TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF
FALSAFI: TINJAUAN FILOSOFIS
Oleh: Abdul Aziz Dahlan
Abdul Aziz Dahlan yang lahir di Padang 17
Desember 1945, adalah pengajar pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Setelah menyelesaikan program sarjana mudanya pada
jurusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah, IAIN Padang, dan program doktoralnya pada
jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta, ia kemudian
mengikuti studi purnasarjana dosen-dosen IAIN se-Indonesia di Yogyakarta (1978).
Tahun 1984, ia mengikuti post-graduate Islamic Course di University Leiden,
Belanda. Sekarang ia sedang menyelesaikan disertasi doktor di bidang tasawuf.
Selain banyak menulis paper ilmiah, ia telah menulis beberapa buku, yaitu: Studi Agama Islam, Sejarah Perkembangan
Pemikiran dalam Islam (Bagian Pemikiran Teologis), Akidah Akhlak, serta beberapa artikel dalam Ensiklopedia Indonesia dan Ensiklopedia
Islam.
Bagi para filosof Muslim, nabi/rasul Tuhan adalah lebih
dari filosof. Rasul Tuhan, bagi al-Kindi (w. 260/801), adalah manusia paling
istimewa karena Tuhan telah menyucikan jiwanya, meluruskan, menyinari, dan
mengilhaminya serta mewahyukan risalah (pengetahuan Ilahi) kepadanya, dan
pengetahuan Ilahi itu hanya khusus bagi rasul/nabi Tuhan. Tidak ada jalan bagi
bukan rasul untuk mendapatkan pengetahuan penting. Nabi/rasul Tuhan, kata
al-Amiri (w.381/992), adalah hakim/filosof, tapi tidak setiap hakim/filosof
adalah nabi/rasul. Menurut Ibnu Sina (w.428/1036), ada manusia yang akalnya
menjadi aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa melalui latihan/studi
yang keras) dan ada pula manusia yang akalnya menjadi aktual tidak secara
langsung. Yang pertama lebih unggul/utama dan itulah nabi/rasul, yang berada
pada puncak keunggulan/keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk material.
Karena yang unggul harus memimpin yang diungguli, maka Nabi/Rasulullah yang
harus memimpin/membimbing segenap makhluk manusia yang diunggulinya.
Bagi para sufi, nabi/rasul Tuhan adalah lebih dari sufi
atau sufi yang paling arif, paling suci dan paling unggul dalam
memanifestasikan sifat-sifat atau asma Tuhan. Nabi/rasullah yang paling unggul
dalam berakhlak (bertakhalluq) dengan
akhlak Tuhan. Apa yan diperoleh/dibawa oleh para sufi/wali jika dibandingkan
dengan apa yang diperoleh/dibawa oleh para nabi, kata Abu Yazid al-Bistami (w.
261/875), hanyalah seperti satu tetes madu yang merembes dari kantong kulit
yang penuh berisi madu. Yang paling utama di muka bumi ini, kata Ibn Arabi (w.
638/1240), adalah para rasul, kemudian para nabi, kemudian para wali/sufi, dan
selanjutnya baru manusia mukmin. Manusia yang paling sempurna pendakian dan
kesucian pribadinya, kata al-Burhanpuri (w. 1029/1620), adalah Nabi kita
Muhammad, khatam al-nabiyyin.
Demikianlah beberapa pernyataan dari sejumlah filosof
Muslim tentang nabi/rasul Tuhan. Sejauh yang saya ketahui, tidak ulama, sufi,
pemikir, atau filosof Muslim, yang ingin menganut suatu ide/ajaran, bila ia
menilai ajaran itu cukup jelas bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh
nabi/rasul Tuhan.
Perjalanan Tasawuf
Tasawuf, yang menurut para ahli pada umumnya baru mengambil
bentuk mistisisme dalam Islam pada abad III H./IX M., sebenarnya dari abad ke abad
tidak pernah lepas dari upaya keras (mujahadah)
ini: mengosongkan atau membersihkan batin (hati/jiwa/roh) dari segala sifat
tercela/rendah (ini disebut upaya takhali
atau takhliyah) dan selanjutnya
mengisinya, atau berhias diri dengan sifat-sifat yang terpuji (ini disebut
upaya tahalli atau tahliyah), semaksimal mungkin agar dapat
diaktualkan kesucian batin mendekati kesucian batin nabi/rasul Tuhan. Para
penempuh jalan tasawuf berusaha keras mengembangkan satu demi satu atau tahap
demi tahap sikap-sikap batin yang positif, seperti: banyak/tekun/khusyuk
mengerjakan shalat, banyak menjalankan puasa, banyak membaca firman-firman
Tuhan dan merenungkan maksud/pesan yang terkandung di dalamnya, bersikap zuhud (tidak cinta/tertarik) pada dunia
dan kesenangan materi, terus menerus meningkatkan ketakwaan (sikap mawas diri),
tawakkal (mempercayakan diri) pada
Allah, qana’ah (merasa lebih dari
cukup terhadap miliknya yang sedikit), wara’
(menjaga harga diri/kesucian diri, dengan menjauhi apa saja yang haram dan
apa saha yang syubhat – tidak jelas
halal-haram-nya), sadar (tangguh/tahan bergumul mengatasi kesukaran apa pun),
ridha (tetap senang pada Allah, kendati ditimpa musibah), cinta dan rindu
pada-Nya, dan lain-lain. Pendek kata, mereka berupaya semaksimal mungkin meniru
sikap-sikap batiniah itu mereka memperoleh karunia-karunia Ilahi lainnya,
sesuai dengan taraf kesucian batin yang dapat mereka usahakan.
Pada dua abad pertama hijrah, orang dapat menyaksikan
munculnya di berbagai kawasan Islam (seperti Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah,
Khurasan, Mesir, dan lain-lain) sejumlah zahid-zahid
besar, seperti Hasan Basri (w. 110/729), Ibrahim ibn Adham (w. 161/778), Sufyan
Tsauri (w. 110/729), Rabiah Adawiah (w. 185/801), Syaqiq Balkhi (w. 194/810),
dan lain-lain. Para zahid besar itu pada umumnya amat kecewa dengan cara hidup
yang diperlihatkan oleh kebanyakan penguasa dan mereka yang ikut menjadi kaya
raya: tidak mampu mengendalikan nafsu dan tenggelam dalam foya-foya atau
berbagai kemaksiatan. Mereka yakin bahwa corak kehidupan yang dipertontonkan
oleh pihak penguasa dan kebanyakan orang-orang kaya di masa mereka itu, karena
bergelimang dengan dosa-dosa, adalah corak kehidupan yang dimurkai Tuhan,
penyebab utama kehancuran di bumi ini, dan amat merugikan para pelakunya kelak
di hari akhirat. Mereka juga yakin bahwa pangkal dari berbagai kemaksiatan dan
kelalaian pengabdian kepada Tuhan adalah sikap tamak dan cinta kepada
kesenangan duniawi. Itulah sebabnya mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh
sikap zuhud terhadap kesenangan dunia
dan bertekun dalam beribadah. Mereka yakin bahwa itulah bentuk kehidupan yang
sejalan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya,
serta para tabi’in yang saleh. Mereka
yakin bahwa zuhud dan tekun beribadah
itulah corak kehidupan yang diridhai Tuhan dan tidak dimurkai-Nya, dan dengan
kehidupan demikian mereka berharap: insya
Allah, selamat dari neraka atau murka Tuhan di akhirat serta beroleh
kesenangan yang abadi. Ridha Tuhan, tidak terhukum dalam neraka, hidup dalam surga
dengan segala karunia yang disediakan Tuhan, merupakan tujuan atau harapan para
zahid besar.
Sementara itu, kepada Rabiah Adawiah, orang menisbahkan
ungkapan-ungkapan yang menunjukkan bahwa ia adalah zahidah yang amat dipenuhi gelora cinta membara kepada Tuhan.
Disebutkan bahwa hatinya begitu penuh dengan rasa cinta kepada Tuhan sehingga
tiada ruang kosong sedikit pun untuk rasa benci kepada siapa pun. Ia juga
antara lain berucap:
Ya habibi, hanya Engkaulah
kekasihku
Berilah ampun pembuat dosa
ini, yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapan,
kebahagiaan, dan kesenanganku;
Hatiku telah enggan mencintai
selain diri-Mu.
Bila benar bahwa ungkapan cinta di atas dan sejumlah
ungkapan cita lainnya berasal dari Rabiah Adawiah, maka para ahli cenderung
mengatakan bahwa tasawuf yang sejak awal baru dalam taraf zuhud/asketisme, berkembang maju pada diri Rabiah Adawiah ke arah
mistisisme.
Sejak abad III H./IX m., tidak diragukan oleh sejarah bahwa
tasawuf telah berkembang menjadi mistisisme dalam Islam, yakni mistisisme yang
berada dalam landasan Islam. Para zahid Muslim sejak abad itu telah
menyadari bahwa ketekunan beribadat, zuhud terhadap dunia, tawakkaul, ridha, cinta pada
Tuhan dan lain sebagainya, yang dilaksanakan sedemikian rupa, atau – dengan
pendek kata – upaya sungguh-sungguh meningkatkan kesucian batin, dapat
mengantarkan para pelakunya atau para zahid
kepada taraf “siap” untuk menerima karunia Tuhan di dunia ini, berupa
terbukanya hijab (tirai) yang menutup
mata batin yang mengarah ke alam gaib. Dengan terbukanya tirai itu berarti
terbukalah karunia menyaksikan keindahan rahasia Tuhan dan alam gaib lainnya
dengan mata batin. Itulah karunia makrifah (gnosis)
dari Tuhan. Para ahli melihat bahwa kesadaran tentang makrifah ini telah
dimiliki antara lain oleh sufi terkemuka Zunnun al-Mishri (w. 245/860). Ia banyak
berbicara tentang ahwal (berbagai
rasa/keadaan batin yang menyelinap masuk ke dalam batin penempuh jalan tasawuf;
rasa/keadaan itu datang dan pergi), tentang maqamat (sikap-sikap yang harus
dimantapkan/dikukuhkan keberadaannya dalam batin, tahap-tahap yang harus didaki
dalam pendakian menuju puncak perjalanan tasawuf), dan banyak berbicara tentang
makrifah. Di antara ucapan atau pandangannya tentang makrifah adalah:
Makrifah
yang hakiki bukanlah pengetahuan tauhid yang dimiliki oleh semua orang yang mukmin
dan bukan pula pengetahuan yang berdasarkan argumentasi dan penjelasan seperti
dimiliki oleh para filosof, pujangga, dan ulama, tapi adalah pengetahuan
tentang sifat-sifat keesaan Tuhan, yang dimiliki oleh para wali Allah, yang
memandang Tuhan dengan hati. …. hakiki makrifat itu ialah memandang Tuhan
dengan sinar makrifah yang memancar dalam hati.
Sejak muncul atau disadarinya ide makrifat hakiki itu oleh para zahid Muslim di abad III/IX itu, maka
para makrifah menjadi maqam (tahap/station) penting yang ingin dicapai oleh
umumnya para zahid Muslim. Maqam
makrifah kemudian menjadi kriteria apakah seseorang itu arif/sufi/wali atau
bukan. Dengan memakai kriteria makrifah itu, maka dikatakan bahwa setiap
arif/sufi/wali adalah zahid, tapi
tidaklah setiap zahid berhasil
menjadi arif/sufi/wali. Arif/sufi/wali, karena mencapai kedekatan enggan Tuhan,
yakni kedekatan tanpa tirai, dipandang lebih tinggi/unggul dari zahid yang belum mencapai makrifah atau
kedekatan tanpa tirai dengan Tuhan. Ide makrifah kemudian juga mempengaruhi
kaum sufi dalam memahami mengapa rasul/nabi memperoleh makrifat yang paling
tinggi atau wahyu tingkat tertinggi, di samping juga memperoleh wahyu tingkat
yang lebih rendah. Di sini juga berlaku hukum alam: yang paling tinggi/sempurna
maqam-nya, makin tinggi/sempurna pula makrifat yang diperolehnya dari Tuhan.
Itulah sebabnya Abu Yazid al-Bustami menegaskan bahwa apa yang diterima/dibawa
para wali/sufi hanyalah bagaikan setetes madu dari sekantong penuh madu yang
diterima dan dibawa nabi/rasul Tuhan.
Ketegangan
Sejarah juga mencatat bahwa sejak abad III/IX ada
ketegangan-ketegangan yang serius antara para zahid/sufi, yan lazim juga disebut ulama batin, dengan para ulama
yang tidak menjalani tasawuf, terutama dengan para fuqaha’ dan mutakallimin
(dua yang akhir ini lazim juga disebut ulama zahir). Ketegangan-ketegangan ini,
tampaknya disebabkan oleh antara lain:
1.
Adanya unsur-unsur mutashwif
(orang-orang yang berpura-pura bertasawuf) – mungkin untuk mencari
keuntungan-keuntungan tertentu.
2.
Adanya unsur awam yang mungkin mengaku sebagai orang yang
bertasawuf, tapi mengabaikan kewajiban-kewajiban syariat agama.
3.
Adanya unsur-unsur yang menyembunyikan kesufian/kesucian
dirinya dengan melakukan perbuatan tidak terlarang, tapi rendah nilainya (mereka
adalah kaum sufi malamatiyah) agar
mereka dicela orang.
4.
Adanya syathahat (ungkapan-ungkapan yang aneh
kedengarannya) yang muncul dari lidah beberapa sufi terkemuka dan berpengaruh
(mempunyai pengikut), seperti Abu Yazid al-Bistami dan Hallaj.
5.
Adanya ide bahwa ulama batin lebih unggul daripada ulama
zahir.
Dalam ketegangan-ketegangan itu, banyak para zahid/sufi dari abad III H. dan
abad-abad berikutnya, karena alasan yang kadang-kadang/tidak begitu jelas,
dicap oleh kalangan fuqaha/mutakallimin
dengan zindik. Selain Hallaj yang dihukum bunuh pada tahun 309/922, sufi-sufi
seperti Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bistami, Junaid al-Baghdadi (w. 209/911)
dan lain-lain tidak luput dari perolehan cap zindik itu.
Karenanya ketegangan-ketegangan itu dan berbagai faktor
yang menjadi penyebabnya, maka para zahid/sufi
tidak tinggal diam untuk menghilangkannya. Unsur-unsur yang pura-pura
bertasawuf untuk mencari keuntungan duniawi tertentu atau untuk melalaikan
syariat agama, juga dicela keras oleh para sufi. Melalui pengajaran lisan atau
tulisan, para sufi itu menunjukkan bahwa tasawuf terikat dengan al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Berikut ini adalah beberapa pernyataan dari kalangan sufi:
-
Tanda Sang Arif itu ada tiga: nur makrifahnya tidak
memadamkan nur kewaraannya; tidak berkeyakinan bahwa aspek batin dari satu ilmu
merusak aspek zahirnya; dan banyaknya nikmat-nikmat Allah tidak membawa kepada
sikap/perbuatan membuka tirai-tirai penutup larangan-larangan Allah (ucapan
Zunnun al-Mishri).
-
Kadangkala suatu butir ide dari suatu kaum hadir memasuki
hatiku, maka aku tidak menerimanya bila tidak disertai dua saksi yang adil,
yaitu al-Kitab dan Sunnah (ucapan Darani).
-
Mazhab kami terikat dengan sumber al-Kitab dan Sunnah; ilmu
kami ini (tasawuf) dikuatkan oleh hadits Rasulullah (ucapan Junaid
al-Baghdadi).
-
Ini adalah perkataan suatu kaum, yang menggugurkan
(mengabaikan amal-amal; perkataan demikian bagiku adalah dosa besar; orang yang
mencuri dan berzina lebih baik dari orang yang berbicara menggugurkan amal itu.
Sesungguhnya orang-orang yang arif mengambil amalan-amalan dari Allah dan
kepada-Nya mereka kebali dalam beramal; bila aku tetap hidup seribu tahun,
tidaklah aku mengurangi amal-amal kebajikan walau seberat zarrah/debu, kecuali
ada yang menghalangi (ucapan Junaid al-Baghdadi).
-
Semua jalan tertutup bagi makhluk, kecuali bagi siapa yang
mengikuti jejak langkah Rasulullah (ucapan Junaid al-Baghdadi).
Selain dari ungkapan-ungkapan di atas, disebutkan juga
betapa kerasnya Abu Yazid mengecam orang yang terlihat tidak berbuat menurut
Sunnah Nabi. Ia diberi tahu tentang seseorang yang dipandang masyarakat sebagai
zahid atau wali. Ketika orang itu
terlihat oleh Abu Yazid meludah ke arah kiblat dalam suatu masjid (berarti tidak
sesuai dengan petunjuk Sunnah), maka segera ia berkomentar bahwa orang itu
tidak dapat dipercaya.
Melalui upaya para zahid/sufi
di atas dan mereka yang muncul di abad-abad berikutnya, seperti Sarraj al-Thusi
(378/988), Kalabadzi (380/987), Abu Thalik al-Makki (387/996), Sulami
(412/1025), Qusyairi (465/1075),Hujwiri (465/1075), Harawi (481/1088), dan
menjadi sempurna pada al-Ghazali (505/1111), akhirnya tasawuf dapat diterima
oleh umumnya kaum Ahl al-Sunnah wal
al-Jama’ah. Kaum ini adalah mayoritas umat Islam. Dalam teologi, sebagian
mereka beraliran Asy’ariyah, sebagian Maturidiyah, dan yang lain Salafiah.
Dalam lapangan fikih, kebanyakan kaum Asy’ariyah bermazhab Syafi’i atau Maliki,
kebanyakan kaum Maturidiyah bermazhab Hanafi, dan kaum Salafiyah bermazhab
Hanbali. Tasawuf yang dapat diterima oleh umumnya ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itulah yang yang disebut tasawuf Sunni,
atau bisa juga disebut tasawuf al-Ghazali (karena besarnya pengaruh wibawa al-Ghazali
dalam menjelaskan ajaran-ajaran tasawuf dan dapat menyakinkan mereka) pada
umumnya.
Selanjutnya, melalui tarekat-tarekat yang bermunculan sejak
abad VI/XII dan semakin banyak serta luas pengaruhnya dalam masyarakat Islam,
tasawuf Sunni ikut pula meluas perkembangannya.
Sejak penguasa Bani Abbas besar-besaran mendorong
penerjemah buku-buku dari bahasa Suryani, Yunani, Persia dan India ke dalam
bahasa Arab (sejak parohan kedua abad II H.), para ulama/pemikir Muslim waktu
itu dihadapkan kepada pilihan menerima atau menolak pemikiran-pemikiran falsafi
atau teologis yang terkandung dalam buku-buku yang diterjemahkan itu. Sebagian
ulama/pemikir Muslim ternyata asyik menekuni pengetahuan-pengetahuan ilmiah dan
pemikiran-pemikiran falsafi yang terdapat di dalamnya. Mereka yang bersikap
begini kebanyakan dari kalangan kaum Mu’tazillah. Mereka berpartisipasi
mengembangkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah, dan merasa butuh menguasai logika
dan pemikiran-pemikiran falsafi dalam rangka berteologi (menjelaskan atau
membela akidah-akidah yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi dengan
pemikiran-pemikiran logis/rasional). Dari kalangan mereka, dan juga dari
kalangan lainnya, muncul kemudian mereka yang disebut para filosof Muslim,
seperti al-Kindi (w. 260/873), al-Razi (320/923), al-Farabi (339/950), al-Amiri
(381/992), Ibn Maskawaih (421/1030), Ibn Sina (428/1036), Ibn Bajah (533/1138),
Ibn Thufail (581/1185), Ibn Rusyd (595/1138), dan lain-lain. Mereka menekuni
filsafat tidak untuk berteologi. Mereka yakin bahwa aktivitas berfilsafat
(berpikir mencari kebenaran, baik teoretis maupun praktis) adalah aktivitas
mulia yang diperintahkan oleh Islam. Mereka menolak pandangan, yang muncul dari
sebagian ulama, bahwa filsafat berbahaya atau merupakan musuh agama. Menurut
mereka, mempelajari filsafat atau aktivitas berfilsafat, bila ditinjau dari
sudut hukum agama, bukanlah haram, tapi adalah sunnah, kalau tidak wajib.
Berbeda dengan pendirian di atas, pendirian sebagian ulama
lainnya (dan kebanyakan mereka dari kalangan kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) adalah negatif terhadap filsafat.
Sebagian mereka menolak filsafat tanpa terlebih dahulu mempelajari/merenungkan
pemikiran falsafi, tapi ada pula yang menyerang filsafat setelah mengkajinya
sungguh-sungguh, seperti yang dilakukan al-Ghazali. Al-Ghazali bahkan terlalu
berani mengafirkan para filosof Muslim karena mereka dianggap menganut tiga
pendapat yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Ketiga pendapat itu
adalah: 1) Alam adalah qadim (dahulu,
dan tidak pernah tidak ada sebelumnya); 2) Tuhan tidak mengetahui
realitas/kenyataan partikular (juziyyat);
dan 3) Kebangkitan di hari akhirat hanya bersifat rohaniah, tidak bersifat
jasmaniah.
Al-Ghazali benar dalam menginformasikan bahwa para filosof
Muslim (pada umumnya) menganut paham bahwa alam itu qadim dan kebangkitan ukhrawi itu bersifat rohaniah. Tapi tidak
benar informasi (berdasarkan interpretasi al-Ghazali) bahwa para filosof Muslim
itu menganut paham bahwa Tuhan tidak mengetahui yang partikular. Semua filosof
Muslim percaya bahwa Tuhan mengetahui yang partikular, bahkan yang partikular
itu wujud karena adanya pengetahuan-Nya tentang yang partikular tersebut.
Patutkan filosof Muslim atau siapa saja di kalangan
Muslimin dikafirkan kalau ia menganut paham bahwa alam qadim atau menganut paham bahwa kehidupan di akhirat (serta surga
dan neraka itu) bersifat spiritual? Kapankah Tuhan menciptakan alam? Pertanyaan
yang akhir ini sebenarnya tidak ada jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an
dan hadits shahih. Kalau dijawab dengan akal, maka ada akal yang memandang
tidak mustahil bahwa Tuhan menciptakan alam sejak zaman qidam, sehingga alam yang diciptakan Tuhan sejak qidam/’azali, tentulah qadim pula (eternal in the past). Juga ada akal manusia yang memandang tidak
mustahil bahwa Tuhan menciptakan alam ini bukan sejak qidam/’azali sehingga tentulah tidak qadim tapi hadits (baru:
pernah tidak ada, kemudian baru ada). Paham bahwa alam itu qadim atau paham bahwa alam itu tidak qadim sama-sama logis, sama-sama mungkin, tapi tak seorang pun
ulama dapat memastikan dengan akalnya atau dengan dalil al-Qur’an dan Hadits,
bahwa alam itu qadim atau bahwa alam
itu hadits. Oleh sebab itu,
sebenarnya keyakinan para filosof Muslim bahwa alam itu qadim, atau keyakinan kaum teolog Muslim pada umumnya bahwa alam
itu hadits, bukanlah keyakinan pokok
dalam Islam. Bila ijtihad yang satu benar, maka ia mendapat dua pahala; sedang
ijtihad yang salah, bukan saja dimaafkan Tuhan tapi dapat satu pahala, dan amat
tidak pantas untuk dikafirkan.
Tentang paham bahwa kehidupan ukhrawi bersifat spiritual,
apakah paham itu pantas dikafirkan? Semua ulama, sufi, dan filosof Muslim
percaya bahwa ayat dalam al-Qur’an itu adalah wahyu/keterangan dari Tuhan.
Demikian juga dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang bentuk
kehidupan di hari akhirat. Banyak gambaran dari al-Qur’an dan hadits Nabi, yang
menggambarkan bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat jasmaniah/material/fisik.
Tapi yang menjadi masalah apakah ayat-ayat dan hadits-hadits itu mengacu kepada
pengertian lateral atau kepada pengertian majazi. Tidak ada yang bisa
memastikan bagaimana maksud Tuhan. Para ulama/pemikir Muslim sama percaya pada
adanya akhirat, surga dan neraka. Tapi ada dari dulu sampai sekarang dua
kecenderungan pemahaman terhadap bentuk kehidupan ukhrawi itu. Para filosof
Muslim pada umumnya cenderung memandang bahwa demi menyentuh segenap lapisan
masyarakat,Tuhan telah berbuat bijaksana mematerialisasi (menggambarkan secara
fisik)kehidupan ukhrawi yang bersifat jasmaniah, seperti gambaran literal
al-Qur’an dan Hadits. Paham mana yang pasti benar? Tiada yang tahu secara
pasti, kecuali Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu, paham-paham yang
diperselisihkan itu haruslah kita anggap sebagai bukan ajaran pokok dalam
Islam. Jadi, ajaran pokok adalah: ada akhirat, ada surga dan neraka. Sedangkan
ajaran atau paham bahwa akhirat bersifat spiritual atau sebaliknya bersifat
jasmaniah, bukanlah ajaran pokok, tapi ajaran cabang yang tidak menyebabkan
orang menjadi kafir atau menolaknya.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf, sebagai jalan atau latihan keras untuk
mengembangkan kesucian batin/hati, selain menarik bagi ulama-ulama yang tidak
senang kepada filsafat, juga menarik bagi sebagian ulama yang tertarik dan
menguasai pemikiran-pemikiran falsafi dari manapun asalnya. Dengan demikian
muncul pulalah sejumlah sufi dengan latar belakang falsafi. Mereka dapat
disebut filosof yang sufi atau sufi yang filosof. Tasawuf mereka tidak disebut
dengan tasawuf sunni tapi tasawuf falsafi, yang dapat dipahami sebagai tasawuf
yang kaya dengan pandangan-pandangan falsafi atau banyak dimasuki oleh
pandangan-pandangan falsafi.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf
falsafi adalah Ibn Masarrah (dari Cordova, Andalusia; w. 319/931). Ia adalah
filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus dapat disebut sebagai
filosof sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut paham emanasi, yang mirip
dengan paham emanasi Plotinus (w. 270 M). Tingkatan-tingkatan wujud yang
memancar dari Tuhan, dalam pahamnya, adalah: materi pertama yang bersifat
rohaniah, kemudian akal universal, kemudian atur universal, dan terakhir materi
kedua yang bersikap murakkab
(tersusun). Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya
dari belenggu penjara badan, dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran
hati dengan sinar Tuhan. Itulah makrifah yang memberikan kebahagiaan yang
sejati. Ia juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi bersifat
rohaniah/spiritual.
Sufi kedua yang juga berpengetahuan luas dalam bidang
filsafat, adalah Suhrawardi al-Maqtul (dari Suhraward, Persia; dibunuh di
Aleppo pada 587/1191). Ia juga menganut paham emanasi, yang mirip dengan paham
emanasi al-Farabi atau Ibn Sina. Dari nur
al Anwar (yakni Tuhan) memancar Nur I
sampai dengan Nur X, serta
Sembilan lapis langit dan bumi ini. Jiwa manusia, menurut pemahamannya, juga
terperangkap dalam belenggu raga/badannya, dan haruslah berupaya keras untuk
kembali ke lingkungan asal, yakni alam malakut, dengan berpedoman pada petunjuk
yang dibawa oleh rasul Tuhan. Bagi Suhrawardi, kebahagiaan atau kesengsaraan manusia
di hari akhirat juga bersifat rohaniah.
Bila tasawuf sunni memperoleh bentuk yang final pada
pengajaran al-Ghazali,maka tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaan pada
pengajaran Ibn Arabi (sufi Andalusia, wafat di Damaskus pada 638/1240). Dengan
pengetahuannya yang amat kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam
lapangan filsafat, ia berhasil menghasilkan karya tulis yang luar biasa banyaknya
(di antaranya al-Futuhat al-Makkiyah
dan Fushush al-Hikam). Hampir ide-ide
yang berkembang di kalangan kaum sufi diliputnya dengan penjelasan-penjelasan
yang memadai. Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya, wujud itu
hanyalah satu; itulah wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri. Itulah Yang
Maha Besar (al-Haqq) atau Tuhan. Alam
yang banyak ini tidaklah berwujud dengan wujud alam sendiri, tapi alam ini
berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian
bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud
dengan wujud Tuhan. Karena itu dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah
satu, bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka raga mini adalah manifestasi
atau penampakan diri wujud yang satu itu. Dari sudut hakekat, alam tidak lain
dari Tuhan. Tapi dari sudut penampakan diri atau manifestasi, alam lain dari
Tuhan.
Tasawuf falsafi, karena dilengkapi oleh Ibn Arabi dengan
paham wahdah al-wujud, lazim juga
disebut dengan tasawuf wahdah al-wujud.
Melalui banyak sufi besar yang menjadi murid atau pengikutnya, seperti
al-Qunawi (673/1274), al-Farqani (700/1300), al-Kasyani (730/1327), al-Qaishari
(751/1350), Jalaludin Rumi (672/1273), al-Jami’ (898/1492), al-Jili (805/1403)
dan lain-lain, tasawuf ini memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia.
Umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Dua Belas dapat membenarkan paham
ini dan berbagai paham falsafi lainnya. Karena itu pulalah, tasawuf falsafi bisa
juga disebut tasawuf Syi’i, dengan
pengertian tasawuf yang diterima oleh umumnya/kebanyakan kaum Syi’ah.
Tasawuf Sunni dan Falsafi
Bila dibandingkan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi,
maka tentu dijumpai banyak persamaannya yang mendasar dan sejumlah perbedaan
yang tidak prinsipil. Keduanya sama-sama tidak ingin melanggar al-Qur’an dan
Sunnah. Keduanya sama-sama menolak tasawuf palsu (pura-pura) atau sikap-sikap
yang mengabaikan syariat. Keduanya sama-sama mementingkan ketekunan beribadah,
mementingkan zuhud, kesucian moral
dan jiwa. Perbedaannya berpangkal pada kecenderungan yang berbeda terhadap
pemikiran-pemikiran falsafi. Tasawuf falsafi, karena kebanyakan sufinya
mempunyai pengetahuan yang luas dalam lapangan filsafat, jauh lebih kaya dengan
ide-ide tentang Tuhan dan alam metafisik, yakni ide-ide yang dalam penilaian
dan keyakinan mereka tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Tasawuf sunni kurang mementingkan ide-ide spekulatif itu dan cenderung merasa
cukup dengan akidah-akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Ajaran
tentang qadim-nya alam, kehidupan ukhrawi
yang bersifat rohaniah, dan wahdah
al-wujud, yang terdapat dalam tasawuf falsafi atau dipandang benar oleh
tasawuf falsafi, tidak terdapat dalam tasawuf sunni karena dipandang tidak
benar. Syatahat cenderung dipandang
wajar oleh kalangan sufi falsafi, tapi kebanyakan atau sebagian sufi sunni
mengecamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar