TASAWUF DAN PSIKOANALISA
Konsep Iradah dan Transferensi dalam Psikologi
Sufi
Oleh:
Javad Nurbakhsh
Javad
Nurbakhsh adalah doktor kelahiran Kerman, Iran. Sebelum pensiun, ia menjabat
sebagai Profesor dan kepala Departemen Psikiatri, Universitas Teheran, Iran. Ia
banyak menulis buku-buku dan artikel sufisme yang tersebar di berbagai media
massa. Di antara buku-bukunya yang terkenal dan dibaca luas di kalangan pecinta
tasawuf adalah In the Paradise of the
Sufis; Traditions of the Prophet; Sufi Women; Sufi Symbolism; The Nurbakhsh
Encyclopedia of Sufi Terminology; dan Sufism,
yang terdiri dari 4 volume dan ditujukan, terutama, kepada pembaca Barat yang
ingin mengtahui secara lengkap khasanah spiritualitas Islam yang telah berusia
lebih dari 1300 tahun ini. Puisi-puisi dan esainya terbit di bawah judul Divani Nurbahkhsy; The Truth of Love; In
the Tavern of Ruin; dan Spiritual
Poverty in Sufism. Kini ia bermukim di London dan memimpin ordo sufi
Nematollahi, suatu jabatan yang sudah disandangnya sejak berusia 26 tahun.
Tasawuf
sebagai suatu cara untuk menyucikan diri, tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. “Apa yang bisa dikatakan tentang tasawuf!,” begitu biasanya para
sufi besar mengatakan. Yang dikatakan mengenai tasawuf hanyalah sebuah usaha
untuk mengekspresikan pengalaman batin para sufi melalui kata-kata. Dalam usaha
untuk mengekspresikan pengalaman tersebut, tasawuf dapat dianggap sebagai jalan untuk mendekati Realitas Absolut
(Allah), yang tidak dilakukan melalui logika, melainkan melalui “mata hari”
dengan cara iluminasi dan kontemplasi.
Kaum sufi
adalah mereka yang merambah jalan cinta dan pengabdian kepada Realitas Absolut itu.
Pengetahuan mengenai Yang Nyata itu hanya mungkin didapat oleh Manusia
Sempurna, karena manusia biasa menderita penyakit yang menyebabkan daya
persepsi dan kepekaan mereka terus-menerus salah, sehingga menyimpangkan
pengertian tentang realitas.
Psikoanalisa
menunjukkan bahwa hampir semua tingkah laku manusia ditentukan oleh faktor
ketidaksadaran. Tasawuf menyatakan bahwa ketidaksadaran itu adalah nafs al-ammarah yang bersifat
otoritarian terhadap pikiran dan tingkah laku manusia. Kalau kepekaan manusia
(biasa) berada di bawah pengaruh nafs
al-ammarah, maka kepekaannya menjadi
tidak murni lagi, tidak sehat dan tidak jelas.
Seseorang yang
belajar dan dengan ilmu yang mereka miliki mengklaim engerti tasawuf,
sebenarnya tidak dapat disebut sebagai sorang sufi sejati, karena seseorang
tidak dapat mengatakan bahwa ia benar-benar tahu dan mengerti tentang apa yang
dilihat oleh paa sufi melalui mata hatinya. Menjadi seorang sufi berarti
mempraktekkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari (it is “to become”and not to learn second hand). Tujuan pokok
tasawuf adalah mencapai puncak kesempurnaan manusia dalam kesempurnaan Allah.
Manusia Sempurna (insan al-kamil) adalah
orang yang telah dapat melepaskan diri dari cengkeraman nafs al-ammarah. Realitas lahir dan batin Manusia Sempurna
ditunjukkan oleh pembebasan ego individual dan penyatuan dirinya dengan Tuhan.
Manusia Sempurna adalah cermin yang merefleksikan setiap aspek Realitas
Absolut.
Menjadi
Manusia Sempurna
Menjadi
satu-satunya kemungkinan untuk menjadi Manusia Sempurna – dalam pandangan
tasawuf – adalah dengan cara menjadi seorang murid sufi dari seorang Guru
Spiritual Sempurna (qotb). Dengan cara itu ia dapat
menyucikan diri dan meraih Kesempurnaan. Masa menjalani pelatihan di bawah
bimbingan seorang guru dilalui dalam thariqah
(jalan). Sedangkan syari’ah, atau
rangkaian kewajiban yang terdapat dalam hokum agama Islam, bagi para sufi
dianggap sebagai tahapan awal.
Jenjang yang
lebih tinggi setelah tahap syari’ah
disebut thariqah. Puncak perjalanan
spiritual ada dalam pencapaian haqiqah (Kebenaran, Realitas Absolut). Orang
yang memasuki jalan thariqah disebut sebagai murid atau murid sufi, sedangkan
gurunya disebut murad atau qotb. Setiap gerak menuju jalan
spiritual (thariqah) ditentukan oleh Kehendak Allah (Q. 2:72). Kondisi yang
mengarah kepada gerak ini dikenal sebagai thalab
(proses bimbingan ke tujuan kesempurnaan). Para sufi berpendapat bahwa qotb – berdasarkan kehendak Allah –
memiliki kualitas yang memadai untuk membimbing manusia ke jalan spiritual itu
(Q. 42:52).
Pada “tahap perjalanan
kedua” (thariqah), ada program
latihan dan disiplin khusus yang ditetapkan oleh qotb kepada muridnya. Tujuan program itu adalah untuk merubah
kecenderungan nafsu dan sifat angkara (nafs
al-ammarah) menjadi nafsu yang dapat dikendalikan (nafs al-lawwamah). Kecenderungan mengikuti hawa nafsu dapat
mendorong manusia selalu memenuhi hasrat kebinatangan, seksual dan sifat-sifat
agresif lain. Sedangkan jiwa yang terkendali (nafs al-lawwamah) akan mendorong manusia ke arah kesempurnaan
sambil menyadari kemungkinan-kemungkinan agresivitas dalam jiwa manusia, supaya
tercapai ketenteraman jiwa (nafs
al-muthmainah). Setelah mencapai taraf ini, orang yang menjalani program
tersebut sudah sampai pada akhir thariqah, sekaligus telah berhak untuk hadir
dalam Tuhan (Q. 89:27-28).
Untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai murid thariqah, secara bertahap seseorang harus berusaha melupakan diri
dari tekanan konflik-konflik psikis, kecenderungan hewani dna nafsu-nafsu yang
ada dalam dirinya. Energy yang semula digunakan untuk memuaskan nafsunya itu
harus digunakan dan ditransformasikan untuk membersihkan mata hatinya dan
membuka jalan ke arah pencerahan jiwa. Begitulah, setelah seseorang diterima
menjadi anggota thariqah atau murid
sufi, ia harus menaruh kepercayaan kepada guru spiritual atau qotbnya: bahwa guru tersebut akan membimbingnya kepada tujuan dan kesempurnaan yang ia
dambakan. Sementara guru sufi itu sendiri akan melihat bahwa dalam diri
murid sufinya itu memang benar-benar ada kejujuran dan pengabdian yang
membuatnya cukup berharga untuk dibimbing. Setelah guru dan murid dapat
menerima satu sama lain, seorang murid harus yakin benar segala dosa dan
kelakuannya yang salah di masa lalu akan diampuni kalau ia benar-benar bertobat
dengan cara menahan hawa nafsunya.
Dalam
perbendaharaan kata tasawuf, masuknya seseorang ke dalam lingkaran tasawuf
dapat disamakan dengan kelahiran kedua, yang jauh lebih sulit dari kelahiran
pertama. Kelahiran kedua dilakukan dengan meninggalkan dunia material yang
penuh kesenangan memasuki dunia cinta, pengabdian dan kesatuan. Proses mencapai
hal tersebut dalam thariqah ini
berlangsung antara 7-12 tahun.
Sang
Guru Spiritual (Murad)
Guru spiritual
(Murad, Qotb) adalah Manusia Sempurna
yang paling tidak sudah melalui seluruh tahapan perjalanan spiritual. Tapi
dengan hanya mengklaim diri sebagai qotb
tidaklah cukup untuk menunjukkan bahwa seseorang telah menjalani semua tahapan
itu. Ia harus ditunjuk oleh gurunya, dari siapa dulu ia belajar. Untuk alasan
inilah para qotb dan syekh perlu menunjukkan mata rantai yang
menghubungkan dia dengan para sufi besar, atau dalam istilah tasawuf, mereka
mesti menunjukkan jubah (khirqah) pelantikan.
Ada dua jalan
spiritual yang dapat dilalui untuk menjadi seorang guru sufi. Pertama, Tuhan dengan kasih sayang dan
kebaikan-Nya menuntun seorang hamba dengan memberikan cobaan yang dapat
menghilangkan ego individualnya. Orang yang mengalami hal tersebut disebut majdhub (yang tertarik). Tetapi kasus
semacam ini sangat jarang terjadi. Yang lain adalah melalui jalan kedua, yaitu jalan thariqah. Berbeda
dengan kasus majdhub, maka jalan yang kedua ini membutuhkan usaha dan kemauan
dari orang yang bersangkutan (Q. 29:69), yang ditempuh di bawah bimbingan
seorang guru sufi sejati. Ini tidak berarti bahwa mereka yang menempuh salah
satu jalan dari kedua jalan tersebut dapat menjadi qotb. Seorang qotb sejati harus menempuh kedua jalan tersebut
sekaligus. Ia harus menjalani semua tahap thariqah
setelah terlebih dahulu menjadi majdhub.
Mereka yang hanya mengalami majdhub saja,
sebenarnya belum lengkap. Seorang calon Manusia Sempurna atau qotb harus mempunyai suatu visi tertentu
tentang jalan spiritual, berjalan di atasnya dari awal hingga akhir, dan
mengenal baik jalan itu hingga dapat membimbing orang lain untuk melaluinya.
Hal tersebut
menjadi syarat karena seorang murid sufi yang patuh akan mempersepsikan dalam
hatinya arketip spiritual gurunya itu dan sekaligus mencintainya dengan cinta
yang akan terus menerus menjadi sumber kebahagiaannya. Inilah “mutual simbiosis” murid-guru. Selama
seorang murid tidak dapat mencintai gurunya, ia tidak akan pernah siap menerima
ajaran guru dengan hati terbuka, di samping ia juga tidak akan dapat meneladani
sikap-sikap guru itu. Memang, kewajiban pertama dan terutama seorang murid sufi
kepada gurunya adalah menerima tanpa syarat semua perintah gurunya. Dan itu
sebabnya mengapa dari guru dituntut perkembangan spiritual yang paling matang.
Untuk
mengembangkan spiritualitas murid sufi, sang guru harus mengontrol
tindak-tanduk muridnya itu sampai kepada hal yang paling kecil. Di antara yang
paling menjadi perhatian para guru – dan juga dilaksanakan oleh para
psikoanalis tanpa memperhatikan aspek spiritualnya – adalah mimpi. Guru
mengatasi masalah psikis dan spiritual murid sufinya dengan jalan menganalisa
mimpi yang hanya boleh diceritakan kepada guru itu. Ini adalah fase “psikoterapi
spiritual” yang berbeda antara satu murid dengan murid lainnya. Dengan terapi
spiritual sang guru menyucikan murid dari hawa nafsu dan kecenderungan untuk
berbuat jahat. Ia juga akan menggantikan kualitas buruk dalam diri sang murid
dengan atribut suci ketuhanan. Jika seseorang memang cukup berharga untuk
diangkat sebagai murid, ia menganugerahkan dzikr,
yaitu mengingat nama-nama suci Allah terus menerus.
Jika seorang
murid sufi terus-menerus ingat kepada Allah (dzikir),
perlahan tapi pasti dirinya akan dipenuhi dengan kualitas ketuhanan dan
kecenderungan nafsu badaniahnya akan menghilang. Tujuan mengingat Allah
terus-menerus, adalah melatih konsentrasi murid ke satu titik tertentu. Seorang
murid yang semula dicemari oleh pikiran yang bercabang-cabang dan keinginan
yang beraneka ragam, secara bertahap akan mengkonsentrasikan seluruh kekuatan
mentalnya kepada satu titik, yaitu Allah, sehingga ia dibebaskan dari
konflik-konflik psikis dan diberkati dengan keseimbangan, ketenangan dan
keamanan batin.
Selama berlatih
dzikir, seorang murid sufi mengulang-ulang menyebutkan nama-nama Allah. Tidak
hanya sekedar menyebutkan, tetapi juga memfokuskan perhatian kepada maknanya.
Hanya mengingat dan memperhatikan ucapan saja, sama dengan menyembah berhala.
Pengucapan kata itu sendiri sebenarnya tdak mempunyai kekuatan. Kekuatan terletak
dalam penghayatan maknanya. Memang pada tahap belajar seorang murid sufi tidak
bisa menghindarkan diri dari pengucapan melulu. Tetapi setelah beberapa waktu,
ia akan terbiasa dengan tindakan non-verbal, dan masuk kepada spiritualitas
yang menjadi tujuan dzikir itu: mempercepat penghilangan kualitas-kualitas
rendah serta menggantinya dengan kualitas ketuhanan, dan akhirnya ego
individual, sedemikan rupa sehingga tidak tersisa lagi jejak “aku”. Hilangnya
keakuan adalah akhir dari alam thariqah,
dan mulainya samudra ketiadaan atau fana’.
Dzikir hanya
dapat berhasil dibawah bimbingan guru. Hanya ketaatan murid kepada gurulah yang
akan menyebabkan “pohon dzikir” tumbuh besar dan menghasilkan buah ketiadaan.
Biasanya pada awal perjalanan spiritual, seorang peziarah mistik atau salek, sulit mencapai “buah ketiadaan” itu, karena ia
selalu diganggu oleh berbagai tekanan yang merupakan akibat dari
ketidakseimbangan psikis dankelemahannya dalam menghadapi nafsu-nasu. Untuk
menyempurnakan kematangan jiwanya ia harus terus-menerus berusaha.
Seorang murid
sufi percaya kepada kehendak bebas (Q. 53:40). Dengan melatih kehendak bebas,
ia dapat melepaskan dirinya dari nafsu-nafsu dan kecenderungan-kecenderungan
buruknya, serta mempersiapkan munculnya sifat-sifat Ilahiah. Tujuan ini hanya
mungkin diraih dengan usaha pribadi, dan selanjutnya pertolongan Tuhan (divine attraction). “Meskipun kesatuan
dengan Tuhan tidak mudah diraih, berusahalah terus wahai hati, sedapat mungkin
kau mampu lakukan,” ucap Hafidz dalam suatu sajak sufinya. Pada tahap yang
lebih lanjut, ketika seorang murid sufi sudah berhasil memperoleh sifat
Ilahiah, a menjadi percaya kepada determinisme, karena dalam dirinya tidak
dikenal lagi ego individual. Semua yang dilakukannya adalah kehendak Tuhan.
Dalam tasawuf,
hubungan spiritual antara guru dengan murid disebut iradah. Secara harfiah, kata iradah
berarti “ingin”, “kehendak” atau “maksud”
(to want, will atau intend):
tetapi di kalangan sufi kata tersebut artinya mengutamakan kehendak guru di
atas kehendak pribadi. Iradah adalah pengingkaran kehendak pribadi di hadapan
guru. Kalau calon murid adalah orang yang memiliki kehendak, guru sfi
adalah orang yang akan membimbingnya untuk menghilangkan kehendak itu. Selama
ia belum berusaha melepaskan kehendaknya, ia belum pantas disebut seorang murid
sufi.
Psikologi
Sufi
Secara
psikologis, dalam proses bimbingan itu ada dua macam ketidaksadaran:
ketidaksadaran yang berasal dari hati (del),
dan ketidaksadaran yang berasal dari hawa nafsu (nafs al-ammarah). Ketidaksadaran dalam hati manusia adalah cermin
Ilahi. Di dalamnya termuat rahmat. Dalam pandangan psikologi sufi, cermin
tersebut harus terus disucikan – oleh seorang murid dengan bantuan guru – dari
godaan alamiah dan dunia materi, sehingga benar-benar bersih dan mampu
memancarkan Kebenaran Abadi. Sedangkan ketidaksadaran nafs al-ammarah yang
berisi segala macam naluri agresivitas dan destruktivitas manusia
ditransformasikan menjadi nafs
al-lawwamah (‘blaming soul’) dan kemudian menjadi nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang).
Dalam hati
manusia teretak cinta (‘isyq), kasih,
kerelaan berkorban, sikap ksatria, kesucian dan kebaikan. Sebaliknya dalam
nafsu jasmaniah muncul kecenderungan-kecenderungan hewani, sifat agresif,
kerendahan budi serta ketidaksucian. Tantang jiwa yang demikian, al-Qur’an
telah menyatakan; “Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku,” (Q. 12:53). Disiplin dan metode spiritual thariqah secara
bertahap akan membersihkan hati, menumbuhkan kualitas spiritual, dan pada waktu
yang bersamaan akan merubah nafs
al-ammarah kepada nafs yang lebih
tinggi (nafs al-lawamah dan nafs al-muthmainnah),. Seorang sufi
menyebut semua proses perkembangan tahap-tahap nafs itu sebagai tasawuf. “Tasawuf adalah proses pembebasan jiwa
dari proses yang menghubungkan hati dengan Yang Maha Mulia (rububiyya).”
Dalam terminologi
psikologi sufi, dikenal dua jenis akal manusia: akal partikular (‘aql juz’i) dan akal universal (‘aql kulli). Akal partikular diperoleh
dari pengalaman sehari-hari, dari pengelaman kehidupan material. Selain itu
akal partikular juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menaklukkan nafs al-ammarah sehingga ia tidak dapat
menjadi liar dan terkendali. Menurut psikologi sufi, akal partikular tak dapat
digunakan untuk mencapai Kebenaran, karena Kebenaran selalu berkaitan dengan
keseluruhan, dengan universalitas, yang hanya bisa diperoleh secara intuitif
melalui ‘aql kulli.
Apabila hati
sudah bersih dari berbagai macam noda, seorang murid sufi akan mereflekskan
Kebenaran sebagaimana adanya. Sumber pengetahuan dan cara pandangnya akan
terhindar dari gangguan angan-angan, kesalahan, cinta diri (self-love) atau kehendak mencari keuntungan pribadi (profit seeking). Dalam keadaan hati
yang bersih itu seorang murid sufi akan mampu mempergunakan akal universal atau
“kesadaran hati” (heart-consciousness)
yang secara potensial sudah ada dalam dirinya. Rumi berkata, “Akal dan jiwa
universal adalah manusia Tuhan (the man
of God). Jangan mengira bahwa mahkota dan alas kaki dapat dipisahkan
darinya. Karena esensi dasarnya adalah manifestasi Tuhan. Carilah Tuhan dalam
dirimu sendiri, dan bukan pada manusia lain.”
Itulah Manusia
Sempurna (insan kamil), yang sudah
mendapatkan akal universal dan mengingkari yang lain selain Tuhan. Dengan cinta
yang dimiliki, ia semakin meneguhkan adanya Tuhan.
Seringkali
orang berpendapat bahwa dalam kesusasteraan dan psikologi sufi, cinta begitu
diagungkan sementara akal diremehkan. Sebenarnya yang diremehkan dalam
psikologi sufi adalah akal partikular, bukan akal universal. Kalau para sufi
berbicara mengenai cinta, itu tidak lain adalah kesempurnaan dan intensitas iradah Tuhan, sumber kekuatan dan api
kerinduan. Dalam kekuatan itu hati manusia mampu meraih kesempurnaan, bukan
dengan menggunakan akal partikular, melainkan dengan kesadaran hati (cinta).
Cinta adalah anugerah dan rahmat Ilahi. Rumi berkata, “Akal partikular yang
mengingkari cinta, lama-kelamaan tidak lagi bisa diandalkan.”
Transferensi
dan Iradah
Dalam
psikoanalisa disebut bahwa hubungan antara analis, orang yang menganalisa, dan
analisan, seseorang yang dianalisa, adalah factor sangat penting dalam proses
terapi. Freud menyebut hal ini sebagai fenomea
transferensi, yaitu fenomena di mana analsan memindahkan semua kenangan
masa lalunya kepada analis.
Dalam
transferensi, hubunan baru dibentuk antara analis dan analisan. Analisan
mempercayai semua analisa dari sang analis. Kepercayaan dan ketaatan analisan
ini berasal dari hubungan yang lebih tua, yaitu dengan orang tuanya, yang kini
sedang dibangun dicoba kembali dalam sebuah suasana terapeutik yang
menghadirkan analis sebagai figure pengganti orang tua yang dapat dipercaya.
Hubungan yang demikian dibutuhkan untuk mencapai hasil maksimal dalam terapi.
Freud mengatakan,
Kami mengamati… bahwa
pasien – yang seharusnya tidak memikirkan hal-hal lain kecuali kesembuhannya
dari konflik-konflik yang menekan – mulai menunjukkan perhatiannya kepada si
analis. Segala hal yang berhubungan dengannya menjadi lebih penting
dibandingkan urusannya sendiri, bahkan dari kebutuhannya untuk disembuhkan.
Dalam tasawuf,
ketika iradah menjadi tali pengikat
antara seorang guru sufi dengan muridnya, secara tak sadar seorang murid
memproyeksikan gambaran ideal yang dimilikinya kepada gurunya, mentransfer
seluruh perasaan dan keinginan-keinginan duniawinya. Bahkan murid sufi itu akan
menerima gurunya dengan sepenuh hati dan berserah diri kepadanya.
Lalu apakah iradah bisa disamakan dengan
transferensi? Menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu membedakan
dua bentuk iradah. Yang pertama adalah iradahnya
“murid sufi” yang dikuasa oleh nafsu diperintah (maka dalam terminologi
psiko-analisa “murid sufi” itu adalah
orang yang sakit jiwa), dan akal partikularnya. Ini bisa disamakan dengan
transferensi. Sedangkan iradah para
pencari kebenaran, yang dalam membina hubungan dengan guru spiritualnya dibimbing
oleh Tuhan dan karena dorongan hati. Inilah yang disebut iradah sejati dalam
terminologi tasawuf.
Berdasarkan
distingsi tersebut, transferensi adalah penetapan hubungan antara analisan
dengan analis, yang bertujuan untuk menyembuhkan si pasien dan membuatnya
kembali menjadi manusia normal. Sementara di sisi lain, iradah adalah hubungan spiritual guru dan murid dengan tujuan
menaikkan taraf spiritualitas murid dari manusia normal menjadi Manusia
Sempurna. Jika transferensi adalah penetapan hubungan dengan tujuan memuaskan nafs al-ammarah, maka iradah adalah hubungan untuk mencintai
orang lain dengan tujuan menghindari cinta-diri.
Fenomena
transferensi menghendaki pendengar yang sungguh-sungguh untuk memperhatikan
kata-kata seorang yang memuja diri sendiri,sementara iradah menjadikan seorang pendengar menjadi pemuja Kebenaran.
Transferensi itu sendiri bersifat material, relatif dan temporal, sedangkan iradah bersifat spiritual, absolut dan
abadi.
Salah satu
jenjang dalam tasawuf adalah fana fi
al-syaikh (meleburkan diri ke dalam pribadi guru). Beberapa orang yang mengikuti
jalan sufi benar-benar tertarik (majdhub)
dengan gurunya karena kesempurnaan iradah
atau cinta (ishq). Dalam pancaran iradah itu mereka tiada dalam kehadiran
sang guru, dan mereka tidak dapat melihat sesuatu yang lain kecuali dia. Banyak
sufi besar sudah mencapai taraf ini. Contoh paling terkenal adalah antara Rumi
dengan guru spiritualnya, Syams al-Tibrizi, seperti terungkap dalam bait-bait
puisi berikut:
Wahai guruku,
pembimbingku!
Deritaku dan
penolongku!
Biarlah kubuka
rahasia ini:
Matahariku, Tuhanku!
Sampai Engkau
memandangku, aku
terbakar cinta,
karena Engkau raja
dua dunia;
Matahariku, Tuhanku!
Aku lebur di
hadapan-Mu hingga
tak tersisa jejakku:
karena hanya itu yang
paling layak,
wahai Matahariku,
Tuhanku!
dalam
tasawuf fana fi al-syaikh hanyalah
satu tahap persiapan sebelum mencapai fana’
fi Allah (lebur dalam Tuhan).
Agar pantas
disebut pemula dalam tasawuf, seseorang harus mempraktekkan iradah itu, selain harus matang dan
sehat lahir batin. Kewajiban pertama yang diterima oleh seorang murid sufi
adalah ia harus mengalihkan perhatiannya dari dunia dan seluruh isinya, dan
hanya mencurahkan perhatian kepada gurunya. Dengan demikian langkah pertama ini
akan membawanya pada perhatian tunggal kepada gurunya dan melepaskan diri dari
kecintaan terhadap diri sendiri.
Mereka begitu
cinta terhadap diri sendiri dan mengagungkan diri tidak hanya akan gagal dalam
menempuh tahapan awal ini, tetapi juga akan membawa pengaruh buruk.
Keterlibatan yang begitu besar dengan diri sendiri merupakan penghalang bagi
perkembangan iradahnya dan, sebagai
konsekuensi logis yang akan diterima adalah kegagalan mencapai tujuan tasawuf
itu sendiri!
Dengan
memperhatikan hubungan antara analisan dengan analisnya dalam fenomena
transferensi, Freud juga sampai pada kesimpulan sama:
Pengalaman menunjukkan
bahwa pasien yang menderita neurosis narsistik tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan transferensi. Mereka akan berpaling dari analis, bukan karena sikap
bermusuhan tetapi karena kelalaian mereka.
Dalam psikologi
sufi, seseorang baru dianggap layak enjadi guru spiritual, kalau ia sudah
melalui seluruh tahap perjalanan tasawuf di bawah bimbingan seorang Manusia
Sempurna. Dengen demikian calon guru sufi itu mempunyai pandangan menyeluruh
mengenai jalan tasawuf dan menjalaninya dari awal hingga akhir serta tahu
persis seluk beluk jalan itu. Dengan penunjukan kualifikasi itu ia pun masuk
dalam rantai silsilah. Rantai (silsilah) ini berasal dari sufi pertama yang
dapat dilacak jejaknya hingga Nabi, dan akhirnya ke Tuhan. Dengan demikian,
seorang “guru” yang tidak memiliki hubungan dengan silsilah ini tidak bisa
disebut sebagai guru sufi dan tidak berwenang untuk membimbing orang lain,
karena ia tidak pernah menempuh jalan tersebut dan mempelajari
prinsip-prinsipnya di bawah bimbingan guru yang terdahulu (qotb). Akibatnya dia tidak akan dapat menolong orang lain melalui
jalan tersebut. Seorang “guru” yang tidak layak akan menggunakan transferensi
sebagai iradah, dan tanpa disadari ia
akan mengalihkan cacatnya kepada orang lain.
Seseorang yang
tidak mempunyai otoritas dari guru yang mempunyai hubungan langsung dalam
silsilah, tidak hanya akan mengalami kegagalan membawa murid sufinya ke arah
kesempurnaan, tetapi lebih dari itu akan membuatnya kehilangan spiritualitas.
Para psikoanalis juga mengatakan bahwa jika kepada seseorang belum pernah
dilakukan proses terapi, dia tidak akan dapat menganalisa orang lain.
Dari kenyataan
ini, memang sangat sulit untuk membuat distingsi yang betul-betul ketat antara
transferensi dan iradah. Hanya guru
sufi dan orang-orang suci, yang jumlahnya sangat sedikit dalam setiap zaman,
yang dapat menentukan perbedaan antara keduanya. Sayangnya, banyak orang-orang
yang berhubungan dengan tasawuf dalam level sehari-hari, mengangap transferensi
itu sama dengan iradah. Mereka yang
dijuluki “guru spiritual”, tetapi belum mencapai kesempurnaan, tanpa sadar
menyalahi pemahaman mengenai transferensi untuk keuntungan pribadi tanpa
menyadar aspek egoistis yang ditimbulkan.
Orang yang
mentalnya sakit akan menjadi murid dari “guru” semacam itu dan menjalin
hubungan transferensi dengannya. Kemudian, sambil mengklaim bahwa suatu
keajaiban sedang terjadi – yang sebenarnya diakibatkan oleh emosi yang terlalu
kuat yang timbul dalam proses transferensi – mereka bertindak sebagai
misionaris bagi gurunya. “Guru” tersebut, pada gilirannya, tanpa menyadari
egoismenya sendiri, mengambil keuntungan dari kelalaian muridnya. Dengan
menyebut dirinya sebagai orang suci, ia memulai hidup sebagai parasit bagi
dirinya sendiri. Kadang-kadang, karena ada “keajaiban” yang diceritakan oleh
muridnya, ia berpikir bahwa ia benar-benar diutus Tuhan tanpa sepengetahuannya.
Singkatnya “guru” semacam ini hadir di tengah masyarakat tidak lain karena
kebutuhannya mencari nafkah, dan semakin lama semakin yakin akan klaimnya pada
diri sendiri. Ini menyebabkan timbulnya lingkaran setan antara murid dan murad,
tanpa masing-masing menyadari egoismenya.
Penutup
Di setiap
zaman, lingkaran setan semacam ini sudah menghasilkan banyak guru, dan semakin
banyak murid yang bergabung dan menceritakan tentang keajaiban yang tidak masuk
akal. Dengan demikian aliran-aliran “sufi” yang ada tidak lebih dari sekedar
toko spiritual di mana para “guru” memamerkan keahliannya. Kemudian masyarakat
juga akan memperlakukan mereka sebagai berhala-berhala yang patut disembah.
Guru semacam ini adalah subyek bagi murid-muridnya. Sebenarnya, seorang murid
senang mempunyai seseorang yang dapat ia pandang sebagai gurunya, yaitu
seseorang yang karena cacat dan ketidaksempurnaannya, selalu menikmati berada
di tengah para murid sufinya. Rumi pernah berkata: “Berhati-hatilah dengan
kokok ayam yang menipu; mereka berteriak seperti layaknya seekor elang putih.”
Akibat yang ditimbulkan oleh para guru sufi palsu ini adalah kegagalan
memberikan bimbingan spiritual kepada anak didiknya dan membawa mereka kepada
“kesempurnaan” seorang guru. Konsekuensinya, sebagian besar “guru-guru”
tersebut memperkenalkan keturunannya sendiri sebagai penerus. Dengan demikian
ordo keguruan yang semula berbasis pada spiritualitas sekarang berbasis pada
faktor darah dan sangat materialistik.
Di sisi lain
guru-guru sejati dan sempurna hanya menerima murid yang benar-benar bebas dari
penyakit mental dan motif-motif rendah, serta mereka tang benar-benar
dikehendaki Allah. Hanya dengan memenuhi standar itu seseorang dapat diterima
sebagai murid sufi. Ya, sebagian besar guru sufi memang tidak menerima murid
yang mentalnya mengalami gangguan. Tetapi ada juga guru yang kesempurnaannya
sudah demikian baik sehingga mau menerima murid semacam ini. Kalau itu terjadi,
ada baiknya murid atau lebih baik dikatakan “pasien” ini, menjalani terlebih
dahulu pengobatan melalui psikoanalisa dan transferensi sebelum mereka boleh
menjalani ajaran tasawuf. Berkat kemampuan dari guru-guru sejati itu, dapat
dibuka suatu kelas dasar yang dibentuk dalam ordo sufi untuk menyembuhkan
seseorang dari penyakit psikologisnya. Dalam kelas macam ini guru atau “dokter
ilahiah” mengobati pasiennya melalui pengobatan psikoanalitik dengan
menggunakan metode transferensi.
Ketika proses
pengobatan ini selesai dan pasien dinyatakan sembuh, calon murid itu boleh
memilih antara meninggalkan “kelas” itu dan kemudian menjalani kehidupan
normal, atau, seandainya ada kehendak Tuhan dan iradah yang menolongnya , ia
akan diresmikan menjadi anggota kelompok esoteris tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar