orang yang berpura-pura bertasawuf) – mungkin untuk mencari keuntungan-keuntungan tertentu.
2.      Adanya unsur awam yang mungkin mengaku sebagai orang yang bertasawuf, tapi mengabaikan kewajiban-kewajiban syariat agama.
3.      Adanya unsur-unsur yang menyembunyikan kesufian/kesucian dirinya dengan melakukan perbuatan tidak terlarang, tapi rendah nilainya (mereka adalah kaum sufi malamatiyah) agar mereka dicela orang.
4.      Adanya syathahat (ungkapan-ungkapan yang aneh kedengarannya) yang muncul dari lidah beberapa sufi terkemuka dan berpengaruh (mempunyai pengikut), seperti Abu Yazid al-Bistami dan Hallaj.
5.      Adanya ide bahwa ulama batin lebih unggul daripada ulama zahir.

Dalam ketegangan-ketegangan itu, banyak para zahid/sufi dari abad III H. dan abad-abad berikutnya, karena alasan yang kadang-kadang/tidak begitu jelas, dicap oleh kalangan fuqaha/mutakallimin dengan zindik. Selain Hallaj yang dihukum bunuh pada tahun 309/922, sufi-sufi seperti Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bistami, Junaid al-Baghdadi (w. 209/911) dan lain-lain tidak luput dari perolehan cap zindik itu.
Karenanya ketegangan-ketegangan itu dan berbagai faktor yang menjadi penyebabnya, maka para zahid/sufi tidak tinggal diam untuk menghilangkannya. Unsur-unsur yang pura-pura bertasawuf untuk mencari keuntungan duniawi tertentu atau untuk melalaikan syariat agama, juga dicela keras oleh para sufi. Melalui pengajaran lisan atau tulisan, para sufi itu menunjukkan bahwa tasawuf terikat dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Berikut ini adalah beberapa pernyataan dari kalangan sufi:
-          Tanda Sang Arif itu ada tiga: nur makrifahnya tidak memadamkan nur kewaraannya; tidak berkeyakinan bahwa aspek batin dari satu ilmu merusak aspek zahirnya; dan banyaknya nikmat-nikmat Allah tidak membawa kepada sikap/perbuatan membuka tirai-tirai penutup larangan-larangan Allah (ucapan Zunnun al-Mishri).
-          Kadangkala suatu butir ide dari suatu kaum hadir memasuki hatiku, maka aku tidak menerimanya bila tidak disertai dua saksi yang adil, yaitu al-Kitab dan Sunnah (ucapan Darani).
-          Mazhab kami terikat dengan sumber al-Kitab dan Sunnah; ilmu kami ini (tasawuf) dikuatkan oleh hadits Rasulullah (ucapan Junaid al-Baghdadi).
-          Ini adalah perkataan suatu kaum, yang menggugurkan (mengabaikan amal-amal; perkataan demikian bagiku adalah dosa besar; orang yang mencuri dan berzina lebih baik dari orang yang berbicara menggugurkan amal itu. Sesungguhnya orang-orang yang arif mengambil amalan-amalan dari Allah dan kepada-Nya mereka kebali dalam beramal; bila aku tetap hidup seribu tahun, tidaklah aku mengurangi amal-amal kebajikan walau seberat zarrah/debu, kecuali ada yang menghalangi (ucapan Junaid al-Baghdadi).
-          Semua jalan tertutup bagi makhluk, kecuali bagi siapa yang mengikuti jejak langkah Rasulullah (ucapan Junaid al-Baghdadi).
Selain dari ungkapan-ungkapan di atas, disebutkan juga betapa kerasnya Abu Yazid mengecam orang yang terlihat tidak berbuat menurut Sunnah Nabi. Ia diberi tahu tentang seseorang yang dipandang masyarakat sebagai zahid atau wali. Ketika orang itu terlihat oleh Abu Yazid meludah ke arah kiblat dalam suatu masjid (berarti tidak sesuai dengan petunjuk Sunnah), maka segera ia berkomentar bahwa orang itu tidak dapat dipercaya.
Melalui upaya para zahid/sufi di atas dan mereka yang muncul di abad-abad berikutnya, seperti Sarraj al-Thusi (378/988), Kalabadzi (380/987), Abu Thalik al-Makki (387/996), Sulami (412/1025), Qusyairi (465/1075),Hujwiri (465/1075), Harawi (481/1088), dan menjadi sempurna pada al-Ghazali (505/1111), akhirnya tasawuf dapat diterima oleh umumnya kaum Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah. Kaum ini adalah mayoritas umat Islam. Dalam teologi, sebagian mereka beraliran Asy’ariyah, sebagian Maturidiyah, dan yang lain Salafiah. Dalam lapangan fikih, kebanyakan kaum Asy’ariyah bermazhab Syafi’i atau Maliki, kebanyakan kaum Maturidiyah bermazhab Hanafi, dan kaum Salafiyah bermazhab Hanbali. Tasawuf yang dapat diterima oleh umumnya ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itulah yang yang disebut tasawuf Sunni, atau bisa juga disebut tasawuf al-Ghazali (karena besarnya pengaruh wibawa al-Ghazali dalam menjelaskan ajaran-ajaran tasawuf dan dapat menyakinkan mereka) pada umumnya.
Selanjutnya, melalui tarekat-tarekat yang bermunculan sejak abad VI/XII dan semakin banyak serta luas pengaruhnya dalam masyarakat Islam, tasawuf Sunni ikut pula meluas perkembangannya.
Sejak penguasa Bani Abbas besar-besaran mendorong penerjemah buku-buku dari bahasa Suryani, Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab (sejak parohan kedua abad II H.), para ulama/pemikir Muslim waktu itu dihadapkan kepada pilihan menerima atau menolak pemikiran-pemikiran falsafi atau teologis yang terkandung dalam buku-buku yang diterjemahkan itu. Sebagian ulama/pemikir Muslim ternyata asyik menekuni pengetahuan-pengetahuan ilmiah dan pemikiran-pemikiran falsafi yang terdapat di dalamnya. Mereka yang bersikap begini kebanyakan dari kalangan kaum Mu’tazillah. Mereka berpartisipasi mengembangkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah, dan merasa butuh menguasai logika dan pemikiran-pemikiran falsafi dalam rangka berteologi (menjelaskan atau membela akidah-akidah yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi dengan pemikiran-pemikiran logis/rasional). Dari kalangan mereka, dan juga dari kalangan lainnya, muncul kemudian mereka yang disebut para filosof Muslim, seperti al-Kindi (w. 260/873), al-Razi (320/923), al-Farabi (339/950), al-Amiri (381/992), Ibn Maskawaih (421/1030), Ibn Sina (428/1036), Ibn Bajah (533/1138), Ibn Thufail (581/1185), Ibn Rusyd (595/1138), dan lain-lain. Mereka menekuni filsafat tidak untuk berteologi. Mereka yakin bahwa aktivitas berfilsafat (berpikir mencari kebenaran, baik teoretis maupun praktis) adalah aktivitas mulia yang diperintahkan oleh Islam. Mereka menolak pandangan, yang muncul dari sebagian ulama, bahwa filsafat berbahaya atau merupakan musuh agama. Menurut mereka, mempelajari filsafat atau aktivitas berfilsafat, bila ditinjau dari sudut hukum agama, bukanlah haram, tapi adalah sunnah, kalau tidak wajib.
Berbeda dengan pendirian di atas, pendirian sebagian ulama lainnya (dan kebanyakan mereka dari kalangan kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) adalah negatif terhadap filsafat. Sebagian mereka menolak filsafat tanpa terlebih dahulu mempelajari/merenungkan pemikiran falsafi, tapi ada pula yang menyerang filsafat setelah mengkajinya sungguh-sungguh, seperti yang dilakukan al-Ghazali. Al-Ghazali bahkan terlalu berani mengafirkan para filosof Muslim karena mereka dianggap menganut tiga pendapat yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Ketiga pendapat itu adalah: 1) Alam adalah qadim (dahulu, dan tidak pernah tidak ada sebelumnya); 2) Tuhan tidak mengetahui realitas/kenyataan partikular (juziyyat); dan 3) Kebangkitan di hari akhirat hanya bersifat rohaniah, tidak bersifat jasmaniah.
Al-Ghazali benar dalam menginformasikan bahwa para filosof Muslim (pada umumnya) menganut paham bahwa alam itu qadim dan kebangkitan ukhrawi itu bersifat rohaniah. Tapi tidak benar informasi (berdasarkan interpretasi al-Ghazali) bahwa para filosof Muslim itu menganut paham bahwa Tuhan tidak mengetahui yang partikular. Semua filosof Muslim percaya bahwa Tuhan mengetahui yang partikular, bahkan yang partikular itu wujud karena adanya pengetahuan-Nya tentang yang partikular tersebut.
Patutkan filosof Muslim atau siapa saja di kalangan Muslimin dikafirkan kalau ia menganut paham bahwa alam qadim atau menganut paham bahwa kehidupan di akhirat (serta surga dan neraka itu) bersifat spiritual? Kapankah Tuhan menciptakan alam? Pertanyaan yang akhir ini sebenarnya tidak ada jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadits shahih. Kalau dijawab dengan akal, maka ada akal yang memandang tidak mustahil bahwa Tuhan menciptakan alam sejak zaman qidam, sehingga alam yang diciptakan Tuhan sejak qidam/’azali, tentulah qadim pula (eternal in the past). Juga ada akal manusia yang memandang tidak mustahil bahwa Tuhan menciptakan alam ini bukan sejak qidam/’azali sehingga tentulah tidak qadim tapi hadits (baru: pernah tidak ada, kemudian baru ada). Paham bahwa alam itu qadim atau paham bahwa alam itu tidak qadim sama-sama logis, sama-sama mungkin, tapi tak seorang pun ulama dapat memastikan dengan akalnya atau dengan dalil al-Qur’an dan Hadits, bahwa alam itu qadim atau bahwa alam itu hadits. Oleh sebab itu, sebenarnya keyakinan para filosof Muslim bahwa alam itu qadim, atau keyakinan kaum teolog Muslim pada umumnya bahwa alam itu hadits, bukanlah keyakinan pokok dalam Islam. Bila ijtihad yang satu benar, maka ia mendapat dua pahala; sedang ijtihad yang salah, bukan saja dimaafkan Tuhan tapi dapat satu pahala, dan amat tidak pantas untuk dikafirkan.
Tentang paham bahwa kehidupan ukhrawi bersifat spiritual, apakah paham itu pantas dikafirkan? Semua ulama, sufi, dan filosof Muslim percaya bahwa ayat dalam al-Qur’an itu adalah wahyu/keterangan dari Tuhan. Demikian juga dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang bentuk kehidupan di hari akhirat. Banyak gambaran dari al-Qur’an dan hadits Nabi, yang menggambarkan bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat jasmaniah/material/fisik. Tapi yang menjadi masalah apakah ayat-ayat dan hadits-hadits itu mengacu kepada pengertian lateral atau kepada pengertian majazi. Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana maksud Tuhan. Para ulama/pemikir Muslim sama percaya pada adanya akhirat, surga dan neraka. Tapi ada dari dulu sampai sekarang dua kecenderungan pemahaman terhadap bentuk kehidupan ukhrawi itu. Para filosof Muslim pada umumnya cenderung memandang bahwa demi menyentuh segenap lapisan masyarakat,Tuhan telah berbuat bijaksana mematerialisasi (menggambarkan secara fisik)kehidupan ukhrawi yang bersifat jasmaniah, seperti gambaran literal al-Qur’an dan Hadits. Paham mana yang pasti benar? Tiada yang tahu secara pasti, kecuali Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu, paham-paham yang diperselisihkan itu haruslah kita anggap sebagai bukan ajaran pokok dalam Islam. Jadi, ajaran pokok adalah: ada akhirat, ada surga dan neraka. Sedangkan ajaran atau paham bahwa akhirat bersifat spiritual atau sebaliknya bersifat jasmaniah, bukanlah ajaran pokok, tapi ajaran cabang yang tidak menyebabkan orang menjadi kafir atau menolaknya.

Tasawuf Falsafi
Tasawuf, sebagai jalan atau latihan keras untuk mengembangkan kesucian batin/hati, selain menarik bagi ulama-ulama yang tidak senang kepada filsafat, juga menarik bagi sebagian ulama yang tertarik dan menguasai pemikiran-pemikiran falsafi dari manapun asalnya. Dengan demikian muncul pulalah sejumlah sufi dengan latar belakang falsafi. Mereka dapat disebut filosof yang sufi atau sufi yang filosof. Tasawuf mereka tidak disebut dengan tasawuf sunni tapi tasawuf falsafi, yang dapat dipahami sebagai tasawuf yang kaya dengan pandangan-pandangan falsafi atau banyak dimasuki oleh pandangan-pandangan falsafi.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (dari Cordova, Andalusia; w. 319/931). Ia adalah filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus dapat disebut sebagai filosof sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut paham emanasi, yang mirip dengan paham emanasi Plotinus (w. 270 M). Tingkatan-tingkatan wujud yang memancar dari Tuhan, dalam pahamnya, adalah: materi pertama yang bersifat rohaniah, kemudian akal universal, kemudian atur universal, dan terakhir materi kedua yang bersikap murakkab (tersusun). Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu penjara badan, dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan sinar Tuhan. Itulah makrifah yang memberikan kebahagiaan yang sejati. Ia juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi bersifat rohaniah/spiritual.
Sufi kedua yang juga berpengetahuan luas dalam bidang filsafat, adalah Suhrawardi al-Maqtul (dari Suhraward, Persia; dibunuh di Aleppo pada 587/1191). Ia juga menganut paham emanasi, yang mirip dengan paham emanasi al-Farabi atau Ibn Sina. Dari nur al Anwar (yakni Tuhan) memancar Nur I sampai dengan Nur X, serta Sembilan lapis langit dan bumi ini. Jiwa manusia, menurut pemahamannya, juga terperangkap dalam belenggu raga/badannya, dan haruslah berupaya keras untuk kembali ke lingkungan asal, yakni alam malakut, dengan berpedoman pada petunjuk yang dibawa oleh rasul Tuhan. Bagi Suhrawardi, kebahagiaan atau kesengsaraan manusia di hari akhirat juga bersifat rohaniah.
Bila tasawuf sunni memperoleh bentuk yang final pada pengajaran al-Ghazali,maka tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaan pada pengajaran Ibn Arabi (sufi Andalusia, wafat di Damaskus pada 638/1240). Dengan pengetahuannya yang amat kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil menghasilkan karya tulis yang luar biasa banyaknya (di antaranya al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam). Hampir ide-ide yang berkembang di kalangan kaum sufi diliputnya dengan penjelasan-penjelasan yang memadai. Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya, wujud itu hanyalah satu; itulah wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri. Itulah Yang Maha Besar (al-Haqq) atau Tuhan. Alam yang banyak ini tidaklah berwujud dengan wujud alam sendiri, tapi alam ini berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud dengan wujud Tuhan. Karena itu dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah satu, bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka raga mini adalah manifestasi atau penampakan diri wujud yang satu itu. Dari sudut hakekat, alam tidak lain dari Tuhan. Tapi dari sudut penampakan diri atau manifestasi, alam lain dari Tuhan.
Tasawuf falsafi, karena dilengkapi oleh Ibn Arabi dengan paham wahdah al-wujud, lazim juga disebut dengan tasawuf wahdah al-wujud. Melalui banyak sufi besar yang menjadi murid atau pengikutnya, seperti al-Qunawi (673/1274), al-Farqani (700/1300), al-Kasyani (730/1327), al-Qaishari (751/1350), Jalaludin Rumi (672/1273), al-Jami’ (898/1492), al-Jili (805/1403) dan lain-lain, tasawuf ini memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia. Umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Dua Belas dapat membenarkan paham ini dan berbagai paham falsafi lainnya. Karena itu pulalah, tasawuf falsafi bisa juga disebut tasawuf Syi’i, dengan pengertian tasawuf yang diterima oleh umumnya/kebanyakan kaum Syi’ah.

Tasawuf Sunni dan Falsafi
Bila dibandingkan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi, maka tentu dijumpai banyak persamaannya yang mendasar dan sejumlah perbedaan yang tidak prinsipil. Keduanya sama-sama tidak ingin melanggar al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sama-sama menolak tasawuf palsu (pura-pura) atau sikap-sikap yang mengabaikan syariat. Keduanya sama-sama mementingkan ketekunan beribadah, mementingkan zuhud, kesucian moral dan jiwa. Perbedaannya berpangkal pada kecenderungan yang berbeda terhadap pemikiran-pemikiran falsafi. Tasawuf falsafi, karena kebanyakan sufinya mempunyai pengetahuan yang luas dalam lapangan filsafat, jauh lebih kaya dengan ide-ide tentang Tuhan dan alam metafisik, yakni ide-ide yang dalam penilaian dan keyakinan mereka tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tasawuf sunni kurang mementingkan ide-ide spekulatif itu dan cenderung merasa cukup dengan akidah-akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Ajaran tentang qadim-nya alam, kehidupan ukhrawi yang bersifat rohaniah, dan wahdah al-wujud, yang terdapat dalam tasawuf falsafi atau dipandang benar oleh tasawuf falsafi, tidak terdapat dalam tasawuf sunni karena dipandang tidak benar. Syatahat cenderung dipandang wajar oleh kalangan sufi falsafi, tapi kebanyakan atau sebagian sufi sunni mengecamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar