MENEMUKAN KEMBALI VISI
PROFETIS NABI:
Oleh Asghar Ali Engineer
Dr. Asghar Ali Engineer,
adalah seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) yang mempunyai
perhatian yang sangat besar terhadap tema-tema pembebasan (liberation) dalam al-Qur’an. Misalnya ia pernah menulis artikel
“Toward Liberation Theology in Islam.”
Banyak teman-temannya yang non-Muslim baik di India, tempatnya berasal maupun
di luar negeri, kaget jika ia memaparkan bahwa gagasan pembebasannya itu
sebenarnya pertama kali lebih diinspirasikan oleh al-Qur’an, daripada ilmu
sosial misalnya. la banyak menulis artikel di jurnal-jurnal dan beberapa buah
buku yang bertemakan analisis sosial diantaranya adalah Islamic State.
Tentu saja bukan suatu
kebetulan jika dalam al-Qur‘an banyak disinggung tentang gagasan-gagasan
pembebasan. Justru menurut Asghar Ali Engineer, hakekat dari al-Qur’an -dan
karena itu sebenarnya visi profetis kenabian- adalah pembebasan. Dalam artikel
ini ia memaparkan visi tersebut, dan menunjukkan relevansinya pada situasi
dunia Islam dewasa ini.
Saya akan berbicara
tentang tradisi pembebasan Islam dan gerakan protes yang ada di India. Pertama-tama saya ingin menjelaskan
bahwa saya serius memikirkan masalah agama. Saya mendapati diri saya terlibat
secara emosional dengan semangat dasar agama saya, Islam. Saya pikir Islam adalah
gerakan protes itu sendiri. Ia, tidak hanya memprotes terhadap kondisi sosial
yang ada pada waktu itu, tapi secara sempurna telah merubahnya.
Sebenarnya, Muhammad
adalah seorang penentang yang sangat tidak setuju dengan kondisi para yatim
piatu, para janda, kaum teraniaya, dan kaum fakir miskin pada waktu itu. Pada waktu
itu saudagar-saudagar kaya Makkah, para pedagang internasional hanya mengkonsentrasikan
dirinya untuk menghasilkan keuntungan. Mereka mengeksploitasi orang lain dan
tidak peka terhadap kemiskinan dan kelaparan yang ada di sekitar mereka. Nabi selama
berbulan-bulan memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki keadaan
tersebut, setelah beliau menerima wahyu dari Allah, lalu mengumumkan hal ini pada
orang-orang. Beliau menyeru pada mereka agar memperhatikan orang-orang miskin,
para janda, yatim piatu, kaum yang teraniaya serta orang-orang fakir. Beliau tidak
menyeru mereka agar melakukan kegiatan ritual ini atau itu. Rasulullah
mengatakan, tugas kaum Muslim adalah menjauhkan kelaparan dan kemiskinan.
Beliau menyerukan ayat-ayat al-Qur‘an yang mengkritik dengan keras pengumpulan
kekayaan, “lihatlah orang yang mengumpulkan
hartanya dan terus menghitung-hitung, dan ia berpikir, kekayaannya itu akan
mengekalkan hidupnya. Tidak, sesungguhnya ia melakukan kesalahan yang menyedihkan.
Kekayaannya itu akan membawanya ke dalam api yang akan membinasakannya.” Ada
beberapa ayat al-Qur‘an yang serupa dengan ini.
Dalam ayat al-Qur‘an yang
lain dikatakan, “Ya Nabi, orang-orang bertanya
pada Engkau, apakah yang harus mereka nafkahkan? Beliau menjawab, Katakanlah
pada mereka apa saja yang lebih dari apa yang mereka butuhkan (yaitu, apa saja
yang tersisa, kelebihan yang ada setelah kebutuhan mereka terpenuhi) mereka
harus berikan pada masyarakat.” Pada ayat lain, “Orang-orang yang diberi karunia dalam hal kekayaan dalam masyarakat,
yang diberi kelebihan dari apa yang mereka butuhkan, mereka tidak
mengembalikannya pada orang-orang yang takut akan adanya pemerataan.” Dan
Muhammad telah berjuang keras untuk pemerataan ini.
Nabi juga mengetahui
adanya eksploitasi terhadap wanita di dalam masyarakat Arab Jahiliah, yaitu
masyarakat Arab yang bodoh. Beliau menyatakan, tak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, dan kalau pun ada perbedaan, itu disebabkan di dalam
masyarakat laki-lakilah yang mencari nafkah sebagai tanggung jawab yang
diberikan pada mereka untuk memelihara kaum wanitanya. Karena itu mereka (kaum
wanita) mempunyai keuntungan pula dari hal ini (wanita tidak wajib mencari
nafkah). Tapi semua itu bukan masalah superioritas seksual, ini adalah tanggung
jawab sosiologis laki-laki. Dari ayat ini, Maulana Azad, seorang komentator al-Qur’an,
juga sebagai pemimpin besar nasional India yang sangat terkenal mengatakan,
jika seorang wanita mulai mencari nafkah maka ia mempunyai kelebihan dari
laki-laki, ini menurut logika al-Qur’an. Maka itulah superioritas sosiologis.
Juga bisa jadi superior terhadap yang lainnya atau keduanya akan menjadi
sederajat bagi yang lainnya, karena keduanya memperoleh nafkah dalam masyarakat
modern kita. Seks atau gender tidak menjadi dasar adanya perbedaan, ini masalah
sosiologis fungsional, bukan seksual. Superioritas fungsional yang disebutkan
al-Qur’an telah menjelaskan hal itu dalam waktu bersamaan, secara seksual
keduanya sama, dan keduanya mempunyai hak yang sama.
Hal ini ditekankan pula dalam salah satu kalimat pada kitab suci al-Qur’an.
Ayat tersebut mengatakan, hak dan kewajiban wanita adalah sama. Ia mempunyai
hak-hak sebagaimana kewajiban yang dibebankan padanya.
Beberapa komentator modern
telah mengumumkan suatu revolusi seksual, yang bukan hanya memberikan kewajiban
pada wanita tapi juga hak yang sama pada mereka. Itu tidak berarti laki-laki
mempunyai hak yang lebih di atas wanita, dan wanita tak akan mempunyai hak
lebih di atas laki-laki. Keduanya mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama. Hal itu sangat jelas dinyatakan dalam kitab suci
al-Qur’an. Meskipun, ada sebuah tragedi, ketika Islam telah melampaui abad
pertengahan, para Mullah dan ulama kita telah menanamkan
dengan dalam suatu anggapan terhadap wanita yang memperoleh sesuatu dari
lingkungan pergaulan mereka. Yang kemudian mulai menimbulkan penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an terhadap wanita. Mereka berkata bahwa laki-laki berhak
untuk memiliki empat istri, dan laki-laki berhak untuk mengusir mereka kapan
saja melalui perceraian. Inilah ketidakadilan terbesar terhadap semangat Islam
yang sesungguhnya. Interpretasi ini telah menimbulkan praktek-praktek
penganiayaan terhadap wanita. Karena itu, Islam di mata
kaum non-Muslim dianggap sebagai penganiaya Wanita. Hal ini telah tercatat pada
keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Shah Bano yang menjadi suatu perjuangan
klasik hak-hak wanita di India. Hakim Mahkamah Agung tersebut menulis, Islam
adalah penganiaya terbesar kaum wanita.
Adalah suatu revolusi
besar di mana Nabi telah memprakarsai melakukan perubahan dalam masyarakat
Makkah secara menyeluruh. Secara bertahap Islam menjadi agama yang sangat mapan
dengan ritualisasi yang sangat tinggi. Islam menjadi agama yang memerangi semua
ritual, selain ritual Islam itu sendiri. Saya percaya ritualisasi agama telah
mematikan. Memang ada kepentingan melihat agama hanya sebagai sekumpulan
ritual. Paling tidak dengan menjalankan ritual tersebut, maka seseorang menjadi
religius, dan memperoleh pengakuan sebagai orang yang religius.
Saya percaya, seorang
Muslim tak dapat menjadi Muslim sejati jika tak bekerja bagi perdamaian dalam
masyarakat. Tegasnya, Seorang Muslim berarti orang yang menegakkan kedamaian.
Tak akan ada kedamaian jika terdapat ketidakadilan. Ketidakadilan harus
dienyahkan, maka kedamaian dapat ditegakkan. Dalam al-Qur’an Allah menyeru pada setiap orang ke dalam rumah
perdamaian. Tapi bagaimana orang dapat masuk ke dalam rumah perdamaian, jika
masih terdapat eksploitasi ,di atas bumi ini, dimana orang-orang kaya mengambil
hak-hak orang miskin, laki-laki mengambil hak-hak wanitanya, atau jika anda mengambil dari yang lainnya apa yang menjadi milik
mereka? Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa tidak ada ras
superior di atas yang lainnya. Putih, hitam atau kuning bukanlah yang
menyebabkan adanya superioritas tapi hanya untuk identifikasi.
Hal yang sangat memalukan
bagi kaum Muslim yang memiliki agama yang menerangkan bahwa perbudakan adalah
aib terbesar dalam humanitas, adalah mereka menjadi pemilik budak-budak. Setiap
mereka menang perang, mereka menangkap budak laki-laki dan perempuan. Yang
lebih tragis dan ironis ulama lalu mengizinkan praktek perbudakan tersebut.
Mereka menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur‘an dan mengatakan bahwa laki-laki
tidak harus menikahi para budak-budak wanitanya, namun mereka boleh hidup
bersama (tanpa nikah) dengan mereka.
Jadi dalam realitasnya
perbudakan telah dihapuskan bukan oleh para ulama melainkan di bawah pengaruh
Barat. Ini menurut saya hal yang sangat memalukan. Ulama kita tidak pernah
mengeluarkan suatu fatwa, atau perintah menghapuskan perbudakan. Sampai akhir
abad 19 mereka tetap membenarkan bahwa Islam memperbolehkan perbudakan. Padahal
al-Qur‘an menerangkan dengan sangat jelas bahwa terdapat beberapa rintangan
dalam penghapusan perbudakan, tapi bagaimanapun ia akan terhapus secara perlahan-lahan.
Ironisnya kaum Muslim terus menerus memperbanyak budak-budak laki-laki dan perempuan.
Prinsip-prinsip
revolusioner al-Qur’an lainnya adalah, kaum Muslim harus berserah diri hanya
pada kehendak Tuhan. Tuhan adalah keadilan. Jika seseorang tidak berlaku adil,
bagaimana ia dapat berserah diri pada kehendak Tuhan? Allah itu pemurah, karena
itu seorang Muslim memulai setiap harinya dengan sebuah, doa yang dimulai dengan nama
Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih. Jika seseorang menjadi tiran, bagaimana
ia dapat taat pada Tuhan? Tidak ada shalat, puasa dan haji yang dapat menyelamatkan
para penganiaya dan yang suka mengeksploitasi. Al-Qur’an juga menerangkan
dengan sangat jelas, bahwa ketaatan hanya
diperuntukkan bagi Allah dan tidak untuk kekuatan lainnya. Tak seorang pun
harus tunduk pada para penganiaya. Al-Qur’an mengatakan, Allah berjanji untuk
memaksa para penganiaya, pemimpin dan pewaris bumi ini. Mereka akan menegakkan keadilan.
Allah hendak menggantikan para penganiaya dan tiran-tiran itu dari posisinya
sebagai penguasa dan digantikan kedudukannya oleh kaum lemah dan sebaliknya
para penganiaya itu menjadi kaum lemah. Di sini digunakan kata yang sangat berarti,
yaitu mustad’afin, “orang yang lemah
di atas bumi ini”. Dan orang yang melemahkan mereka, mustakbirin, “orang yang kuat dan angkuh”. Al-Qur’an membicarakan hal
itu dalam batas-batas dinamika antara kaum mustadh’afin
dan mustakbirin, kaum lemah dan tertindas
di satu sisi, dan orang-orang angkuh dan kuat di pihak lain. Itu berarti akan
ada konflik terus-menerus antara keduanya dan akhirnya kaum penganiaya, akan
menempati posisi yang kuat.
Ini tentu memerlukan
sejumlah kiasan. Inilah semangat Islam yang mengilhami, memotivasi dan
menantang saya. Saya sungguh-sungguh bersemangat. Banyak ketidakadilan di
negara saya, India, baik dalam komunitas Muslim maupun di luar komunitas
Muslim; kami percaya kita tengah menambah kekuatan jaringan kerja kaum tertindas.
Kami tidak yakin dengan berperang secara terpisah-pisah, sebab kami tahu para
penindas membuat suatu ikatan bersama yang erat. Sementara itu kaum Hindu,
selalu bersedia bersama kita dalam perjuangan ini dan beberapa ratus orang
lainnya lagi. Apakah mereka kaum Muslim, Buddha, Kristen, atau Hindu, mereka
selalu bersedia bersama kita berjuang, dan kita bersedia juga bersama mereka
berjuang.
Sekali lagi, saya
memikirkan hal itu sebagai tugas saya yang diilhami oleh ajaran agama saya.
Misalnya dalam memerangi komunisme. Komunisme dapat mengancam agama mana saja,
kebencian atas nama agama atau membunuh atas nama agama! Jadi apakah yang dibunuh
itu Muslim atau Hindu, atau Sikh -atau juga dalam beberapa kasus orang Kristen-
itu disebabkan karena mereka adalah orang beragama, yaitu sesuatu yang harus diperangi
dengan seluruh kekuatan, komitmen, dan keterlibatan penuh.
Negara saya berkeras
dengan masalah tersebut selama dekade ini. Maksud saya, pemisahan
(India-Pakistan) yang dilakukan pada 1947 sejalan datangnya bersama kemerdekaan,
telah membawa tragedi terbesar di mana lebih satu juta orang dibantai selama terjadinya
pertukaran penduduk Muslim-Hindu. Hal itu terjadi terus-menerus. Tadinya kami berharap,
setelah pemisahan itu, paling tidak masalah tersebut akan terpecahkan, tapi
masalahnya justru sama sekali tak terpecahkan. Ratusan orang terbantai atas nama
agama, atas nama Kuil atau Masjid. Secara pribadi saya percaya bahwa hidup
seorang manusia lebih penting daripada seratus kuil. Masjid dan Kuil dibuat
dari lumpur dan batu bata, sedang hidup manusia diciptakan Tuhan, dimana kita
tak akan dapat mengembalikannya ke keadaan semula, jika ia terbunuh.
Ada sesuatu yang
mengilhami saya dari tradisi Nabi. Suatu kali Nabi berdiri di hadapan Ka’bah,
tempat paling suci kaum Muslim. Beliau berkata, “Hai Ka’bah, engkau sangat aku
hormati tapi engkau tak dapat menjadi lebih di atas kesucian hidup manusia.
Sebab hidup manusia adalah ciptaan Tuhan. Dan, Ka’bah dibangun oleh Nabi
Ibrahim.” Ini adalah perkataan Nabi Muhammad. Tapi orang-orang fanatik
sekarang, para mullah, yang ingin menikmati kekuasaan atas nama agama, tak
dapat beralih dari posisi mereka. Saya tidak mengatakan bahwa Masjid Babri
harus dihancurkan. Tidak sama Sekali. Ini akan menjadi tidak adil. Maksud saya,
jika ada sebuah Kuil maka akan ada pembenaran dalam penghancuran Masjid Babri.
Selain tidak ada pembenaran, saat ini juga tak ada bukti bahwa ada sebuah kuil
dimana berdiri sebuah Mesjid. Jadi saya melihatnya dalam batasan hidup manusia.
Jika kehidupan harus dikorbankan, atau dimusnahkan, apakah tidak lebih baik
melakukannya terhadap mesjid, daripada kehidupan umat manusia.
Tampaknya, kaum
fundamentalis Hindu berpikir berapa banyak lagi kaum Muslim yang akan mereka
bunuh atas nama Ram, yang menurut mereka diwujudkan dengan tanpa kekerasan oleh
Prushottam, orang yang terbaik. Apakah seorang manusia terbaik membiarkan
terjadinya pembantaian terhadap kehidupan umat manusia yang tak bersalah? Kita
terlibat dalam per- juangan ini, komunalisme, menghentikan kebencian atas nama
agama, membunuh dengan atas nama agama.
Seharusnya agama
mengilhami kita bukan untuk melakukan hal-hal yang tak berarti, tapi
perbuatan-perbuatan yang mulia. Al-Qur’an juga menerangkan hal itu secara
sangat jelas. Bukan orang Yahudi, atau Kristen, atau Sabaen atau orang Islam
yang akan masuk surga. Melainkan orang-orang yang yakin pada Allah, pada
Malaikat-malaikat, pada hari kemudian dan beramal saleh, mereka itulah yang
akan masuk surga. Mengakui dengan begitu saja bahwa
saya beragama Hindu, saya beragama Islam, saya beragama Kristen atau saya
Yahudi, bukan berarti Anda akan masuk surga. Itu sebabnya agama seharusnya
dipakai untuk menciptakan hal-hal berguna, untuk meringankan kehidupan umat
manusia. Dan tidak hanya itu, saya akan meneruskannya lagi. Adalah tugas saya
sebagai seorang religius untuk menghormati alam, menghormati seluruh alam semesta,
sebab seluruh alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Saya tak berhak
menghancurkan hutan. Saya tak berhak mengotori lautan dan membunuh kehidupan binatang-binatang
yang ada di dalamnya. Saya tak berhak mengotori udara yang kita hirup. Kita harus
menghormati seluruh alam semesta ini. Saya diilhami oleh tradisi sufi wahdat al-wujud, “Kesatuan Wujud”. Semua
itu memancar dari Yang Esa -apakah kehidupan manusia, hewan-hewan, pohon-pohon,
bintang-bintang, bulan, matahari, atau apapun- Kita semua adalah ciptaan Yang
Esa, emanasi Yang Esa. Kita adalah pantulan cahaya kemuliaan Yang Esa, karenanya
kita harus menghormati semua itu.
* Pada mulanya artikel yang diterjemahkan oleh Dewi
Nurjulianti ini adalah ceramah lisan dalam workshop yang bertemakan, The
Spirituality of Social Movements di kota Quezon, Pilipina, Maret 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar