Minggu, 26 Oktober 2014

KARAKTERISTIK TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ABAD KEDUAPULUH



KARAKTERISTIK TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA 
ABAD KEDUAPULUH
Oleh M. Yunan Yusuf
Dr. M. Yunan Yusuf, putera Pasar Sorkam, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ini lahir 1949, mendapat pendidikan di Fakultas Ushuluddin, IAIN lakarta (1978). Gelar Doktor ia peroleh dari Fakultas Pasca Sarjana juga di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dengan judul disertasi “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah telaah tentang Pemikiran dalam Teologi Islam.” Di samping sebagai dosen di Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sekarang ia juga menjabat sebagai pembantu Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Ia pun aktif mengisi kursus-kursus keislaman, di antaranya di Yayasan Paramadina.

Dilihat dari segi karakteristiknya, tafsir Qur’an di Indonesia abad 20 terdapat banyak persamaan, Walaupun ada juga perbedaannya. Namun berdasarkan hasil kajian M. Yunan Yusuf atas beberapa tafsir Qur’an Indonesia, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar ternyata masih beraliran tradisional. Cirinya, memberikan penafsiran secara harfiah atas ayat-ayat mutasyabihat.
Al-Qur’an adalah Kitabullah yang di dalamnya termuat dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur’an menerangkan segala perintah dan larangan, yang halal dan haram, baik dan buruk, bahkan juga memuat berbagai kisah sejarah umat masa lampau.
Seluruh yang termaktub dalam al-Qur‘an itu hakekatnya ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam. Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat dalam bentuk ajaran aqidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah, ibadah dan sebagainya.
Tapi untuk mengungkap dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan menyanyikan al-Qur‘an dengan baik. Diperlukan bukan hanya sekedar itu, tapi lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang diberikan tafsir.[1])
Sebab itu dikatakan, “tafsir adalah kunci untuk, membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur‘an. Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya”.[2])
Upaya penulisan tafsir di Indonesia sudah lama berjalan. Dimulai dari karya ‘Abd al-Ra‘uf Singkel Tarjuman al-Mustajid, dalam tulisan Arab Melayu, pada abad 17,[3]) hingga Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry di abad 20 ini. Dalam masa lebih kurang tiga abad itu telah banyak tafsir Qur‘an yang dihasilkan.[4])

Karakteristik -dari bahasa Inggris characteristic- mengandung sifat khas. Ia mengungkap sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Maka, bila di sini disebut karakteristik tafsir Qur‘an di Indonesia abad 20, yang dimaksud adalah ciri-ciri khas apa saja yang bisa dilihat dalam upaya penulisan tafsir Qur‘an di Indonesia pada abad 20 itu.
Dalam Ulum al-Tafsir karakteristik diidentifikasi lewat metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak pemikiran penafsiran.
Metode penafsiran dimaksudkan, apakah tafsir-tafsir yang ada mempergunakan metode penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan Hadits; penafsiran ayat dengan kisah-kisah Israiliyat atau penafsiran ayat dengan semata-mata mempergunakan ra’yu. Adapun teknik penafsiran akan memperlihatkan apakah penafsiran tersebut diawali dengan memperjelas arti mufradat, kemudian berpindah ke arti ijmal (global) dan akhirnya penafsiran tafshili (uraian terperinci). Sedangkan corak pemikiran penafsiran, yang dimaksud adalah corak pemikiran keagamaan mana yang mempengaruhi tafsir-tafsir tersebut, baik pemikiran keagamaan rasional atau tradisional.
Jelasnya, metode tafsir adalah cara seorang penafsir memberikan tafsirannya, apakah ia menafsirkan Qur‘an dengan Qur‘an, Qur‘an dengan Hadits, menafsirkan Qur‘an dengan riwayat para sahabat, Qur‘an dengan kisah Israiliyat atau menafsirkan Qur‘an dengan pikirannya (ra‘yu)[5].)
Teknik penafsiran lebih menekankan prosedur penafsiran yang dilalui. Terdapat bermacam-macam prosedur yang pernah ada dalam sejarah penulisan tafsir. Ada prosedur penafsiran yang dimulai dari makna mufradat (arti kata), lalu memberikan makna ijmaly dan akhirnya memberikan makna tafshily (terperinci). Ada pula yang langsung memberikan makna terperinci tanpa melalui arti kata dan makna global, dan yang memberikan  penafsiran dalam bentuk catatan kaki.[6])
Adapun aliran penafsiran di sini dimaksudkan, kecenderungan aliran (faham teologi) yang dianut penafsir Qur‘an, apakah kecenderungan teologis berwarna liberal atau tradisional.[7])
Sedangkan untuk melihat aliran penafsiran akan diteliti penafsirannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat,[8]) dibatasi pada penafsiran ayat yadu Allah fauqa aidihim yang terdapat dalam surat al-Fath ayat 10.
Dalam rentangan waktu abad 20 tersebut, tafsir Qur‘an pertama yang terbit adalah, Tafsir Qur‘an Karim Bahasa Indonesia, ditulis oleh Mahmud Yunus.[9]) Sebagaimana disebut oleh Yunus sendiri dalam memberikan pengantar terhadap tafsir tersebut, ia mulai menulisnya pada November 1922. Penulisannya dilakukan secara berangsur-angsur, juzu’ demi juzu’ sampai pada juzu’ ketiga. Juzu’ keempat dilanjutkan penulisannya oleh H. Ilyas Muhammad Ali di bawah bimbingan Yunus. Sampai di sini dihentikan.[10]) Tidak diperoleh keterangan kapan penulisan oleh H. Ilyas Muhammad Ali itu dilakukan serta apa sebabnya penulisan juzu’ berikutnya dihentikan.
Kemudian pada tahun 1935 penulisan tafsir tersebut diteruskannya kembali, dibantu HM. Kasim Bakry. Penulisan ini sampai merampungkan juzu’ 18. Sedangkan sisanya dirampungkan Yunus sendiri sampai selesai pada 1938.[11])
Sesudah Tafsir Qur‘an Karim Bahasa Indonesia oleh Mahmud Yunus, dijumpai pula Tafsir Qur’an yang ditulis A. Hassan[12]) Tafsir ini diberi nama Al-Furqan Tafsir Our‘an.
Sebagai seorang pemikir Islam A. Hassan banyak melahirkan tulisan.[13]) Menurut pengakuan Hassan sendiri, kitab karangannya yang mula-mula diterbitkan adalah juzu’ pertama dari tafsir Qur‘an yang ditulisnya. Itu terjadi pada bulan Muharam 1347 H bertepatan dengan Juli 1928 M[14]) Hassan juga dikenal sebagai pemimpin Persatuan Islam.[15]) Waktunya banyak dipergunakan menulis beberapa kitab yang dianggap perlu oleh anggota-anggota Persatuan Islam. Namun penulisan tafsirnya pernah terhenti. Pada 1941 barulah penulisan tafsir Qur‘an tersebut dilanjutkannya sampai surat Maryam.[16])
Usaha penulisan tafsir Qur‘an yang pertama ini terhenti lagi sampai surat-Maryam itu. Atas permintaan Salim bin Sa’ad bin Nabhan, seorang penerbit dan pedagang buku di Surabaya, Hassan menulis tafsir Qur‘an kembali dari awal sampai akhir untuk diterbitkan lengkap 30 juzu.[17]) Menurut Hassan, penulisan kali ini menempuh cara lain, yakni lebih mementingkan pemberian keterangan arti tiap-tiap ayat agar pembaca bisa faham maknanya dengan mudah.[18])
Penerbitan Tafsir Qur‘an A. Hassan secara lengkap dilakukan pada 1956, sebagaimana tercantum pada tahun pertama penerbitannya. Al-Furqan Tafsir Qur‘an A. Hassan hampir seangkatan dengan Tafsir al-Our‘an Karim, karya tiga orang ulama asal Sumatera Timur: Al-Ustadz H.A. Halim Hassan[19]) H. Zainal Arifin Abbas[20]) dan Abdurrahim Haitami.[21])
Penyusunan tafsir ini dimulai awal Ramadhan 1355 H di Binjai, Langkat. Sementara penerbitan pertamanya baru dalam bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai pada April 1937, terbit sebulan sekali. Pada akhir 1941, menjelang pendudukan Jepang dan sesudah pecahnya Perang Dunia II, karena kertas tidak masuk lagi dari Eropa dan Amerika, penerbitan tafsir tersebut dihentikan. Demikianlah sampai akhir 1941 Tafsir al-Our'an Karim ini baru selesai juzu’ VII.[22])
Perlu disebutkan pula, selama masa lima tahun, yakni pada 1937-194l, juzu I dan II pernah diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan memakai huruf Arab. Penerbitan dalam tulisan Arab Melayu itu dimaksudkan untuk konsumsi di seluruh sembilan kerajaan Malaysia.[23]) Tafsir al-Qur‘an Karim hanya berhasil dikerjakan sampai juzu’ VII. Kurang jelas kenapa penulisannya hanya sampai pada juzu’ VII itu saja.
Pindah ke pembicaraan tafsir lain, pada 1958 Hamka[24]) yang dikenal sebagai ulama dan juga sastrawan, mulai melakukan kegiatan penafsiran Qur‘an. Hal itu dilakukannya lewat kuliah subuh jamaah masjid Al-Azhar Kebayoran Baru Iakarta, dimulai dari surat al-Kahfi, juzu’ XV.[25])
Sejak tahun 1962, pelajaran tafsir Qur‘an yang tadinya menjadi kegiatan rutin dalam kuliah subuh masjid al-Azhar Kebayoran baru Jakarta, dimuat secara bersambung dalam majalah Gema Islam.[26]) Perkembangan berikutnya, Senin 12 Rabiul Awwal 1383 bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah airnya sendiri.[27]) Ternyata, penahanan yang dialami Hamka selama lebih kurang dua setengah tahun memberikan peluang baginya dalam merampungkan tafsir Qur‘annya. Menurut Hamka sendiri, beberapa hari sebelum dipindahkan ke tahanan rumah, penafsiran Qur‘an 30 juzu’ sudah ia selesaikan. Dan dalam masa tahanan rumah dua bulan lebih dipergunakannya untuk menyisipkan mana yang kurang.[28])
Hamka memberi nama tafsir tersebut Tafsir al-Azhar, Diberi nama itu karena tafsir tersebut timbul dari masjid Agung Al-Azhar, nama yang diberikan Syaikh Jami’ah Al-Azhar sendiri, yang saat itu dijabat Syaikh Mahmud Syaltout. Dan yang penting, Hamka memperoleh gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor Honoris Causa) dari Jami’ah tersebut. Agaknya untuk mengabadikan semua peristiwa itu, Hamka memberi nama tafsirnya Tafsir al-Azhar.[29]) Penerbitan pertama tafsir ini dilakukan pada tahun 1967.
Tafsir al-Azhar ini seangkatan dengan Tafsir Qur’an hasil karya bersama H. Zainuddin Hamidy[30]) dan Fachruddin Hs. Agaknya tafsir ini mulai dikerjakan sejak 1953. Kesimpulan ini diambil dari sambutan yang diberikan H. Agus Salim[31]) serta sambutan yang diberikan Syaikh Soelaiman Al-Rasuli[32]) dan Syaikh Ibrahim Musa[33]) yang dimuat dalam tafsir tersebut. Sambutan H. Agus Salim bertanggal Januari 1953, sementara Sambutan Syaikh Soelaiman Al-Rasuli dan Syaikh Ibrahim Musa bertanggal Agustus 1956. Cetakan pertama Tafsir Qur‘an karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. ini dilaksanakan pada tahun 1959.
Dua karya besar tafsir Qur‘an lahir pula dari tangan seorang ahli fiqh dan tafsir, yakni Prof. TM. Hasbi ash-Ahiddieqy. Dua buah tafsir itu masing-masing diberi nama Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur dan Tafsir al-Qur‘an al-Karim al-Bayan. Tafsir pertama, tafsir an-Nur dicetak pertama kali tahun 1956. Sedangkan tafsir kedua, tafsir al-Bayan, dicetak pertama kali pada 1971. Kelihatannya penulisan Tafsir al-Bayan oleh Prof. TM. Hasbi ash- Shiddieqy disebabkan ketidakpuasan terhadap tafsirnya yang pertamanya.[34])
Sebelurn mengakhiri uraian tentang sejarah perkembangan tafsir Qur‘an di Indonesia, perlu disebutkan dua tafsir lainnya, yakni Al-Our‘an dan Terjemahannya, diterbitkan Departemen Agama RI, serta Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry.[35]) Al-Our‘an dan Terjemahannya adalah hasil karya suatu Dewan Penerjemah yang berada di bawah Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau Penafsiran al-Qur‘an. Yayasan ini berdiri atas dasar Surat Keputusan Menteri Agama RI nomor 26 tahun 1967.[36]) Sedangkan Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry merupakan tafsir Qur‘an terbaru di Indonesia. Tahun 1984 tafsir ini telah mengalami cetakan ketiga. Adapun cetakan pertamanya dilakukan pada 1981.
Demikianlah uraian perkembangan tafsir di Indonesia menurut urutan waktu pada abad 20 ini. Namun bagaimana “ciri masa” yang dipantulkan masing-masing tafsir tersebut?
Dari sudut ciri masa yang dipantulkannya, maka Tafsir Qur‘an Karim Bahasa Indonesia Karya Mahmud Yunus merupakan pemula dari upaya tafsir dalam bentuk baru. Baru di sini dilihat dari sudut keberaniannya menampilkan penafsiran al-Qur‘an di tengah masyarakat yang masih menganggapnya haram.
Saat itu, menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur‘an di luar bahasa Arab belum dapat diterima semua alim ulama. Dengan alasan itulah barangkali kenapa Yunus memulai karyanya itu bukan dengan huruf Latin tapi dengan huruf Arab Melayu.
Bagi Yunus upaya menafsirkan Qur‘an ke dalam Bahasa Indonesia merupakan upaya teramat penting. Sebab tanpa penafsiran ke dalam Bahasa Indonesia, banyak orang Islam Indonesia yang tidak mengetahui isi al-Qur‘an. Kata Yunus, “Qur‘an itu diturunkan Allah supaya isinya kita perhatikan (untuk jadi petunjuk dan pengajaran), bukan semata-mata untuk kita lagukan.”[37]) Selanjutnya ia mengatakan, Qur‘an sudah diterjemahkan orang ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan lain-lain. Sehingga orang Eropa mengerti isi al-Qur‘an, tapi orang Islam Indonesia banyak yang tidak mengetahuinya.[38])
Al-Furqan Tafsir Qur’an karya A. Hassan tidak lagi mengalami kondisi seperti yang dialami Yunus. Hassan telah menulis tafsirnya dengan huruf Latin. Suasana yang dihadapi Hassan adalah suasana riuh rendah pertentangan antara kaum tradisional dan kaum modernis dalam bentuk berpegang teguh terhadap mazhab dan tetap taklid atau kembali pada Qur‘an dan Sunnah dengan ijtihad. Perdebatan tentang sumber hukum Islam, ijtihad, ittiba’, taqlid, bid’ah dan faham kebangsaan yang mewarnai pikiranpikiran Hassan, juga terpantul dalam tafsirnya. Sikapnya yang radikal pun terlihat.
Tafsir Qur‘an karya tiga serangkai, al-Ustadz HA. Halim Hassan, H. Zainal Ariiin Abbas dan Abdurrahman Haitami, juga berada dalam suasana seperti apa yang dihadapi Hassan. Memang ketika “...zaman menuju peralihan dari faham-faham statis kepada faham-faham dinamis menuju perubahan, terutama dalam bidang pendidikan.”[39]) Tapi kendati demikian mereka tidaklah melepaskan mazhab seperti dilakukan Hassan. Umumnya penggerak-penggerak anti mazhab di Sumatera Utara dari kalangan Muhammadiyah, sedangkan mereka dikenal bukan dari kalangan Muhammadiyah.
Tafsir al-Azhar karya Hamka merupakan karya monumental penulisnya sendiri. Lewat tafsir ini Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya hampir di semua disiplin yang tercakup oleh bidang-bidang ilmu agama Islam.[40]) Suasana rumah tahanan memberikan dorongan tersendiri bagi penulisan tafsir itu. Kehidupan politik yang tidak menentu, bahaya komunisme atau PKI yang bertambah mencekam, secara panjang lebar dikisahkan Hamka dalam pendahuluan tafsirnya.
Agaknya jiwa seniman dan jiwa dakwah Hamka banyak bermain dalam penulisan Tafsir al-Azhar. Keindahan bahasa dengan cinta dan lara berpadu dalam himbauan terhadap manusia untuk lebih dekat pada Tuhan.
Dua karya besar Prof. TM. Hasbi ash-Shiddiqy tafsir al-Nur dan al-Bayan memperlihatkan corak lain pula. Tinjauan tentang hukum Islam, menampakkan warna yang cukup jelas. Penafsiran ayat-ayat ahkam lebih panjang lebar diungkapkan. Besar kemungkinan Tafsir al-Nur Hasbi ini merupakan terjemahan dari Tafsir al-Maraghy, kendatipun Hasbi membantahnya pada penerbitan ulang tafsirnya itu.
Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI., menampakkan pula semangat alam pembangunan Indonesia. Sebuah pengantar panjang yang membicarakan tentang sejarah al-Qur‘an, sejarah Nabi Muhammad saw., Qur‘an dan ilmu pengetahuan juga diperlihatkan. Sayangnya pengantar ini diisi oleh satu plagiat terjemahan harfiah dari The Holy Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali.
Sejalan dengan itu Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry juga memperlihatkan corak perkembangan baru. Sebuah daftar panjang tentang pengelompokan ayat-ayat al-Qur‘an, seperti keimanan, ibadah, sains dan teknologi, kesehatan, ekonomi, masyarakat dan kenegaraan, budi pekerti luhur, dan sejarah dapat dijumpai dalam tafsir ini. Masalah air susu ibu (asi) mendapat perhatian tafsir ini, yang dalam tafsir-tafsir sebelumnya tidak dijumpai.
Sesudah dibicarakan sejarah perkembangan tafsir Qur‘an di Indonesia pada abad 20, maka bagian ini akan mencoba memberikan analisa dan perbandingan terhadap tafsir-tafsir tersebut. Sesuai dengan batasan yang telah diberikan, maka kajian berikut akan menyajikan analisa dan perbandingan tentang metode penafsiran, teknik penafsiran, dan aliran (corak teologi) dari masing-masing tafsir tersebut.

Metode Penafsiran
Seperti yang disebut pada bagian pendahuluan, metode penafsiran sama dengan sumber tafsir; yakni apakah tafsir itu bersumber dari Qur‘an, atau bersumber dari Hadits, kisah-kisah Israiliyat, ataukah bersumber dari ra’yu.
Untuk melihat hal itu, di sini diberikan satu contoh, yakni tafsir surat al-Fathihah[41])  menurut berbagai tafsir. Surat al-Fatihah yang terdiri dari 7 ayat itu ditafsirkan oleh para penafsir sebagai berikut:
1.      Tafsir Qur‘an Karim Bahasa Indonesia oleh Mahmoed Joenoes[42])
a.       Apa-apa pekerjaan yang akan kita kerjakan haruslah dengan nama Allah. Biasanya orang berbicara dalam kerapatan atas nama perkumpulannya, begitu pula orang Islam bekerja atas nama Tuhannya.
b.      Apa-apa kita lihat amat cantik dan permai di antara isi alam yang luas ini, hendaklah kita puji Allah, karena pokok dan asalnya ialah dari pada-Nya.
c.       Allah itu amat Pengasih, Penyayang, lebih-lebih kepada kita, karena Dia yang menganugerahkan pikiran yang luas, anggota yang cukup. Tapi, sekalipun begitu Dia berkuasa pada hari yang kemudian buat menyiksa orang yang tiada menurut perintah-Nya.
d.      Karena Allah amat banyak memberi kita bermacam-macam nikmat, maka wajiblah kita menyembahnya. Dan tiada yang disembah selain dari pada-Nya. Wajib kita minta tolong pada-Nya, akan menyampaikan cita-cita dan tujuan kita bersama Dia yang berkuasa menghilangkan aral yang melintang. Adapun minta tolong sesama manusia tentang apa-apa yang bisa dikerjakannya, tidak mengapa. Tetapi, jika kita minta tolong padanya tentang pekerjaan yang tiada bisa dikerjakannya, seperti minta masuk surga, murah rezeki, berbahagia dunia akhirat dan sebagainya, maka yang demikian itu amat terlarang dalam Islam. Begitu juga meminta pada batu-batu, kayu-kayu, kuburan-kuburan dan sebagainya, karena pekerjaan ini memperserikatkan Allah dengan lainnya.
e.       Hendaklah kita minta petunjuk pada Allah, supaya kita melalui jalan lurus yang menyampaikan kita pada kebahagiaan dunia akhirat.
f.        Manusia itu ada tiga macam, yakni a) Orang yang beroleh nikmat dari Allah, karena mereka menurut perintah-Nya; b) Orang yang dimurkai Allah karena ingkar akan kebenaran agamanya; dan c) Orang yang sesat dan dalam keraguan, sehingga mereka itu tiada mengetahui jalan manakah yang akan ditempuhnya.

2.      Al-Furqan Tafsir Qur‘an oleh Hassan[43])
a.       Dengan nama Allah itu maksudnya di sini ada macam-macam: a) Aku membaca surat ini dengan perintah Allah; b) Aku membaca surat ini dengan pertolongan Allah; c) Diturunkan surat ini dengan perintah Allah; d) Diturunkan surat ini dengan rahmat Allah, dan sebagainya.
b.      c, dan d. Sekalian puji-puji yakni: 1) Pujian Allah pada diri-Nya; 2) Pujian Allah pada makhluknya; 3) Pujian makhluk pada Allah; dan 4) Pujian makhluk pada makhluk, itu semuanya kepunyaan Allah, Pemurah, Penyayang, yang mempunyai hari pembalasan, lantaran sekalian kebaikan yang patut itu memang kepunyaan Allah dan bikinan Allah.
e.       Oleh sebab itu segala sesuatu kepunyaan-Mu, maka tidak ada yang kami sembah dan kami turuti perintahnya melainkan Engkaulah, dan tidak ada yang kami minta pertolongannya di dalam perkara gaib, melainkan Engkaulah.
f.        g, dan h. Ya Allah pimpinlah kami di jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang telah engkau beri nikmat ketetapan hati di agama-Mu, ialah jalan mereka yang tidak Engkau murkai dan tidak sesat.

3.      Tafsir Qur’an oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS[44])
a.       Surat ini dinamakan al-Fatihah (Pembukaan) atau Fatihah al-Kitab (Pembukaan Kitab) karena itulah surat pertama dalam susunan al-Qur‘an. Juga dinamakan Ummul Kitab, artinya Ibu Kitab atau Pokok Kitab, karena mengingat luas isi dan tujuan al-Fatihah yang mengandung isi dari al-Qur‘an seluruhnya. Juga dinamakan as-Sab’u ’l-matsany atau Sab’an min al-matsany, artinya tujuh yang diulang-ulang, karena al-Fatihah itu adalah tujuh ayat yang terus diulang-ulang membacanya setiap rakaat dalam sembahyang. “Dan sesungguhnya telah kami berikan pada engkau (Muhammad) tujuh yang diulang-ulang (sab’an minal matsani) dan Qur‘an Besar”. (Qs. al-Hijr: 87)
b.      Allah ialah nama Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Rahman artinya yang banyak melimpahkan kebaikan. Rahim artinya yang mempunyai perasaan kasih sayang (penyayang). Setiap surat dalam al-Qur‘an dimulai dengan Bismi L-lahi ’l-Rahman al-Rahim, selain dari surat 9 (Bara’ah). Bila hendak memulai suatu pekerjaan atau membaca, kita membaca Bismi L-lahi ’I-Rahman al-Rahim, berarti bahwa kita membaca atau memulai pekerjaan itu dengan nama Tuhan, karena mengingat perintah-Nya, serta kemurahan dan kasih sayang-Nya pada alam semesta ini.
c.       Rabb, artinya pencipta dan juga pemelihara; Pengatur dan Pendidik, yang menyusun dan mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dalam menuju kesempurnaan. Jadi Rabb itu berarti pemimpin atau pengatur, dan bisa juga diartikan orang dengan perkataan Tuhan. Al-Alamin berarti alam semesta dan di antaranya segenap manusia, jin, dan malaikat.
d.      Malik artinya yang memerintah, dan Maalik artinya yang mempunyai Yaum al-Din artinya Hari Pembalasan, yaitu hari kiamat sehabis kehidupan dunia ini, dan ketika itu setiap manusia menerima pembalasannya, yang baik dan yang buruk.
e.       Sehabis membaca Fatihah ini dibaca amin. Terimalah permohonan kami. Di akhir al-Fatihah itu, kita memohonkan do’a ke hadirat Tuhan, supaya dipimpinnya ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah diberi kurnia oleh Tuhan, bukan jalan-jalan orang-orang yang dimurkai oleh Tuhan dan orang-orang yang sesat jalan. Keselamatan manusia ini, baik perseorangan atau masyarakatnya, hanya bisa dicapai dengan menempuh jalan lurus. Dalam ayat lain disebutkan bahwa orang-orang yang diberi kurnia oleh Tuhan itu ialah, “Nabi-nabi dan orang-orang yang benar dan orang-orang yang mati syahid dan orang-orang baik-baik.” (Q.s. al-Nisa’:69)

4.      Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Depertemen Agarna RI[45])
a.       Berarti: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Tiap-tiap pekerjaan yang baik itu hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah, seperti: makan, minum, menyembelih binatang untuk dimakan dan sebagainya. Allah ialah nama Zat Yang Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluknya, tapi makhluk membutuhkannya. Al-Rahman (Maha Pemurah): salah satu dari nama Allah, yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan kurnia-Nya pada makhluk-Nya, sedang al-Rahim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya pada makhluknya.
b.      Al--Iamdu (segala puji). Memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauannya sendiri. Maka memuji Allah berarti: menyanjung-Nya karena perbuatan-Nya yang baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Kita menghadapkan segala puji pada Allah ialah karena Allah adalah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
c.       Rabb (Tuhan) berarti Tuhan yang ditaati, Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara. Lafaz Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan kecuali kalau ada sambungannya, seperti tuan rumah (Rabb al-bait). Semesta alam (‘Alamin) semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai-bagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah pencipta semua alam-alam itu.
d.      Maalik (Yang Menguasai), dengan memanjangkan mim berarti pemilik (yang empunya). Dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), yang berarti raja.
e.       Yaum al-Din (Hari Pembalasan) hari yang di waktu masing-masing manusia menerima pembalasan amalnya yang baik maupun yang buruk, Yaum al-Din disebut juga Yaum al-qiyamah, Yaum al-hisab, Yaum al-juza’ dan sebagainya.
f.        Na’budu diambil dari kata ibadat: kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan tentang kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
g.       Nasta’in (minta pertolongan) terambil dari kata ist’anah: adalah mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup diselesaikan dengan tenaga sendiri.
h.      Ihdina (tunjukilah kami) terambil dari kata hidayat: adalah memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan hanya sekedar memberi saja, tapi juga memberi taufik.
i.        Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

5.      Tafsir Rahmat oleh H. Oemar Bakry[46])
a.       Perkataan Rahman dan Rahim berasal dari satu kata Rahman. Walaupun begitu artinya sedikit berbeda. Rahman berarti Allah yang melimpahkan rahmat dan kurnia yang tidak terhingga jumlahnya pada hambanya. Sedangkan, Rahim sifat yang tetap pada Allah swt. Ayat ini mengajurkan agar setiap amal perbuatan yang baik dimulai dengan membacanya. Sabda Rasulullah saw: “Setiap amalan yang tidak dimulai dengan bismi L-lahi, maka amalan itu ”buntung”. Dengan membaca bismi L-lahi itu orang ingat bahwa segala amalan dari dan untuk Allah.
b.      Sudah seharusnya kita memuji Allah swt. karena dari-Nya sumber segala sesuatu. Dialah yang telah menciptakan dan menumbuhkan tubuh manusia sehingga menjadi makhluk yang terbaik mempunyai akal pikiran yang memungkinkan ia menjadi khalifah Allah swt., melengkapkannya dengan pendidikan agama yang membimbing akal pikiran itu agar jangan salah arah.
c.       Bacaan Maalik berarti yang mempunyai. Bacaan Malik berarti raja. Keduanya boleh dibaca. Pengertian keduanya hampir sama. Bahwa pada hari akhirat Allah swt. sajalah sendirinya yang mempunyai kekuasaan. Tak seorang jua pun yang campur tangan. Ini untuk mengingatkan bahwa apa yang biasa ada di dunia seperti pembela pengawal dan sebagainya, tidak ada lagi di akhirat.
d.      Konsekuensi dari ucapan bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang ialah kesediaan menyembah dan sujud pada-Nya dengan segala macam ibadah yang disyariatkan. Meminta tolong kepada-Nya dalam hal-hal yang harus dimintakan pertolongan yang di luar jangkau kodrat manusia. Petani sesudah menanami sawahnya mendoakan (minta tolong) agar padinya tumbuh dengan subur, terpelihara dari bahaya alam, angin topan, gempa bumi dan sebagainya. Bukanlah artinya minta tolong tanpa amal.
e.       Petunjuk (hidayah) Allah pada manusia mencapai cita-cita hidup bahagia dunia akhirat cukup lengkap. Semenjak dari bayi ia sudah mendapat hidayah menangis untuk menyatakan keinginannya. Kemudian hidayah pemberian panca indera. Disusulkan oleh hidayah akal pikiran. Dengan akal pikiran banyak yang dapat dibuat manusia. Ilmu dan teknologinya mengubah wajah dunia. Yang terakhir yang paling utama ialah hidayah agama. Hidayah agama yang membimbing akal pikiran agar jangan menjadi salah arah. Hidayah agama yang akan membawa kebahagiaan hidup dunia akhirat. Manusia tidak akan bahagia tanpa hidayah agama.
f.        Orang yang diberi nikmat Allah ialah orang-Orang yang baik, Nabi-nabi dan orang-orang yang tetap teguh memegang ajaran agama swt. Ayat ini menganjurkan mempelajari sejarah dan kisah-kisah umat-umat dahulu kala yang banyak sekali diuraikan dalam berbagai ayat. Dengan mempelajari sejarah, dapat diambil perbandingan untuk menempuh jalan yang lurus dan benar. Pada akhir membaca al-Fatihah waktu sembahyang berjamaah dianjurkan membaca Amiin (Ya Allah terimalah doaku). Perkataan Amiin tidak masuk ayat al-Fatihah.
Bila diperhatikan kutipan-kutipan di atas maka terlihat adanya persamaan dalam metode penafsiran dari masing-masing tafsir tersebut. Uraian penafsiran sangat sederhana, ringkas dan tidak mengaitkan penafsirannya dengan masalah-masalah lain.
Hampir kelima tafsir di atas tidak mempergunakan ayat al-Qur‘an, Hadits Nabi ataupun riwayat para sahabat dalam memberikan penafsirannya. Hanya Tafsir Qur’an karya H. Zainuddin Hamidy serta Fachruddin, Hs. dan Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry yang mempergunakan ayat Qur‘an dan Hadits dalam penafsiran. Pada yang pertama terdapat dua kali pengutipan ayat al-Qur‘an, masing-masing pada penjelasan tentang sama surat al-Fatihah, al-Sab’u al-Matsani yang terdapat dalam Q.s. al-Hijr: 87 dan pada penjelasan tentang orang-orang yang diberi kurnia oleh Allah sebagai yang disebut oleh Qs.al-Nisa’: 69. Sedangkan pada yang terakhir dijumpai kutipan sebuah Hadits untuk menjelaskan pentingnya Basmalah dalam memulai setiap pekerjaan yang baik.
Tafsir al-Qur‘an Karim[47]) karya al-Ustadz H.A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami banyak sekali mengutip ayat-ayat dan Hadits-hadits dalam memberikan penafsirannya. Di samping ayat dan Hadits tersebut dijumpai juga pendapat-pendapat para mufassir terdahulu seperti Syaikh Mohammad Abduh, Syaikh Thanthawi Jauhary dan Fachr al-Din al-Razy.
Dua Tafsir karya TM. Hasbi ash-Shiddieqy[48]) juga membawa ayat-ayat dan Hadits-hadits di samping juga pendapat para mufassir terdahulu.
Tafsir al-Azhar‘[49]) karya Hamka menunjukkan corak yang lebih luas lagi. Hamka, seperti para penafsir lain, juga mengutip ayat Qur‘an dan Hadits dalam tafsirnya. Lebih jauh dari itu Hamka mencoba memasuki lapangan lain yang kelihatannya tidak lazim dijumpai pada tafsir-tafsir sebelumnya, yakni lapangan antropologi dan sejarah. Dua kutipan di bawah, yakni tentang penafsiran kalimat “Allah subhanahu wa ta’ala” dan penafsiran “al-maghdhubi “alaihim” memperlihatkan hal itu.
Dalam bahasa Melayu kalimat seperti Ilah itu ialah dewa dan Tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab kira-kira tahun 1303 M, kalimat Allah subhanahu wa ta’ala telah diartikan dengan Dewa Mula Raya” (batu bersurat itu sekarang disimpan di museum Kuala Lumpur). Lama-lama karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu. Dan Bahasa Indonesia, maka bila disebut Tuhan oleh kaum Muslim Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah Allah dan dengan huruf Latin pangkalnya (huruf T) dibesarkan, kata-kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengungkapkan Tuhan Allah.[50])
Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa suatu hari seorang orang besar kerajaan datang menghadap raja bersama-sama dengan orang yang besar-besar lainnya. Setelah masuk ke dalam majelis raja maka baginda menunjukkan wajah yang girang dan tersenyum simpul melihat tiap-tiap orang besar itu, tapi pada seorang baginda tidak melihat, entah karena lupa, entah karena sibuk. Maka sangatlah duka cita hati orang besar itu, apakah baginda murka padanya ataukah baginda tidak senang lagi. Maka setelah bubar majelis itu, dia pun kembali pulang ke rumahnya dengan hati sedih, lalu diminumnya racun setelah menulis sepucuk surat yang diwasiatkannya supaya disampaikan ke tangan baginda. Di situ dia tuliskan: Oleh karena Sri Paduka tidak berkenan lagi kepada patih, telah patih ambil keputusan menghabisi hidup patih. Karena tidak ada harapannya hidup lagi kalau Sri Paduka tidak senang lagi melihat patih.” Begitulah perasaan orang yang berkhianat pada raja apabila dia merasa bahwa rajanya tidak senang lagi padanya. Maka, betapalah perasaan kita, wahai insan yang ghafil (lalai, -pen), kalau Allah murka pada kita.[51])
Dengan memperbandingkan kedua kelompok tafsir di atas, yakni tafsir yang sederhana dan tafsir yang lebih luas, maka terlihat sebagian tafsir tersebut mempergunakan kutipan-kutipan ayat Qur‘an, Hadits, riwayat, serta penafsiran para mufassir masa lampau. Hanya sebagian kecil saja yang sama sekali tidak mempergunakan sumber tersebut bagi tafsirnya.

Teknik Penafsiran
Berbicara tentang teknik terlihat perbedaan dalam tafsir-tafsir tersebut, baik tafsir sederhana maupun tafsir yang lebih luas. Lima tafsir yang dikutip secara utuh di atas langsung memberikan penafsiran global, tanpa mengawali dengan penjelasan arti kata. Padahal, memberi penjelasan terlebih dahulu tentang arti kata amat bermanfaat bagi pemahaman al-Qur‘an. Sebab suatu kata pada satu ayat, sering pula dijumpai pada ayat-ayat lain. Sebagai contoh kata din umpamanya, yang terdapat dalam ayat maliki yaum al-din mengandung arti yang mempunyai hari pembalasan.” Maka kata din berarti pembalasan. Padahal arti kata din tidak hanya satu, tergantung konteks pemakaiannya.[52])
Ini berbeda dengan tafsir Qur‘an kelompok kedua (tafsir yang lebih luas). Pada Tafsir al-Qur‘an Karim karya tiga serangkai HA. Halim Hassan, H. Zainal Abbas dan Abdurrahim Haitarni ditemui teknik penafsiran yang dimulai dari terjemahan ayat, secara terperinci dan panjang lebar. Dalam penafsiran panjang lebar itu perlu diberikan pula arti kata yang terdapat dalam ayat-ayat itu. Dua tafsir karya Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan juga memperlihatkan teknik penafsiran yang sama, yaitu dimulai dari memberikan arti kata terlebih dahulu. Sesudah memberikan arti kata, barulah penafsiran dilanjutkan pada penafsiran ayat secara terperinci.
Tafsir al-Azhar karya Hamka, kelihatannya agak menjauhi pengertian kata (makna mufradat). Hamka setelah menerjemahkan ayat secara global, langsung memberikan uraian terperinci. Kalaupun ada penjelasan kata (arti mufradat) jarang dijumpai. Hamka lebih banyak menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh. Oleh karena itu yang banyak dikutip oleh Hamka adalah pendapat para mufassir terdahulu. Kelihatannya, sikap seperti ini diambil oleh Hamka dengan suatu pendirian bahwa menafsirkan Qur‘an tanpa melihat terlebih dahulu pada pendapat para mufassir terdahulu dikatakan tahajjum atau ceroboh.[53])

Aliran Penafsiran
Sebagai yang disebut dalam pendahuluan, terdapat dua corak teologi dalam Islam, yakni teologi liberal dan teologi tradisional.[54])Aliran teologi liberal mempunyai ciri memberikan daya yang kuat pada akal sehingga dalam memahami ayat-ayat al-Qur‘an lebih banyak memakai penafsiran majazi atau metaforis. Sebaliknya, aliran teologi tradisional memberikan daya yang kurang kuat pada akal, lebih banyak berpegang pada arti lafzi atau harilah.
Dalam al-Qur‘an terdapat ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat Tuhan, seperti: yadu Allah fauqa aidihim[55]) ayat tersebut dapat membawa pemahaman anthropomorphisme.
Teologi liberal, karena berpegang pada kekuatan akal sedangkan Tuhan bersifat immateri, tidak menerima pemahaman anthropomorphisme tersebut. Tuhan tak mempunyai badan materi dan karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani.[56]) Ayat al-Qur‘an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat jasmani harus diberi interpretasi lain. Oleh sebab itu, kata yadun dalam ayat di atas tidak boleh diartikan tangan, tapi kekuasaan.[57])
Teologi tradisional juga menolak pemahaman anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Tapi karena berpegang pada arti harfi dari ayat, teologi tradisional mengatakan bahwa kata yang terdapat dalam al-Qur‘an tidak boleh diberi interpretasi lain. Dalam memahami ayat di atas, teologi tradisional berpendapat bahwa Tuhan memang mempunyai dua tangan, dan itu tidak boleh diartikan rahmat atau kekuasaan. Tapi bagaimana Tangan Tuhan itu tidak dapat diberikan gambaran atau definisi.[58])  Ayat tersebut diberi penafsiran oleh Mahmoed Joenoes sebagai berikut:
…. Tangan Allah di atas tangan mereka. Menurut akal yang waras dan ayat-ayat yang muhkamat, Allah itu Maha Tinggi tiada yang serupa dengan Dia seorang juapun. Oleh sebab itu adalah ayat ini dinamakan mutashabihat, karena tiada terang, bagaimana hakekatnya tangan Allah itu... Adapun Orang-Orang yang Mukmin maka mereka percaya bahwa semua ayat yang muhkamat dan mutasyabihat itu datangnya dari Allah. Mana-mana yang muhkamat mereka turut, dan yang mutasyabihat mereka serahkan hakekatnya pada Allah atau pada orang-orang yang dalam pengetahuannya.[59])
Penafsiran yang diberikan Joenoes ini memperlihatkan aliran tradisonal. Sifat-sifat Allah yang disebut dalam al-Qur‘an, yang pada kasus ini adalah yadun, diberi arti harfi yakni tangan. Maka dari sisi ini terpahami bahwa Allah itu mempunyai tangan. Untuk mengelakkan Allah serupa dengan baharu, Joenoes menjelaskan lebih lanjut, tiada terang bagaimana hakekatnya tangan Allah itu.” Menurut Joenoes dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini sikap seorang Mukmin yang terbaik adalahsemua yang muhkamat dan mutasyabihat itu datangnya dari Allah.” Karena datang dari Allah itu setiap Mukmin haruslah menerima apa saja yang dikatakan oleh Allah serta menyerahkan hakekatnya pada Allah atau pada orang-orang yang dalam pengetahuannya.
Tafsir al-Qur’an al-Majid an-Nur karya Hasbi memberikan penafsiranAllah hadir bersama-sama orang-orang yang membuat bai’ah itu, mendengar perkataan mereka, maka seolah-olah Allah yang mengulurkan tangan-Nya untuk menerima bai’ah dengan perantaraan Rasul.”[60]) Dari penafsiran ini dapat disimpulkan bahwa Hasbi pun masih memperlihatkan corak tradisional. Allah lah yang mengulurkan tangan-Nya dengan perantaraan Rasulullah saw. Hasbi masih menafsirkan secara harfi, yakni tangan.
Hasbi memberikan penjelasan lebih lanjut tentang pendapat dua kelompok ulama, yakni ulama salaf (tradisional, -pen) dan ulama khalaf (liberal, -pen) terhadap penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Yang pertama memberikan makna lahir sedangkan yang terakhir memberi kan ta’wil (arti yang bukan harfi) terhadap ayat itu.[61]) Sayangnya Hasbi tidak menunjukkan sikapnya secara jelas pada kelompok mana ia berpihak. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa kesan yang dapat ditarik dari penafsirannya itu memperlihatkan warna teologi tradisional.
Kesan ini dapat diperkuat bila dilihat penafsiran Hasbi terhadap ayat tersebut dalam tafsirnya Al-Bayan. Dalam tafsir ini Hasbi sama sekali tidak menyinggung penafsiran kata yadun itu. Agak ganjil memang Tafsir al-Nurnya, tapi dalam kasus ini memperlihatkan hal yang sebaliknya.
Di sini timbul pertanyaan, apakah Hasbi enggan memasuki pembicaraan lebih jauh tentang perbedaan ulama salaf dan khalaf terhadap penafsiran ayat ini? Ataukah ia menganggap sudah memadai apa yang ditulisnya dalam Tafsir al-Nur-nya?
Pertimbangan yang dapat diberikan barangkali adalah adanya keengganan Hasbi untuk memasuki gelanggang perbedaan tersebut, karena memang Hasbi sendiri berpendapat bahwa masalah itu tidak perlu dipersoalkan. Bagi seorang Mukmin sikap yang terbaik adalah menerima ayat tersebut dalam makna harfiahnya. Tuhan memang mempunyai Tangan, tapi bagaimana Tangan Tuhan itu tidak dapat dijelaskan (bila kayfa).
Penafsiran yang senada dijumpai pula pada al-Furqan karya A. Hassan. Tafsir yang diberikan oleh Hassan adalah tafsir harfiah, seperti kutipan ini: Maka Orang yang mubaya‘ah dengan rasul itu, Allah pendang sebagai mubaya’ah dengan-Nya, dan tangan Rasul yang diletakkan atas tangan mereka.[62])
Tafsir Departemen Agama, menunjukkan kecenderungan penafsiran harfiah pula.  “Jadi seakan-akan tangan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluk.”[63]) Penafsiran yang berhenti pada makna harfi, kemudian menyerahkan pengertian harfi itu pada apa yang layak bagi Allah Yang Maha Suci, adalah sikap yang dianut oleh teologi tradisional.
Penafsiran yang berbeda dengan penafsiran yang terdapat pada tafsir-tafsir di atas, dikemukakan oleh tiga tafsir Qur‘an berikut: Tafsir al-Azhar memberikan penafsiran “bahwa Allah ikut dalam bai’dah itu, Allah turut merestuinya.”[64]) Jadi di sini kata yadun tidak ditafsirkan secara harfi dalam arti tangan, diberi pengertian keikutsertaan Allah, yakni restu atau ridha Allah.
Tafsir Qur’an, lebih tegas memberikan penafsiran liberalnya, yakni kata yadun diberi penafsiran kekuasaan. Tangan Tuhan di atas tangan mereka, maksudnya Tuhan lebih berkuasa dari mereka atau mereka mengadakan perjanjian dengan Tuhan.”[65])
Tafsir Rahmat, memberikan penafsiran yadun pada hidayah Allah sebagaimana dijumpai dalam tafsir tersebut: Tangan Allah (hidayah Allah) di atas tangan mereka (di atas perjanjian mereka)”[66]) Dengan memberikan arti hidayah Allah dalam tanda kurung dari kata tangan Allah memberikan kesan penafsiran yang tidak harfiah.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ketiga tafsir tersebut menekankan pengertian yang tidak harfiah. Penafsiran yang bukan harfi dari ayat mutasyabihat menempatkan ketiga tafsir tersebut pada corak teologi liberal.
Sebaliknya, tafsir-tafsir sebelumnya memberikan penafsiran harfiah terhadap ayat mutasyabihat. Penggambaran sifat Tuhan yang anthropomorphis selalu diselesaikan dengan pernyataan bahwa Allah itu laitsa kamitslihi syai’in.[67])
Oleh sebab itu kalaupun Allah mempunyai tangan, maka tangan Allah itu tidak dapat digambarkan (bila kayfa), dan sebenarnya dari tangan itu diserahkan pada Allah. Penafsiran seperti ini terdapat pada teologi tradisional.

Sebagian Besar Tradisional
Dengan paparan sederhana di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya terdapat banyak persamaan dalam tafsir Qur‘an di Indonesia.
Dari sudut metode penafsiran pada umumnya tafsir Qur‘an di Indonesia adalah sama. Sebagian besar tafsir itu tidak mempergunakan sumber secara eksplisit, kendatipun terdapat dalam daftar kepustakaannya.
Tinjauan dari sudut teknik penafsiran ditemukan dua kelompok tafsir. Kelompok pertama, tafsir Qur‘an yang mempergunakan teknik sederhana. Penafsirannya disajikan pertama kali arti dari ayat-ayat al-Qur‘an, kemudian baru diberikan penafsiran globalnya. Sebagian besar tafsir Qur‘an di Indonesia mempergunakan teknik penafsiran seperti ini. Kebalikan dari itu adalah tafsir Qur‘an dengan teknik yang lebih luas. Setelah dikemukakan terjemahan ayat, kemudian diberikan penafsiran secara panjang lebar. Dalam penafsiran panjang lebar tersebut diberikan pula arti kata yang terdapat dalam ayat-ayatnya.
Bila dilihat dari sudut aliran teologinya, maka aliran teologi tradisional ditampilkan oleh sebagian besar tafsir tersebut. Penafsiran harfiah dari ayat-ayat mutasyabihat memperlihatkan kebenaran kesimpulan ini. Hanya sebagian kecil dari tafsir itu menampilkan penafsiran yang bukan harfiah, sebagaimana yang dianut oleh teologi liberal.

Catatan Kaki


[1]     Kata tafsir adalah mashdar dari bentuk kedua kata kerja fasara yakni fassara. Tafsir berarti penjelasan, uraian interpretasi atau komentar. Kata ini hanya terdapat satu kali dalam al-Qur‘an,yakni pada Q.s. al-Furqan: 33. Lihat Mohammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mujamal-Mufaras li alfazi al-Qur‘an al-Karim, Daral-Sya’ah, 1945, hal. 519).
[2]     Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan Fi ’ulum al-Our‘an, terj. Moh Chudlory dan Moh. Mastna Hs (Bandung: A1ma’a.rif, 1970), hal. 199. Bandingkan dengan definisi tafsir: Ilmu untuk mengetahui pemahaman Kitabullah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw, berupa penjelasan maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya (Imam Badr al-Dien Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi Al-Burhan ’ulum al-Our‘an, Juzu’I, Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1975], hal. 13), dan ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur‘an sepanjang kemampuan manusia (Muhammad Abdul Aziz al-Zarqany, Manahil al-’Irfan, Juzu’ I (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tanpa tahun), hal. 470.
[3]     Lihat A.H. Johns. Islam in the Malay World: An Exploratory Survey with Some Reference to Quranic Exegesis, Australian National University (naskah tidak diterbitkan); dan juga Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia pada Abad 19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
[4]     Tidak didapat keterangan apakah di setiap abad itu terdapat tafsir Qur‘an. Kendatipun terdapat informasi, Syaikh Nawawi Banten menulis tafsirnya, Tafsir Marah Labib pada abad 19, tapi tafsir ini terbit di Makkah pada permulaan tahun 1880. Agaknya penulisan tafsir yang terbanyak barulah pada abad 20. Di samping tafsir berbahasa Indonesia ada pula yang berbahasa daerah, antara lain: Tafsir Hibarna oleh KH. Iskandar Idris (1960), Qur‘an Jawen dan Qur‘an Sundawiyah (Solo: AB Siti Samsiah, tanpa tahun), dan lain-lain.
[5]     Sebenarnya sering juga dipakai untuk itu kata sumber penafsiran. Dipakai kata metode, sekaligus untuk membedakannya dengan pengertian sumber dalam arti maraji‘ atau mashadir atau reference. Uraian lebih lanjut tentang metode penafsiran ini, lihat umpamanya JMS. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (Leiden: EI. Brill, 1961); dan juga Nasikun, Sejarah dan Perkembangan Tafsir (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), cet.I.
[6]     Syaikh Musthafa al-Maraghy umpamanya menempuh teknik dengan terlebih dahulu memberikan makna mufradat, kemudian makijmaly dan terakhir memberikan tafshily. Tafsir Furqan oleh A. Hassan dan Tafsir Departemen Agama memberikan penafsiran dalam bentuk catatan kaki, dan sebagainya.
[7]     Teologi liberal adalah teologi yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, memberi interpretasi liberal terhadap teks Qur‘an dan Hadits, terdapat dalam aliran Mu’tazilah. Teologi tradisional adalah teologi yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah, memberi arti harfi terhadap teks Qur‘an dan Hadits; terdapat dalam aliran Asy’ariah. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta, UI Press, 1983), hal. 150.
[8]     Ayat-ayat dalam al-Qur‘an dikelompokkan ke dalam muhkamat: ayat yang samar atau lebih dari satu arti. Dalam teologi Islam sering dipersoalkan arti dari kata yang terdapat dalam ayat mutasyabihat, seperti al-‘arsy, al-‘ain, al-wajh,al-yad dan sebagainya.
[9]     Mahmud Yunus dilahirkan di Sungayang, Batusangkar, Sumatera Barat, pada hari Sabtu, 30 Ramadhan 1316 H., bertepatan dengan 10 Februari 1899 M. Ayahnya bernama Yunus bin Incek dan ibunya bernama Hafsah binti M. Thahir. Buyutnya dari pihak ibu adalah seorang ,ulama besar di Sungayang, bernama M. Ali Gelar Angku Kolok. Pada usia 7 tahun ia belajar di Surau kakeknya M. Thahir tentang al-Qur‘an dan bahasa Arab, Yunus pernah memasuki Sekolah Rakyat, tapi hanya sampai kelas tiga. Kemudian ia pindah ke madrasah yang diasuh oleh Syaikh H. Moh Thaib di Surau Tanjung Pauh. Berkat ketekunannya dalam waktu empat tahun, Yunus telah sanggup mengajarkan kitab-kitab Mahalli, Alfiyah, Jam‘ul Jawami. Ketika Syaikh H.M. Thaib Umar jatuh sakit dan berhenti mengajar, yang menggantikannya adalah Yunus sendiri. Pada tahun 1924, ia mendapat kesempatan belajar di Mesir (Universitas al-Azhar dan dalam waktu satu tahun telah diperoleh syahadah ‘aliyyah. kemudian berusaha masuk Darul Ulum Mesir dan tercatat sebagai mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. Pada Tahun 1930, setelah mengambil takhassus Tadris, akhirnya Yunus beroleh ijazah Tadris dari perguruan ini (Riwayat hidup Mahmud Yunus yang agak lengkap. Lihat pidato Promotor Prof H. Soepardjo pada penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa kepada. Prof H. Mahmud Yunus dalam Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober 1977 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1977).
[10]   Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an Karim (Jakarta:Pustaka Mahmudiyah, 1957). cet, VII, hal. iii.
[11]   Lihat Pidato Promotor Prof. Soenardjo, op. cit. hal. 14.
[12]   Hassan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama Ahmad atau juga dikenal bernama Sinna Vappu Marica, seorang penulis dan ahli dalam Islam serta kesusastraan Tamil. Hassan sendiri tidak pernah menyelesaikan sekolah dasarnya di Singapura. Ia masuk sekolah Melayu sampai kelas empat dan sekolah Inggris sampai kelas yang sama. Hassan sudah mulai bekerja mencari nafkah pada usia dua belas tahun Ia mengambil pelajaran secara privat dan berusaha untuk menguasai bahasa Arab dengan maksud dapat memperdalam pengetahuannya tentang Islam alas usaha sendiri. Tahun 41921 Hassan pindah ke Surabaya. Negeri di mana terdapat keluarga ibunya. Pada masa itu Surabaya telah merupakan pusat pertikaian antara Kaum Muda dan Kaum Tua. Kemudian Hassan pindah ke Bandung, tinggal di rumah Muhammad Yunus, seorang pendiri Persatuan Islam. Akhirnya Hassan sendiri menjadi tokoh penting pula dalam Persis. Lihat Deliar Noer, “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LPBES, 1980) hal.97-100, juga Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal (Surabaya: “Bina Ilmu, 1980), hal. 11-51.
[13]   Karya tulis A. Hassan sebagai yang dikumpulkan oleh Howard M. Federspiel berjumlah 4 buah, dalam bentuk artikel, buku dan teks pidato. Lihat Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (New York: Ithaca, Monograph Series Modern Indonesia Project South East Asia Program, Cornell University, 1970); dan juga G.F. Pijper, Studien Over dp Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah dan Yessi Agusdin (Iakarta: UI Press. l984), hal. 130.
[14]   A. Hassan. al-Furqan Tafsir Qur‘an (Jakarta: Tintarnas, 1962), hal. vii.
[15]   Persatuan Islam dikenal dengan Akronom Persis. Persis berdiri di Bandung pada permulaan tahun 1920. Awalnya berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok antara lain H. Zamzam dan Muhammad Yunus. Di samping kedua tokoh itu A. Hassan dan Moh. Natsir juga merupakan para pemimpin Persis yang berpengaruh pula. Lihat Deliar Noer, op. cit., hal. 96-97)
[16]   A. Hassan, loc. cit.”
[17]   G.F. Pijper, op. cit., hal. 139.
[18]   A. Hassan, loc. cit.
[19]   AI-Ustadz HA. Halim Hassan, lahir pada tanggal I5 Mei 1901 di Banjai Sumatera Utara. Pada usia 7 tahun mulai belajar ilmu agama pada beberapa ulama di Binjai, antara lain H. Abdullah Umar Kadhi dan Syaikh H. Muhammad Samah. Pada tahun 1926 pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji dan belajar di sana. Di samping belajar ilmu-ilmu agama juga belajar ilmu umum seperti jurnalistik dan politik pada Jamaludin Adinegoro di Medan serta Bahasa Inggris pada M. Ridwan, pensiunan Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Langkat. Keahlian beliau adalah dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah dan Fiqh. Akhir hayat beliau sangat tiba-tiba. Ketika beliau selesai melaksanakan shalat Jumat di Masjid Raya Binjai dan bermaksud menuju Masjid Muhammadiyah, beliau terjatuh dan kata dokter beliau mengalami pendarahan otak. Keesokan harinya tanggal 15 Nopember 1969, beliau wafat di Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai. Lihat IAIN Sumatera Utara, Sejarah Ulama-ulama terkemuka di Sumatera Utara (Medan: IAIN Sumatera Utara. tanpa tahun), hal. 38-44.
[20]   H. Zainal Arifin Abbas diduga lahir tahun (1920?). Pendidikannya pada College Madrasatul Arabiyah dan Tsanawiyah tahun 1927 sampai tahun 1935. Syaikh H. Abul Halim Hassan adalah gurunya yang paling berpengaruh padanya. Kebiasaan menulis sudah ditekuni pada usia 16 tahun. Karyanya di samping tafsir Qur’an tersebut, terdapat pula Perihidup Muhammad saw. sebanyak 6 jilid, Tasawuf Islam, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama dan berbagai buku pengetahuan agama untuk siswa sekolah lanjutan. Pada tahun 1945 menjadi Ketua Umum Persatuan Perjuangan dan tahun 1948-1949 bertugas sebagai Kepala Bagian Keagamaan Divisii X TNI Sumatera dengan pangkat Mayor. Karirnya di bidang politik dimulainya pada tahun; 1955 sebagai Ketua Umum Masyumi Sumatera Utara, dan memegang jabatan pada pemerintahan sebagai Kepala Penerangan Agama Propinsi Sumatera Utara. Pada tahun 1970 beliau diangkat sebagai Ketua Umum Parmusi Sumatera Utara dan 1973 Ketua, Koordinator PPP Sumatera Utara. Wafat pada tahun 1979 (Informasi ini diperoleh dari usulan penelitian Drs. Fathrurrazy Dalimunte tentang Pemikiran H. Zainal Arifin Abbas Bagi Pembaharuan Islam, 1971, naskah tidak diterbitkan).
[21]   Tidak diperoleh keterangan riwayat hidup Abdurrahim Haitami. Informasi yang diperoleh hanyalah tentang wafatnya pada tahun 1948, dalam pengungsian di Lansa, Aceh Timur.
[22]   Al-Ustadz HA. Halim Hassan et. al., Tafsir al-Qur‘an Karim (Medan: Firma Islamiyah, tanpa tahun), jilid I, cet. IX hal. 12.
[23]   Ibid.
[24]   Hamka di samping sebagai seorang ulama juga dikenal sebagai seorang seniman. Lahir di Sungai Batang Maninjau pada tanggal 17 Februari 1908 dengan nama Abdul Malik. Ayahnya ulama besar di Minangkabau, terkenal dengan panggilan Inyik Deer. Di akhir-akhir kehidupannya mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Pusat. Banyak karya tulis yang telah dihasilkan, disamping tafsir Al-Qur’an, Al-Azhar Beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta. Lihat Nasir Tamara er. al., Hamka Di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1383), cet. VI.
[25]   Hamka (Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah), Tafsir al-Azhar Juzu’ I (Jakarta: Pembina Masa, 1967) Cet. I hal. 41.
[26]   Ibid., hal. 43
[27]   Ibid., hal. 44
[28]   Ibid., hal. 46
[29]   Ibid., hal. 37-43
[30]   Wafat pada tangga1 29 Maret 1957. Lihat Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir Quran (Jakarta: Wijaya, 1982), cet. IX, hal. IX).
[31]   H. Agus Salim lahir di Koto Gadang, tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat. Beliau adalah putera kelima dari Sultan Muhammad Salim, Kepala Jaksa di Tanjung Pinang Riau. Pendidikan pertamanya di Exopesche Lagere School, tamat tahun 1898, dilanjutkan ke Hoegere Burger School di Batavia. Pernah menjadi Konsul Belanda di Jeddah dan pimpinan misi diplomatik RI ke negara-negara Arab. Salim wafat di Jakarta pada tanggal 4 November 1954. Lihat Drs. Akhria Nazwar, Ahmad Khatib: Ilmuan Islam di Permulaan Abad ini (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), cet. I, hal. 82-85.
[32]   Al-Rasuli lahir di desa Surungan, Sumatera Barat tahun 1971. Ayahnya bernama Angku Muhammad Rasul, seorang ulama. lbunya bernama Sitti Buliah, seorang yang taat beragama. Ia mendapat pendidikan agama tradisional. Tahun 1903 berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Tahun 1907, kembali dari Makkah lalu mendirikan pesantren di Candung Bukittinggi yang kemudian menjadi Madrasah , Tarbiyah Islamiyah. Setelah itu ia mendirikan organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah disingkat PERTI. Wafat pada 1 Agustus 1970 (Ibid, hal, 95-97).
[33]   Syaikh Ibrahim Musa lahir di Parabek tanggal 15 Agustus 1884. Ayahnya bernama Muhammad Musa dikenal sebagai ulama yang dipanggilkan dengan Syaikh. Ia beroleh pendidikan secara tradisional di beberapa tempat 1 di Minangkabau. Tahun 1902 pergi ke Makkah untuk ke dua kalinya dan kembali tahun 1915. Ia melakukan pembaharuan lembaga pendidikan di Parabek dan memberinya nama Sumatera Thawalib. Wafat pada 25 Juli 1953 di Parabek. (Ibid, hal. 79-82).
[34]   Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy; Tafsir al-Quran al-Karim al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1971), hal 1-2.
[35]   H. Oemar Bakry lahir di Desa Kacang Singkarak Sumatera Barat tanggal 26 Juni 1916. Setelah tamat sekolah desa di Singkarak, pindah ke Padang Panjang dan memasuki Thawalib dan Diniyah Putra. Dari sini melanjutkan studi pada Kulliyatul Mu’allimin Islamiyah Padang. Tahun 1954 masuk Fakultas Sastra PI Jakarta Raya dan banyak menulis buku-buku agama, hampir mencapai jumlah 21 buku (Biodata diperoleh dari Tafsir Rahmat sendiri).
[36]   Yayasan tersebut diketuai oleh Prof. RHM. Soenardjo, SH.; dengan anggota-anggota terdiri dari Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. HM. Thoha Yahya, Dr. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Ghani.
[37]   Lihat Pidato Promotor, op. cit, hal. 14
[38]   Ibid., hal. 15.
[39]   IAIN Sumatera Utara, op. cit., hal, 43.
[40]   Nasir Tamara, et, al., op. cit., hal. 30.
[41]   Dari sembilan tafsir Qur‘an yang akan dianalisa dan diperbandingkan tersebut, untuk jelasnya, akan diturunkan seluruh teks tafsir al-Fatihah dari 5 tafsir Qur‘an (Joenoes, Hassan, Zainuddin Hamidy, Deppag. Rl. dan Oemar Bakry) karena dianggap tidak terlalu panjang. Sedangkan 4 tafsir lainnya (Hamka, A. Halim Hassan dan Hasbi) tidak diturunkan teksnya kareha terlalu panjang.
[42]   Tafsir Qur‘an karangan Mahmud Yunus yang dipergunakan di sini adalah tafsir Qur‘an yang diterbitkan oleh Boekhandel Mahmudiah, Padang, tahun 1938, dengan merubah ejaannya menjadi ejaan yang disempumakan
[43]   Lihat A. Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur‘an (Jakarta: Tintamas, 1962), Eyd dari penulis.
[44]   Lihat H. Zainuddin Hamidy; dan Fachruddin Hs., Tafsir Qur’an (Jakarta: Wijaya, 1982). cet. IX.
[45]   Lihat Dewan Penerjemah al-Qur‘an Departemen Agama RI., Al-Our‘an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
[46]   Lihat H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta, Mutiara, 1984), cet. I, tentang penafsiran surat al-Fatihah.
[47]   Lihat Al-Ustadz H.A. Halim Hassan et. al., Tafsir al-Qur‘an al-Karim (Medan: Firma Islamiyah, tanpa tahun), jilid I. cet. IX.
[48]   Masing-masing An-Nur (Jakarta: Bintang, 1965); dan al-Bayan (Bandung: al-Ma’arif, 1971).
[49]   Diterbitkan oleh PT Pembimbing Masa, (Jakarta, 1967).
[50]   Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ I (Jakarta: Pembimbing Masa, 1967), cet. I, hal. 59.
[51]   Ibid., hal. 74.
[52]   Penjelasan lebih lanjut tentang arti kata Din dalam al-Qur‘an lihat: Abu A’la al-Maududy, Al-Mushthalahat al-Arba'ah fi al-Quran (Kuwait: Al-Dar al-Kuweitiyah, tanpa tahun) hal. 116-130.
[53]   Hamka, op. cit., hal. 34.
[54]   Istilah teologi liberal dan teologi tradisional belum umum dipakai di Indonesia. Yang lebih dikenal adalah aliran salaf dan aliran khalaf, masing-masing untuk tradisional dan liberal. Teologi tradisional diwakili oleh Asy’ariyah dan teologi liberal diwakili oleh Mu’tazilah. Sepanjang pengetahuan penulis istilah tersebut dipopulerkan pertama kali di Indonesia oleh Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan.
[55]   Surat al-Fath, ayat 10.
[56]   Abd al-Jabbar Ibn Ahmad, Syarh al-Usul al-Khamsah, Abd al-Karim Usman (ed) (Cairo: Maktabah Wahbah, 1965), hal. 216.
[57]   Ibid.
[58]   Ibid, hal. 47.
[59]   Mahmoed Joenoes. Tafsir Qur‘an dalam Bahasa Indonesia (Padang: Boekhan del Mahmudiah, 1938), hal. 49.
[60]   TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‘an al-Majid an-Nur, Juzu’ XXVI (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. 1, hal. 97.
[61]   Ibid, hal. 97
[62]   A. Hassan, Al-Furqan Tafsir Qur‘an (Jakarta: Tintamas, 1962). hal. 1007.
[63]   Dewan Penerjemah al-Qur‘an Departemen Agama Rl., Al-Qur‘an dan Terjemahannya. (Jakarta: Bumi Restu, 1976), hal. 389.
[64]   Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu‘ XXVI (Surabaya: H. Abdul Karim, 1982), cet. II, hal. 165.
[65]   H. Zainuddin Hamidy dan Fachfuddan Hs., Tafsir Qur’an (Jakarta: Wijaya, 1982), cet. IX hal. 754.
[66]   H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1984); cet. III, hal. 1015.
[67]   Surat al-Syura ayat 11:

2 komentar: