Minggu, 26 Oktober 2014

MENEMUKAN KEMBALI VISI PROFETIS NABI: TENTANG GAGASAN PEMBEBASAN DALAM KITAB SUCI



MENEMUKAN KEMBALI VISI PROFETIS NABI:
TENTANG GAGASAN PEMBEBASAN DALAM KITAB SUCI*)
Oleh Asghar Ali Engineer
Dr. Asghar Ali Engineer, adalah seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap tema-tema pembebasan (liberation) dalam  al-Qur’an. Misalnya ia pernah menulis artikel “Toward  Liberation Theology in Islam.” Banyak teman-temannya yang non-Muslim baik di India, tempatnya berasal maupun di luar negeri, kaget jika ia memaparkan bahwa gagasan pembebasannya itu sebenarnya pertama kali lebih diinspirasikan oleh al-Qur’an, daripada ilmu sosial misalnya. la banyak menulis artikel di jurnal-jurnal dan beberapa buah buku yang bertemakan analisis sosial diantaranya adalah Islamic State.

Tentu saja bukan suatu kebetulan jika dalam al-Qur‘an banyak disinggung tentang gagasan-gagasan pembebasan. Justru menurut Asghar Ali Engineer, hakekat dari al-Qur’an -dan karena itu sebenarnya visi profetis kenabian- adalah pembebasan. Dalam artikel ini ia memaparkan visi tersebut, dan menunjukkan relevansinya pada situasi dunia Islam dewasa ini.
Saya akan berbicara tentang tradisi pembebasan Islam dan gerakan protes yang ada di  India. Pertama-tama saya ingin menjelaskan bahwa saya serius memikirkan masalah agama. Saya mendapati diri saya terlibat secara emosional dengan semangat dasar agama saya, Islam. Saya pikir Islam adalah gerakan protes itu sendiri. Ia, tidak hanya memprotes terhadap kondisi sosial yang ada pada waktu itu, tapi secara sempurna telah merubahnya.

Sebenarnya, Muhammad adalah seorang penentang yang sangat tidak setuju dengan kondisi para yatim piatu, para janda, kaum teraniaya, dan kaum fakir miskin pada waktu itu. Pada waktu itu saudagar-saudagar kaya Makkah, para pedagang internasional hanya mengkonsentrasikan dirinya untuk menghasilkan keuntungan. Mereka mengeksploitasi orang lain dan tidak peka terhadap kemiskinan dan kelaparan yang ada di sekitar mereka. Nabi selama berbulan-bulan memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki keadaan tersebut, setelah beliau menerima wahyu dari Allah, lalu mengumumkan hal ini pada orang-orang. Beliau menyeru pada mereka agar memperhatikan orang-orang miskin, para janda, yatim piatu, kaum yang teraniaya serta orang-orang fakir. Beliau tidak menyeru mereka agar melakukan kegiatan ritual ini atau itu. Rasulullah mengatakan, tugas kaum Muslim adalah menjauhkan kelaparan dan kemiskinan. Beliau menyerukan ayat-ayat al-Qur‘an yang mengkritik dengan keras pengumpulan kekayaan, “lihatlah orang yang mengumpulkan hartanya dan terus menghitung-hitung, dan ia berpikir, kekayaannya itu akan mengekalkan hidupnya. Tidak, sesungguhnya ia melakukan kesalahan yang menyedihkan. Kekayaannya itu akan membawanya ke dalam api yang akan membinasakannya.” Ada beberapa ayat al-Qur‘an yang serupa dengan ini.
Dalam ayat al-Qur‘an yang lain dikatakan, “Ya Nabi, orang-orang bertanya pada Engkau, apakah yang harus mereka nafkahkan? Beliau menjawab, Katakanlah pada mereka apa saja yang lebih dari apa yang mereka butuhkan (yaitu, apa saja yang tersisa, kelebihan yang ada setelah kebutuhan mereka terpenuhi) mereka harus berikan pada masyarakat.” Pada ayat lain, “Orang-orang yang diberi karunia dalam hal kekayaan dalam masyarakat, yang diberi kelebihan dari apa yang mereka butuhkan, mereka tidak mengembalikannya pada orang-orang yang takut akan adanya pemerataan.” Dan Muhammad telah berjuang keras untuk pemerataan ini.
Nabi juga mengetahui adanya eksploitasi terhadap wanita di dalam masyarakat Arab Jahiliah, yaitu masyarakat Arab yang bodoh. Beliau menyatakan, tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan kalau pun ada perbedaan, itu disebabkan di dalam masyarakat laki-lakilah yang mencari nafkah sebagai tanggung jawab yang diberikan pada mereka untuk memelihara kaum wanitanya. Karena itu mereka (kaum wanita) mempunyai keuntungan pula dari hal ini (wanita tidak wajib mencari nafkah). Tapi semua itu bukan masalah superioritas seksual, ini adalah tanggung jawab sosiologis laki-laki. Dari ayat ini, Maulana Azad, seorang komentator al-Qur’an, juga sebagai pemimpin besar nasional India yang sangat terkenal mengatakan, jika seorang wanita mulai mencari nafkah maka ia mempunyai kelebihan dari laki-laki, ini menurut logika al-Qur’an. Maka itulah superioritas sosiologis. Juga bisa jadi superior terhadap yang lainnya atau keduanya akan menjadi sederajat bagi yang lainnya, karena keduanya memperoleh nafkah dalam masyarakat modern kita. Seks atau gender tidak menjadi dasar adanya perbedaan, ini masalah sosiologis fungsional, bukan seksual. Superioritas fungsional yang disebutkan al-Qur’an telah menjelaskan hal itu dalam waktu bersamaan, secara seksual keduanya sama, dan keduanya mempunyai hak yang sama. Hal ini ditekankan pula dalam salah satu kalimat pada kitab suci al-Qur’an. Ayat tersebut mengatakan, hak dan kewajiban wanita adalah sama. Ia mempunyai hak-hak sebagaimana kewajiban yang dibebankan padanya.
Beberapa komentator modern telah mengumumkan suatu revolusi seksual, yang bukan hanya memberikan kewajiban pada wanita tapi juga hak yang sama pada mereka. Itu tidak berarti laki-laki mempunyai hak yang lebih di atas wanita, dan wanita tak akan mempunyai hak lebih di atas laki-laki. Keduanya mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama. Hal itu sangat jelas dinyatakan dalam kitab suci al-Qur’an. Meskipun, ada sebuah tragedi, ketika Islam telah melampaui abad pertengahan, para Mullah dan ulama kita telah menanamkan dengan dalam suatu anggapan terhadap wanita yang memperoleh sesuatu dari lingkungan pergaulan mereka. Yang kemudian mulai menimbulkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an terhadap wanita. Mereka berkata bahwa laki-laki berhak untuk memiliki empat istri, dan laki-laki berhak untuk mengusir mereka kapan saja melalui perceraian. Inilah ketidakadilan terbesar terhadap semangat Islam yang sesungguhnya. Interpretasi ini telah menimbulkan praktek-praktek penganiayaan terhadap wanita. Karena itu, Islam di mata kaum non-Muslim dianggap sebagai penganiaya Wanita. Hal ini telah tercatat pada keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Shah Bano yang menjadi suatu perjuangan klasik hak-hak wanita di India. Hakim Mahkamah Agung tersebut menulis, Islam adalah penganiaya terbesar kaum wanita.
Adalah suatu revolusi besar di mana Nabi telah memprakarsai melakukan perubahan dalam masyarakat Makkah secara menyeluruh. Secara bertahap Islam menjadi agama yang sangat mapan dengan ritualisasi yang sangat tinggi. Islam menjadi agama yang memerangi semua ritual, selain ritual Islam itu sendiri. Saya percaya ritualisasi agama telah mematikan. Memang ada kepentingan melihat agama hanya sebagai sekumpulan ritual. Paling tidak dengan menjalankan ritual tersebut, maka seseorang menjadi religius, dan memperoleh pengakuan sebagai orang yang religius.
Saya percaya, seorang Muslim tak dapat menjadi Muslim sejati jika tak bekerja bagi perdamaian dalam masyarakat. Tegasnya, Seorang Muslim berarti orang yang menegakkan kedamaian. Tak akan ada kedamaian jika terdapat ketidakadilan. Ketidakadilan harus dienyahkan, maka kedamaian dapat ditegakkan. Dalam al-Qur’an Allah menyeru pada setiap orang ke dalam rumah perdamaian. Tapi bagaimana orang dapat masuk ke dalam rumah perdamaian, jika masih terdapat eksploitasi ,di atas bumi ini, dimana orang-orang kaya mengambil hak-hak orang miskin, laki-laki mengambil hak-hak wanitanya, atau jika anda mengambil dari yang lainnya apa yang menjadi milik mereka? Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa tidak ada ras superior di atas yang lainnya. Putih, hitam atau kuning bukanlah yang menyebabkan adanya superioritas tapi hanya untuk identifikasi.
Hal yang sangat memalukan bagi kaum Muslim yang memiliki agama yang menerangkan bahwa perbudakan adalah aib terbesar dalam humanitas, adalah mereka menjadi pemilik budak-budak. Setiap mereka menang perang, mereka menangkap budak laki-laki dan perempuan. Yang lebih tragis dan ironis ulama lalu mengizinkan praktek perbudakan tersebut. Mereka menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur‘an dan mengatakan bahwa laki-laki tidak harus menikahi para budak-budak wanitanya, namun mereka boleh hidup bersama (tanpa nikah) dengan mereka.
Jadi dalam realitasnya perbudakan telah dihapuskan bukan oleh para ulama melainkan di bawah pengaruh Barat. Ini menurut saya hal yang sangat memalukan. Ulama kita tidak pernah mengeluarkan suatu fatwa, atau perintah menghapuskan perbudakan. Sampai akhir abad 19 mereka tetap membenarkan bahwa Islam memperbolehkan perbudakan. Padahal al-Qur‘an menerangkan dengan sangat jelas bahwa terdapat beberapa rintangan dalam penghapusan perbudakan, tapi bagaimanapun ia akan terhapus secara perlahan-lahan. Ironisnya kaum Muslim terus menerus memperbanyak budak-budak laki-laki dan perempuan.
Prinsip-prinsip revolusioner al-Qur’an lainnya adalah, kaum Muslim harus berserah diri hanya pada kehendak Tuhan. Tuhan adalah keadilan. Jika seseorang tidak berlaku adil, bagaimana ia dapat berserah diri pada kehendak Tuhan? Allah itu pemurah, karena itu seorang Muslim memulai setiap harinya dengan sebuah, doa yang dimulai dengan nama Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih. Jika seseorang menjadi tiran, bagaimana ia dapat taat pada Tuhan? Tidak ada shalat, puasa dan haji yang dapat menyelamatkan para penganiaya dan yang suka mengeksploitasi. Al-Qur’an juga menerangkan dengan sangat jelas, bahwa ketaatan hanya diperuntukkan bagi Allah dan tidak untuk kekuatan lainnya. Tak seorang pun harus tunduk pada para penganiaya. Al-Qur’an mengatakan, Allah berjanji untuk memaksa para penganiaya, pemimpin dan pewaris bumi ini. Mereka akan menegakkan keadilan. Allah hendak menggantikan para penganiaya dan tiran-tiran itu dari posisinya sebagai penguasa dan digantikan kedudukannya oleh kaum lemah dan sebaliknya para penganiaya itu menjadi kaum lemah. Di sini digunakan kata yang sangat berarti, yaitu mustad’afin, “orang yang lemah di atas bumi ini”. Dan orang yang melemahkan mereka, mustakbirin, “orang yang kuat dan angkuh”. Al-Qur’an membicarakan hal itu dalam batas-batas dinamika antara kaum mustadh’afin dan mustakbirin, kaum lemah dan tertindas di satu sisi, dan orang-orang angkuh dan kuat di pihak lain. Itu berarti akan ada konflik terus-menerus antara keduanya dan akhirnya kaum penganiaya, akan menempati posisi yang kuat.
Ini tentu memerlukan sejumlah kiasan. Inilah semangat Islam yang mengilhami, memotivasi dan menantang saya. Saya sungguh-sungguh bersemangat. Banyak ketidakadilan di negara saya, India, baik dalam komunitas Muslim maupun di luar komunitas Muslim; kami percaya kita tengah menambah kekuatan jaringan kerja kaum tertindas. Kami tidak yakin dengan berperang secara terpisah-pisah, sebab kami tahu para penindas membuat suatu ikatan bersama yang erat. Sementara itu kaum Hindu, selalu bersedia bersama kita dalam perjuangan ini dan beberapa ratus orang lainnya lagi. Apakah mereka kaum Muslim, Buddha, Kristen, atau Hindu, mereka selalu bersedia bersama kita berjuang, dan kita bersedia juga bersama mereka berjuang.
Sekali lagi, saya memikirkan hal itu sebagai tugas saya yang diilhami oleh ajaran agama saya. Misalnya dalam memerangi komunisme. Komunisme dapat mengancam agama mana saja, kebencian atas nama agama atau membunuh atas nama agama! Jadi apakah yang dibunuh itu Muslim atau Hindu, atau Sikh -atau juga dalam beberapa kasus orang Kristen- itu disebabkan karena mereka adalah orang beragama, yaitu sesuatu yang harus diperangi dengan seluruh kekuatan, komitmen, dan keterlibatan penuh.
Negara saya berkeras dengan masalah tersebut selama dekade ini. Maksud saya, pemisahan (India-Pakistan) yang dilakukan pada 1947 sejalan datangnya bersama kemerdekaan, telah membawa tragedi terbesar di mana lebih satu juta orang dibantai selama terjadinya pertukaran penduduk Muslim-Hindu. Hal itu terjadi terus-menerus. Tadinya kami berharap, setelah pemisahan itu, paling tidak masalah tersebut akan terpecahkan, tapi masalahnya justru sama sekali tak terpecahkan. Ratusan orang terbantai atas nama agama, atas nama Kuil atau Masjid. Secara pribadi saya percaya bahwa hidup seorang manusia lebih penting daripada seratus kuil. Masjid dan Kuil dibuat dari lumpur dan batu bata, sedang hidup manusia diciptakan Tuhan, dimana kita tak akan dapat mengembalikannya ke keadaan semula, jika ia terbunuh.
Ada sesuatu yang mengilhami saya dari tradisi Nabi. Suatu kali Nabi berdiri di hadapan Ka’bah, tempat paling suci kaum Muslim. Beliau berkata, “Hai Ka’bah, engkau sangat aku hormati tapi engkau tak dapat menjadi lebih di atas kesucian hidup manusia. Sebab hidup manusia adalah ciptaan Tuhan. Dan, Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim.” Ini adalah perkataan Nabi Muhammad. Tapi orang-orang fanatik sekarang, para mullah, yang ingin menikmati kekuasaan atas nama agama, tak dapat beralih dari posisi mereka. Saya tidak mengatakan bahwa Masjid Babri harus dihancurkan. Tidak sama Sekali. Ini akan menjadi tidak adil. Maksud saya, jika ada sebuah Kuil maka akan ada pembenaran dalam penghancuran Masjid Babri. Selain tidak ada pembenaran, saat ini juga tak ada bukti bahwa ada sebuah kuil dimana berdiri sebuah Mesjid. Jadi saya melihatnya dalam batasan hidup manusia. Jika kehidupan harus dikorbankan, atau dimusnahkan, apakah tidak lebih baik melakukannya terhadap mesjid, daripada kehidupan umat manusia.
Tampaknya, kaum fundamentalis Hindu berpikir berapa banyak lagi kaum Muslim yang akan mereka bunuh atas nama Ram, yang menurut mereka diwujudkan dengan tanpa kekerasan oleh Prushottam, orang yang terbaik. Apakah seorang manusia terbaik membiarkan terjadinya pembantaian terhadap kehidupan umat manusia yang tak bersalah? Kita terlibat dalam per- juangan ini, komunalisme, menghentikan kebencian atas nama agama, membunuh dengan atas nama agama.
Seharusnya agama mengilhami kita bukan untuk melakukan hal-hal yang tak berarti, tapi perbuatan-perbuatan yang mulia. Al-Qur’an juga menerangkan hal itu secara sangat jelas. Bukan orang Yahudi, atau Kristen, atau Sabaen atau orang Islam yang akan masuk surga. Melainkan orang-orang yang yakin pada Allah, pada Malaikat-malaikat, pada hari kemudian dan beramal saleh, mereka itulah yang akan masuk surga. Mengakui dengan begitu saja bahwa saya beragama Hindu, saya beragama Islam, saya beragama Kristen atau saya Yahudi, bukan berarti Anda akan masuk surga. Itu sebabnya agama seharusnya dipakai untuk menciptakan hal-hal berguna, untuk meringankan kehidupan umat manusia. Dan tidak hanya itu, saya akan meneruskannya lagi. Adalah tugas saya sebagai seorang religius untuk menghormati alam, menghormati seluruh alam semesta, sebab seluruh alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Saya tak berhak menghancurkan hutan. Saya tak berhak mengotori lautan dan membunuh kehidupan binatang-binatang yang ada di dalamnya. Saya tak berhak mengotori udara yang kita hirup. Kita harus menghormati seluruh alam semesta ini. Saya diilhami oleh tradisi sufi wahdat al-wujud, “Kesatuan Wujud”. Semua itu memancar dari Yang Esa -apakah kehidupan manusia, hewan-hewan, pohon-pohon, bintang-bintang, bulan, matahari, atau apapun- Kita semua adalah ciptaan Yang Esa, emanasi Yang Esa. Kita adalah pantulan cahaya kemuliaan Yang Esa, karenanya kita harus menghormati semua itu.


*     Pada mulanya artikel yang diterjemahkan oleh Dewi Nurjulianti ini adalah ceramah lisan dalam workshop yang bertemakan, The Spirituality of Social Movements di kota Quezon, Pilipina, Maret 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar