Oleh
Ilyas Ba-Yunus
Ilyas Ba-Yunus lahir di Pakistan tahun 1932. Ia
pernah menjadi pengajar sosiologi pada Oklahoma State University (1966-67),
mengajar geografi di Winnona State College, Minnesota, asisten profesor
sosiologi di Bradley University Peoria, Illinois, dan sejak tahun 1973 hingga
sekarang menjadi profesor sosiologi, State University of New York, New York,
'AS. Dan di samping itu ia pemimpin redaksi journal Third World Review. Banyak
menulis masalah-masalah yang terkait dengan sosiologi ,dan sosiologi lslam’:
Islamic Personality’ (1968);
Ethnic Communities in the Melthing Pot’(tt), The
West
Midland Teddies: An Empirical Test of the American Hypoteses’ (1974), dll.
Sejak tahun 60-an kritik
terhadap teori-teori sosiologi mainstream,
khususnya Fungsionalisme Struktural sudah banyak dilakukan. Ia seringkali
dipandang sebagai bagian dari ideologi Kapitalisme, dan dipandang pro status
quo. Teori Konflik (Marxian) seringkali dipandang sebagai alternatifnya, dan
secara eksplisit mengabdi pada ideologi Sosialisme. Dan Interaksionisme
Simbolik dilirik sebagai alternatif lain, yang lebih memfokuskan analisisnya
pada tingkat mikro.
Namun ketiganya dibangun atas dasar pengalaman masyarakat Barat, karena itu
seringkali tidak memadai, bahkan menyesatkan, kalau digunakan untuk menjelaskan
masyarakat non-Barat, khususnya yang menyangkut Islam dan masyarakat Muslim.
Pada umumnya mereka memperlakukan agama, termasuk Islam, sebagai Salah satu
saja dari institusi-institusi
dalam masyarakat. Padahal bagi kaum Muslim, Islam bukan sekedar satu di antara
sekian institusi, melainkan ideologi yang dipandang menentukan totalitas
kehidupan Muslim. Dalam rangka ini, menurut Prof. Ilyas Ba-Yunus, diperlukan
pendekatan sosiologi non-Barat untuk memahami dan menjelaskan masyarakat
Muslim, yang disebutnya sebagai ‘sosiologi IsIam.’
Sosiologi
sebagai disiplin yang mempelajari interaksi manusia, mencakup topik-topik yang
luas. Ia mencurahkan perhatiannya pada konflik dan konsensus, kompetisi dan
koperasi, organisasi dan disorganisasi, deviasi dan komformitas, tertib dan
perubahan, dan proses-proses lain yang termasuk ke dalam interaksi manusia. Di
satu sisi, ia memfokuskan diri pada hubungan interpersonal dalam situasi-situasi
kelompok kecil, dan di pihak lain ia mencurahkan perhatiannya pada proses yang
jauh lebih luas yang terjadi dalam atau di antara masyarakat. Politik, ekonomi,
kelahiran, kematian, keluarga, migrasi, pendidikan, hukum, keadilan, agama,
kejahatan, rekreasi -segala yang manusia lakukan dalam hubungannya dengan
manusia lain telah dipandang sebagai wilayah kepentingan analisis sosiologi.
Meskipun
demikian semangat dan cakupan sosiologi kontemporer sebagaimana dikemukakan
Marsh[1])
“telah dikembangkan dalam suatu sudut dunia yang kecil dan dengan demikian
menjadi sangat terbatas.” Ini merupakan dilema yang lebih serius dari sosiologi
modern yang tak bisa ditutup-tutupi oleh para sosiolog: bukan hanya pemikiran
Barat jauh dari dan sering bertentangan dengan persepsi lokal dalam masyarakat
non-Barat, tapi teori-teori sosiologi spesifik tidak menjelaskan banyak masalah
yang sedang dihadapi masyarakat non-Barat tersebut.
Contoh-contoh
dari kelemahan dalam sosiologi ini banyak. Teori- teori tentang kejahatan dan kenakalan (delinquency) yang didasarkan pada
pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di bagian-bagian pusat kota
seperti Chicago dan New York, tidak menjelaskan kejahatan di Uni Sovyet,[2])
di Pakistan,[3])
di Mesir,[4])
di Indonesia,[5]
dan juga di masyarakat-masyarakat lain. Sosiologi modern menjelaskan agama atas
dasar pengalaman-pengalaman dalam gereja Kristen dan dilema-dilema sektarian
dalam agama tersebut. Karena itu wajar kalau sosiologi modern tak dapat
menjelaskan pengalaman keagamaan masyarakat non-Kristen. Teori-teori perubahan
sosial yang dominan juga didasarkan pada pengalaman industrialisasi dan
modernisasi Eropa dan Amerika.[6])
Ini dan pandangan-pandangan yang serupa mendapat serangan keras karena bias
ideologis.[7])
Ada
beberapa teori lain yang berkaitan dengan banyak fenomena sosial lainnya yang
juga dapat dan telah dikritik. Apakah yang berkaitan dengan kejahatan,
perubahan sosial, kesenjangan atau agama, teori-teori sosiologi yang ada
nampaknya tidak memadai untuk menjelaskan masyarakat-masyarakat non-Barat. Ini
menunjukkan karakter sosiologi kontemporer yang terikat secara budaya; dan
kalau kita melihat lebih dekat kita akan menemukan perbedaan-perbedaan yang
mencolok dalam pendekatan pendekatan di kalangan sosiolog-sosiolog Barat sesuai
dengan negeri mereka masing-masing. Ada upaya-upaya untuk mengaitkan
perkembangan sosiologi dengan kecenderungan ekonomi, budaya, dan ideologi di
Amerika,[8])
Jerman,[9]) Perancis,[10])
Inggris,[11])
Italia,[12])
dan negara-negara Barat lainnya. Kalaupun perbedaan sosiologi antara satu
negara dan negara lain di Barat ini hilang karena interaksi yang lebih dekat di
antara para sosiolog yang berbeda-beda itu, kita tetap melihat fakta yang
janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologi Barat didasarkan pada
asumsi-asumsi dan temuan-temuan penelitian yang asing bagi realitas sosial di
masyarakat-masyarakat non-Barat.
Dan
ketika orang merubah fokusnya dari masyarakat-masyarakat non-Barat secara umum
ke masyarakat-masyarakat Muslim atau wilayah kebudayaan Islam khususnya, ia
menemukan bahwa studi Islam yang sistematis merupakan bidamg yang betul-betul
terabaikan dalam sosiologi, Dalam hal ini Turner menulis:
“Suatu telaah atas buku teks sosiologi agama yang
diterbitkan dalam lima puluh tahun terakhir akan menunjukkan suatu fakta yang
mengenaskan dan memprihatinkan bahwa para sosiolog tidak tertarik dengan Islam
atau tak ada sumbangan yang diberikan bagi studi kesarjanaan Islam Tidak ada tradisi yang kuat dalam bidang
sosiologi Islam, penelitian dan publikasipublikasi modern tentang
masalah-masalah keislaman masih sangat sedikit. Kebanyakan sosiolog akademis
yang bertanggungjawab bagi pengajaran dalam kuliah sosiologi agama secara
disadari ataupun tidak akan memberikan kuliah yang jauh dari analisis tentang
Islam hanya karena tidak ada bahan dasar untuk disampaikan Karena itu melakukan studi tentang Islam
merupakan kebutuhan yang akan memunculkan masalah-masalah penting dalam sejarah
Islam dan struktur sosial dalam kerangka sosiologi yang luas yang relevan
dengan masalah-masalah teoritis kontemporer.[13])
Kalaupun
ada sosiolog Barat yang menyisihkan sedikit waktunya untuk Studi Islam, mereka
mendekati Islam secara tidak konsisten. Dalam hal ini Turner melihatnya dalam
sosiologi Weber:
“Pentingnya Max Weber bagi sosiologi modern tidak hanya
terletak pada sumbangan yang diberikannya lewat Studi tentang India, Cina dan
Eropa Studi-studi ini penting, tapi Weber juga memberi banyak sekali sumbangan
bagi sosiologi kontemporer dengan menggariskan suatu filsafat khusus untuk ilmu
sosial dan suatu metodologi terkait yang berusaha meng
hadirkan
konstitusi aktor atas realitas sosial dengan penafsiran subjektif… tapi dalam
observasinya tentang Islam dan Muhammad, Weber adalah sosiolog pertama yang
justru mengabaikan landasan filsafat yang digariskannya tersebul. Akibatnya
sikap saya terhadap Weberbenar-benar mendua. Di satu sisi, Weber betul-betul
menyediakan kerangka yang merangsang pemikiran yang dapat membantu orang memunculkan
masalah-masalah teoritis yang penting dalam hubungannya dengan perkembangan Islam. Tapi si sisi lain, Weber tidak
konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip yang ia nyatakan penting bagi suatu
pendekatan sosiologis yang memadai.”[14])
Pengamatan
Turner di atas menunjukkan bahwa sosiologi modern tidak memadai untuk
menganalisis masyarakat non-Barat pada umumnya. Tapi dalam kasus Islam,
sosiologi Barat bukan hanya tidak memadai. tapi bisa menyesatkan. Maka untuk
memahami secara tepat ideologi Islam dan masyarakat Muslim. kita membutuhkan
sosiologi Islam. Tanpa ini, pandangan sosiologis tentang Islam akan terus
menyimpang. Tujuan tulisan ini adalah menyajikan suatu kerangka yang
merefleksikan orientasi Islam sebagai orientasi yang bertentangan dengan
orientasi Barat –apakah yang Marxian ataupun kapitalistik. Untuk itu,
pertama-tama akan ditelaah secara singkat beberapa kecenderungan yang lebih
dominan dalam sosiologi kontemporer. Kemudian akan dikemukakan aspek-aspek yang
lebih penting dari ideologi Islam untuk menunjukkan bagaimana sosiologi Islam
berbeda dari sosiologi Barat. Dan akhirnya akan dikemukakan suatu model
analisis dari sosiologi Islam.
Kecenderungan-Kecenderungan dalam Sosiologi Kontemporer
Walaupun
Ibn Khaldun memperkenalkan ilmu tentang masyarakat (‘ilm al ‘Imran) sekitar tahun 1377, tapi orang biasa melihat
akar-akar sosiologi modern dalam karya-karya seorang filsuf Perancis, Auguste
Comte (1798-1857), yang lahir hampir 450 tahun setelah Ibn Khaldun. Menolak Ibn
Khaldun ataupun tidak sebagian sosiolog Barat modern mencerminkan suatu bias
etnosentris, ini jelas mendukung pandangan kita bahwa sosiolog modern tidak
banyak mengetahui tentang Islam dan Dunia Muslim.[15])
Walaupun
Comte hampir tidak banyak dijadikan sumber referensi oleh para sosiolog modern,
tapi penekanannya pada metodologi positivistik dalam studi fenomena manusia,
yang berbeda dengan pendekatan filsafat sosial dan politik yang spekulatif yang
banyak digunakan sebelumnya, masih menentukan kepercayaan dasar dalam kredo
sosiologi modern. Seperti counterpart
mereka dalam ilmu-ilmu fisik dan ilmu-ilmu alam, para sosiolog modern harus
melakukan studi atas objek-objek mereka -masyarakat, kelompok, atau individu
dengan rasa empati yang terpisah atau berjarak dari objek-objek tersebut. Sadar
bahwa objek studi mereka adalah manusia, para sosiolog mengingatkan diri mereka
sendiri akan etnosentrisme atau tercemarnya pandangan-pandangan mereka oleh
nilai-nilai personal dan kelompok mereka. Sosiologi merupakan ilmu (science), para sosiolog diharapkan
mendasarkan pandangan-pandangan mereka atas temuan-temuan empirik sendiri. Apa
yang tidak empiris dianggap spekulatif, dengan demikian, belum tentu valid.
Lepas dari tuntutan tersebut, yang merupakan bagian esensial setiap buku teks
pengantar dalam sosiologi sekarang, kebanyakan pandangan-pandangan sosiologis
mencerminkan bias nilai pengarangnya dan kebanyakan sosiologi pada analisis
akhirnya spekulatif. Barangkali cukup dimungkinkan untuk melakukan kontrol atas
bias-bias para pengarang tersebut, tapi derajat kontrol selalu bervariasi dari
seorang sosiolog ke sosiolog lainnya. Walaupun para sosiolog telah mengemukakan
sejumlah pandangan tentang masyarakat, di bawah ini saya akan membatasi pada
tiga pendekatan utama yang banyak diperbincangkan di kalangan sosiolog
sekarang: Fungsionalisme Struktural, Pendekatan Marxian atau Konflik, dan
Interaksionisme Simbolik.
Fungsionalisme Struktural
Pendekatan
Fungsionalisme Struktural yang menonjol selama tahun 30-an akhir, memandang
masyarakat secara makroskopis[16]) Ia
pertama-tama diperkenalkan oleh Talcott Parsons di Harvard (1937) dan
dipromosikan oleh seluruh generasi muridnya dan satu generasi sesudahnya,
terutama di Amerika. Ternyata argumen dasar dari pendekatan ini dipinjam dari
biologi.
Ada
dua asumsi dasar yang melandasi Fungsionalisme Struktural ini. Asumsi pertama
adalah bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari
sub-struktur-sub-struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang lainnya sedemikian
sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis mempengaruhi bagian-bagian
lainnya. Upaya analisis sosiologis, dengan demikian, adalah menemukan apa
mempengaruhi apa. Asumsi kedua adalah bahwa setiap struktur atau aktivitas yang
mapan (estabilished), bagaimanapun
menyakitkannya menurut pandangan orang luar, punya fungsi untuk mempertahankan
aktivitas-aktivitas atau struktur-struktur lain dalam suatu sistem sosial.
Contoh-contoh dari struktur-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga,
ekonomi, politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum, dan banyak lagi. Setiap
struktur dipertahankan oleh peran-peran yang dimainkan orang dalam status
individualnya dalam struktur-struktur ini. Peran-peran ini tak bisa dipenuhi
kecuali dengan mengikuti aturan-aturan yang dikembangkan sebagai hasil dari
suatu konsensus umum dalam masyarakat. Itulah sebabnya pendekatan ini juga
dikenal sebagai model consensus
dimana orang-orang dilihat bekerjasama, saling sepakat, bersama-sama dalam membuat
aturan-aturan sehingga masyarakat memandang struktur sebagai suatu sistem yang
dapat diterima.
Pendekatan
ini telah banyak mendapat kritik karena mengabaikan peran konflik, revolusi,
dan pembangkangan yang tak bisa diabaikan dalam analisis masyarakat. Lebih dari
itu, pendekatan ini juga banyak dikritik karena membela status quo (apa yang ada adalah baik), yakni struktur demokrasi
kapitalis Barat pada umumnya dan Amerika pada khususnya. Ternyata pendekatan
ini menyamakan modernisasi dengan westernisasi, yakni institusi-institusi
industri tak bisa berkembang dan bertahan tanpa institusi-institusi lain yang
menandai masyarakat Barat, misalnya materialisme, sekularisme, demokrasi, dan
kesetiaan pada kerja.
Di
sini saya tidak akan mengkritik Parsons dan murid-muridnya karena
mempertahankan masyarakat kapitalistik modern sebagai model bagi pendekatan
mereka dalam sosiologi. Tapi saya akan mempermasalahkan penerapan secara tidak
kritis model ini atas masyarakat-masyarakat non-Barat umumnya dan masyarakat
Muslim khususnya, masyarakat yang sudah memiliki sejarah pemberontakan, coup militer, kolonialisme dan
pengaruh-pengaruh dari luar lainnya akibat dari perdagangan, pendidikan, dan
lain-lain.
Pendekatan Konflik (Marxian)
Pendekatan
Marxian atau Konflik memberikan alternatif terpenting bagi Fungsionalisme
Struktural dalam sosiologi makro sekarang. Karl Marx (1818-1883) paling dikenal
sebagai pencetus gerakan sosialis internasional. Sementara sebagian besar dari
karya-karyanya diabdikan bagi propaganda gerakannya, banyak doktrin-doktrinnya
diakui, dalam pengertian modern, sebagai bersifat sosiologis[17])
Kalau dalam tulisan-tulisan fungsionalis-struktural bias ideologisnya implisit,
dalam karya-karya pengikut doktrin sosiologi Marxian landasan sosiologi dan
ideologi digunakan secara eksplisit.
Sosiologi
Marx didasarkan pada dua asumsi dasar. Aktivitas ekonomi dipandang sebagai
penentu utama dari seluruh aktivitas sosial; dan ia memandang masyarakat
manusia sebagai kenyataan konfliktual sepanjang sejarah. Kegiatan ekonomi dalam
masyarakat menentukan seluruh struktur lainnya dalam masyarakat, seperti
organisasi politik, keluarga, agama, hukum, seni, sastra, ilmu, dan moralitas.
Ia melihat cara produksi ekonomi lewat sejarah manusia yang dari situ ditemukan
bahwa hampir seluruh sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir orang dalam
masyarakat sementara sisanya dipaksa bekerja untuk dan tetap bergantung pada
belas kasihan kelompok kecil tersebut, Karena itu Marx melihat masyarakat
terbagi ke dalam dua kelas, yakni pemilik sumber-sumber ekonomi, yang memeras,
dan sisanya adalah pekerja yang diperas. Pemerasan yang terus-menerus ini,
menurut Marx dapat menyebabkan revolusi. Tapi menurut Marx, tidak adanya modus ekonomi
lain membuat pemimpin revolusi mengikuti sistem pemerasan yang sama dengan
mengontrol sendiri hampir seluruh sumber-sumber ekonomi dan juga memaksa massa
tetap dengan status sebagai pekerja. Proses ini, menurut Marx, diintensifkan
lebih jauh dalam kemunculan industrialisasi di Eropa.
Dengan
mendasarkan pandangannya tentang masyarakat manusia pada proses sejarah, Marx
mengemukakan sosialisme -suatu ideologi untuk menanggulangi persoalan-persoalan
manusia yang menekankan pemilikan bersama seluruh sumber daya ekonomi lewat perwakilan
yang sah dalam pemerintahan. Pandangan ini didasarkan pada pandangannya bahwa
pemilikan sumber ekonomi secara pribadi merupakan sumber dari pertentangan dan
kesenjangan dalam masyarakat. Untuk itu pemilikan indivi dual harus dihapuskan. Karena secara ideal
tidak ada lagi pemilikan individu, maka menurut Marx tidak akan ada lagi
konflik, pemerasan dan perselisihan. Seperti disebutkan di atas, pengikut Marx
tetap secara langsung ataupun tidak, terikat dengan filsafat dan juga
ideologinya. Di satu sisi, masyarakat manusia dilihat sebagai kehidupan yang
penuh dengan konflik dari pada konsensus atau kerjasama. Hukum dilihat sebagai
buatan pemeras. Agama dilihat sebagai akibat dari eksploitasi juga sebagai
hasil dari legislasi eksploitatif. Pendeknya, eksploitasi dan konflik dilihat
sebagai proses dasar dari masyarakat manusia. Model masyarakat manusia versi
Marx, dengan demikian, dikenal sebagai model konflik. Di sisi lain, pengikut
modelnya nampak tidak menyembunyikan keyakinan mereka bahwa sosialisme
merupakan satu-satunya obat untuk menyembuhkan penyakit eksploitasi dan konflik
yang terus-menerus dalam masyarakat. Sampai sekarang, para sosiolog di
negara-negara sosialislah yang paling banyak mengikuti model ini dan sedikit sosiolog
di negara-negara Eropa Barat. Tapi sentimen-sentimen anti-Marxian di Amerika
sekarang menurun dan bahkan cukup banyak sosiolog Amerika mulai mengadopsi
model masyarakat dan ideologi Marxian.
Orang
tidak mesti harus menjadi pengikut Marx untuk melihat adanya eksploitasi
ekonomi dalam dan antara masyarakat. Lebih dari itu, tidak semua aktivitas
manusia ditentukan oleh cara produksi (mode
of production) seperti yang diduga Marx. Dan juga nampaknya tidak benar
kalau institusi-institusi masyarakat muncul dan dipertahankan sebagai hasil
dari konflik antar kelompok. Masyarakat manusia ternyata jauh lebih kompleks
dalam struktur kelas dan kastanya dibanding struktur bimodal seperti yang
dilihat Marx.
Sering
diklaim bahwa teori konflik lebih cocok untuk menjelaskan perubahan-perubahan
dalam masyarakat dan teori fungsionalisme struktural lebih bisa menjelaskan
hal-hal yang tetap, yang bermacam-macam dalam masyarakat. Dalam beberapa hal
mungkin merupakan suatu generalisasi yang aman mengatakan bahwa teoritisi-teoritisi
teori konflik banyak memberikan tekanan pada pertentangan dan perubahan sosial
karena pada dasarnya mungkin lebih menginginkan perubahan sosial yang radikal,
sementara itu kaum fungsionalis lebih banyak memberikan tekanan pada stabilitas
karena pada dasarnya mungkin kurang menginginkan perubahan radikal, melainkan
reformasi. Maka tujuan ideologis dari teori-teori mereka mencerminkan suatu
keinginan di satu sisi untuk mengetahui bagaimana merombak masyarakat dan di
sisi lain untuk mengetahui bagaimana menjaga masyarakat agar tetap stabil. Tapi
lebih masuk akal kalau mengasumsikan bahwa masyarakat mengalami baik konsensus
maupun konflik secara internal dan internasional; bahwa masyarakat dapat
berubah karena pergolakkan internal juga karena tekanan-tekanan dari luar, tapi
bisa juga karena perubahan-perubahan moral, kebiasaan, gaya dan teknologi
secara bertahap lewat konsensus dan kerjasama.
Interaksionisme Simbolik
Dua
perspektif makro ini masih belum dapat menjelaskan hakikat interaksi antara
atau di kalangan masyarakat dalam situasi-situasi yang terbatas. Mereka
mengabaikan rasionalitas manusia dan kebebasan untuk memilih seolah-olah
manusia adalah bola billiar yang disodok ke sana ke mari oleh kekuatan-kekuatan
di luar dirinya. Sosiologi mungkin tidak utuh tanpa pendekatan yang
memperhatikan secara dekat interaksi manusia, yang merupakan dasar masyarakat
manusia. Tak dapat disangkal bahwa sering secara disadari ataupun tidak manusia
memunculkan proses-proses yang lebih luas yang memaksa mereka bertindak dalam
arahan-arahan tertentu.
Tapi bagaimana sosiologi mengabaikan adanya individu-individu sosial yang
mempersepsi proses-proses ini, memberinya makna, menyesuaikan diri atau
menolaknya?
Interaksionisme
Simbolik adalah perspektif mikro dalam sosiologi yang mencurahkan perhatiannya
pada masalah-masalah tersebut. Ia mungkin cukup spekulatif, tapi paling sedikit
terkena bias ideologis; walaupun pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi sosial di mana ia tumbuh.
Interaksionisme
Simbolik, yang sering lebih dikenal sebagai pendekatan
interaksionis, seperti terlihat dari namanya, memulai analisisnya dari
interaksi sosial pada tingkat yang paling kecil. Dari perspektif-mikro ini,
tidak seperti cabang-cabang psikologi lainnya, ia berharap memperluas wilayah
analisisnya agar dapat menangkap seluruh masyarakat sebagai proses interaksi
ganda. Manusia dilihat sebagai situasi-situasi yang belajar yang mungkin
kompromi atau menyimpang, situasi-situasi dari transaksi-transaksi ekonomi dan
politik, situasi-situasi di dalam atau di luar keluarga, situasi-situasi
bermain atau pendidikan, situasi-situasi organisasi formal atau informal, dan
lain-lain. Atas dasar proses belajar ini individu-individu dilihat
mendefinisikan atau menafsirkan lebih jauh situasi-situasi di mana ia berada
-secara langsung atau tidak langsung, secara psikis atau psikologis. Atas dasar
interpretasi-interpretasi ini manusia dipandang mengembangkan peni1aian-penilaian
dan membuat keputusan-keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak.
Penilaian-penilaian ini, yang bisa sering salah dan bahkan tidak dapat diterima
oleh yang lain, diambil sebagai dasar analisis pendekatan ini. Tapi pendekatan
ini tidak menentukan sebab dari penilaian-penilaian ini. Dan kalau sebab itu
diterima, maka aktor sendiri yang merupakan sebab. Setiap aktor diasumsikan
sebagai pembangun dan penyebab tindakannya sendiri. Bahkan ketika seseorang
dilihat tidak mampu menghadapi lingkungannya, fenomena ini harus dijelaskan
hanya dari perspektif aktorsendiri.
Akar-akar
pendekatan interaksionis dapat ditelusuri jauh sampai ke epistemologi idealis
Kant. Tapi dalam bidang sosiologi, ia dikembangkan oleh John Horton Cooley dari
universitas Michigan, Robert Park, William I. Thomas, dan yang lebih penting
lagi George Herbert Mead, yang semuanya dari universitas Chicago. Mead mengajar
di universitas ini dari tahun 1897 sampai 1933. Walaupun terlihat tanpa bias,
teori ini benar-benar spekulatif pada mulanya. Walaupun Thomas dan yang lainnya
menekankan penelitian empiris dan menghasilkan karya-karya monumental, ide-ide
utama dari pendekatan ini berputar-putar di sekitar hipotesis-hipotesis Mead
yang sepanjang hidupnya tetap belum bisa dibuktikan kebenarannya. Contoh-contoh
yang dikemukakannya tetap sebagian besar lebih bersifat hipotesis ketimbang
temuan-temuan dari penelitian. Ia mengajar lebih dari 30 tahun; tapi ia tidak
pernah menulis buku. Pernyataan formal pendekatannya pertama kali muncul ketika
murid-muridnya membandingkan catatan-catatan kuliah mereka dan
mempublikasikannya dalam sebuah buku Mind,
Self and Society, dengan menggunakan namanya, satu tahun setelah ia
meninggal.[18])
Walaupun di Amerika pengaruh pendekatan interaksionis tetap relatif lemah,
karena dominannya Fungsionalisme Struktural pada waktu itu, tapi beberapa
penganutnya yang setia terus menyempurnakan teori-teorinya dan mengembangkan
sendiri strategi-strategi penelitiannya. Karena kekecewaan umum dengan
pendekatan Fungsionalisme Struktural, pendekatan interaksionis sekarang menjadi
lebih menonjol di Amerika. Pendekatan interaksionis dipandang non-ilmiah (bukan
tidak ilmiah) karena mengasumsikan tak- terprediksinya tindakan manusia. Ia mencoba
menjelaskan tindakan sosial dari perspektif aktor sendiri. Ia mencoba memahami
masyarakat manusia yang didasarkan pada bagaimana individu-indiviu melihat dirinya
dan bagaimana mereka membuat keputusan. Pendekatan mikro ini mengklaim punya
kemampuan memperbesar fokusnya dari proses-proses yang menyangkut manusia yang
kurang kompleks sampai yang lebih kompleks.
Ideologi Islam
Itulah
gambaran tiga pendekatan yang dominan dalam sosiologi kontemporer. Berikut akan
dikemukakan suatu pandangan Islam atas perspektif-perspektif ketiga pendekatan tersebut.
Seperti
dalam pendekatan konflik, Islam memberikan gambaran dialektis tentang
masyarakat melalui evolusi sejarah. Dari pandangan ini, sejarah manusia
digambarkan sebagai konflik antara yang membawa petunjuk Ilahi (para nabi)
untuk menegakkan masyarakat yang adil dan penentangnya. Para nabi mampu
membangun suatu orde yang adil, tapi pengikutnya melupakan dan bahkan mencemari
pesan yang benar tersebut. Maka nabi-nabi yang lain setelah itu diperlukan untuk
mencoba membangun suatu orde baru yang sejalan dengan evolusi budaya masyarakat
manusia dalam Suatu periode tertentu. Akhirnya, dalam suatu titik waktu tertentu
dalam perkembangan budaya manusia datang rumusan kehidupan masyarakat yang
paling terakhir dan paling menyeluruh melalui nabi Muhammad -Islam. Maka,
seperti pandangan Marxian, Islam terikat secara ideologis dalam memandang masyarakat
manusia.
Pandangan
sistemik atas masyarakat manusia yang menandai Fungsionalisme Struktural
tidaklah baru bagi seorang Muslim ideologis. Baginya, bukan hanya masyarakat
manusia, tapi seluruh alam raya adalah sistem. Baginya, Islam datang untuk
membangun suatu sistem yang ter integrasi dengan baik yang berfungsi di bawah
peraturan-peraturan yang diberikan Tuhan. Setiap masyarakat yang menyimpang
dari cita-cita ini adalah masyarakat yang berada dalam konflik yang melahirkan
disintegrasi. Dan jika kita melihat lebih dekat, penekanan yang
indeterministik, yang telah menjadi trademark
pendekatan interaksionis dalam sosiologi, tidaklah asing dalam Islam, bahkan
merupakan dasar hukum dan hukuman dalam Islam. Menolak keyakinan yang
menyatakan bahwa manusia membawa beban ‘dosa asal’, Islam menggambarkan Adam
dan Hawa dan keturunannya mampu menyesuaikan dengan dan juga menyimpang dari
hukum Ilahi karena daya yang dimilikinya untuk mengambil keputusan.
Datang
dari Tuhan, Islam adalah hukum alamiah bagi interaksi manusia. Tidak ada cara
lain bagi interaksi manusia yang adil. Tuhan menciptakan alam raya dan
memberikan hukum-hukum struktur dan perubahan di dalamnya. Karena semua objek
di alam, baik yang psikis atau pun biologis, berfungsi sesuai dengan hukum
Ilahiah, mereka berfungsi secara harmonis. Ahli fisika, kimia, dan biologi
berusaha menemukan hukum-hukum ini. Tuhan juga menciptakan manusia dan
memberinya daya untuk memutuskan dan pemikiran rasional. Karena manusia dapat
salah dalam mengambil keputusan karena tidak mengetahui. maka Ia juga memberi
manusia hukum interaksi yang menciptakan harmoni dan kedamaian dan
menyingkirkan konflik dan eksploitasi. Tanpa hukumnya, alam raya akan ambruk (collapse). Dengan tidak mengikuti
hukum-Nya, manusia akan menghadapi kehancuran bersama. Karena itu, Islam bukan
sekedar formula untuk ritus. Ia merupakan proses kepatuhan pada peraturan Tuhan
dalam hubungan manusia dalam segala aspeknya -ekonomi, politik, keluarga,
hukum, hukuman, perang, rekreasi, inovasi, pendidikan, dan sosialisasi.
Tekanannya adalah pada takwa. Penyimpangan yang tidak disengaja dari
aturan-aturan ini dapat diampuni. Setiap penyimpangan yang disengaja dari peraturan
ini bukan saja dapat dihukum oleh masyarakat dan di Hari Akhir nanti, tapi juga
menanamkan benih kehancuran diri di dunia ini. Akhirnya, karena Islam adalah
hukum interaksi alamiah, maka
kalaupun seorang Muslim
tidak mengikutinya, ia berjalan terus.[19])
Tapi,
apa yang merupakan ‘ideologi Islam’? Sekarang intelektual modern melihat dunia
terbagi ke dalam dua ideologi – kapitalisme dan sosialisme. Tapi terlalu
simplistik mereduksi dunia ke dalam hanya dua ideologi. Jauh lebih logis
melihat dunia sesuai dengan kontinum antara kapitalisme dan sosialisme. Di
antara kontinum tersebut, mungkin ada corak-corak yang berbeda-beda dalam
sosialisme dan kapitalisme. Islam berada di tengah kontinum ini sehingga dari
ujung kapitalis ia mungkin terlihat seperti sosialisme dan dari ujung sosialis
ia mungkin terlihat seperti kapitalisme. Tapi sebenarnya tidak demikian. Islam
diturunkan bagi manusia jauh sebelum kapitalisme atau sosialisme muncul sebagai
ideologi yang diakui. Ia menghindari ekstrem kapitalisme dan sosialisme. Di
atas semua itu, ia bukan ideologi ciptaan manusia. Ia datang langsung dari
kehendak Ilahi. Dengan demikian ia logis kalau berbeda dengan setiap ideologi
yang diciptakan manusia. Walaupun untuk perbandingan orang dapat menggunakan
skala atau kontinum di atas.
Dalam
bentuk potensialnya, demokrasi adalah satu-satunya struktur yang mendekati
Islam. Tuhan adalah kepala negara. Karena itu merupakan tanggung jawab
orang-orang yang beriman memilih pembuat keputusan dari kalangan mereka sendiri
dan mematuhi wewenangnya sejauh ia patuh pada kekuasaan Tuhan seperti yang
diberikan Rasullullah. Ini menggambarkan proses syuro’ yang juga berlaku bagi
semua masalah di mana ada perselisihan dan ketidaksepakatan. Tapi syuro’ jangan
dikacaukan dengan demokrasi modern di mana orang mengejar jabatan terutama
untuk meningkatkan kekuasaannya sendiri. Syuro’ pada prinsipnya menolak
wewenang atau kekuasaan orang yang mengejar kekuasaan. Syuro’ pada dasarnya melayani
Tuhan, sangat mirip dengan pemilihan Paus. Tapi berbeda dengan Paus, Ameer yang
terpilih dari negara Islam mempunyai kuasa atas semua masalah yang ada dalam masyarakat.
Kekuasaannya tidak terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi
semata. Secara kasar diartikan sebagai ‘konsultasi,’ syuro’ juga merupakan dasar
legislasi dan perubahan dalam masyarakat, sedemikian hingga Ameer sendiri tidak
bisa berada di atas jangkauan syuro’. Konsekuensi langsung dari prinsip ini
adalah institusi keadilan, Hakim atau qadi harus berfungsi langsung sesuai dengan
aturan-aturan dari Tuhan dan Rasul dan legislasi yang diembannya melalui proses
syuro’. Hakim atau qadi, dengan demikian, otonom, dan semua pembuat keputusan
dan elite harus patuh pada keputusan-keputusan pengadilannya.
Dalam
struktur ekonomi, Islam membolehkan perdagangan bebas dan pemilikan pribadi.
Tapi ia melarang riba yang merupakan
akar praktek perbankan modern. Islam melarang gambling dan menghidupkan zakat, yang harus diberikan pada yang
membutuhkannya, bukan tindakan karitas. Lebih jauh Islam telah melembagakan
hukum Wakaf yang mengalihkan porsi kekayaan bagi orang miskin dan yang
membutuhkannya. Ini merupakan tuntutan minimum sistem ekonomi Islam.
Selebihnya, ada peringatan keras terhadap mereka yang menumpuk kekayaan, yang
mengambil keuntungan yang tidak semestinya dan mereka yang lebih menyintai kekayaan
ketimbang kerja yang adil menurut Islam. Maka di satu sisi, Islam melarang
akumulasi sumber-sumber ekonomi yang tidak pada tempatnya, dan di pihak lain ia
membolehkan ekonomi pasar bebas.
Di
samping aturan-aturan pada proses tingkat makro dalam masyarakat, Islam
memberikan aturan-aturan bagi prilaku pribadi dan antar pribadi seperti
perkawinan, perceraian, sopan-santun berbicara dan gambaran umum yang
menyangkut hubungan dengan orang lain, yang semuanya berada pada tingkat mikro.
Tapi ideologi yang menyeluruh ini harus dipelihara atau dipertahankan dengan
komitmen pribadi pada Tuhan. Dan komitmen ini dibuat dan diperkokoh dengan
melaksanakan sembahyang lima kali sehari dan puasa pada bulan Ramadan, bukan
kegiatan yang dilakukan dalam kesunyian tapi secara terbuka sehingga lingkungan
kesalehan dalam masyarakat Mukmin dapat berkembang.
Keterbatasan
halaman tidak memungkinkan saya bicara lebih jauh mengenai hal-hal esensial
dari ideologi Islam. Di sini hanya dapat dikatakan bahwa ideologi Islam
memfokuskan pada proses mikro dan makro dan masyarakat manusia sehingga ibadah
pribadi pada Tuhan tidak berhenti sampai di situ. Tujuan akhir dari ibadah
pribadi itu adalah pembentukan negara Islam, yang lain-lainnya diarahkan ke
situ.
Pendekatan Sosiologi Islam
Dengan
pertimbangan-pertimbangan di atas, kita dapat bertanya: bagaimana seorang
sosiolog Muslim harus melangkah? Tuhan telah mengkaruniai manusia dengan daya
untuk belajar dan memilih. Ia juga telah memberi manusia sistem interaksi yang
ideal. Maka, dari pandangan Islam tak ada yang salah mengasumsikan konflik dan
konsensus dalam masalah-masalah manusia. Tapi masyarakat manusia tak bisa
dipandang dalam rangka konflik dan konsensus semata. Kondisi-kondisi konflik
dan konsensus dapat diasumsikan ada pada derajat hubungan apakah masyarakat
menjauh dari atau mendekati cita-cita Islam.
Sedikitnya
ada dua poin yang membedakan pendekatan sosiologi Islam dari sosiologi
kontemporer. Yang pertama menyangkut perlakuan umum atas agama oleh para
sosiolog. Teori Fungsionalisme Struktural dan teori Konflik secara lebih
eksplisit dan Interaksionisme Simbolik secara implisit atau mungkin secara
samar, mengasumsikan agama sebagai salah satu dari hal-hal yang terjadi dalam
masyarakat. Mengikuti pengalaman mereka terutama dalam masyarakat Kristen, para
penganut Fungsionalisme Struktural memperlakukan agama hanya sebagai salah satu
dari institusi-institusi dalam masyarakat. Durkheim, salah seorang pencetus
utama dari fungsionalisme, mereduksi agama hampir hanya pada kutub totem -suatu
benda budaya- yang pernah diciptakan oleh masyarakat, tapi dianggap menyediakan
kesatuan komunal. Asumsi umum dari para sosiolog Barat ini sesuai dengan
filsafat kapitalis modern, yakni agama dan negara dipandang sebagai dua hal
yang terpisah yang menjalin hubungan simbiotis.
Di
pihak lain, teori Konflik, berbeda dengan pendekatan Fungsionalis Struktural,
melihat agama sebagai sesuatu yang buruk, “candu masyarakat” menurut Marx.
Kalau tidak demikian, seperti pendekatan Fungsionalis Struktural, penganut
teori Konflik melihat agama sebagai salah satu dari institusi-institusi dalam
masyarakat -suatu benda sosial, lepas dari asalnya, yang digunakan sebagai alat
oleh para pemeras untuk membenarkan genggamannya atas yang miskin dan lemah.
Bertentangan dengan apa yang diyakini oleh banyak orang, teori Konflik
menyatakan bahwa agama bertanggungjawab atas pemerasan, mendukung penindas, dan
menimbulkan kejahatan dalam masyarakat.
Interaksionisme
Simbolik, di pihak lain, karena fokusnya yang mikro tidak secara langsung
berurusan dengan masalah-masalah yang lebih luas dalam masyarakat, dan dengan
demikian tidak punya pandangan dalam hal ini. Penganut pendekatan ini cenderung
memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah seperti religiositas individual,
proses konversi agama dan persepsi-persepsi orang terhadap agama masing-masing.
Tapi karena kebanyakan para interaksionis adalah orang Amerika, studi-studi
mereka tentang agama tidak banyak berbeda dalam beberapa hal dari bagaimana
agama diperlakukan di Amerika -sebagai salah satu bentuk saja dari sekian
banyak bentuk interaksi sosial. Ini cukup jelas dalam hal-hal yang menyangkut
situasi-situasi konflik dalam masyarakat sekuler. Dalam hal ini Burchard[20])
misalnya, menunjuk dilema pendeta militer yang ajaran agamanya menuntut
ditegakkannya cinta kasih tapi harus mengampuni pembunuhan serdadu-serdadu
musuh. Demikian juga Komorovsky[21])
menunjukkan dilema gadis-gadis Katolik di perguruan tinggi ketika mereka
menghadapi lingkungan yang agak permisif. Walaupun kaum interaksionis tidak
mengklaim generalisasi dari temuan-temuan mereka, mereka harus melakukannya
karena tidak ada alternatif lain.
Pendekatan
Islam tentu harus berbeda dari sosiologi Barat dalam memperlakukan agama. Bagi
kaum Muslim, Islam diperuntukkan bagi kebaikan umat manusia. Seperti telah
dikemukakan di atas, Islam dipandang sebagai kekuatan dasar dan mencakup
seluruh masyarakat dan pembentuk institusi. Masyarakat-masyarakat Muslim,
bahkan mereka yang mengikrarkan pemisahan antara agama dan negara, mengalami
agama, bagaimanapun tidak lengkapnya, dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat –secara
nasional ataupun internasional. Karena itu kalau mengikuti model Barat,
sosiolog Muslim tak akan mampu menganalisis Islam sebagai ideologi dan juga
akan menghadapi kesulitan-kesulitan besar dalam menganalisis masyarakat-masyarakat
Muslim.
Mengikuti
asumsi-asumsi ideologis Islam, sosiolog mungkin berkepentingan untuk mengetahui
derajat divergensi antara yang aktual dan yang ideal. Kalau ini harus menjadi
kepentingan utama seorang sosiolog Muslim, mestinya demikian, ia harus
mengembangkan suatu model Islam, suatu ‘tipe ideal’, yang atas dasar itu semua
masyarakat Muslim termasuk minoritas Muslim dapat dinilai seberapa jauh ia
sejalan dengan ideologi Islam. Semua jenis teknik penelitian sejarah,
statistik, studi-studi kasus, observasi terlibat, bahkan eksperimentasi- dapat
diterapkan dalam menggunakan model ini. Memunculkan data bandingan untuk
melihat seberapa jauh kaum Muslim bergeser dari Islam sekarang adalah tujuan
utamanya.
Lebih
jauh, seorang sosiolog Muslim dapat mempertanyakan asumsi-asumsi umum dari
sosiologi Barat yang menyangkut peran agama pada umumnya. Sejauh mana kebenaran
asumsi bahwa agama hanya salah satu saja dari sekian banyak institusi dalam
masyarakat-masyarakat lain? Apakah tidak benar bahwa di dalam
masyarakat-masyarakat yang non-Muslim sekalipun, termasuk masyarakat-masyarakat
Kristen, agama memainkan suatu peran yang jauh lebih penting dibanding yang
sudah dikenal selama ini? Beberapa contoh patut dipertimbangkan dalam konteks
ini. Misalnya, negara Israel didasarkan pada agama (sesuatu yang mungkin
membuat cemburu seorang ideolog Muslim). Di hampir seluruh masyarakat Barat,
sumpah pejabat politik atau saksi di pengadilan dilakukan dengan nama Tuhan
(atau dengan Alkitab). Seorang “Kristen dari kelahiran” bukan hanya menjadi
presiden Amerika, tapi juga berhasil menghancurkan mitos liberalisme dinegeri
itu. Banyak negara-negara di Barat yang memberikan status resmi pada suatu
agama, yakni sebagai agama negara. Pasti ada beberapa alasan kenapa penginjilan
di Amerika berkembang pesat. Benar, agama Kristen dan agama-agama lain tidak
memberi pengikutnya aturan-aturan kehidupan yang lengkap, tapi belum tentu
sebagian besar dari mereka hanya membatasi persepsi-persepsi keagamaan diri mereka
sendiri pada gereja atau candi. Seorang fungsionalis struktural tentu dapat
mengatakan bahwa pengaruh agama sebagai institusi akan masuk ke dalam seluruh
institusi-institusi yang lain dalam masyarakat. Tapi derajat dan arah pengaruh
ini harus dibuktikan dengan penelitian empiris.
Sejauh
ini, penelitian sosiologis Barat telah dibimbing oleh asumsi-asumsi yang
mereduksi agama pada status institusi yang sejajar dengan institusi-institusi
lainnya dalam masyarakat, Karena itu, penelitian tidak pernah melihat efek-efek agama yang lebih luas dan
ekstra-institusional dalam masyarakat. Hasilnya adalah perkembangan sosiologi
agama. yang menunjukkan korelasi yang berbeda dari agama dalam teori dan
praktek. Apa yang diperlukan adalah suatu strategi penelitian yang lebih
menantang ketimbang mengikuti asumsi-asumsi yang dipegang sekarang mengenai
agama dan masyarakat.
Sebagai
suatu perluasan dari pendekatan mereka, para penganut sosiologi Islam harus memulai penelitian demikian. Model-model dari
pengaruh-pengaruh agama harus dikembangkan sebagai tipe ideal bagi masyarakat
untuk dipelajari agar dapat mengukur derajat kongruensi masyarakat-masyarakat
ini dengan agama mereka.
Pendek
kata, sosiolog Muslim harus menjadi seorang sosiolog perbandingan (comparative sosiologist) dalam analisis
atas inter dan juga antar masyarakat dengan suatu pandangan keagamaan yang
tegas ketimbang pandangan sekuler atau materialistis murni atas masyarakat.
Poin utama yang kedua di mana sosiologi Islam mungkin aneh kedengarannya dengan
kecenderungan-kecenderungan yang dominan dalam sosiologi kontemporer adalah
menyangkut apa yang disebut ‘sosiologi terapan.’ Atau seperti yang
dipertanyakan oleh Lynd:[22]) Pengetahuan
untuk apa?”
Kecuali
para penganut teori konflik yang kebanyakan masih belum beranjak dari upaya
untuk memenangkan model masyarakat sosialis, para sosiolog mengidap krisis
identitas dalam masalah yang menyangkut tujuan teori. Masalah penerapan
pengetahuan sosiologi pasti memunculkan masalah yang menyangkut keterlibatan
nilai. Kebanyakan sosiolog Amerika lebih suka memilih ‘bebas nilai,’ yakni
melihat upaya mereka sebagai teknik dan diri mereka sendiri sebagai peneliti
ilmiah yang tak mesti berkepentingan dengan nilai-nilai atau
implikasi-implikasi sosial dari hasil-hasil penelitian mereka. Kekecualian yang
menonjol dari kecenderungan ini adalah C. Wright Mills[23])
dan Howard Becker.[24])
Banyak
sosiolog yang sibuk dengan upaya-upaya lain selain hanya mengajar dan
penelitian. Mereka bekerja dalam kapasitas yang berbeda-beda di bidang
industri, bisnis, dan perencanaan kebijakan. Dalam kapasitas ini mereka dapat
menggunakan pengetahuan mereka untuk memecahkan masalah-masalah seperti
kecanduan obat bius, kriminal, penyimpangan, perencanaan kota, keluarga
berencana, dan lain-lain. Dalam kapasitas demikian, sosiolog tidak hanya
bekerja sebagai analis sosial tapi juga sebagai pembuat keputusan dan perencana
kebijakan sosial. Tapi bagaimana keputusan-keputusan ini dibuat atau bagaimana
mereka berusaha memotivasi masyarakat untuk memulai atau menghentikan sejumlah
bentuk kegiatan tidak pernah dibuat jadi bagian dari sosiologi secara wajar. Akibatnya strategi terapan ini tidak pernah menjadi latihan akademis sosiolog generasi baru di
perguruan tinggi.
Beberapa
masyarakat di dunia akan terus mengeluarkan biaya untuk disiplin akademis yang
tidak menyiapkan mahasiswanya mampu menerapkan disiplinnya. Tamatan universitas
Amerika dengan gelar setingkat S-1 di bidang sosiologi sekarang mulai merasa
tidak memadainya disiplin yang mereka geluti. Antropolog cepat mengantisipasi
masalah ini selama Perang Dunia II ketika mereka mengembangkan apa yang disebut
‘perlengkapan untuk mempertahankan hidup’ (survival kit), bagaimanapun diragukan nilai-nilainya bagi serdadu
Amerika yang bertempur di negara-negara asing nun jauh. Seri American Soldier yang melibatkan para
sosiolog yang punya reputasi seperti Samuel Stauffer, Robert K. Merton dan
banyak lagi yang lainnya, membantu kita memahami alasan-alasan prestasi yang
superior dari serdadu-serdadu Jerman dan Jepang yang terkait dengan counterpart-nya, Amerika. Demikian juga
sosiolog diberi biaya besar untuk mengkaji masalah-masalah serdadu Amerika dalam
perang Korea dan Vietnam. Tapi para sosiolog ini tidak mampu meningkatkan moral
serdadu dan mereka hampir tidak membantu dalam mengembangkan strategi-strategi
perang. Meskipun demikian apa yang dihasilkan dari studi ini punya nilai secara
akademis. Apa yang disebut sebagai teori ‘ke1ompok acuan’ (reference group theory) dalam sosiologi sebagian besar berasal
dari seri Perang Dunia II. Akibatnya bantuan-bantuan dana demikian
dihambur-hamburkan dan begitu banyak sosiolog mendapat keuntungan dari situ
sehingga sosiologi militer, walaupun sekarang kecil, merupakan bidang sosiologi
yang tumbuh pesat.
Secara
umum tidak banyak perbedaan apakah seseorang penganut Fungsionalisme Struktural
atau Interaksionisme Simbolik. Yang ditekankan dalam penelitian selalu tentang
upaya peningkatan pengetahuan teoritis, bukan mengenai analisis atau
pengembangan strategi-strategi yang dapat memanipulasi pengetahuan untuk
memecahkan masalah-masalah praktis. Kalau saja Comte masih hidup sekarang ia pasti
tidak akan mengakui para pengikutnya. Atau mereka akan meninggalkannya.
Para
sosiolog Islam di pihak lain harus punya keterlibatan nilai dengan logika
pendekatannya. Sebagai sosiolog perbandingan ia mungkin menemukan
ketidaksesuaian antara proses-proses sosial yang ada, baik yang mikro ataupun
yang makro, dengan cita-cita Islam. Tapi pekerjaannya tetap tidak sempurna
kalau ia tidak memperhatikan strategi-strategi praktis seperti bagaimana
mengurangi gap ini, apakah pada
tingkat mikro ataupun makro. Pendeknya, berbeda dengan sosiolog lain di dunia,
sosiolog Muslim harus memainkan peran sebagai analis, kritikus, dan bersamaan
dengan itu pembuat strategi; dan
analisis, kritik, dan perencanaan strategi harus menjadi bagian integral
dari pendekatan sosiologi Islam.
Kesimpulan
Perhatian
utama dari tulisan ini adalah sosiologi kontemporer seperti yang diajarkan di
universitas-universitas Barat. yang mungkin bukan sekedar tidak memadai tapi
juga keliru dalam memahami Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim. Setelah
menelaah secara singkat bagaimana pendekatan-pendekatan sosiologi yang dominan
di Barat tersebut, saya sampai pada kesimpulan perlunya pendekatan baru –teori
Islam, bukan hanya untuk menganalisis masyarakat-masyarakat Muslim tapi juga
memahami peran ideologis yang dimainkan oleh agama dalam masyarakat-masyarakat
manusia pada umumnya. Saya tidak punya preferensi bagi suatu teknik penelitian
-analisis historis, penelitian survei, studi kasus, observasi terlibat, dan eksperimentasi.
Metodologi penelitian umum dalam teori Islam, bagaimanapun, harus bersifat
perbandingan dalam rancangan umumnya sehingga derajat divergensi
masyarakat-masyarakat Muslim dari tipe Islami dapat diukur.
Pada
dasarnya teori Islam harus kritis. Ia tak bisa mengkhayalkan bahwa seorang pengikut pendekatan ini bebas nilai.
Seorang teoritisi Islam harus kritis, yakni menelaah
derajat divergensi antara masyarakat dan ideologinya dari perspektif sejarah, dengan bantuan korelasi statistik, hasil
observasi terlibat atau teknik-teknik penelitian lain.
Lebih
jauh lagi, peran teori Islam akan tetap tidak lengkap kalau rencana-rencana
masa depan tidak dicermati, yang didasarkan atas penemuan-penemuan di atas.
Teoritisi Islam, karena itu, harus mengambil peran seorang perencana
strategi-strategi untuk memperkirakan aspek-aspek mana dari masyarakat Muslim
yang perlu ditekankan ke arah
cita-cita Islam.
Jadi
teori Islam harus perbandingan, kritis, dan strategis, yakni melakukan perencanaan bagi masa depan. Tentu semua
pengikut pendekatan ini tidak bisa diharapkan mengambil spesialisasi semua
aspek-aspek tersebut. Tapi spesialisasi dalam satu bidang tidak mesti
mengabaikan atau meninggalkan bidang yang lain. Ketiga aspek dari teori Islam
harus diperkenalkan sebagai aspek-aspek esensial pada kurikulum sosiologi di
tingkat sekolah menengah, tingkat sarjana dan pasca sarjana.
Pada
dasarnya pendekatan ini menuntut dukungan dari sosiolog dan perencana
pendidikan di negeri-negeri Muslim. Bagaimanapun dukungan yang sama kuatnya
harus dimulai oleh pemerintah dan sumber-sumber daya swasta dalam bisnis dan
industri. Tanpa biaya yang cukup untuk penelitian, fasilitas perpustakaan,
tulisan-tulisan asli, penerjemahan-penerjemahan, biaya perjalanan dan publikasi
jurnal-jurnal, semua harapan itu hanya mimpi kosong.
Sebagai
langkah pertama, saya ingin merekomendasikan agar negara-negara Muslim
mengambil inisiatif mendirikan institute
of social studies yang berdampingan dengan semua atau sebagian besar
universitas. Institut-institut ini harus diberi dana bantuan dan bertanggung jawab untuk mengawali studi-studi sosiologi dan
program-program penelitian perbandingan.
Sekarang,
para sosiolog Muslim yang jumlahnya cukup banyak bekerja di Barat dan
negara-negara non-Muslim dalam berbagai kapasitas. Bantuan mereka harus secara
aktif diupayakan dalam mengembangkan program-program demikian. Mereka harus
didorong bergabung dengan institut-institut ini secara permanen atau dalam
jangka pendek. Adalah penting agar konvensi-konvensi periodik diadakan dimana
para sosiolog ini dan orang-orang lain yang tertarik menyajikan hasil
penelitian mereka dan memberi rekomendasi-rekomendasi bagi
pengembangan-pengembangan mendatang dalam pengajaran atau penelitian.
Sekarang
kebanyakan negara-negara Muslim mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan pengembangan teknologi. Tapi
harus diakui bahwa masalah-masalah itu tak akan bias dipecahkan dalam suatu vacuum sosial. Apalagi selama tujuan
utama kita adalah mengembangkan masyarakat kita menuju masyarakat yang
sejahtera dalam kerangka Islam, maka menjadi sangat penting memperkecil
kesenjangan antara proses-proses sosial yang bermacam-macam dengan cita-cita
Islam. Dalam menangani masalah ini, sosiolog akan memainkan peran penting
asalkan pendekatan di atas digunakan.
Catatan Kaki
*) Diterjemahkan
oleh Saiful Muzani dari llyas Ba-Yunus, “Sociology
and Muslim Social Realities,” dalam
lsma’il R, Al-Faruqi dan Abdullah Omar Nassesf (eds) Social and Natural Sciences: The
Islamic Perspective (Jeddah:
Hoder and Stoughton,
King Abdul Aziz University, 1981).hh. 21-40.
[1] Marsh, Robert M., Comparative Sociology (New York: Harcourt, Brace and World, Inc.,
1967), h. 19.
[2] Connor, Walter D., Deviant in Soviet Society (New York; Columbia University Press;
1972)
[3] Ba-Yunus, llyas, Distribution on Crime and Delinquency in Metropolitan Karachi: An
Ecological Analysis (Karachi: Monograph 15, Institute of Urban Studies,
1975).
[4] Hassan, Muhammad, “Rural Urban Differentials
in Crime: Egypt under Farouq and Nasser,” International
Law Review (Musim Gugur, 1977), vol. 6, no. 2, hh. 120-7.
[5] Bannister, Gerald P., Revolution and Displicament: Indonesia
After Independence (New York: The Social Science Academy,1973).
[6] Inkeles, Alex, “Making Man Modern: On the
Causes and Consequences of Individual Change in Six Developing Countries,” American Journal of Sociology
(September, 1969), no. 75, pp. 208-25; Inkeles, Alex dan D. Smith, Becoming
Modern: Individual Change in Six
Developing Countries (Harvard University Press, I974); Moore, Wilbert E., “The
Singular and the Plural: The Social Significance of lndustrialism Considered,” dalam
Nancy Hammon (ed.), Social Science and
New Societies (East Lansing: Social Science Research Bereau, Michigan State
University, 1973); Moore, Wilbert E., “Modernization and Rationalization:
Process and Restraints,” dalam Maning Nash (ed.), Essays in Economic Development and Cultural Change in Honor of Bert F.
Hoselitz, diterbitkan sebagai suplemen untuk Economic Development and Cultural Change (1977), vol. 25.
[7] Hetcher, M., “Review of I. Wallerstein’s ‘The
Modern World System’,” Contemporary Sociology (Mei,
1975), no. 4, hh. 217-22. Wallerstein, I., The Modern World System: Capitalist
Agriculture and the Origin of World Economy in Sixteen Century (New York:
Academic Press, 1975). Hill, H., “Peripheral Capitalism: Beyond Dependency and
Modernization," The Australian and New Zealand lournal of Sociology
(1975), vol.1, no. 2, hh. 30-7.
[8] Gouldner, Alvin, Coming Crisis of Western Sociology (New York:
Basic Books, 1970); Manneheim, Karl, Essays in Sociology and Social Psycology (London: Routledge and Kegan
Paul, Ltd., 1953).
[12] Direnzo,
Gordon, I., “Sociology in Italy
Today,” International Review of Modern Sociology (Maret, 1972), no. 2,
hh. 33-58.
[15] Tentang Ibn
Khaldun, lihat Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George
Allen and Unwin, Ltd., 1957). Juga Franz
Roshental, Ibn Khaldun: The Muqaddimah
(New York: Panheon Books, 1958).
[16] Untuk
pernyataan awal mengenai pendekatan ini lihat dalam dua
karya Parsons, Talcott, The Structure of Social Action (Glenco: Free
Press, 1937); The
Social System (Glencoe: The Free Press, 1951),
[17] Teori Marx
merupakan sintesis yang cemerlang dari filsafat dan studi
sejarahnya pada waktu itu, yang landasannya dapat ditemukan
dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844. Manuskrip-manuskrip
ini pertama kali terbit tahun 1932. Untuk terjemahan
Inggrisnya lihat Bottomore, Tom, Karl Marx: Early Writings (London: Watts and Co.,1963).
[18] Lihat Mead,
George Herbert, Mind, Self and Society (Chicago: The
University of Chicago Press, 1935),
[19] Qur’an
menggambarkan Islam sebagai din al-fitrah,
yang secara harfiah berarti ‘agama alam.’ Ada yang
menafsirkannya bahwa Islam sesuai dengan sifat
dasar manusia. Penafsiran ini menimbulkan
masalah: apa yang dimaksud dengan ‘sifat dasar
manusia’? Tidak ada alasan untuk
menyangkal kalau kita menafsirkannya sebagai ‘hukum alam
interaksi manusia’ (natural
law of human interaction). Penafsiran
ini
bukan hanya untuk menghindari kesulitan di atas, tapi
juga sejalan dengan tujuan apa yang dikenal sebagai
ilmu dalam pengertian yang luas.
[20] Burchard,
Waldo W., “Role Conflict of Military
Chaplains,”
American Sociologist Review (Oktober,
1954), no. 9, hh, 528-35.
[21] Kamarovsky,
Mirra, Woman in the Modem World: Their Education and Their Dilemmas (Boston:
Little Brown, 1953).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar