Minggu, 26 Oktober 2014

TASAWUF DAN PSIKOANALISA



TASAWUF DAN PSIKOANALISA
Konsep Iradah dan Transferensi dalam Psikologi Sufi
Oleh: Javad Nurbakhsh
Javad Nurbakhsh adalah doktor kelahiran Kerman, Iran. Sebelum pensiun, ia menjabat sebagai Profesor dan kepala Departemen Psikiatri, Universitas Teheran, Iran. Ia banyak menulis buku-buku dan artikel sufisme yang tersebar di berbagai media massa. Di antara buku-bukunya yang terkenal dan dibaca luas di kalangan pecinta tasawuf adalah In the Paradise of the Sufis; Traditions of the Prophet; Sufi Women; Sufi Symbolism; The Nurbakhsh Encyclopedia of Sufi Terminology; dan Sufism, yang terdiri dari 4 volume dan ditujukan, terutama, kepada pembaca Barat yang ingin mengtahui secara lengkap khasanah spiritualitas Islam yang telah berusia lebih dari 1300 tahun ini. Puisi-puisi dan esainya terbit di bawah judul Divani Nurbahkhsy; The Truth of Love; In the Tavern of Ruin; dan Spiritual Poverty in Sufism. Kini ia bermukim di London dan memimpin ordo sufi Nematollahi, suatu jabatan yang sudah disandangnya sejak berusia 26 tahun.

Tasawuf sebagai suatu cara untuk menyucikan diri, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Apa yang bisa dikatakan tentang tasawuf!,” begitu biasanya para sufi besar mengatakan. Yang dikatakan mengenai tasawuf hanyalah sebuah usaha untuk mengekspresikan pengalaman batin para sufi melalui kata-kata. Dalam usaha untuk mengekspresikan pengalaman tersebut, tasawuf dapat dianggap sebagai jalan untuk mendekati Realitas Absolut (Allah), yang tidak dilakukan melalui logika, melainkan melalui “mata hari” dengan cara iluminasi dan kontemplasi.
Kaum sufi adalah mereka yang merambah jalan cinta dan pengabdian kepada Realitas Absolut itu. Pengetahuan mengenai Yang Nyata itu hanya mungkin didapat oleh Manusia Sempurna, karena manusia biasa menderita penyakit yang menyebabkan daya persepsi dan kepekaan mereka terus-menerus salah, sehingga menyimpangkan pengertian tentang realitas.
Psikoanalisa menunjukkan bahwa hampir semua tingkah laku manusia ditentukan oleh faktor ketidaksadaran. Tasawuf menyatakan bahwa ketidaksadaran itu adalah nafs al-ammarah yang bersifat otoritarian terhadap pikiran dan tingkah laku manusia. Kalau kepekaan manusia (biasa) berada di bawah pengaruh nafs al-ammarah,  maka kepekaannya menjadi tidak murni lagi, tidak sehat dan tidak jelas.

Seseorang yang belajar dan dengan ilmu yang mereka miliki mengklaim engerti tasawuf, sebenarnya tidak dapat disebut sebagai sorang sufi sejati, karena seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia benar-benar tahu dan mengerti tentang apa yang dilihat oleh paa sufi melalui mata hatinya. Menjadi seorang sufi berarti mempraktekkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari (it is “to become”and not to learn second hand). Tujuan pokok tasawuf adalah mencapai puncak kesempurnaan manusia dalam kesempurnaan Allah. Manusia Sempurna (insan al-kamil) adalah orang yang telah dapat melepaskan diri dari cengkeraman nafs al-ammarah. Realitas lahir dan batin Manusia Sempurna ditunjukkan oleh pembebasan ego individual dan penyatuan dirinya dengan Tuhan. Manusia Sempurna adalah cermin yang merefleksikan setiap aspek Realitas Absolut.

Menjadi Manusia Sempurna
Menjadi satu-satunya kemungkinan untuk menjadi Manusia Sempurna – dalam pandangan tasawuf – adalah dengan cara menjadi seorang murid sufi dari seorang Guru Spiritual Sempurna (qotb). Dengan cara itu ia dapat menyucikan diri dan meraih Kesempurnaan. Masa menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang guru dilalui dalam thariqah (jalan). Sedangkan syari’ah, atau rangkaian kewajiban yang terdapat dalam hokum agama Islam, bagi para sufi dianggap sebagai tahapan awal.
Jenjang yang lebih tinggi setelah tahap syari’ah disebut thariqah. Puncak perjalanan spiritual ada dalam pencapaian haqiqah (Kebenaran, Realitas Absolut). Orang yang memasuki jalan thariqah disebut sebagai murid atau murid sufi, sedangkan gurunya disebut murad atau qotb. Setiap gerak menuju jalan spiritual (thariqah) ditentukan oleh Kehendak Allah (Q. 2:72). Kondisi yang mengarah kepada gerak ini dikenal sebagai thalab (proses bimbingan ke tujuan kesempurnaan). Para sufi berpendapat bahwa qotb – berdasarkan kehendak Allah – memiliki kualitas yang memadai untuk membimbing manusia ke jalan spiritual itu (Q. 42:52).
Pada “tahap perjalanan kedua” (thariqah), ada program latihan dan disiplin khusus yang ditetapkan oleh qotb kepada muridnya. Tujuan program itu adalah untuk merubah kecenderungan nafsu dan sifat angkara (nafs al-ammarah) menjadi nafsu yang dapat dikendalikan (nafs al-lawwamah). Kecenderungan mengikuti hawa nafsu dapat mendorong manusia selalu memenuhi hasrat kebinatangan, seksual dan sifat-sifat agresif lain. Sedangkan jiwa yang terkendali (nafs al-lawwamah) akan mendorong manusia ke arah kesempurnaan sambil menyadari kemungkinan-kemungkinan agresivitas dalam jiwa manusia, supaya tercapai ketenteraman jiwa (nafs al-muthmainah). Setelah mencapai taraf ini, orang yang menjalani program tersebut sudah sampai pada akhir thariqah, sekaligus telah berhak untuk hadir dalam Tuhan (Q. 89:27-28).
Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai murid thariqah, secara bertahap seseorang harus berusaha melupakan diri dari tekanan konflik-konflik psikis, kecenderungan hewani dna nafsu-nafsu yang ada dalam dirinya. Energy yang semula digunakan untuk memuaskan nafsunya itu harus digunakan dan ditransformasikan untuk membersihkan mata hatinya dan membuka jalan ke arah pencerahan jiwa. Begitulah, setelah seseorang diterima menjadi anggota thariqah atau murid sufi, ia harus menaruh kepercayaan kepada guru spiritual atau qotbnya: bahwa guru tersebut akan membimbingnya kepada tujuan dan kesempurnaan yang ia dambakan. Sementara guru sufi itu sendiri akan melihat bahwa dalam diri murid sufinya itu memang benar-benar ada kejujuran dan pengabdian yang membuatnya cukup berharga untuk dibimbing. Setelah guru dan murid dapat menerima satu sama lain, seorang murid harus yakin benar segala dosa dan kelakuannya yang salah di masa lalu akan diampuni kalau ia benar-benar bertobat dengan cara menahan hawa nafsunya.
Dalam perbendaharaan kata tasawuf, masuknya seseorang ke dalam lingkaran tasawuf dapat disamakan dengan kelahiran kedua, yang jauh lebih sulit dari kelahiran pertama. Kelahiran kedua dilakukan dengan meninggalkan dunia material yang penuh kesenangan memasuki dunia cinta, pengabdian dan kesatuan. Proses mencapai hal tersebut dalam thariqah ini berlangsung antara 7-12 tahun.

Sang Guru Spiritual (Murad)
Guru spiritual (Murad, Qotb) adalah Manusia Sempurna yang paling tidak sudah melalui seluruh tahapan perjalanan spiritual. Tapi dengan hanya mengklaim diri sebagai qotb tidaklah cukup untuk menunjukkan bahwa seseorang telah menjalani semua tahapan itu. Ia harus ditunjuk oleh gurunya, dari siapa dulu ia belajar. Untuk alasan inilah para qotb dan syekh perlu menunjukkan mata rantai yang menghubungkan dia dengan para sufi besar, atau dalam istilah tasawuf, mereka mesti menunjukkan jubah (khirqah) pelantikan.
Ada dua jalan spiritual yang dapat dilalui untuk menjadi seorang guru sufi. Pertama, Tuhan dengan kasih sayang dan kebaikan-Nya menuntun seorang hamba dengan memberikan cobaan yang dapat menghilangkan ego individualnya. Orang yang mengalami hal tersebut disebut majdhub (yang tertarik). Tetapi kasus semacam ini sangat jarang terjadi. Yang lain adalah melalui jalan kedua, yaitu jalan thariqah. Berbeda dengan kasus majdhub, maka jalan yang kedua ini membutuhkan usaha dan kemauan dari orang yang bersangkutan (Q. 29:69), yang ditempuh di bawah bimbingan seorang guru sufi sejati. Ini tidak berarti bahwa mereka yang menempuh salah satu jalan dari kedua jalan tersebut dapat menjadi qotb. Seorang qotb sejati harus menempuh kedua jalan tersebut sekaligus. Ia harus menjalani semua tahap thariqah setelah terlebih dahulu menjadi majdhub. Mereka yang hanya mengalami majdhub saja, sebenarnya belum lengkap. Seorang calon Manusia Sempurna atau qotb harus mempunyai suatu visi tertentu tentang jalan spiritual, berjalan di atasnya dari awal hingga akhir, dan mengenal baik jalan itu hingga dapat membimbing orang lain untuk melaluinya.
Hal tersebut menjadi syarat karena seorang murid sufi yang patuh akan mempersepsikan dalam hatinya arketip spiritual gurunya itu dan sekaligus mencintainya dengan cinta yang akan terus menerus menjadi sumber kebahagiaannya. Inilah “mutual simbiosis” murid-guru. Selama seorang murid tidak dapat mencintai gurunya, ia tidak akan pernah siap menerima ajaran guru dengan hati terbuka, di samping ia juga tidak akan dapat meneladani sikap-sikap guru itu. Memang, kewajiban pertama dan terutama seorang murid sufi kepada gurunya adalah menerima tanpa syarat semua perintah gurunya. Dan itu sebabnya mengapa dari guru dituntut perkembangan spiritual yang paling matang.
Untuk mengembangkan spiritualitas murid sufi, sang guru harus mengontrol tindak-tanduk muridnya itu sampai kepada hal yang paling kecil. Di antara yang paling menjadi perhatian para guru – dan juga dilaksanakan oleh para psikoanalis tanpa memperhatikan aspek spiritualnya – adalah mimpi. Guru mengatasi masalah psikis dan spiritual murid sufinya dengan jalan menganalisa mimpi yang hanya boleh diceritakan kepada guru itu. Ini adalah fase “psikoterapi spiritual” yang berbeda antara satu murid dengan murid lainnya. Dengan terapi spiritual sang guru menyucikan murid dari hawa nafsu dan kecenderungan untuk berbuat jahat. Ia juga akan menggantikan kualitas buruk dalam diri sang murid dengan atribut suci ketuhanan. Jika seseorang memang cukup berharga untuk diangkat sebagai murid, ia menganugerahkan dzikr, yaitu mengingat nama-nama suci Allah terus menerus.
Jika seorang murid sufi terus-menerus ingat kepada Allah (dzikir), perlahan tapi pasti dirinya akan dipenuhi dengan kualitas ketuhanan dan kecenderungan nafsu badaniahnya akan menghilang. Tujuan mengingat Allah terus-menerus, adalah melatih konsentrasi murid ke satu titik tertentu. Seorang murid yang semula dicemari oleh pikiran yang bercabang-cabang dan keinginan yang beraneka ragam, secara bertahap akan mengkonsentrasikan seluruh kekuatan mentalnya kepada satu titik, yaitu Allah, sehingga ia dibebaskan dari konflik-konflik psikis dan diberkati dengan keseimbangan, ketenangan dan keamanan batin.
Selama berlatih dzikir, seorang murid sufi mengulang-ulang menyebutkan nama-nama Allah. Tidak hanya sekedar menyebutkan, tetapi juga memfokuskan perhatian kepada maknanya. Hanya mengingat dan memperhatikan ucapan saja, sama dengan menyembah berhala. Pengucapan kata itu sendiri sebenarnya tdak mempunyai kekuatan. Kekuatan terletak dalam penghayatan maknanya. Memang pada tahap belajar seorang murid sufi tidak bisa menghindarkan diri dari pengucapan melulu. Tetapi setelah beberapa waktu, ia akan terbiasa dengan tindakan non-verbal, dan masuk kepada spiritualitas yang menjadi tujuan dzikir itu: mempercepat penghilangan kualitas-kualitas rendah serta menggantinya dengan kualitas ketuhanan, dan akhirnya ego individual, sedemikan rupa sehingga tidak tersisa lagi jejak “aku”. Hilangnya keakuan adalah akhir dari alam thariqah, dan mulainya samudra ketiadaan atau fana’.
Dzikir hanya dapat berhasil dibawah bimbingan guru. Hanya ketaatan murid kepada gurulah yang akan menyebabkan “pohon dzikir” tumbuh besar dan menghasilkan buah ketiadaan. Biasanya pada awal perjalanan spiritual, seorang peziarah mistik atau salek,  sulit mencapai “buah ketiadaan” itu, karena ia selalu diganggu oleh berbagai tekanan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan psikis dankelemahannya dalam menghadapi nafsu-nasu. Untuk menyempurnakan kematangan jiwanya ia harus terus-menerus berusaha.
Seorang murid sufi percaya kepada kehendak bebas (Q. 53:40). Dengan melatih kehendak bebas, ia dapat melepaskan dirinya dari nafsu-nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, serta mempersiapkan munculnya sifat-sifat Ilahiah. Tujuan ini hanya mungkin diraih dengan usaha pribadi, dan selanjutnya pertolongan Tuhan (divine attraction). “Meskipun kesatuan dengan Tuhan tidak mudah diraih, berusahalah terus wahai hati, sedapat mungkin kau mampu lakukan,” ucap Hafidz dalam suatu sajak sufinya. Pada tahap yang lebih lanjut, ketika seorang murid sufi sudah berhasil memperoleh sifat Ilahiah, a menjadi percaya kepada determinisme, karena dalam dirinya tidak dikenal lagi ego individual. Semua yang dilakukannya adalah kehendak Tuhan.
Dalam tasawuf, hubungan spiritual antara guru dengan murid disebut iradah. Secara harfiah, kata iradah berarti “ingin”, “kehendak” atau “maksud” (to want, will atau intend): tetapi di kalangan sufi kata tersebut artinya mengutamakan kehendak guru di atas kehendak pribadi. Iradah adalah pengingkaran kehendak pribadi di hadapan guru. Kalau calon murid adalah orang yang memiliki kehendak, guru sfi adalah orang yang akan membimbingnya untuk menghilangkan kehendak itu. Selama ia belum berusaha melepaskan kehendaknya, ia belum pantas disebut seorang murid sufi.

Psikologi Sufi
Secara psikologis, dalam proses bimbingan itu ada dua macam ketidaksadaran: ketidaksadaran yang berasal dari hati (del), dan ketidaksadaran yang berasal dari hawa nafsu (nafs al-ammarah). Ketidaksadaran dalam hati manusia adalah cermin Ilahi. Di dalamnya termuat rahmat. Dalam pandangan psikologi sufi, cermin tersebut harus terus disucikan – oleh seorang murid dengan bantuan guru – dari godaan alamiah dan dunia materi, sehingga benar-benar bersih dan mampu memancarkan Kebenaran Abadi. Sedangkan ketidaksadaran nafs al-ammarah yang berisi segala macam naluri agresivitas dan destruktivitas manusia ditransformasikan menjadi nafs al-lawwamah (‘blaming soul’) dan kemudian menjadi nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang).
Dalam hati manusia teretak cinta (‘isyq), kasih, kerelaan berkorban, sikap ksatria, kesucian dan kebaikan. Sebaliknya dalam nafsu jasmaniah muncul kecenderungan-kecenderungan hewani, sifat agresif, kerendahan budi serta ketidaksucian. Tantang jiwa yang demikian, al-Qur’an telah menyatakan; “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku,” (Q. 12:53). Disiplin dan metode spiritual thariqah secara bertahap akan membersihkan hati, menumbuhkan kualitas spiritual, dan pada waktu yang bersamaan akan merubah nafs al-ammarah kepada nafs yang lebih tinggi (nafs al-lawamah dan nafs al-muthmainnah),. Seorang sufi menyebut semua proses perkembangan tahap-tahap nafs itu sebagai tasawuf. “Tasawuf adalah proses pembebasan jiwa dari proses yang menghubungkan hati dengan Yang Maha Mulia (rububiyya).”
Dalam terminologi psikologi sufi, dikenal dua jenis akal manusia: akal partikular (‘aql juz’i) dan akal universal (‘aql kulli). Akal partikular diperoleh dari pengalaman sehari-hari, dari pengelaman kehidupan material. Selain itu akal partikular juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menaklukkan nafs al-ammarah sehingga ia tidak dapat menjadi liar dan terkendali. Menurut psikologi sufi, akal partikular tak dapat digunakan untuk mencapai Kebenaran, karena Kebenaran selalu berkaitan dengan keseluruhan, dengan universalitas, yang hanya bisa diperoleh secara intuitif melalui ‘aql kulli.
Apabila hati sudah bersih dari berbagai macam noda, seorang murid sufi akan mereflekskan Kebenaran sebagaimana adanya. Sumber pengetahuan dan cara pandangnya akan terhindar dari gangguan angan-angan, kesalahan, cinta diri (self-love) atau kehendak mencari keuntungan pribadi (profit seeking). Dalam keadaan hati yang bersih itu seorang murid sufi akan mampu mempergunakan akal universal atau “kesadaran hati” (heart-consciousness) yang secara potensial sudah ada dalam dirinya. Rumi berkata, “Akal dan jiwa universal adalah manusia Tuhan (the man of God). Jangan mengira bahwa mahkota dan alas kaki dapat dipisahkan darinya. Karena esensi dasarnya adalah manifestasi Tuhan. Carilah Tuhan dalam dirimu sendiri, dan bukan pada manusia lain.”
Itulah Manusia Sempurna (insan kamil), yang sudah mendapatkan akal universal dan mengingkari yang lain selain Tuhan. Dengan cinta yang dimiliki, ia semakin meneguhkan adanya Tuhan.
Seringkali orang berpendapat bahwa dalam kesusasteraan dan psikologi sufi, cinta begitu diagungkan sementara akal diremehkan. Sebenarnya yang diremehkan dalam psikologi sufi adalah akal partikular, bukan akal universal. Kalau para sufi berbicara mengenai cinta, itu tidak lain adalah kesempurnaan dan intensitas iradah Tuhan, sumber kekuatan dan api kerinduan. Dalam kekuatan itu hati manusia mampu meraih kesempurnaan, bukan dengan menggunakan akal partikular, melainkan dengan kesadaran hati (cinta). Cinta adalah anugerah dan rahmat Ilahi. Rumi berkata, “Akal partikular yang mengingkari cinta, lama-kelamaan tidak lagi bisa diandalkan.”

Transferensi dan Iradah
Dalam psikoanalisa disebut bahwa hubungan antara analis, orang yang menganalisa, dan analisan, seseorang yang dianalisa, adalah factor sangat penting dalam proses terapi. Freud menyebut hal ini sebagai fenomea transferensi, yaitu fenomena di mana analsan memindahkan semua kenangan masa lalunya kepada analis.
Dalam transferensi, hubunan baru dibentuk antara analis dan analisan. Analisan mempercayai semua analisa dari sang analis. Kepercayaan dan ketaatan analisan ini berasal dari hubungan yang lebih tua, yaitu dengan orang tuanya, yang kini sedang dibangun dicoba kembali dalam sebuah suasana terapeutik yang menghadirkan analis sebagai figure pengganti orang tua yang dapat dipercaya. Hubungan yang demikian dibutuhkan untuk mencapai hasil maksimal dalam terapi. Freud mengatakan,
Kami mengamati… bahwa pasien – yang seharusnya tidak memikirkan hal-hal lain kecuali kesembuhannya dari konflik-konflik yang menekan – mulai menunjukkan perhatiannya kepada si analis. Segala hal yang berhubungan dengannya menjadi lebih penting dibandingkan urusannya sendiri, bahkan dari kebutuhannya untuk disembuhkan.
Dalam tasawuf, ketika iradah menjadi tali pengikat antara seorang guru sufi dengan muridnya, secara tak sadar seorang murid memproyeksikan gambaran ideal yang dimilikinya kepada gurunya, mentransfer seluruh perasaan dan keinginan-keinginan duniawinya. Bahkan murid sufi itu akan menerima gurunya dengan sepenuh hati dan berserah diri kepadanya.
Lalu apakah iradah bisa disamakan dengan transferensi? Menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu membedakan dua bentuk iradah. Yang pertama adalah iradahnya “murid sufi” yang dikuasa oleh nafsu diperintah (maka dalam terminologi psiko-analisa “murid sufi” itu adalah orang yang sakit jiwa), dan akal partikularnya. Ini bisa disamakan dengan transferensi. Sedangkan iradah para pencari kebenaran, yang dalam membina hubungan dengan guru spiritualnya dibimbing oleh Tuhan dan karena dorongan hati. Inilah yang disebut iradah sejati dalam terminologi tasawuf.
Berdasarkan distingsi tersebut, transferensi adalah penetapan hubungan antara analisan dengan analis, yang bertujuan untuk menyembuhkan si pasien dan membuatnya kembali menjadi manusia normal. Sementara di sisi lain, iradah adalah hubungan spiritual guru dan murid dengan tujuan menaikkan taraf spiritualitas murid dari manusia normal menjadi Manusia Sempurna. Jika transferensi adalah penetapan hubungan dengan tujuan memuaskan nafs al-ammarah, maka iradah adalah hubungan untuk mencintai orang lain dengan tujuan menghindari cinta-diri.
Fenomena transferensi menghendaki pendengar yang sungguh-sungguh untuk memperhatikan kata-kata seorang yang memuja diri sendiri,sementara iradah menjadikan seorang pendengar menjadi pemuja Kebenaran. Transferensi itu sendiri bersifat material, relatif dan temporal, sedangkan iradah bersifat spiritual, absolut dan abadi.
Salah satu jenjang dalam tasawuf adalah fana fi al-syaikh (meleburkan diri ke dalam pribadi guru). Beberapa orang yang mengikuti jalan sufi benar-benar tertarik (majdhub) dengan gurunya karena kesempurnaan iradah atau cinta (ishq). Dalam pancaran iradah itu mereka tiada dalam kehadiran sang guru, dan mereka tidak dapat melihat sesuatu yang lain kecuali dia. Banyak sufi besar sudah mencapai taraf ini. Contoh paling terkenal adalah antara Rumi dengan guru spiritualnya, Syams al-Tibrizi, seperti terungkap dalam bait-bait puisi berikut:
Wahai guruku, pembimbingku!
Deritaku dan penolongku!
Biarlah kubuka rahasia ini:
Matahariku, Tuhanku! Sampai Engkau
memandangku, aku terbakar cinta,
karena Engkau raja dua dunia;
Matahariku, Tuhanku!
Aku lebur di hadapan-Mu hingga
tak tersisa jejakku:
karena hanya itu yang paling layak,
wahai Matahariku, Tuhanku!

 dalam tasawuf fana fi al-syaikh hanyalah satu tahap persiapan sebelum mencapai fana’ fi Allah (lebur dalam Tuhan).
Agar pantas disebut pemula dalam tasawuf, seseorang harus mempraktekkan iradah itu, selain harus matang dan sehat lahir batin. Kewajiban pertama yang diterima oleh seorang murid sufi adalah ia harus mengalihkan perhatiannya dari dunia dan seluruh isinya, dan hanya mencurahkan perhatian kepada gurunya. Dengan demikian langkah pertama ini akan membawanya pada perhatian tunggal kepada gurunya dan melepaskan diri dari kecintaan terhadap diri sendiri.
Mereka begitu cinta terhadap diri sendiri dan mengagungkan diri tidak hanya akan gagal dalam menempuh tahapan awal ini, tetapi juga akan membawa pengaruh buruk. Keterlibatan yang begitu besar dengan diri sendiri merupakan penghalang bagi perkembangan iradahnya dan, sebagai konsekuensi logis yang akan diterima adalah kegagalan mencapai tujuan tasawuf itu sendiri!
Dengan memperhatikan hubungan antara analisan dengan analisnya dalam fenomena transferensi, Freud juga sampai pada kesimpulan sama:
Pengalaman menunjukkan bahwa pasien yang menderita neurosis narsistik tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan transferensi. Mereka akan berpaling dari analis, bukan karena sikap bermusuhan tetapi karena kelalaian mereka.

Dalam psikologi sufi, seseorang baru dianggap layak enjadi guru spiritual, kalau ia sudah melalui seluruh tahap perjalanan tasawuf di bawah bimbingan seorang Manusia Sempurna. Dengen demikian calon guru sufi itu mempunyai pandangan menyeluruh mengenai jalan tasawuf dan menjalaninya dari awal hingga akhir serta tahu persis seluk beluk jalan itu. Dengan penunjukan kualifikasi itu ia pun masuk dalam rantai silsilah. Rantai (silsilah) ini berasal dari sufi pertama yang dapat dilacak jejaknya hingga Nabi, dan akhirnya ke Tuhan. Dengan demikian, seorang “guru” yang tidak memiliki hubungan dengan silsilah ini tidak bisa disebut sebagai guru sufi dan tidak berwenang untuk membimbing orang lain, karena ia tidak pernah menempuh jalan tersebut dan mempelajari prinsip-prinsipnya di bawah bimbingan guru yang terdahulu (qotb). Akibatnya dia tidak akan dapat menolong orang lain melalui jalan tersebut. Seorang “guru” yang tidak layak akan menggunakan transferensi sebagai iradah, dan tanpa disadari ia akan mengalihkan cacatnya kepada orang lain.
Seseorang yang tidak mempunyai otoritas dari guru yang mempunyai hubungan langsung dalam silsilah, tidak hanya akan mengalami kegagalan membawa murid sufinya ke arah kesempurnaan, tetapi lebih dari itu akan membuatnya kehilangan spiritualitas. Para psikoanalis juga mengatakan bahwa jika kepada seseorang belum pernah dilakukan proses terapi, dia tidak akan dapat menganalisa orang lain.
Dari kenyataan ini, memang sangat sulit untuk membuat distingsi yang betul-betul ketat antara transferensi dan iradah. Hanya guru sufi dan orang-orang suci, yang jumlahnya sangat sedikit dalam setiap zaman, yang dapat menentukan perbedaan antara keduanya. Sayangnya, banyak orang-orang yang berhubungan dengan tasawuf dalam level sehari-hari, mengangap transferensi itu sama dengan iradah. Mereka yang dijuluki “guru spiritual”, tetapi belum mencapai kesempurnaan, tanpa sadar menyalahi pemahaman mengenai transferensi untuk keuntungan pribadi tanpa menyadar aspek egoistis yang ditimbulkan.
Orang yang mentalnya sakit akan menjadi murid dari “guru” semacam itu dan menjalin hubungan transferensi dengannya. Kemudian, sambil mengklaim bahwa suatu keajaiban sedang terjadi – yang sebenarnya diakibatkan oleh emosi yang terlalu kuat yang timbul dalam proses transferensi – mereka bertindak sebagai misionaris bagi gurunya. “Guru” tersebut, pada gilirannya, tanpa menyadari egoismenya sendiri, mengambil keuntungan dari kelalaian muridnya. Dengan menyebut dirinya sebagai orang suci, ia memulai hidup sebagai parasit bagi dirinya sendiri. Kadang-kadang, karena ada “keajaiban” yang diceritakan oleh muridnya, ia berpikir bahwa ia benar-benar diutus Tuhan tanpa sepengetahuannya. Singkatnya “guru” semacam ini hadir di tengah masyarakat tidak lain karena kebutuhannya mencari nafkah, dan semakin lama semakin yakin akan klaimnya pada diri sendiri. Ini menyebabkan timbulnya lingkaran setan antara murid  dan murad, tanpa masing-masing menyadari egoismenya.

Penutup
Di setiap zaman, lingkaran setan semacam ini sudah menghasilkan banyak guru, dan semakin banyak murid yang bergabung dan menceritakan tentang keajaiban yang tidak masuk akal. Dengan demikian aliran-aliran “sufi” yang ada tidak lebih dari sekedar toko spiritual di mana para “guru” memamerkan keahliannya. Kemudian masyarakat juga akan memperlakukan mereka sebagai berhala-berhala yang patut disembah. Guru semacam ini adalah subyek bagi murid-muridnya. Sebenarnya, seorang murid senang mempunyai seseorang yang dapat ia pandang sebagai gurunya, yaitu seseorang yang karena cacat dan ketidaksempurnaannya, selalu menikmati berada di tengah para murid sufinya. Rumi pernah berkata: “Berhati-hatilah dengan kokok ayam yang menipu; mereka berteriak seperti layaknya seekor elang putih.” Akibat yang ditimbulkan oleh para guru sufi palsu ini adalah kegagalan memberikan bimbingan spiritual kepada anak didiknya dan membawa mereka kepada “kesempurnaan” seorang guru. Konsekuensinya, sebagian besar “guru-guru” tersebut memperkenalkan keturunannya sendiri sebagai penerus. Dengan demikian ordo keguruan yang semula berbasis pada spiritualitas sekarang berbasis pada faktor darah dan sangat materialistik.
Di sisi lain guru-guru sejati dan sempurna hanya menerima murid yang benar-benar bebas dari penyakit mental dan motif-motif rendah, serta mereka tang benar-benar dikehendaki Allah. Hanya dengan memenuhi standar itu seseorang dapat diterima sebagai murid sufi. Ya, sebagian besar guru sufi memang tidak menerima murid yang mentalnya mengalami gangguan. Tetapi ada juga guru yang kesempurnaannya sudah demikian baik sehingga mau menerima murid semacam ini. Kalau itu terjadi, ada baiknya murid atau lebih baik dikatakan “pasien” ini, menjalani terlebih dahulu pengobatan melalui psikoanalisa dan transferensi sebelum mereka boleh menjalani ajaran tasawuf. Berkat kemampuan dari guru-guru sejati itu, dapat dibuka suatu kelas dasar yang dibentuk dalam ordo sufi untuk menyembuhkan seseorang dari penyakit psikologisnya. Dalam kelas macam ini guru atau “dokter ilahiah” mengobati pasiennya melalui pengobatan psikoanalitik dengan menggunakan metode transferensi.
Ketika proses pengobatan ini selesai dan pasien dinyatakan sembuh, calon murid itu boleh memilih antara meninggalkan “kelas” itu dan kemudian menjalani kehidupan normal, atau, seandainya ada kehendak Tuhan dan iradah yang menolongnya , ia akan diresmikan menjadi anggota kelompok esoteris tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar