KARAKTERISTIK
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
ABAD
KEDUAPULUH
Oleh M. Yunan Yusuf
Dr. M. Yunan Yusuf, putera
Pasar Sorkam, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ini lahir 1949, mendapat
pendidikan di Fakultas Ushuluddin, IAIN lakarta (1978). Gelar Doktor ia peroleh
dari Fakultas Pasca Sarjana juga di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dengan
judul disertasi “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah telaah tentang
Pemikiran dalam Teologi Islam.” Di samping sebagai dosen di Pasca Sarjana IAIN
Jakarta, sekarang ia juga menjabat sebagai pembantu Dekan I Bidang Akademik
Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Ia pun aktif mengisi kursus-kursus keislaman,
di antaranya di Yayasan Paramadina.
Dilihat dari segi
karakteristiknya, tafsir Qur’an di Indonesia abad 20 terdapat banyak persamaan,
Walaupun ada juga perbedaannya. Namun berdasarkan hasil kajian M. Yunan Yusuf
atas beberapa tafsir Qur’an Indonesia, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa
sebagian besar ternyata masih beraliran tradisional. Cirinya, memberikan
penafsiran secara harfiah atas ayat-ayat mutasyabihat.
Al-Qur’an adalah
Kitabullah yang di dalamnya termuat dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur’an
menerangkan segala perintah dan larangan, yang halal dan haram, baik dan buruk,
bahkan juga memuat berbagai kisah sejarah umat masa lampau.
Seluruh yang termaktub
dalam al-Qur‘an itu hakekatnya ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam. Ia
memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat
dalam bentuk ajaran aqidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah, ibadah dan
sebagainya.
Tapi untuk mengungkap
dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca
dan menyanyikan al-Qur‘an dengan baik. Diperlukan bukan hanya sekedar itu, tapi
lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip
yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang diberikan tafsir.[1])
Sebab itu dikatakan, “tafsir
adalah kunci untuk, membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur‘an.
Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk
mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya”.[2])
Upaya penulisan tafsir
di Indonesia sudah lama berjalan. Dimulai dari karya ‘Abd al-Ra‘uf Singkel Tarjuman al-Mustajid, dalam tulisan Arab
Melayu, pada abad 17,[3])
hingga Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry di abad 20 ini. Dalam masa lebih
kurang tiga abad itu telah banyak tafsir Qur‘an
yang dihasilkan.[4])
Karakteristik -dari
bahasa Inggris characteristic-
mengandung sifat khas. Ia mengungkap sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Maka,
bila di sini disebut karakteristik tafsir Qur‘an di Indonesia abad 20, yang
dimaksud adalah ciri-ciri khas apa saja yang bisa dilihat dalam upaya penulisan
tafsir Qur‘an di Indonesia pada abad 20 itu.
Dalam Ulum al-Tafsir karakteristik
diidentifikasi lewat metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak pemikiran
penafsiran.
Metode penafsiran
dimaksudkan, apakah tafsir-tafsir yang ada mempergunakan metode penafsiran ayat
dengan ayat, penafsiran ayat dengan Hadits; penafsiran ayat dengan kisah-kisah
Israiliyat atau penafsiran ayat dengan semata-mata mempergunakan ra’yu. Adapun teknik penafsiran akan
memperlihatkan apakah penafsiran tersebut diawali dengan memperjelas arti mufradat, kemudian berpindah ke arti ijmal (global) dan akhirnya penafsiran tafshili (uraian terperinci). Sedangkan
corak pemikiran penafsiran, yang dimaksud adalah corak pemikiran keagamaan mana
yang mempengaruhi tafsir-tafsir tersebut, baik pemikiran keagamaan rasional
atau tradisional.
Jelasnya, metode tafsir
adalah cara seorang penafsir memberikan tafsirannya, apakah ia menafsirkan
Qur‘an dengan Qur‘an, Qur‘an dengan Hadits, menafsirkan Qur‘an dengan riwayat
para sahabat, Qur‘an dengan kisah Israiliyat atau menafsirkan Qur‘an dengan
pikirannya (ra‘yu)[5].)
Teknik penafsiran lebih
menekankan prosedur penafsiran yang dilalui. Terdapat bermacam-macam prosedur
yang pernah ada dalam sejarah penulisan tafsir. Ada prosedur penafsiran yang
dimulai dari makna mufradat (arti
kata), lalu memberikan makna ijmaly dan
akhirnya memberikan makna tafshily
(terperinci). Ada pula yang langsung memberikan makna terperinci tanpa melalui
arti kata dan makna global, dan yang memberikan
penafsiran dalam bentuk catatan kaki.[6])
Adapun aliran
penafsiran di sini dimaksudkan, kecenderungan aliran (faham teologi) yang
dianut penafsir Qur‘an, apakah kecenderungan teologis berwarna liberal atau
tradisional.[7])
Sedangkan untuk melihat
aliran penafsiran akan diteliti penafsirannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat,[8])
dibatasi pada penafsiran ayat yadu Allah
fauqa aidihim yang terdapat dalam surat al-Fath ayat 10.
Dalam rentangan waktu
abad 20 tersebut, tafsir Qur‘an pertama yang terbit adalah, Tafsir Qur‘an Karim
Bahasa Indonesia, ditulis oleh Mahmud Yunus.[9])
Sebagaimana disebut oleh Yunus sendiri dalam memberikan pengantar terhadap
tafsir tersebut, ia mulai menulisnya pada November 1922. Penulisannya dilakukan
secara berangsur-angsur, juzu’ demi juzu’ sampai pada juzu’ ketiga. Juzu’
keempat dilanjutkan penulisannya oleh H. Ilyas Muhammad Ali di bawah bimbingan
Yunus. Sampai di sini dihentikan.[10])
Tidak diperoleh keterangan kapan penulisan oleh H. Ilyas Muhammad Ali itu
dilakukan serta apa sebabnya penulisan juzu’ berikutnya dihentikan.
Kemudian pada tahun
1935 penulisan tafsir tersebut diteruskannya kembali, dibantu HM. Kasim Bakry.
Penulisan ini sampai merampungkan juzu’ 18. Sedangkan sisanya dirampungkan
Yunus sendiri sampai selesai pada 1938.[11])
Sesudah Tafsir Qur‘an
Karim Bahasa Indonesia oleh Mahmud Yunus, dijumpai pula Tafsir Qur’an yang
ditulis A. Hassan[12])
Tafsir ini diberi nama Al-Furqan Tafsir Our‘an.
Sebagai seorang pemikir
Islam A. Hassan banyak melahirkan tulisan.[13])
Menurut pengakuan Hassan sendiri, kitab karangannya yang mula-mula diterbitkan
adalah juzu’ pertama dari tafsir Qur‘an yang ditulisnya. Itu terjadi pada bulan
Muharam 1347 H bertepatan dengan Juli 1928 M[14])
Hassan juga dikenal sebagai pemimpin Persatuan Islam.[15])
Waktunya banyak dipergunakan menulis beberapa kitab yang dianggap perlu oleh
anggota-anggota Persatuan Islam. Namun penulisan tafsirnya pernah terhenti. Pada
1941 barulah penulisan tafsir Qur‘an tersebut dilanjutkannya sampai surat
Maryam.[16])
Usaha penulisan tafsir
Qur‘an yang pertama ini terhenti lagi sampai surat-Maryam itu. Atas permintaan
Salim bin Sa’ad bin Nabhan, seorang penerbit dan pedagang buku di Surabaya,
Hassan menulis tafsir Qur‘an kembali dari awal sampai akhir untuk diterbitkan
lengkap 30 juzu.[17])
Menurut Hassan, penulisan kali ini menempuh cara lain, yakni lebih mementingkan
pemberian keterangan arti tiap-tiap ayat agar pembaca bisa faham maknanya
dengan mudah.[18])
Penerbitan Tafsir Qur‘an A. Hassan secara lengkap
dilakukan pada 1956, sebagaimana tercantum pada tahun pertama penerbitannya. Al-Furqan
Tafsir Qur‘an A. Hassan hampir seangkatan dengan Tafsir al-Our‘an Karim, karya
tiga orang ulama asal Sumatera Timur: Al-Ustadz H.A. Halim Hassan[19])
H. Zainal Arifin Abbas[20])
dan Abdurrahim Haitami.[21])
Penyusunan tafsir ini
dimulai awal Ramadhan 1355 H di Binjai, Langkat. Sementara penerbitan pertamanya
baru dalam bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai pada April 1937, terbit
sebulan sekali. Pada akhir 1941, menjelang pendudukan Jepang dan sesudah pecahnya
Perang Dunia II, karena kertas tidak masuk lagi dari Eropa dan Amerika, penerbitan
tafsir tersebut dihentikan. Demikianlah sampai akhir 1941 Tafsir al-Our'an
Karim ini baru selesai juzu’ VII.[22])
Perlu disebutkan pula,
selama masa lima tahun, yakni pada 1937-194l, juzu I dan II pernah diterbitkan
dalam bahasa Melayu dengan memakai huruf Arab. Penerbitan dalam tulisan Arab
Melayu itu dimaksudkan untuk konsumsi di seluruh sembilan kerajaan Malaysia.[23])
Tafsir al-Qur‘an Karim hanya berhasil dikerjakan sampai juzu’ VII. Kurang
jelas kenapa penulisannya hanya sampai pada juzu’ VII itu saja.
Pindah ke pembicaraan
tafsir lain, pada 1958 Hamka[24])
yang dikenal sebagai ulama dan juga sastrawan, mulai melakukan kegiatan
penafsiran Qur‘an. Hal itu dilakukannya lewat kuliah subuh jamaah masjid Al-Azhar
Kebayoran Baru Iakarta, dimulai dari surat al-Kahfi, juzu’ XV.[25])
Sejak tahun 1962,
pelajaran tafsir Qur‘an yang tadinya menjadi kegiatan rutin dalam kuliah subuh masjid
al-Azhar Kebayoran baru Jakarta, dimuat secara bersambung dalam majalah Gema
Islam.[26])
Perkembangan berikutnya, Senin 12 Rabiul Awwal 1383 bertepatan dengan 27 Januari
1964, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap
tanah airnya sendiri.[27])
Ternyata, penahanan yang dialami Hamka selama lebih kurang dua setengah tahun
memberikan peluang baginya dalam merampungkan tafsir Qur‘annya. Menurut Hamka
sendiri, beberapa hari sebelum dipindahkan ke tahanan rumah, penafsiran Qur‘an
30 juzu’ sudah ia selesaikan. Dan dalam masa tahanan rumah dua bulan lebih
dipergunakannya untuk menyisipkan mana yang kurang.[28])
Hamka memberi nama
tafsir tersebut Tafsir al-Azhar,
Diberi nama itu karena tafsir tersebut timbul dari masjid Agung Al-Azhar, nama
yang diberikan Syaikh Jami’ah Al-Azhar sendiri, yang saat itu dijabat Syaikh
Mahmud Syaltout. Dan yang penting, Hamka memperoleh gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor Honoris Causa) dari Jami’ah tersebut.
Agaknya untuk mengabadikan semua peristiwa itu, Hamka memberi nama tafsirnya Tafsir al-Azhar.[29])
Penerbitan pertama tafsir ini dilakukan pada tahun 1967.
Tafsir al-Azhar ini seangkatan dengan Tafsir Qur’an hasil karya bersama H.
Zainuddin Hamidy[30])
dan Fachruddin Hs. Agaknya tafsir ini mulai dikerjakan sejak 1953. Kesimpulan
ini diambil dari sambutan yang diberikan H. Agus Salim[31])
serta sambutan yang diberikan Syaikh Soelaiman Al-Rasuli[32])
dan Syaikh Ibrahim Musa[33])
yang dimuat dalam tafsir tersebut. Sambutan H. Agus Salim bertanggal Januari
1953, sementara Sambutan Syaikh Soelaiman Al-Rasuli dan Syaikh Ibrahim Musa
bertanggal Agustus 1956. Cetakan pertama Tafsir
Qur‘an karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. ini dilaksanakan pada
tahun 1959.
Dua karya besar tafsir
Qur‘an lahir pula dari tangan seorang ahli fiqh dan tafsir, yakni Prof. TM.
Hasbi ash-Ahiddieqy. Dua buah tafsir itu masing-masing diberi nama Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur dan Tafsir al-Qur‘an al-Karim al-Bayan.
Tafsir pertama, tafsir an-Nur dicetak
pertama kali tahun 1956. Sedangkan tafsir kedua, tafsir al-Bayan, dicetak pertama kali pada 1971. Kelihatannya
penulisan Tafsir al-Bayan oleh Prof.
TM. Hasbi ash- Shiddieqy disebabkan ketidakpuasan terhadap tafsirnya yang
pertamanya.[34])
Sebelurn mengakhiri
uraian tentang sejarah perkembangan tafsir Qur‘an di Indonesia, perlu
disebutkan dua tafsir lainnya, yakni Al-Our‘an
dan Terjemahannya, diterbitkan Departemen Agama RI, serta Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry.[35])
Al-Our‘an dan Terjemahannya adalah
hasil karya suatu Dewan Penerjemah yang berada di bawah Yayasan Penyelenggara
Penerjemah atau Penafsiran al-Qur‘an. Yayasan ini berdiri atas dasar Surat
Keputusan Menteri Agama RI nomor 26 tahun 1967.[36])
Sedangkan Tafsir Rahmat karya H.
Oemar Bakry merupakan tafsir Qur‘an terbaru di Indonesia. Tahun 1984 tafsir ini
telah mengalami cetakan ketiga. Adapun cetakan pertamanya dilakukan pada 1981.
Demikianlah uraian
perkembangan tafsir di Indonesia menurut urutan waktu pada abad 20 ini. Namun
bagaimana “ciri masa” yang dipantulkan masing-masing tafsir tersebut?
Dari sudut ciri masa
yang dipantulkannya, maka Tafsir Qur‘an
Karim Bahasa Indonesia Karya Mahmud Yunus merupakan pemula dari upaya tafsir
dalam bentuk baru. Baru di sini dilihat dari sudut keberaniannya menampilkan
penafsiran al-Qur‘an di tengah masyarakat yang masih menganggapnya haram.
Saat itu, menerjemahkan
dan menafsirkan al-Qur‘an di luar bahasa Arab belum dapat diterima semua alim
ulama. Dengan alasan itulah barangkali kenapa Yunus memulai karyanya itu bukan
dengan huruf Latin tapi dengan huruf Arab Melayu.
Bagi Yunus upaya
menafsirkan Qur‘an ke dalam Bahasa Indonesia merupakan upaya teramat penting.
Sebab tanpa penafsiran ke dalam Bahasa Indonesia, banyak orang Islam Indonesia
yang tidak mengetahui isi al-Qur‘an. Kata Yunus, “Qur‘an itu diturunkan Allah supaya
isinya kita perhatikan (untuk jadi petunjuk dan pengajaran), bukan semata-mata
untuk kita lagukan.”[37])
Selanjutnya ia mengatakan, Qur‘an sudah diterjemahkan orang ke dalam
bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan lain-lain. Sehingga orang Eropa mengerti
isi al-Qur‘an, tapi orang Islam Indonesia banyak yang tidak mengetahuinya.[38])
Al-Furqan Tafsir Qur’an karya
A. Hassan tidak lagi mengalami kondisi seperti yang dialami Yunus. Hassan telah
menulis tafsirnya dengan huruf Latin. Suasana yang dihadapi Hassan adalah
suasana riuh rendah pertentangan antara kaum tradisional dan kaum modernis
dalam bentuk berpegang teguh terhadap mazhab dan tetap taklid atau kembali pada
Qur‘an dan Sunnah dengan ijtihad. Perdebatan tentang sumber hukum Islam,
ijtihad, ittiba’, taqlid, bid’ah dan faham kebangsaan yang mewarnai pikiranpikiran
Hassan, juga terpantul dalam tafsirnya. Sikapnya yang radikal pun terlihat.
Tafsir Qur‘an karya
tiga serangkai, al-Ustadz HA. Halim Hassan, H. Zainal Ariiin Abbas dan Abdurrahman
Haitami, juga berada dalam suasana seperti apa yang dihadapi Hassan. Memang
ketika “...zaman menuju peralihan dari faham-faham statis kepada faham-faham
dinamis menuju perubahan, terutama dalam bidang pendidikan.”[39])
Tapi kendati demikian mereka tidaklah melepaskan mazhab seperti dilakukan
Hassan. Umumnya penggerak-penggerak anti mazhab di Sumatera Utara dari kalangan
Muhammadiyah, sedangkan mereka dikenal bukan dari kalangan Muhammadiyah.
Tafsir al-Azhar karya Hamka merupakan
karya monumental penulisnya sendiri. Lewat tafsir ini Hamka mendemonstrasikan
keluasan pengetahuannya hampir di semua disiplin yang tercakup oleh
bidang-bidang ilmu agama Islam.[40])
Suasana rumah tahanan memberikan dorongan tersendiri bagi penulisan tafsir itu.
Kehidupan politik yang tidak menentu, bahaya komunisme atau PKI yang bertambah
mencekam, secara panjang lebar dikisahkan Hamka dalam pendahuluan tafsirnya.
Agaknya jiwa seniman
dan jiwa dakwah Hamka banyak bermain dalam penulisan Tafsir al-Azhar. Keindahan
bahasa dengan cinta dan lara berpadu dalam himbauan terhadap manusia untuk
lebih dekat pada Tuhan.
Dua karya besar Prof.
TM. Hasbi ash-Shiddiqy tafsir al-Nur
dan al-Bayan memperlihatkan corak
lain pula. Tinjauan tentang hukum Islam, menampakkan warna yang cukup jelas.
Penafsiran ayat-ayat ahkam lebih panjang lebar diungkapkan. Besar kemungkinan Tafsir al-Nur Hasbi ini merupakan
terjemahan dari Tafsir al-Maraghy,
kendatipun Hasbi membantahnya pada penerbitan ulang tafsirnya itu.
Al-Qur’an dan Terjemahannya yang
diterbitkan oleh Departemen Agama RI., menampakkan pula semangat alam
pembangunan Indonesia. Sebuah pengantar panjang yang membicarakan tentang
sejarah al-Qur‘an, sejarah Nabi Muhammad saw., Qur‘an dan ilmu pengetahuan juga
diperlihatkan. Sayangnya pengantar ini diisi oleh satu plagiat terjemahan
harfiah dari The Holy Qur’an karya
Abdullah Yusuf Ali.
Sejalan dengan itu
Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry juga memperlihatkan corak perkembangan baru.
Sebuah daftar panjang tentang pengelompokan ayat-ayat al-Qur‘an, seperti
keimanan, ibadah, sains dan teknologi, kesehatan, ekonomi, masyarakat dan
kenegaraan, budi pekerti luhur, dan sejarah dapat dijumpai dalam tafsir ini.
Masalah air susu ibu (asi)
mendapat perhatian tafsir ini, yang dalam tafsir-tafsir sebelumnya tidak
dijumpai.
Sesudah dibicarakan
sejarah perkembangan tafsir Qur‘an di Indonesia pada abad 20, maka bagian ini
akan mencoba memberikan analisa dan perbandingan terhadap tafsir-tafsir
tersebut. Sesuai dengan batasan yang telah diberikan, maka kajian berikut akan
menyajikan analisa dan perbandingan tentang metode penafsiran, teknik
penafsiran, dan aliran (corak teologi) dari masing-masing tafsir tersebut.
Metode
Penafsiran
Seperti yang disebut
pada bagian pendahuluan, metode penafsiran sama dengan sumber tafsir; yakni
apakah tafsir itu bersumber dari Qur‘an, atau bersumber dari Hadits,
kisah-kisah Israiliyat, ataukah bersumber dari ra’yu.
Untuk melihat hal itu,
di sini diberikan satu contoh, yakni tafsir surat al-Fathihah[41]) menurut berbagai tafsir. Surat al-Fatihah
yang terdiri dari 7 ayat itu ditafsirkan oleh para penafsir sebagai berikut:
a.
Apa-apa
pekerjaan yang akan kita kerjakan haruslah dengan nama Allah. Biasanya orang
berbicara dalam kerapatan atas nama perkumpulannya, begitu pula orang Islam
bekerja atas nama Tuhannya.
b.
Apa-apa
kita lihat amat cantik dan permai di antara isi alam yang luas ini, hendaklah
kita puji Allah, karena pokok dan asalnya ialah dari pada-Nya.
c.
Allah
itu amat Pengasih, Penyayang, lebih-lebih kepada kita, karena Dia yang menganugerahkan
pikiran yang luas, anggota yang cukup. Tapi, sekalipun begitu Dia berkuasa pada
hari yang kemudian buat menyiksa orang yang tiada menurut perintah-Nya.
d.
Karena
Allah amat banyak memberi kita bermacam-macam nikmat, maka wajiblah kita
menyembahnya. Dan tiada yang disembah selain dari pada-Nya. Wajib kita minta
tolong pada-Nya, akan menyampaikan cita-cita dan tujuan kita bersama Dia yang
berkuasa menghilangkan aral yang melintang. Adapun minta tolong sesama manusia
tentang apa-apa yang bisa dikerjakannya, tidak mengapa. Tetapi, jika kita minta
tolong padanya tentang pekerjaan yang tiada bisa dikerjakannya, seperti minta
masuk surga, murah rezeki, berbahagia dunia akhirat dan sebagainya, maka yang
demikian itu amat terlarang dalam Islam. Begitu juga meminta pada batu-batu,
kayu-kayu, kuburan-kuburan dan sebagainya, karena pekerjaan ini memperserikatkan
Allah dengan lainnya.
e.
Hendaklah
kita minta petunjuk pada Allah, supaya kita melalui jalan lurus yang
menyampaikan kita pada kebahagiaan dunia akhirat.
f.
Manusia
itu ada tiga macam, yakni a) Orang yang beroleh nikmat dari Allah, karena
mereka menurut perintah-Nya; b) Orang yang dimurkai Allah karena ingkar akan
kebenaran agamanya; dan c) Orang yang sesat dan dalam keraguan, sehingga mereka
itu tiada mengetahui jalan manakah yang akan ditempuhnya.
a.
Dengan
nama Allah itu maksudnya di sini ada macam-macam: a) Aku membaca surat ini
dengan perintah Allah; b) Aku membaca surat ini dengan pertolongan Allah; c)
Diturunkan surat ini dengan perintah Allah; d) Diturunkan surat ini dengan
rahmat Allah, dan sebagainya.
b.
c, dan
d. Sekalian puji-puji yakni: 1) Pujian Allah pada diri-Nya; 2) Pujian Allah
pada makhluknya; 3) Pujian makhluk pada Allah; dan 4) Pujian makhluk pada
makhluk, itu semuanya kepunyaan Allah, Pemurah, Penyayang, yang mempunyai hari
pembalasan, lantaran sekalian kebaikan yang patut itu memang kepunyaan Allah
dan bikinan Allah.
e.
Oleh
sebab itu segala sesuatu kepunyaan-Mu, maka tidak ada yang kami sembah dan kami
turuti perintahnya melainkan Engkaulah, dan tidak ada yang kami minta
pertolongannya di dalam perkara gaib, melainkan Engkaulah.
f.
g, dan
h. Ya Allah pimpinlah kami di jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang telah
engkau beri nikmat ketetapan hati di agama-Mu, ialah jalan mereka yang tidak
Engkau murkai dan tidak sesat.
a.
Surat
ini dinamakan al-Fatihah (Pembukaan)
atau Fatihah al-Kitab (Pembukaan
Kitab) karena itulah surat pertama dalam susunan al-Qur‘an. Juga dinamakan Ummul Kitab, artinya Ibu Kitab atau
Pokok Kitab, karena mengingat luas isi dan tujuan al-Fatihah yang mengandung
isi dari al-Qur‘an seluruhnya. Juga dinamakan as-Sab’u ’l-matsany atau Sab’an
min al-matsany, artinya tujuh yang diulang-ulang, karena al-Fatihah itu
adalah tujuh ayat yang terus diulang-ulang membacanya setiap rakaat dalam
sembahyang. “Dan sesungguhnya telah kami berikan pada engkau (Muhammad) tujuh yang
diulang-ulang (sab’an minal matsani)
dan Qur‘an Besar”. (Qs. al-Hijr: 87)
b.
Allah
ialah nama Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Rahman artinya yang banyak melimpahkan
kebaikan. Rahim artinya yang mempunyai perasaan kasih sayang (penyayang). Setiap
surat dalam al-Qur‘an dimulai dengan Bismi
L-lahi ’l-Rahman al-Rahim, selain dari surat 9 (Bara’ah). Bila hendak memulai
suatu pekerjaan atau membaca, kita membaca Bismi
L-lahi ’I-Rahman al-Rahim, berarti bahwa kita membaca atau memulai
pekerjaan itu dengan nama Tuhan, karena mengingat perintah-Nya, serta kemurahan
dan kasih sayang-Nya pada alam semesta ini.
c.
Rabb, artinya pencipta dan juga
pemelihara; Pengatur dan Pendidik, yang menyusun dan mengatur segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya dalam menuju kesempurnaan. Jadi Rabb itu berarti pemimpin atau pengatur, dan bisa juga diartikan
orang dengan perkataan Tuhan. Al-Alamin berarti alam semesta dan di antaranya
segenap manusia, jin, dan malaikat.
d.
Malik artinya yang memerintah, dan Maalik artinya yang mempunyai Yaum al-Din artinya Hari Pembalasan,
yaitu hari kiamat sehabis kehidupan dunia ini, dan ketika itu setiap manusia
menerima pembalasannya, yang baik dan yang buruk.
e.
Sehabis
membaca Fatihah ini dibaca amin. Terimalah permohonan kami. Di akhir al-Fatihah
itu, kita memohonkan do’a ke hadirat Tuhan, supaya dipimpinnya ke jalan yang
lurus, jalan orang-orang yang telah diberi kurnia oleh Tuhan, bukan jalan-jalan
orang-orang yang dimurkai oleh Tuhan dan orang-orang yang sesat jalan.
Keselamatan manusia ini, baik perseorangan atau masyarakatnya, hanya bisa
dicapai dengan menempuh jalan lurus. Dalam ayat lain disebutkan bahwa
orang-orang yang diberi kurnia oleh Tuhan itu ialah, “Nabi-nabi dan orang-orang yang benar dan orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang baik-baik.” (Q.s. al-Nisa’:69)
a.
Berarti:
saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Tiap-tiap
pekerjaan yang baik itu hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah, seperti:
makan, minum, menyembelih binatang untuk dimakan dan sebagainya. Allah ialah
nama Zat Yang Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak
membutuhkan makhluknya, tapi makhluk membutuhkannya. Al-Rahman (Maha Pemurah): salah satu dari nama Allah, yang memberi
pengertian bahwa Allah melimpahkan kurnia-Nya pada makhluk-Nya, sedang al-Rahim (Maha Penyayang) memberi
pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat Rahmat yang menyebabkan Allah selalu
melimpahkan rahmat-Nya pada makhluknya.
b.
Al--Iamdu (segala puji). Memuji orang
adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauannya
sendiri. Maka memuji Allah berarti: menyanjung-Nya karena perbuatan-Nya yang
baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang
terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Kita menghadapkan segala puji pada Allah
ialah karena Allah adalah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
c.
Rabb (Tuhan) berarti Tuhan yang
ditaati, Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara. Lafaz Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan kecuali kalau ada
sambungannya, seperti tuan rumah (Rabb
al-bait). Semesta alam (‘Alamin)
semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai-bagai jenis dan macam,
seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan
sebagainya. Allah pencipta semua alam-alam itu.
d.
Maalik (Yang Menguasai), dengan memanjangkan
mim berarti pemilik (yang empunya). Dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), yang berarti raja.
e.
Yaum al-Din (Hari Pembalasan) hari yang
di waktu masing-masing manusia menerima pembalasan amalnya yang baik maupun
yang buruk, Yaum al-Din disebut juga Yaum al-qiyamah, Yaum al-hisab, Yaum al-juza’
dan sebagainya.
f.
Na’budu diambil dari kata ibadat:
kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan tentang kebesaran
Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai
kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
g.
Nasta’in (minta pertolongan) terambil
dari kata ist’anah: adalah
mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak
sanggup diselesaikan dengan tenaga sendiri.
h.
Ihdina (tunjukilah kami) terambil
dari kata hidayat: adalah memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang
dimaksud dengan ayat ini bukan hanya sekedar memberi saja, tapi juga memberi
taufik.
i.
Yang
dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat semua golongan yang
menyimpang dari ajaran Islam.
5.
Tafsir
Rahmat oleh H. Oemar Bakry[46])
a.
Perkataan
Rahman dan Rahim berasal dari satu kata Rahman.
Walaupun begitu artinya sedikit berbeda. Rahman
berarti Allah yang melimpahkan rahmat dan kurnia yang tidak terhingga jumlahnya
pada hambanya. Sedangkan, Rahim sifat
yang tetap pada Allah swt. Ayat ini mengajurkan agar setiap amal perbuatan yang
baik dimulai dengan membacanya. Sabda Rasulullah saw: “Setiap amalan yang tidak
dimulai dengan bismi L-lahi, maka
amalan itu ”buntung”. Dengan membaca bismi
L-lahi itu orang ingat bahwa segala amalan dari dan untuk Allah.
b.
Sudah
seharusnya kita memuji Allah swt. karena dari-Nya sumber segala sesuatu. Dialah
yang telah menciptakan dan menumbuhkan tubuh manusia sehingga menjadi makhluk
yang terbaik mempunyai akal pikiran yang memungkinkan ia menjadi khalifah Allah
swt., melengkapkannya dengan pendidikan agama yang membimbing akal pikiran itu agar
jangan salah arah.
c.
Bacaan
Maalik berarti yang mempunyai. Bacaan
Malik berarti raja. Keduanya boleh
dibaca. Pengertian keduanya hampir sama. Bahwa pada hari akhirat Allah swt.
sajalah sendirinya yang mempunyai kekuasaan. Tak seorang jua pun yang campur tangan.
Ini untuk mengingatkan bahwa apa yang biasa ada di dunia seperti pembela
pengawal dan sebagainya, tidak ada lagi di akhirat.
d.
Konsekuensi
dari ucapan bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang ialah kesediaan menyembah
dan sujud pada-Nya dengan segala macam ibadah yang disyariatkan. Meminta tolong
kepada-Nya dalam hal-hal yang harus dimintakan pertolongan yang di luar jangkau
kodrat manusia. Petani sesudah menanami sawahnya mendoakan (minta tolong) agar
padinya tumbuh dengan subur, terpelihara dari bahaya alam, angin topan, gempa
bumi dan sebagainya. Bukanlah artinya minta tolong tanpa amal.
e.
Petunjuk
(hidayah) Allah pada manusia mencapai cita-cita hidup bahagia dunia akhirat
cukup lengkap. Semenjak dari bayi ia sudah mendapat hidayah menangis untuk
menyatakan keinginannya. Kemudian hidayah pemberian panca indera. Disusulkan
oleh hidayah akal pikiran. Dengan akal pikiran banyak yang dapat dibuat
manusia. Ilmu dan teknologinya mengubah wajah dunia. Yang terakhir yang paling
utama ialah hidayah agama. Hidayah agama yang membimbing akal pikiran agar jangan
menjadi salah arah. Hidayah agama yang akan membawa kebahagiaan hidup dunia akhirat.
Manusia tidak akan bahagia tanpa hidayah agama.
f.
Orang
yang diberi nikmat Allah ialah orang-Orang yang baik, Nabi-nabi dan orang-orang
yang tetap teguh memegang ajaran agama swt. Ayat ini menganjurkan mempelajari
sejarah dan kisah-kisah umat-umat dahulu kala yang banyak sekali diuraikan
dalam berbagai ayat. Dengan mempelajari sejarah, dapat diambil perbandingan
untuk menempuh jalan yang lurus dan benar. Pada akhir membaca al-Fatihah waktu
sembahyang berjamaah dianjurkan membaca Amiin
(Ya Allah terimalah doaku). Perkataan Amiin
tidak masuk ayat al-Fatihah.
Bila diperhatikan
kutipan-kutipan di atas maka terlihat adanya persamaan dalam metode penafsiran dari
masing-masing tafsir tersebut. Uraian penafsiran sangat sederhana, ringkas dan
tidak mengaitkan penafsirannya dengan masalah-masalah lain.
Hampir kelima tafsir di
atas tidak mempergunakan ayat al-Qur‘an, Hadits Nabi ataupun riwayat para
sahabat dalam memberikan penafsirannya. Hanya Tafsir Qur’an karya H. Zainuddin Hamidy serta Fachruddin, Hs. dan Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry yang
mempergunakan ayat Qur‘an dan Hadits dalam penafsiran. Pada yang pertama terdapat
dua kali pengutipan ayat al-Qur‘an, masing-masing pada penjelasan tentang sama
surat al-Fatihah, al-Sab’u al-Matsani
yang terdapat dalam Q.s. al-Hijr: 87 dan pada penjelasan tentang orang-orang
yang diberi kurnia oleh Allah sebagai yang disebut oleh Qs.al-Nisa’: 69. Sedangkan
pada yang terakhir dijumpai kutipan sebuah Hadits untuk menjelaskan pentingnya
Basmalah dalam memulai setiap pekerjaan yang baik.
Tafsir al-Qur‘an Karim[47])
karya al-Ustadz H.A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim
Haitami banyak sekali mengutip ayat-ayat dan Hadits-hadits dalam memberikan
penafsirannya. Di samping ayat dan Hadits tersebut dijumpai juga
pendapat-pendapat para mufassir terdahulu seperti Syaikh Mohammad Abduh, Syaikh
Thanthawi Jauhary dan Fachr al-Din al-Razy.
Dua Tafsir karya TM.
Hasbi ash-Shiddieqy[48])
juga membawa ayat-ayat dan Hadits-hadits di samping juga pendapat para mufassir
terdahulu.
Tafsir al-Azhar‘[49])
karya Hamka menunjukkan corak yang lebih luas lagi. Hamka, seperti para
penafsir lain, juga mengutip ayat Qur‘an dan Hadits dalam tafsirnya. Lebih jauh
dari itu Hamka mencoba memasuki lapangan lain yang kelihatannya tidak lazim
dijumpai pada tafsir-tafsir sebelumnya, yakni lapangan antropologi dan sejarah.
Dua kutipan di bawah, yakni tentang penafsiran kalimat “Allah subhanahu wa ta’ala” dan penafsiran “al-maghdhubi “alaihim” memperlihatkan hal itu.
Dalam bahasa Melayu kalimat seperti Ilah itu ialah dewa dan Tuhan. Pada
batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab kira-kira tahun 1303 M, kalimat Allah subhanahu wa ta’ala
telah diartikan dengan “Dewa
Mula Raya”
(batu bersurat itu sekarang disimpan di
museum
Kuala Lumpur). Lama-lama karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu. Dan Bahasa Indonesia, maka bila
disebut Tuhan oleh kaum
Muslim Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah Allah dan dengan huruf Latin pangkalnya (huruf T)
dibesarkan, kata-kata dewa tidak
terpakai lagi untuk mengungkapkan Tuhan
Allah.[50])
Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa suatu hari seorang orang besar
kerajaan datang menghadap
raja bersama-sama dengan orang yang besar-besar lainnya.
Setelah masuk ke dalam
majelis raja maka baginda menunjukkan wajah
yang girang dan tersenyum simpul
melihat tiap-tiap
orang besar itu, tapi pada
seorang baginda
tidak melihat, entah karena lupa, entah karena sibuk. Maka sangatlah
duka cita hati orang
besar itu, apakah baginda murka padanya
ataukah
baginda tidak senang lagi. Maka setelah
bubar
majelis itu, dia pun kembali
pulang ke rumahnya
dengan hati sedih, lalu diminumnya racun setelah menulis sepucuk
surat yang diwasiatkannya supaya disampaikan
ke tangan baginda.
Di situ dia tuliskan: “Oleh
karena Sri Paduka
tidak berkenan lagi kepada patih, telah
patih
ambil keputusan menghabisi hidup patih.
Karena
tidak ada harapannya hidup lagi kalau Sri
Paduka
tidak senang lagi melihat patih.” Begitulah perasaan orang yang berkhianat pada
raja apabila
dia merasa bahwa rajanya tidak senang
lagi
padanya. Maka, betapalah perasaan kita,
wahai
insan yang ghafil
(lalai, -pen), kalau Allah murka
pada kita.[51])
Dengan memperbandingkan
kedua kelompok tafsir di atas, yakni tafsir
yang sederhana dan tafsir yang lebih
luas, maka terlihat sebagian tafsir
tersebut mempergunakan kutipan-kutipan ayat Qur‘an, Hadits, riwayat, serta penafsiran para mufassir masa lampau. Hanya sebagian kecil saja yang sama sekali tidak mempergunakan sumber tersebut
bagi tafsirnya.
Teknik
Penafsiran
Berbicara tentang
teknik terlihat perbedaan
dalam tafsir-tafsir tersebut, baik tafsir sederhana maupun tafsir yang lebih luas. Lima tafsir yang dikutip
secara utuh
di atas langsung memberikan penafsiran
global, tanpa mengawali dengan
penjelasan arti kata. Padahal, memberi penjelasan terlebih dahulu tentang arti
kata amat bermanfaat bagi pemahaman al-Qur‘an. Sebab suatu kata pada satu
ayat, sering
pula dijumpai pada ayat-ayat lain.
Sebagai contoh kata din umpamanya,
yang terdapat dalam ayat maliki yaum al-din
mengandung arti “yang mempunyai hari
pembalasan.” Maka kata din berarti pembalasan. Padahal arti kata
din tidak
hanya satu, tergantung konteks pemakaiannya.[52])
Ini berbeda dengan
tafsir Qur‘an kelompok
kedua (tafsir yang lebih luas).
Pada Tafsir al-Qur‘an Karim karya
tiga serangkai HA. Halim Hassan,
H. Zainal Abbas dan Abdurrahim
Haitarni ditemui teknik penafsiran
yang dimulai dari terjemahan ayat, secara terperinci dan panjang lebar. Dalam
penafsiran panjang
lebar itu perlu diberikan pula
arti kata yang terdapat dalam ayat-ayat itu. Dua tafsir karya Prof. TM. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan juga memperlihatkan
teknik penafsiran yang sama, yaitu dimulai dari memberikan arti kata terlebih dahulu. Sesudah
memberikan arti kata, barulah penafsiran
dilanjutkan
pada penafsiran ayat secara
terperinci.
Tafsir al-Azhar karya Hamka,
kelihatannya agak menjauhi pengertian kata (makna mufradat). Hamka setelah menerjemahkan ayat
secara global,
langsung memberikan uraian terperinci.
Kalaupun ada penjelasan kata
(arti mufradat) jarang dijumpai. Hamka lebih banyak menekankan pemahaman ayat
secara menyeluruh. Oleh karena
itu yang banyak dikutip
oleh Hamka adalah pendapat para mufassir terdahulu. Kelihatannya, sikap seperti
ini diambil oleh
Hamka dengan suatu pendirian bahwa
menafsirkan Qur‘an tanpa melihat
terlebih dahulu pada pendapat para mufassir terdahulu dikatakan tahajjum atau ceroboh.[53])
Aliran
Penafsiran
Sebagai yang disebut
dalam pendahuluan, terdapat dua corak teologi dalam Islam, yakni teologi liberal
dan teologi tradisional.[54])Aliran teologi liberal mempunyai ciri
memberikan daya yang kuat pada akal sehingga
dalam memahami ayat-ayat al-Qur‘an lebih banyak memakai penafsiran majazi atau metaforis. Sebaliknya,
aliran teologi tradisional memberikan daya yang kurang kuat pada akal, lebih
banyak berpegang
pada arti lafzi atau harilah.
Dalam al-Qur‘an
terdapat ayat-ayat yang menerangkan
sifat-sifat Tuhan,
seperti: yadu Allah fauqa aidihim[55]) ayat tersebut dapat membawa
pemahaman anthropomorphisme.
Teologi liberal, karena
berpegang pada
kekuatan akal sedangkan Tuhan
bersifat immateri, tidak menerima
pemahaman anthropomorphisme tersebut. Tuhan tak mempunyai badan materi dan
karena itu
tidak mempunyai sifat-sifat jasmani.[56]) Ayat al-Qur‘an yang
menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat jasmani harus diberi interpretasi lain. Oleh sebab
itu, kata yadun dalam ayat di atas tidak boleh diartikan tangan, tapi
kekuasaan.[57])
Teologi tradisional
juga menolak pemahaman
anthropomorphisme dalam
arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani
manusia. Tapi
karena berpegang pada arti harfi dari
ayat, teologi tradisional mengatakan
bahwa kata yang terdapat dalam al-Qur‘an tidak boleh diberi interpretasi lain.
Dalam memahami
ayat di atas, teologi tradisional berpendapat bahwa Tuhan memang mempunyai dua tangan, dan itu tidak boleh diartikan
rahmat atau
kekuasaan. Tapi bagaimana Tangan
Tuhan itu tidak dapat diberikan gambaran atau definisi.[58]) Ayat
tersebut diberi penafsiran oleh
Mahmoed Joenoes sebagai berikut:
…. Tangan
Allah di atas tangan mereka. Menurut
akal yang waras dan ayat-ayat yang muhkamat,
Allah itu Maha Tinggi tiada yang serupa
dengan Dia seorang juapun. Oleh sebab
itu
adalah ayat ini dinamakan mutashabihat,
karena tiada terang, bagaimana hakekatnya
tangan
Allah itu... Adapun Orang-Orang yang Mukmin maka mereka percaya bahwa
semua ayat yang muhkamat dan mutasyabihat itu datangnya
dari
Allah. Mana-mana yang muhkamat mereka turut, dan yang mutasyabihat mereka serahkan hakekatnya pada Allah atau
pada orang-orang yang
dalam pengetahuannya.[59])
Penafsiran yang
diberikan Joenoes ini memperlihatkan aliran
tradisonal. Sifat-sifat Allah yang disebut dalam al-Qur‘an, yang pada
kasus ini
adalah yadun, diberi arti harfi yakni tangan. Maka dari sisi
ini terpahami bahwa Allah itu mempunyai
tangan.
Untuk mengelakkan Allah serupa
dengan baharu, Joenoes
menjelaskan lebih lanjut, “tiada
terang bagaimana
hakekatnya tangan Allah itu.”
Menurut Joenoes dalam menghadapi
kasus-kasus seperti ini sikap seorang
Mukmin yang terbaik adalah “semua yang muhkamat dan mutasyabihat itu datangnya dari Allah.” Karena datang dari Allah itu
setiap Mukmin
haruslah menerima apa saja
yang dikatakan oleh Allah serta menyerahkan hakekatnya pada Allah atau pada orang-orang yang dalam pengetahuannya.
Tafsir al-Qur’an al-Majid an-Nur karya
Hasbi memberikan penafsiran “Allah
hadir bersama-sama orang-orang yang membuat bai’ah itu, mendengar perkataan mereka, maka seolah-olah Allah yang
mengulurkan tangan-Nya
untuk menerima bai’ah dengan
perantaraan Rasul.”[60]) Dari penafsiran ini dapat
disimpulkan bahwa
Hasbi pun masih memperlihatkan corak tradisional. Allah lah yang mengulurkan tangan-Nya dengan perantaraan Rasulullah
saw. Hasbi
masih menafsirkan secara harfi, yakni tangan.
Hasbi memberikan
penjelasan lebih
lanjut tentang pendapat dua kelompok
ulama, yakni ulama salaf (tradisional,
-pen) dan ulama khalaf (liberal, -pen) terhadap penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Yang pertama memberikan makna lahir sedangkan yang terakhir
memberi kan ta’wil (arti yang bukan harfi) terhadap ayat itu.[61]) Sayangnya Hasbi tidak menunjukkan
sikapnya secara
jelas pada kelompok mana ia berpihak.
Walaupun begitu tidak dapat
dipungkiri bahwa kesan yang dapat
ditarik dari penafsirannya itu memperlihatkan
warna teologi tradisional.
Kesan ini dapat
diperkuat bila dilihat penafsiran Hasbi terhadap ayat tersebut dalam tafsirnya Al-Bayan. Dalam tafsir ini Hasbi sama
sekali tidak
menyinggung penafsiran kata yadun itu.
Agak ganjil memang Tafsir al-Nurnya,
tapi dalam kasus ini memperlihatkan
hal yang sebaliknya.
Di sini timbul
pertanyaan, apakah Hasbi
enggan memasuki pembicaraan lebih jauh tentang perbedaan ulama salaf dan khalaf
terhadap penafsiran
ayat ini? Ataukah ia menganggap
sudah memadai apa yang
ditulisnya dalam Tafsir al-Nur-nya?
Pertimbangan yang dapat
diberikan barangkali adalah adanya keengganan Hasbi untuk memasuki gelanggang perbedaan tersebut, karena memang Hasbi sendiri
berpendapat bahwa masalah itu tidak perlu
dipersoalkan. Bagi seorang Mukmin sikap yang terbaik adalah menerima ayat tersebut dalam makna harfiahnya. Tuhan memang mempunyai Tangan, tapi
bagaimana Tangan
Tuhan itu tidak dapat dijelaskan (bila
kayfa).
Penafsiran yang senada
dijumpai pula pada al-Furqan karya A. Hassan. Tafsir yang diberikan oleh Hassan
adalah tafsir harfiah,
seperti kutipan
ini: “Maka Orang yang mubaya‘ah dengan rasul itu,
Allah pendang
sebagai mubaya’ah dengan-Nya, dan tangan Rasul yang diletakkan atas tangan
mereka.[62])
Tafsir Departemen Agama,
menunjukkan kecenderungan penafsiran harfiah
pula. “Jadi
seakan-akan tangan
Allah di atas tangan orang-orang
yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan
bahwa Allah Maha Suci
dari segala sifat-sifat yang menyerupai
makhluk.”[63]) Penafsiran yang berhenti pada makna harfi, kemudian menyerahkan
pengertian harfi itu pada apa yang layak bagi Allah Yang Maha Suci, adalah
sikap yang
dianut oleh teologi tradisional.
Penafsiran yang berbeda
dengan penafsiran yang terdapat pada tafsir-tafsir di atas, dikemukakan oleh
tiga tafsir Qur‘an berikut: Tafsir al-Azhar memberikan penafsiran “bahwa Allah
ikut dalam bai’dah itu, Allah turut merestuinya.”[64]) Jadi di sini kata yadun tidak ditafsirkan secara harfi dalam arti tangan, diberi
pengertian keikutsertaan Allah, yakni
restu atau ridha Allah.
Tafsir Qur’an, lebih tegas memberikan
penafsiran liberalnya, yakni kata
yadun
diberi penafsiran kekuasaan. “Tangan
Tuhan di atas tangan
mereka, maksudnya Tuhan lebih
berkuasa dari mereka atau mereka
mengadakan perjanjian dengan
Tuhan.”[65])
Tafsir Rahmat,
memberikan penafsiran yadun pada
hidayah Allah sebagaimana
dijumpai dalam tafsir tersebut:
“Tangan Allah (hidayah Allah) di atas tangan mereka
(di atas perjanjian
mereka)”[66]) Dengan memberikan arti hidayah Allah dalam tanda kurung dari kata tangan Allah memberikan kesan penafsiran yang tidak harfiah.
Dari uraian di atas
dapatlah disimpulkan bahwa ketiga tafsir tersebut menekankan pengertian yang
tidak harfiah. Penafsiran yang bukan harfi dari ayat mutasyabihat menempatkan ketiga tafsir tersebut pada corak teologi liberal.
Sebaliknya,
tafsir-tafsir sebelumnya memberikan penafsiran harfiah terhadap ayat mutasyabihat. Penggambaran sifat Tuhan
yang anthropomorphis selalu diselesaikan
dengan
pernyataan bahwa Allah itu laitsa kamitslihi syai’in.[67])
Oleh sebab itu kalaupun
Allah mempunyai
tangan, maka tangan Allah
itu tidak dapat digambarkan (bila kayfa),
dan sebenarnya dari tangan
itu diserahkan pada Allah. Penafsiran
seperti ini terdapat pada teologi
tradisional.
Sebagian
Besar Tradisional
Dengan paparan
sederhana di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada
umumnya terdapat banyak persamaan dalam tafsir Qur‘an di Indonesia.
Dari sudut metode
penafsiran pada
umumnya tafsir Qur‘an di Indonesia
adalah sama. Sebagian besar
tafsir itu tidak mempergunakan sumber secara eksplisit, kendatipun terdapat
dalam daftar kepustakaannya.
Tinjauan dari sudut
teknik penafsiran ditemukan dua kelompok
tafsir.
Kelompok pertama, tafsir Qur‘an
yang mempergunakan teknik sederhana. Penafsirannya disajikan pertama kali arti dari ayat-ayat al-Qur‘an, kemudian baru
diberikan penafsiran
globalnya. Sebagian besar
tafsir Qur‘an di Indonesia mempergunakan
teknik penafsiran seperti
ini. Kebalikan dari itu adalah tafsir
Qur‘an dengan teknik yang lebih
luas. Setelah dikemukakan terjemahan ayat, kemudian diberikan penafsiran secara panjang
lebar. Dalam
penafsiran panjang lebar tersebut diberikan pula arti kata yang terdapat dalam ayat-ayatnya.
Bila dilihat dari sudut
aliran teologinya, maka aliran teologi tradisional ditampilkan oleh sebagian
besar tafsir
tersebut. Penafsiran harfiah dari ayat-ayat mutasyabihat memperlihatkan kebenaran
kesimpulan ini.
Hanya sebagian kecil dari tafsir itu
menampilkan penafsiran yang bukan
harfiah, sebagaimana yang dianut oleh teologi liberal.
Catatan Kaki
[1] Kata tafsir adalah mashdar dari bentuk kedua
kata kerja fasara yakni fassara. Tafsir berarti penjelasan,
uraian interpretasi atau komentar. Kata ini hanya terdapat satu kali dalam
al-Qur‘an,yakni pada Q.s. al-Furqan: 33. Lihat Mohammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mujamal-Mufaras li alfazi al-Qur‘an
al-Karim, Daral-Sya’ah, 1945, hal. 519).
[2] Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan Fi ’ulum al-Our‘an, terj. Moh
Chudlory dan Moh. Mastna Hs (Bandung: A1ma’a.rif, 1970), hal. 199. Bandingkan
dengan definisi tafsir: Ilmu untuk mengetahui pemahaman Kitabullah yang
diturunkan pada Nabi Muhammad saw, berupa penjelasan maknanya dan mengeluarkan
hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya (Imam Badr al-Dien Muhammad bin Abdullah
al-Zarkasyi Al-Burhan ’ulum al-Our‘an,
Juzu’I, Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1975], hal. 13), dan ilmu yang
membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur‘an sepanjang
kemampuan manusia (Muhammad Abdul Aziz al-Zarqany, Manahil al-’Irfan, Juzu’ I (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
tanpa tahun), hal. 470.
[3] Lihat A.H. Johns. Islam in the Malay World: An Exploratory Survey with Some Reference to
Quranic Exegesis, Australian National University (naskah tidak
diterbitkan); dan juga Karel A. Steenbrink, Beberapa
Aspek Islam di Indonesia pada Abad 19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
[4] Tidak didapat keterangan apakah di setiap
abad itu terdapat tafsir Qur‘an. Kendatipun terdapat informasi, Syaikh Nawawi
Banten menulis tafsirnya, Tafsir Marah Labib pada abad 19, tapi tafsir ini
terbit di Makkah pada permulaan tahun 1880. Agaknya penulisan tafsir yang
terbanyak barulah pada abad 20. Di samping tafsir berbahasa Indonesia ada pula
yang berbahasa daerah, antara lain: Tafsir Hibarna oleh KH. Iskandar Idris
(1960), Qur‘an Jawen dan Qur‘an
Sundawiyah (Solo: AB Siti Samsiah, tanpa tahun), dan lain-lain.
[5] Sebenarnya sering juga dipakai untuk itu
kata sumber penafsiran. Dipakai kata
metode, sekaligus untuk membedakannya dengan pengertian sumber dalam arti maraji‘ atau mashadir atau reference. Uraian lebih lanjut tentang metode
penafsiran ini, lihat umpamanya JMS. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (Leiden: EI. Brill, 1961); dan
juga Nasikun, Sejarah dan Perkembangan
Tafsir (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), cet.I.
[6] Syaikh Musthafa al-Maraghy umpamanya
menempuh teknik dengan terlebih dahulu memberikan makna mufradat, kemudian makijmaly dan terakhir memberikan tafshily. Tafsir Furqan oleh A. Hassan
dan Tafsir Departemen Agama
memberikan penafsiran dalam bentuk catatan kaki, dan sebagainya.
[7] Teologi liberal adalah teologi yang
berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, memberi interpretasi liberal
terhadap teks Qur‘an dan Hadits, terdapat dalam aliran Mu’tazilah. Teologi
tradisional adalah teologi yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang
lemah, memberi arti harfi terhadap teks Qur‘an dan Hadits; terdapat dalam aliran
Asy’ariah. Lihat Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta, UI Press,
1983), hal. 150.
[8] Ayat-ayat dalam al-Qur‘an dikelompokkan ke
dalam muhkamat: ayat yang samar atau
lebih dari satu arti. Dalam teologi Islam sering dipersoalkan arti dari kata
yang terdapat dalam ayat mutasyabihat,
seperti al-‘arsy, al-‘ain, al-wajh,al-yad dan sebagainya.
[9] Mahmud Yunus dilahirkan di Sungayang,
Batusangkar, Sumatera Barat, pada hari Sabtu, 30 Ramadhan 1316 H., bertepatan
dengan 10 Februari 1899 M. Ayahnya bernama Yunus bin Incek dan ibunya bernama
Hafsah binti M. Thahir. Buyutnya dari pihak ibu adalah seorang ,ulama besar di
Sungayang, bernama M. Ali Gelar Angku Kolok. Pada usia 7 tahun ia belajar di
Surau kakeknya M. Thahir tentang al-Qur‘an dan bahasa Arab, Yunus pernah
memasuki Sekolah Rakyat, tapi hanya sampai kelas tiga. Kemudian ia pindah ke
madrasah yang diasuh oleh Syaikh H. Moh Thaib di Surau Tanjung Pauh. Berkat
ketekunannya dalam waktu empat tahun, Yunus telah sanggup mengajarkan
kitab-kitab Mahalli, Alfiyah, Jam‘ul
Jawami. Ketika Syaikh H.M. Thaib Umar jatuh sakit dan berhenti mengajar,
yang menggantikannya adalah Yunus sendiri. Pada tahun 1924, ia mendapat
kesempatan belajar di Mesir (Universitas al-Azhar dan dalam waktu satu tahun
telah diperoleh syahadah ‘aliyyah. kemudian berusaha masuk Darul Ulum Mesir dan
tercatat sebagai mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. Pada Tahun 1930,
setelah mengambil takhassus Tadris, akhirnya Yunus beroleh ijazah Tadris dari
perguruan ini (Riwayat hidup Mahmud Yunus yang agak lengkap. Lihat pidato Promotor Prof H. Soepardjo pada
penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa kepada. Prof H. Mahmud Yunus dalam
Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober 1977 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1977).
[11] Lihat Pidato Promotor Prof. Soenardjo, op. cit. hal. 14.
[12] Hassan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887.
Ayahnya bernama Ahmad atau juga dikenal bernama Sinna Vappu Marica, seorang
penulis dan ahli dalam Islam serta kesusastraan Tamil. Hassan sendiri tidak
pernah menyelesaikan sekolah dasarnya di Singapura. Ia masuk sekolah Melayu
sampai kelas empat dan sekolah Inggris sampai kelas yang sama. Hassan sudah
mulai bekerja mencari nafkah pada usia dua belas tahun Ia mengambil pelajaran
secara privat dan berusaha untuk menguasai bahasa Arab dengan maksud dapat
memperdalam pengetahuannya tentang Islam alas usaha sendiri. Tahun 41921 Hassan
pindah ke Surabaya. Negeri di mana terdapat keluarga ibunya. Pada masa itu
Surabaya telah merupakan pusat pertikaian antara Kaum Muda dan Kaum Tua.
Kemudian Hassan pindah ke Bandung, tinggal di rumah Muhammad Yunus, seorang pendiri
Persatuan Islam. Akhirnya Hassan sendiri menjadi tokoh penting pula dalam
Persis. Lihat Deliar Noer, “Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LPBES, 1980) hal.97-100, juga
Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung Pemikir
Islam Radikal (Surabaya: “Bina Ilmu, 1980), hal. 11-51.
[13] Karya tulis A. Hassan sebagai yang dikumpulkan
oleh Howard M. Federspiel berjumlah 4 buah, dalam bentuk artikel, buku dan teks
pidato. Lihat Howard M. Federspiel, Persatuan
Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (New York: Ithaca,
Monograph Series Modern Indonesia Project South East Asia Program, Cornell
University, 1970); dan juga G.F. Pijper, Studien
Over dp Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah
dan Yessi Agusdin (Iakarta: UI Press. l984), hal. 130.
[14] A. Hassan. al-Furqan
Tafsir Qur‘an (Jakarta: Tintarnas, 1962), hal. vii.
[15] Persatuan Islam dikenal dengan Akronom Persis.
Persis berdiri di Bandung pada permulaan tahun 1920. Awalnya berasal dari
pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah
seorang anggota kelompok antara lain H. Zamzam dan Muhammad Yunus. Di samping
kedua tokoh itu A. Hassan dan Moh. Natsir juga merupakan para pemimpin Persis
yang berpengaruh pula. Lihat Deliar Noer, op.
cit., hal. 96-97)
[16] A. Hassan, loc.
cit.”
[17] G.F. Pijper, op. cit., hal. 139.
[18] A. Hassan, loc.
cit.
[19] AI-Ustadz HA. Halim Hassan, lahir pada tanggal
I5 Mei 1901 di Banjai Sumatera Utara. Pada usia 7 tahun mulai belajar ilmu
agama pada beberapa ulama di Binjai, antara lain H. Abdullah Umar Kadhi dan
Syaikh H. Muhammad Samah. Pada tahun 1926 pergi ke Makkah menunaikan ibadah
haji dan belajar di sana. Di samping belajar ilmu-ilmu agama juga belajar ilmu
umum seperti jurnalistik dan politik pada Jamaludin Adinegoro di Medan serta
Bahasa Inggris pada M. Ridwan, pensiunan Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten
Langkat. Keahlian beliau adalah dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah dan Fiqh.
Akhir hayat beliau sangat tiba-tiba. Ketika beliau selesai melaksanakan shalat
Jumat di Masjid Raya Binjai dan bermaksud menuju Masjid Muhammadiyah, beliau
terjatuh dan kata dokter beliau mengalami pendarahan otak. Keesokan harinya
tanggal 15 Nopember 1969, beliau wafat di Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai.
Lihat IAIN Sumatera Utara, Sejarah
Ulama-ulama terkemuka di Sumatera Utara (Medan: IAIN Sumatera Utara. tanpa
tahun), hal. 38-44.
[20] H. Zainal Arifin Abbas diduga lahir tahun (1920?).
Pendidikannya pada College Madrasatul Arabiyah dan Tsanawiyah tahun 1927 sampai
tahun 1935. Syaikh H. Abul Halim Hassan adalah gurunya yang paling berpengaruh
padanya. Kebiasaan menulis sudah ditekuni pada usia 16 tahun. Karyanya di samping
tafsir Qur’an tersebut, terdapat pula Perihidup
Muhammad saw. sebanyak 6 jilid, Tasawuf Islam, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama dan berbagai buku pengetahuan
agama untuk siswa sekolah lanjutan. Pada tahun 1945 menjadi Ketua Umum
Persatuan Perjuangan dan tahun 1948-1949 bertugas sebagai Kepala Bagian
Keagamaan Divisii X TNI Sumatera dengan pangkat Mayor. Karirnya di bidang politik
dimulainya pada tahun; 1955 sebagai Ketua Umum Masyumi Sumatera Utara, dan memegang
jabatan pada pemerintahan sebagai Kepala Penerangan Agama Propinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 1970 beliau diangkat sebagai Ketua Umum Parmusi Sumatera Utara dan
1973 Ketua, Koordinator PPP Sumatera Utara. Wafat pada tahun 1979 (Informasi
ini diperoleh dari usulan penelitian Drs. Fathrurrazy Dalimunte tentang Pemikiran
H. Zainal Arifin Abbas Bagi Pembaharuan Islam, 1971, naskah tidak diterbitkan).
[21] Tidak diperoleh keterangan riwayat hidup
Abdurrahim Haitami. Informasi yang diperoleh hanyalah tentang wafatnya pada
tahun 1948, dalam pengungsian di Lansa, Aceh Timur.
[22] Al-Ustadz HA. Halim Hassan et. al., Tafsir al-Qur‘an Karim (Medan: Firma Islamiyah, tanpa tahun), jilid
I, cet. IX hal. 12.
[23] Ibid.
[24] Hamka di samping sebagai seorang ulama juga
dikenal sebagai seorang seniman. Lahir di Sungai Batang Maninjau pada tanggal
17 Februari 1908 dengan nama Abdul Malik. Ayahnya ulama besar di Minangkabau, terkenal
dengan panggilan Inyik Deer. Di akhir-akhir kehidupannya mendapat kepercayaan
sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Pusat. Banyak karya tulis yang telah
dihasilkan, disamping tafsir Al-Qur’an, Al-Azhar
Beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta.
Lihat Nasir Tamara er. al., Hamka Di Mata
Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1383), cet. VI.
[25] Hamka (Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah),
Tafsir al-Azhar Juzu’ I (Jakarta: Pembina Masa, 1967) Cet. I hal. 41.
[26] Ibid.,
hal. 43
[27] Ibid., hal.
44
[28] Ibid., hal.
46
[29] Ibid., hal.
37-43
[30] Wafat pada tangga1 29 Maret 1957. Lihat
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir Quran (Jakarta: Wijaya, 1982), cet.
IX, hal. IX).
[31] H. Agus Salim lahir di Koto Gadang, tanggal 8 Oktober
1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat. Beliau adalah putera kelima dari Sultan
Muhammad Salim, Kepala Jaksa di Tanjung Pinang Riau. Pendidikan pertamanya di
Exopesche Lagere School, tamat tahun 1898, dilanjutkan ke Hoegere Burger School
di Batavia. Pernah menjadi Konsul Belanda di Jeddah dan pimpinan misi
diplomatik RI ke negara-negara Arab. Salim wafat di Jakarta pada tanggal 4
November 1954. Lihat Drs. Akhria Nazwar, Ahmad
Khatib: Ilmuan Islam di Permulaan Abad ini (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), cet. I, hal. 82-85.
[32] Al-Rasuli lahir di desa Surungan, Sumatera
Barat tahun 1971. Ayahnya bernama Angku Muhammad Rasul, seorang ulama. lbunya
bernama Sitti Buliah, seorang yang taat beragama. Ia mendapat pendidikan agama
tradisional. Tahun 1903 berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan
melanjutkan pelajarannya. Tahun 1907, kembali dari Makkah lalu mendirikan
pesantren di Candung Bukittinggi yang kemudian menjadi Madrasah , Tarbiyah
Islamiyah. Setelah itu ia mendirikan organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah
disingkat PERTI. Wafat pada 1 Agustus 1970 (Ibid,
hal, 95-97).
[33] Syaikh Ibrahim Musa lahir di Parabek tanggal
15 Agustus 1884. Ayahnya bernama Muhammad Musa dikenal sebagai ulama yang
dipanggilkan dengan Syaikh. Ia beroleh pendidikan secara tradisional di
beberapa tempat 1 di Minangkabau. Tahun 1902 pergi ke Makkah untuk ke dua
kalinya dan kembali tahun 1915. Ia melakukan pembaharuan lembaga pendidikan di
Parabek dan memberinya nama Sumatera Thawalib. Wafat pada 25 Juli 1953 di Parabek.
(Ibid, hal. 79-82).
[34] Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy; Tafsir al-Quran
al-Karim al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1971), hal 1-2.
[35] H. Oemar Bakry lahir di Desa Kacang Singkarak
Sumatera Barat tanggal 26 Juni 1916. Setelah tamat sekolah desa di Singkarak, pindah
ke Padang Panjang dan memasuki Thawalib dan Diniyah Putra. Dari sini
melanjutkan studi pada Kulliyatul Mu’allimin Islamiyah Padang. Tahun 1954 masuk
Fakultas Sastra PI Jakarta Raya dan banyak menulis buku-buku agama, hampir
mencapai jumlah 21 buku (Biodata diperoleh dari Tafsir Rahmat sendiri).
[36] Yayasan tersebut diketuai oleh Prof. RHM.
Soenardjo, SH.; dengan anggota-anggota terdiri dari Prof. TM. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. HM.
Thoha Yahya, Dr. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Ghani.
[37] Lihat Pidato Promotor, op. cit, hal. 14
[38] Ibid.,
hal. 15.
[39] IAIN Sumatera Utara, op. cit., hal, 43.
[40] Nasir Tamara, et, al., op. cit., hal. 30.
[41] Dari sembilan tafsir Qur‘an yang akan
dianalisa dan diperbandingkan tersebut, untuk jelasnya, akan diturunkan seluruh
teks tafsir al-Fatihah dari 5 tafsir Qur‘an (Joenoes, Hassan, Zainuddin Hamidy,
Deppag. Rl. dan Oemar Bakry) karena dianggap tidak terlalu panjang. Sedangkan 4
tafsir lainnya (Hamka, A. Halim Hassan dan Hasbi) tidak diturunkan teksnya
kareha terlalu panjang.
[42] Tafsir Qur‘an karangan Mahmud Yunus yang
dipergunakan di sini adalah tafsir Qur‘an yang diterbitkan oleh Boekhandel
Mahmudiah, Padang, tahun 1938, dengan merubah ejaannya menjadi ejaan yang
disempumakan
[43] Lihat A. Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur‘an (Jakarta: Tintamas, 1962), Eyd dari
penulis.
[44] Lihat H. Zainuddin Hamidy; dan Fachruddin Hs.,
Tafsir Qur’an (Jakarta: Wijaya,
1982). cet. IX.
[45] Lihat Dewan Penerjemah al-Qur‘an Departemen
Agama RI., Al-Our‘an dan Terjemahannya
(Jakarta: Bumi Restu, 1976).
[46] Lihat H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta, Mutiara, 1984), cet. I, tentang penafsiran
surat al-Fatihah.
[47] Lihat Al-Ustadz H.A. Halim Hassan et. al., Tafsir al-Qur‘an al-Karim (Medan: Firma Islamiyah, tanpa tahun),
jilid I. cet. IX.
[48] Masing-masing An-Nur (Jakarta: Bintang, 1965); dan al-Bayan (Bandung: al-Ma’arif, 1971).
[49] Diterbitkan oleh PT Pembimbing Masa, (Jakarta,
1967).
[50] Hamka, Tafsir
al-Azhar, Juzu’ I (Jakarta: Pembimbing Masa, 1967), cet. I, hal. 59.
[51] Ibid., hal.
74.
[52] Penjelasan lebih lanjut tentang arti kata Din dalam al-Qur‘an lihat: Abu A’la
al-Maududy, Al-Mushthalahat al-Arba'ah fi
al-Quran (Kuwait: Al-Dar al-Kuweitiyah, tanpa tahun) hal. 116-130.
[53] Hamka, op.
cit., hal. 34.
[54] Istilah teologi liberal dan teologi
tradisional belum umum dipakai di Indonesia. Yang lebih dikenal adalah aliran
salaf dan aliran khalaf, masing-masing untuk tradisional dan liberal. Teologi
tradisional diwakili oleh Asy’ariyah dan teologi liberal diwakili oleh
Mu’tazilah. Sepanjang pengetahuan penulis istilah tersebut dipopulerkan pertama
kali di Indonesia oleh Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan.
[55] Surat al-Fath, ayat 10.
[56] Abd al-Jabbar Ibn Ahmad, Syarh al-Usul al-Khamsah, Abd al-Karim Usman (ed) (Cairo: Maktabah
Wahbah, 1965), hal. 216.
[57] Ibid.
[58] Ibid, hal.
47.
[59] Mahmoed Joenoes. Tafsir Qur‘an dalam Bahasa Indonesia (Padang: Boekhan del
Mahmudiah, 1938), hal. 49.
[60] TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‘an al-Majid an-Nur, Juzu’ XXVI (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), cet. 1, hal. 97.
[61] Ibid,
hal. 97
[62] A. Hassan, Al-Furqan
Tafsir Qur‘an (Jakarta: Tintamas, 1962). hal. 1007.
[63] Dewan Penerjemah al-Qur‘an Departemen Agama
Rl., Al-Qur‘an dan Terjemahannya. (Jakarta:
Bumi Restu, 1976), hal. 389.
[64] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu‘ XXVI (Surabaya:
H. Abdul Karim, 1982), cet. II, hal. 165.
[65] H. Zainuddin Hamidy dan Fachfuddan Hs., Tafsir
Qur’an (Jakarta: Wijaya, 1982), cet. IX hal. 754.
[66] H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1984); cet. III, hal. 1015.
[67] Surat al-Syura ayat 11:
terimakasih karena sudah membantu :)
BalasHapusMaaf, saya ingin tahu sumber penulisan ini darimana kak?
BalasHapus